Albertus Soegijapranata: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Clean up, replaced: hirarki → hierarki using AWB |
→Dalam budaya populer: dobel info ama yg atas |
||
(63 revisi perantara oleh 29 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Featured article}}
{{Infobox Christian leader
|honorific-prefix =
|name = Albertus Soegijapranata
|honorific-suffix = [[Yesuit|S.J.]]
|native_name =
|native_name_lang =
|title = [[Keuskupan Agung Semarang|Uskup Agung Semarang]]
|image = Mgr. Albertus Soegijapranata.jpeg
|image_size =
|alt =
|caption = Foto resmi Soegijapranata
|church =
|archdiocese = Semarang
<!--|province = Semarang
|metropolis = Semarang-->
|diocese =
|see =
|elected =
|appointed =
|term =
|term_start =
|quashed =
|term_end =
|predecessor = Tidak ada, jabatan baru
|opposed =
|successor = [[Justinus Darmojuwono]]
|other_post =
<!---------- Orders ---------->
|ordination =
|ordinated_by = [[Laurentius Schrijnen]]
|consecration =
|consecrated_by = [[Petrus Johannes Willekens]]
|cardinal =
|rank =
<!---------- Personal details ---------->
|birth_name = Soegija
|birth_date = {{Birth date|df=yes|1896|11|25}}
|birth_place =
|death_date = {{Death date and age|df=yes|1963|07|22|1896|11|25}}
|death_place =
|buried = [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]]
|nationality = Indonesia
|religion = [[Katolik]]
|residence =
|parents = {{
}}▼
▲|occupation =
▲|profession =
▲|previous_post =
|education =
|alma_mater =
|motto = "''In Nomine Jesu''" <br/> (Dalam nama Yesus)
|signature =
|signature_alt =
|coat_of_arms =
|coat_of_arms_alt =
<!---------- Other ---------->
|other =
}}
{{Spoken Wikipedia|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 1 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 2 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 3 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 4 - Albertus Soegijapranata.wav|Dionisius Agus Puguh Santosa - Bagian 5 - Albertus Soegijapranata.wav|date=29 September 2022}}
Mgr. '''Albertus Soegijapranata''', [[Yesuit|SJ]] ([[EYD|Ejaan Yang Disempurnakan]]: '''Albertus Sugiyapranata'''; {{lahirmati||25|11|1896||22|7|1963}}), lebih dikenal dengan nama lahir '''Soegija''', merupakan Vikaris Apostolik [[Semarang]], kemudian menjadi [[uskup agung]]. Ia merupakan [[uskup]] [[pribumi]] Indonesia pertama dan dikenal karena pendiriannya yang pro-nasionalis, yang sering disebut "100% Katolik, 100% Indonesia".▼
▲Mgr. '''Albertus Soegijapranata''', {{post-nominals|post-noms=[[Yesuit|
Soegija dilahirkan di [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]], dari keluarga seorang [[abdi dalem]] dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota [[Yogyakarta]] saat Soegija masih kecil, dan, karena diakui sebagai anak yang cerdas, pada tahun 1909 Soegija diminta oleh Pr. [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan Kolese Xaverius, suatu sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]]. Di sana Soegija menjadi tertarik dengan agama Katolik, dan dibaptis pada tanggal 24 Desember 1910. Setelah lulus dari Xaverius pada tahun 1915 dan menjadi seorang guru di sana selama satu tahun, Soegija menghabiskan dua tahun belajar di [[seminari]] di Muntilan sebelum berangkat ke [[Belanda]] pada tahun 1919. Ia menjalani masa pendidikan calon biarawan dengan Serikat Yesus selama dua tahun di [[Grave]]; ia juga menyelesaikan ''juniorate''<!--yuniorat tidak ada di KBBI--> di sana pada tahun 1923. Setelah tiga tahun belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]], ia dikirim kembali ke Muntilan sebagai guru; ia bekerja di sana selama dua tahun. Pada tahun 1928 ia kembali ke Belanda untuk belajar teologi di [[Maastricht]], dan [[penahbisan|ditahbiskan]] pada tanggal 15 Agustus 1931. Setelah itu Soegija menambahkan kata "pranata" di belakang namanya. Pada tahun 1933 Soegijapranata dikirim kembali ke Hindia Belanda untuk menjadi pastor.▼
