Agresi Militer Belanda II: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(119 revisi perantara oleh 64 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove}}
{{Infobox military conflict
|conflict=Agresi Militer Belanda II<br /><small>({{lang-nl|Operatie Kraai}})</small>
|partof=[[PerangRevolusi KemerdekaanNasional Indonesia]]
| image = [[File:Nederlandse troepen trekken Djokjakarta binnen. Links een brandende auto, Bestanddeelnr 5111.jpg|140px]] [[File:Drie Nederlandse militairen tijdens een actie. De brenschutter richt zijn wapen , Bestanddeelnr 5560.jpg|140px]] [[File:Nederlanse militairen en voertuigen in de hoofstraat van Rantau Prapat, Bestanddeelnr 5668.jpg|140px]] [[File:Station van Ngebroek. Een bivak wordt opgezet. Veldbedden worden gereed gemaakt, Bestanddeelnr 5563.jpg|140px]] [[File:, Sumatra, Padang, Bestanddeelnr 2524.jpg|140px]] [[File:Opmars in Tapanoeli (Sumatra) Patrouille van Nederlandse militairen passeert en, Bestanddeelnr 2753.jpg|140px]]
|image=[[Berkas:1948 agresi2-1b.jpg|330px]]
| image_size =
|caption=Seorang prajurit Indonesia bersiap siaga di perbatasan Yogyakarta
| caption = {{Collapsible list
|date= 19–20 Desember 1948<ref name="KahinSEA94" />
| bullets = on
|place=[[Jawa]] dan [[Sumatera]], [[Indonesia]]<ref name="KahinSEA89"/>
| title = '''Dari atas, kiri ke kanan:'''
|casus=Perbedaan penafsiran Belanda dan Republik Indonesia terhadap isi [[Perundingan Renville]]
| Pasukan Belanda memasuki [[Kota Yogyakarta|Djokjakarta]]. Di sebelah kiri sebuah mobil yang terbakar.
|territory=Pasukan bersenjata Belanda menduduki Jawa dan Sumatera<ref name="KahinSEA89"/>
| Pasukan Belanda dalam perjalanan menuju Jawa Timur
|result=Penangkapan pemimpin-pemimpin Republik di [[Yogyakarta]]<ref name="KahinSEA96">Kahin (2003), p. 96</ref><br>Berkembangnya penentangan internasional di [[PBB]] atas upaya Belanda mengembalikan kekuasaan di Indonesia<ref name="Darusman64">Darusman (1992), p. 63</ref>
| Stasiun Ngebroek. Sebuah [[kamp militer|bivak]] telah didirikan.
|combatant1={{flag|Indonesia}}
| Kemajuan di [[Keresidenan Tapanuli|Tapanoeli]] (Sumatra). Patroli tentara Belanda melewati beberapa rumah khas [[Suku Batak|Batak]]
|combatant2={{flag|Belanda}}
| Kemajuan di [[Kota Padang|Padang]], Sumatra oleh pasukan Belanda.
|combatant3=
| Tentara Belanda di jalan utama [[Rantau Prapat (kota)|Rantau Prapat]]
|commander1={{flagicon|Indonesia}} [[Sukarno]]<ref name="KahinSEA94" /><br>{{flagicon|Indonesia}} [[Mohammad Hatta]]<ref name="KahinSEA94" /><br>{{flagicon|Indonesia}} [[Jenderal]] [[Abdul Haris Nasution]]<ref name="KahinSEA89"/>
|commander2={{flagicon|Netherlands}} [[Jenderal]] [[Simon Hendrik Spoor]]<ref name="KahinSEA89" /><br>{{flagicon|Netherlands}} Jenderal Meyer<ref name="KahinSEA94" />
|commander3=
|strength1=3 [[Mitsubishi A6M Zero|Mitsubishi Zero]]<ref name="KahinSEA89" />
|strength2=800–900 infanteri udara<ref name="KahinSEA90" /><br>23 [[Douglas DC-3]]<ref name="KahinSEA90" /><br>Pesawat tempur dan pengebom Belanda<ref name="KahinSEA90" />
|strength3=
|casualties1=
|casualties2=
|casualties3=
|notes=
}}
| date = {{start and end dates|1948|12|19|1949|01|5|df=y}}<br><small>Perang gerilya sampai [[Perjanjian Roem-Roijen|7 Mei 1949]]</small>
wat transportasi, dan arah timur menuju Maguwo diambil melalui [[Lautan Hindia]]. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
| place = [[Jawa]] dan [[Sumatra]], [[Indonesia]]<ref name="KahinSEA89">Kahin (2003), p. 89</ref>
| casus = Pelanggaran Partai Republik terhadap [[Perjanjian Renville]]
| result = Kemenangan Belanda
* [[Kabinet Darurat|Pemerintah Indonesia]] [[Pemerintah Darurat Republik Indonesia|diasingkan]]
| territory = [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]] direbut oleh Belanda
| combatant1 = {{flagcountry|Indonesia}}
| combatant2 = {{flagcountry|Netherlands}}
| commander1 = {{Flagicon|Indonesia}} [[Soedirman]]{{br}}{{Flagicon|Indonesia}} [[Djatikoesoemo]]{{br}}{{Flagicon|Indonesia}} [[Abdul Haris Nasution]]
| commander2 = {{Flagicon|Belanda}} [[Simon Spoor]]{{br}}{{Flagicon|Belanda}} [[Dirk Reinhard Adelbert van Langen|Dirk van Langen]]
| units1 = {{tree list}}
* [[Tentara Nasional Indonesia]]
** [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]]
** [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara]]
{{tree list/end}}
| units2 = {{tree list}}
* [[Tentara Kerajaan Hindia Belanda]]
** [[Militaire Luchtvaart van het Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger]]
** [[Korps Speciale Troepen]]
{{tree list/end}}
| strength1 = {{ubl|4 [[Mitsubishi A6M Zero|Mitsubishi Zero]]|100,000 tentara<ref name="KahinSEA89" />}}
| strength2 = {{ubl|800–900 pasukan terjun payung|10,000 tentara-130,000 tentara<ref>{{cite book|title=Fundamentals of Guerilla Warfare, page 179-180|last1=Nasution|first1= Abdul H.|publisher=New York, Praeger|date=1965}}</ref>|23 [[Douglas DC-3]]s|Pesawat tempur dan pembom Belanda}}
| casualties1 = Tidak diketahui
| casualties2 = Tidak diketahui
}}
{{Campaignbox Revolusi Nasional Indonesia}}
 