▲Soegija dilahirkan di [[Surakarta]], [[Hindia Belanda]], dari keluarga seorang [[abdi dalem]] dan istrinya. Keluarga Muslim itu lalu pindah ke kota [[Yogyakarta]] saat Soegija masih kecil
Soegijapranata memulai keimamannya sebagai vikaris paroki untuk Pr. van Driessche di Paroki Kidul Loji, Yogyakarta, tetapi diberi paroki sendiri setelah Gereja St. Yoseph di [[Bintaran, Yogyakarta|Bintaran]] dibuka pada tahun 1934. Dalam periode ini ia berusaha untuk meningkatkan rasa ke-Katolikan dalam masyarakat Katolik dan menekankan perlunya hubungan yang kuat antara keluarga Katolik. Pada tahun 1940 Soegijapranata [[konsekrasi|dikonsekrasikan]] sebagai vikaris apostolik dari Vikariat Apostolik Semarang, yang baru didirikan. Meskipun jumlah pemeluk Katolik meningkat setelah ia dikonsekrasikan, Soegijapranata harus menghadapi berbagai tantangan. [[Kekaisaran Jepang]] menduduki Hindia Belanda pada awal tahun 1942, dan selama [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|periode pendudukan]] itu banyak gereja diambil alih dan banyak pastor ditangkap atau dibunuh. Soegijapranata bisa lolos dari kejadian ini, dan menghabiskan periode pendudukan dengan mendampingi orang Katolik dalam vikariatnya sendiri.
Baris 72 ⟶ 71:
== Kehidupan awal ==
Soegija dilahirkan pada 25 November 1896 di [[Surakarta]]. Ia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara, dengan ayah Karijosoedarmo, seorang ''abdi dalem'' di [[
{{multiple image
| align = left
| total_width = 300
| direction = horizontal
| image1 = Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.jpg
| caption1 = Albertus Soegijapranata berdiri paling kiri
| image2 = Albertus Soegijapranata Muda.jpg
| alt2 = Albertus Soegijapranata Muda
| caption2 = Pater Albertus Soegijapranata di masa mudanya
▲}}
Soegija mulai menempuh pendidikannya di sebuah Sekolah ''Angka Loro'' di wilayah Kraton. Di sana, ia belajar membaca dan menulis. Ia kemudian dipindahkan ke suatu sekolah di Wirogunan, Yogyakarta, dekat [[Pakualaman]]. Pada tahun ketiga ia mulai menempuh pendidikan di sebuah Hollands Inlands School di Lempuyangan.{{sfn|Subanar|2003|p=27}} Di luar sekolah ia belajar [[gamelan]] dan [[tembang|menembang]] bersama orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=19–21}} Sekitar 1909 Soegija diminta oleh Pater [[Frans van Lith]] untuk bergabung dengan sebuah sekolah [[Yesuit]] di [[Muntilan]], 30 kilometer barat laut Yogyakarta. Biarpun awalnya kedua orang tuanya khawatir bahwa Soegija akan menjadi seperti anak Eropa, mereka merestui.{{sfn|Subanar|2003|pp=28–29}}
Baris 79 ⟶ 89:
Pada 1909 Soegija mulai belajar di Kolese Xaverius di Muntilan, sebuah sekolah asrama untuk calon guru.{{sfn|Subanar|2003|pp=34–35}}{{sfn|Gonggong|2012|p=14}} Ada 54 siswa lain dalam angkatannya. Anak-anak itu menjalani jadwal yang ketat. Mereka mengikuti pelajaran di pagi hari dan mengisi siang hari dengan kegiatan lain, seperti berkebun, berdebat, dan bermain catur. Anak-anak Katolik juga diwajibkan untuk rajin berdoa.{{sfn|Subanar|2003|pp=36–37}} Biarpun kolese itu tidak mewajibkan siswanya menjadi orang Katolik, Soegija merasa tertekan oleh teman-temannya. Oleh karena itu, sering terjadi perkelahian. Saat Soegija mengeluh kepada gurunya, Pater L. van Rijckevorsel bahwa para pastor Belanda sama seperti pedagang Belanda di kota, yaitu hanya memikirkan uang, romo itu menjawab bahwa mereka tidak digaji dan hanya mengharapkan yang terbaik untuk siswa-siswa mereka. Ini membuat Soegija lebih menghargai para guru, dan saat van Rijckevorsel memberi tahu siswa lain bahwa Soegija tidak ingin menjadi Katolik, anak-anak itu tidak lagi menekan Soegija.{{sfn|Subanar|2003|pp=34–35}}