{{Sejarah Indonesia}}
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal [[19 Desember]] [[1948]], WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan [[Persetujuan Renville]]. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuetu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
'''Agresi Militer Belanda II''' atau '''Operasi Gagak''' ([[bahasa Belanda]]: ''Operatie Kraai'') adalah serangan militer Belanda terhadap [[Indonesia|Republik Indonesia]] pada bulan Desember 1948, menyusul gagalnya perundingan. Dengan keunggulan kejutan, Belanda berhasil merebut ibu kota sementara Republik Indonesia, [[Kota Yogyakarta|Yogyakarta]], dan menangkap para pemimpin Indonesia seperti Presiden ''[[de facto]]'' Republik Indonesia [[Soekarno]]. Keberhasilan militer yang nyata ini, bagaimanapun, diikuti oleh perang gerilya, sementara pelanggaran gencatan senjata [[Perjanjian Renville]] secara diplomatis mengisolasi Belanda. Hal ini berujung pada [[Konferensi Meja Bundar|Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia]] dan pengakuan atas [[Republik Indonesia Serikat]].<ref>Ricklefs (1993), p.230 "...{{nbsp}}both a military and a political catastrophe for [the Dutch]".</ref>
 
Disebut oleh Belanda sebagai ''[[Aksi Polisionil|politionele actie]]'' kedua, peristiwa ini lebih dikenal dalam buku-buku sejarah dan catatan militer Indonesia sebagai '''Agresi Militer Belanda II'''.<ref name="Zweers">Zweers (1995)</ref>
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
 
== Serangan ke Maguwo ==
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pengeboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio selang dari Jakarta menyebutkan, bahwa esok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
 
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada semua tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dikata "Operasi Kraai".
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar [[Soedirman]] mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal [[19 Desember]] 1948 pukul 08.00.
 
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir mendapat parasut mereka dan memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilaksanakan briefing terakhir. Pukul 3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, disertai oleh Jenderal Spoor 15 menit selanjutnya. Dia melaksanakan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil menempuh Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat digunakan. Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
 
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang selanjutnya diketahui untuk Serangan Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan serangan militer ini untuk "Sikap yang dibuat Polisional".
 
Penyerangan terhadap ibu kota republik, diawali dengan pengeboman atas lapangan terbang Maguwo di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 [[pesawat Mustang]] dan 9 [[pesawat Kittyhawk]]. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri atas 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, sebagian senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat masih dalam kondisi rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu [[kompi]] TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlanjut lebih kurang 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
 
Lebih kurang pukul 9.00, semua 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, semua daya Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bangung ke Yogyakarta.
 
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa selang lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilaksanakan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Akbar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.
 
== Perebutan Yogyakarta ==
Setelah mendengar serangan mendadak tersebut, Panglima Militer Indonesia Jenderal [[Sudirman]] menyiarkan Perintah kilat melalui radio. Ia juga meminta Sukarno dan pemimpin lainnya untuk mengungsi dan bergabung dengan pasukan gerilyanya. Setelah rapat kabinet, mereka menolak dan memutuskan untuk tetap tinggal di [[Yogyakarta]] dan tetap berkomunikasi dengan utusan PBB dan ''[[Perjanjian Renville#Latar Belakang|Komisi Tiga Negara]]'' (Komisi Trilateral). Sukarno juga mengumumkan rencana "pemerintahan darurat" di Sumatera, jika terjadi sesuatu pada kepemimpinan Indonesia di Yogyakarta.<ref name="Betrand">Bertrand (2004), hal. 166</ref>
 
Sementara itu, 2.600 tentara Belanda bersenjata lengkap (infanteri dan pasukan terjun payung) dipimpin Kolonel [[Dirk Reinhard Adelbert van Langen]] telah berkumpul di Maguwo, siap merebut Yogyakarta. Pada hari yang sama, sebagian besar wilayah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, dan sasaran utama seperti angkatan udara dan markas besar kepala staf dihancurkan oleh taktik "bumi hangus" Indonesia dan pemboman Belanda.<ref name="KahinSEA91">Kahin ( 2003), hal. 91</ref> Presiden Indonesia Sukarno, Wakil Presiden [[Mohammad Hatta]], dan mantan perdana menteri [[Sutan Sjahrir]] ditangkap oleh Belanda dan selanjutnya diasingkan ke [[Pulau Bangka|Bangka]]. Mereka membiarkan diri mereka ditangkap dengan harapan hal itu akan menimbulkan kemarahan dukungan internasional. Namun tindakan ini kemudian mendapat kritik dari kalangan militer Indonesia karena menganggapnya sebagai tindakan pengecut pimpinan politik. Sultan [[Hamengkubuwono IX]] tetap tinggal di istananya di Yogyakarta dan tidak meninggalkan istananya. selama seluruh pendudukan. Sultan sendiri menolak bekerja sama dengan pemerintah Belanda dan menolak upaya mediasi yang dilakukan oleh [[Kesultanan Pontianak|Sultan]] Pontianak [[Sultan Hamid II|Hamid II]] yang pro-Belanda).<ref name="KahinSEA106">Kahin ( 2003), hal. 106</ref>
== Pemerintahan Darurat ==
[[Soedirman]] dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden.Soedirman didampingi oleh [[T.B. Simatupang|Kolonel Simatupang]], [[Soerjadi Soerjadarma|Komodor Suriadarma]] serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibu kota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri [[Herling Laoh|Laoh]] mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil [[PBB]]. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
[[Berkas:Dec48.gif|thumb|330px]]
[[Soedirman]] dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh [[T.B. Simatupang|Kolonel Simatupang]], [[Soerjadi Soerjadarma|Komodor Suriadarma]] serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang dibahas serta keputusan yang diambil dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri [[Herling Laoh|Laoh]] mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil [[PBB]]. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden tetap dalam kota.
 
Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di [[SumateraSumatra]], maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada [[Syafruddin Prawiranegara]] di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan [[Pemerintahan Darurat Republik Indonesia]]. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di SumateraSumatra, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, [[L. N. Palar]] dan Menteri Keuangan Mr. [[A.A. Maramis]] yang sedang berada di [[New Delhi]].
 
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, [[Soekiman Wirjosandjojo|dr. Sukiman]], Menteri Persediaan Makanan,Mr. [[I.J. Kasimo]], Menteri Pembangunan dan Pemuda, [[Supeno]], dan Menteri Kehakiman, [[Soesanto Tirtoprodjo|Mr. Susanto]]. Mereka belum mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.
 