[[Berkas:AlbertusMagnus.jpg|
Tahun berikutnya Soegija minta agar bisa mengikuti pelajaran agama Katolik. Menurut dia, ini agar ia bisa menggunakan fasilitas sekolah dengan sepenuhnya. Gurunya, Pater Mertens, menyatakan bahwa Soegija memerlukan izin orang tua sebelum ia bisa bergabung. Kendati orang tuanya tidak merestui, Soegija masih diizinkan mengikuti pelajaran. Soegija menjadi tertarik dengan soal [[Tritunggal]], dan meminta keterangan dari beberapa guru. Van Lith mengutip karya-karya [[Thomas Aquinas]], sementara Mertens membahas Tritunggal berdasarkan karya [[Agustinus dari Hippo]]. Mertens menyatakan bahwa manusia tidak dimaksud untuk benar-benar memahami Tuhan, sebab pengetahuan manusia terbatas.{{sfn|Subanar|2003|pp=38–40}} Soegija, yang menjadi semakin tertarik, minta agar [[baptis|dibaptis]]; ia mengutip cerita
Soegija terus melanjutkan pelajarannya di Xaverius. Menurut Pater G. Budi Subanar, seorang dosen [[ilmu teologi]] di [[Universitas Sanata Dharma]], dalam periode ini salah satu guru mengajarkan Perintah Keempat dari [[Doktrin Katolik mengenai Sepuluh Perintah Allah|Sepuluh Perintah Allah]] dengan pengertian bahwa seseorang tidak boleh hanya menghormati ayah dan ibu kandung, melainkan semua nenek moyangnya; ini memberi pengertian [[nasionalis]] kepada para siswa.{{sfn|Subanar|2003|p=44}} Pada kesempatan lain, Xaverius dikunjungi seorang misionaris [[Kapusin]] – yang secara fisik jauh berbeda dari para guru Yesuit – membuat Soegija mempertimbangkan untuk menjadi seorang pastor, sebuah gagasan yang diterima orang tuanya.{{sfn|Subanar|2003|pp=46–48}} Pada 1915 Soegija menyelesaikan pendidikannya di Xaverius, lalu menjadi guru di sana selama satu tahun. Pada 1916 di masuk di [[seminari]] Xaverius; ada dua anak pribumi lain yang masuk seminari tahun itu. Soegija lulus pada 1919, setelah mempelajari [[bahasa
== Jalan menuju imamat ==
[[Berkas:Velp (NB) Rijksmonument 514139 Mariëndaal (De Binckhof) keuken.jpg|
Pada 1919 Soegija dan siswa lain pergi ke [[Uden]], Belanda, untuk meneruskan pendidikan mereka; mereka berangkat dari [[Pelabuhan Tanjung Priok|Tanjung Priok]] di [[Jakarta|Batavia]]. Di Uden Soegija menghabiskan satu tahun untuk mendalami bahasa Latin dan Yunani, sesuatu yang diperlukan untuk menjadi romo di Hindia Belanda. Ia dan rekan kelasnya juga harus beradaptasi dengan budaya Belanda.{{sfn|Subanar|2003|pp=61–64}} Pada tanggal 27 September 1920 Soegija memulai periode novisiat untuk bergabung dengan Serikat Yesus; rekan-rekannya baru mulai pada tahun berikutnya.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}} Selama menjalani novisiatnya di Mariëndaal di [[Grave]], Soegija dipisah dari dunia luar dan menghabiskan waktunya dengan meditasi. Ia menyelesaikan novisiat pada 22 September 1922 dan dijadikan anggota Yesuit; Soegija bersumpah agar tetap miskin, murni, dan taat.{{sfn|Subanar|2003|pp=65–67}}