Pada [[21 Desember]] 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
 
== Pengasingan Pimpinan Republik ==
Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden [[Soekarno]], [[Sutan Sjahrir]], dan Menteri Luar Negeri Haji [[Agus Salim]] terus diterbangkan lagi menuju [[Medan]], [[Sumatera Utara]], untuk kemudian diasingkan ke [[BrastagiBerastagi, Karo|Berastagi]] dan [[Parapat]], sementara Drs. [[Moh. Hatta]] (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. [[Assaat]] (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
 
== Gerilya ==
Setelah itu [[Soedirman]] meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000&nbsp;km di daerah [[Jawa Tengah]] dan [[Jawa Timur]]. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal [[10 Juli]] [[1949]].
 
Kolonel [[A.H. Nasution]], selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat ''Totaliter'' yang kemudian dikenal sebagai [[Perintah Siasat No 1]] Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber ''wingate'' (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.
 
Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di [[Jawa Barat]]. Perjalanan ini dikenal dengan nama [[Long March Siliwangi]]. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat merekaterpaksa bergabungpula denganmenghadapi gerombolan [[DI/TII]] karena [[NII]] telah memproklamirkan kemerdekaannya pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada akhirnya sejarah mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.
 
== Lihat pula ==
* [[Wehrkreise]]
* [[Indonesia: Era 1945-1949]]
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== ReferensiDaftar pustaka ==
{{Refbegin}}
* {{cite book|last=Bertrand|first=Jacques|title=Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia|year=2004|publisher=Cambridge University Press|isbn=0-521-52441-5|url=http://books.google.com/?id=2oZQRuT78JIC&pg=PA166&dq=%22Emergency+Government+of+the+Republic+of+Indonesia%22|page=166}}
* {{cite book
|last =Bertrand|first= Jacques|title=Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia|year= 2004|publisher=Cambridge University Press|isbn=0-521-52441-5|url=http://books.google.com/?id=2oZQRuT78JIC&pg=PA166&dq=%22Emergency+Government+of+the+Republic+of+Indonesia%22|page=166}}
* {{Cite book
|last =Darusman|first =Suryono|authorlink =|coauthors =|title =Singapore and the Indonesian Revolution, 1945–50|publisher =Institute of Southeast Asian Studies|year =1992|location =Singapore|pages =|url =|doi =|isbn =981-3016-17-5 }}
Baris 69 ⟶ 102:
* {{Cite book
|last =Ricklefs|first =M.C.|authorlink =|coauthors =|title =A History of Modern Indonesia Since c. 1300|publisher =Stanford University Press|year =1993|location =San Francisco|pages =|url =|doi =|isbn = }}
* {{Cite book|last =Zweers|first =L.|authorlink =|coauthors =|title =Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie|publisher =SDU Uitgevers|year =1995|location =[[The Hague]]|pages =|url =http://www.antiqbook.nl/boox/gem/43781.shtml|doi =|isbn =|access-date =2013-03-23|archive-date =2012-02-08|archive-url =https://web.archive.org/web/20120208081633/http://www.antiqbook.nl/boox/gem/43781.shtml|dead-url =yes}}
* {{Cite book
* ''Operation KraAi (General Spoor) vs Surat Perintah no. 1 (General Sudirman)'', Gramedia Publisher-Indonesian Language
|last =Zweers|first =L.|authorlink =|coauthors =|title =Agressi II: Operatie Kraai. De vergeten beelden van de tweede politionele actie|publisher =SDU Uitgevers|year =1995|location =[[The Hague]]|pages =|url =http://www.antiqbook.nl/boox/gem/43781.shtml|doi =|isbn =}}
{{Refend}}{{Revolusi Nasional Indonesia}}
* ''Operation Kraai (General Spoor) vs Surat Perintah no. 1 (General Sudirman)'', Gramedia Publisher-Indonesian Language
{{Refend}}
 
== Lihat pula ==
* [[Wehrkreise]]
* [[Indonesia: Era 1945-1949]]
 
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Yogyakarta]]
[[Kategori:Peristiwa 1948]]
[[Kategori:Indonesia dalam tahun 1948]]
[[Kategori:Perang Kemerdekaan Indonesia]]