Setelah bergabung dengan Serikat Yesus Soegija menghabiskan satu tahun di Mariëndaal sebagai yuniorat. Mulai pada 1923 ia belajar filsafat di Kolese Berchmann di [[Oudenbosch]].{{sfn|Subanar|2003|p=69}} Dalam periode ini ia lebih mendalami ajaran Thomas Aquinas. Ia juga mulai menulis tentang agama Katolik. Dalam sebuah surat tertanggal 11 Agustus 1923 ia menulis bahwa orang Jawa belum dapat membedakan antara orang Katolik dan Protestan, dan bahwa cara yang terbaik untuk menambahkan jumlah orang Katolik ialah dengan perilaku dan bukti nyata, bukan hanya janji. Ia juga menerjemahkan hasil Kongres Ekaristi ke-27, yang diadakan di [[Amsterdam]] pada 1924, untuk majalah [[bahasa Jawa|berbahasa Jawa]] ''Swaratama''; ada pula tulisan yang dimuat dalam ''St. Claverbond, Berichten uit Java''.{{sfn|Subanar|2003|pp=70–71}} Soegija lulus dari Berchmann pada 1926, lalu bersiap untuk kembali ke Hindia Belanda.{{sfn|Subanar|2003|p=69}}
Baris 95 ⟶ 105:
== Menjadi pastor ==
Pada tanggal 8 Agustus 1933 Soegijapranata dan dua pastor lain berangkat dari Belanda menuju Hindia Belanda; Soegijapranata ditugaskan di paroki Kidul Loji di Yogyakarta, dekat Kraton.{{sfn|Subanar|2003|p=97-98}}
[[Berkas:Ganjuran Church exterior rear (3).JPG|
Setelah Gereja Santo Yoseph di Bintaran, sekitar satu kilometer dari Kidul Loji, buka pada bulan April 1934, Soegijapranata dipindahtugaskan ke sana sebagai pastor utama;{{sfn|Subanar|2003|p=106}}{{sfn|Flinn|2010|pp=576–577}} gereja itu terutama dimaksud kalangan pribumi.{{sfn|Gonggong|2012|p=19}} Bintaran pada saat itu merupakan satu dari empat paroki di kota Yogyakarta pada saat itu, bersama dengan Kidul Loji, Kotabaru, dan Pugeran; setiap gereja paroki melayani daerah yang luas, dan pastor dari gereja paroki juga ikut serta berkhotbah di gereja yang jauh dari kota. Setelah van Driessche meninggal pada bulan Juni 1934, tugas Soegijapranata ditambah lagi dengan desa Ganjuran, [[Bantul]], sekitar 20 kilometer selatan kota Yogyakarta. Daerah itu merupakan tempat tinggal untuk lebih dari seribu orang Katolik pribumi.{{sfn|Subanar|2003|pp=107–113}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=18}} Soegijapranata juga menjadi penasihat untuk berbagai kelompok, serta mendirikan sebuah koperasi untuk masyarakat Katolik.{{sfn|Gonggong|2012|p=23}}
Baris 105 ⟶ 115:
Meningkatnya jumlah orang Katolik di Hindia Belanda membuat Mgr. [[Petrus Willekens]], yang menjabat sebagai Vikaris Apostolik Batavia, mengusulkan bahwa suatu [[vikariat apostolik]] didirikan di [[Jawa Tengah]], dengan pusatnya di [[Semarang]],{{sfn|Subanar|2003|p=123}} sebab Jawa Tengah memiliki budaya yang berbeda dan jarak yang jauh dari Batavia.{{sfn|Subanar|2003|pp=127}} Vikariat Apostolik Batavia dibagi menjadi dua pada tanggal 25 Juni 1940; bagian timur menjadi Vikariat Apostolik Semarang.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Pada tanggal 1 Agustus 1940 Willekens menerima [[telegram]] dari Kardinal [[Paus Paulus VI|Giovanni Battista Montini]], yang menyatakan bahwa Soegijapranata akan menjadi pemimpin vikariat apostolik yang baru itu. Bersamaan dengan itu, Soegija ditunjuk menjadi [[Uskup Tituler]] [[Danaba]]. Telegram tersebut dikirim ke Soegijapranata di Yogyakarta, yang menyetujui tugas itu,{{sfn|Subanar|2003|p=123}} biarpun terkejut dan gelisah.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} Asistennya, Hardjosoewarno, menyatakan bahwa Soegijapranata menangis setelah membaca telegram itu – sebuah tanggapan yang tidak biasa untuk dia – dan, saat makan semangkuk [[soto]], bertanya kalau Hardjosoewarno pernah melihat seorang uskup menikmati makanan itu.{{sfn|Moeryantini|1975|p=21}}
Soegijapranata pergi ke Semarang pada tanggal 30 September 1940 dan [[konsekrasi|dikonsekrasi]] Willekens pada tanggal 6 Oktober di [[Gereja Katedral Semarang|Gereja Rosario Suci]] di Randusari, yang menjadi tempat jabatannya.{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}}{{sfn|Moeryantini|1975|p=22}} Dalam penahbisan itu, Willekens didampingi oleh [[Keuskupan Malang|Vikaris Apostolik Malang]] Mgr. [[Antoine Everard Jean Avertanus Albers]], [[Karmelit|O. Carm.]] yang bergelar Uskup Tituler Thubunae di Numidia, bersama dengan [[Keuskupan Agung Palembang|Vikaris Apostolik Palembang]], Mgr. [[Henri Martin Mekkelholt]], [[S.C.J.]] yang bergelar Uskup Tituler Athyra. Upacara itu diikuti berbagai tokoh politik serta sultan, dari Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Surakarta, serta klerus dari [[Malang]] dan [[Lampung]];{{sfn|Subanar|2003|pp=129–130}} dengan konsekrasi ini Soegijapranata menjadi uskup pribumi pertama.{{efn|Yang kedua, seorang keturunan Timor bernama [[Gabriel Manek]], dikonsekrasi pada tahun 1951 sebagai
Dalam wilayah yang dipimpin Soegijapranata terdapat 84 pastor (73 orang Eropa, 11 orang pribumi), 137 [[bruder]] (103 orang Eropa, 34 orang pribumi), dan 330 [[biarawati]] (251 orang Eropa, 79 orang pribumi).{{sfn|Gonggong|2012|p=36}} Vikariat ini meliputi Semarang, Yogyakarta, Surakarta, [[Kudus]], [[Magelang]], [[Salatiga]], [[Kabupaten Pati|Pati]], dan [[Ambarawa]]. Keadaan geografisnya juga berbeda-beda, termasuk wilayah [[Dataran Kedu]] yang subur hingga daerah [[Pegunungan Sewu]] yang kering. Sebagian besar penduduknya orang Jawa.{{sfn|Subanar|2005|pp=44–45}} Ada lebih dari 15.000 orang Katolik pribumi di wilayah tersebut pada tahun 1940, dengan jumlah orang Katolik Eropa yang hampir sama; jumlah orang Katolik pribumi meningkat dengan cepat,{{sfn|Subanar|2005|p=49}} sehingga ada lebih dari 30.000 pada tahun 1942.{{sfn|Subanar|2005|p=61}} Ada pula sejumlah organisasi Katolik, yang sebagian besarnya bergerak di bidang pendidikan.{{sfn|Moeryantini|1975|p=11}}
=== Pendudukan Jepang ===
[[Berkas:Gedangan presbytery.JPG|
Setelah [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang memasuki Nusantara]] pada awal tahun 1942, yang tidak dapat dicegah pasukan kolonial, pada tanggal 9 Maret 1942 Guberner-Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan pemimpin [[KNIL]] Jenderal [[Hein ter Poorten]] menyerah. Ini membawa berbagai perubahan dalam pemerintahan di Nusantara dan mengurangi kualitas hidup orang non-Jepang.{{sfn|Adi|2011|pp=18–24}} Dalam buku hariannya, Soegijapranata menulis bahwa "di mana-mana ada kebakaran ... Tidak ada tentara, tidak ada
Pemerintah Jepang menangkap dan menahan ribuan pria dan wanita (sebagian besar orang Belanda), baik orang awam maupun klerus.{{efn|{{harvtxt|Subanar|2003|pp=155–163}} mencatat 109 Yesuit, 61 anggota [[Fratrum Immaculatae Conceptionis]], dan 21 biarawati dalam Ordo Carolus Borromeus yang ditahan selama periode pendudukan Jepang. Sebanyak dua belas pastor ditahbiskan dalam kurung waktu yang sama.}} Pemerintah juga menentukan kebijakan yang mengubah cara orang mengadakan misa. Penggunaan bahasa Belanda dilarang, baik yang dilafalkan maupun yang ditulis, dan sejumlah bangunan milik Gereja disita.{{sfn|Subanar|2003|pp=133–134}} Soegijapranata berusaha untuk mencegah penyitaan ini. Ia pernah mengisi gedung kosong dengan orang supaya tidak disita, dan menyatakan bahwa gedung lain, misalkan bioskop, akan lebih bermanfaat untuk Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=135}} Saat penguasa Jepang berusaha untuk menyita Katedral Semarang untuk digunakan sebagai kantor, Soegijapranata menyatakan bahwa mereka hanya boleh mengambil gereja tersebut kalau mereka memenggal kepalanya dulu; pihak Jepang kemudian menemukan tempat lain. Soegijapranata juga mencegah penyitaaan Pastoran Gedangan, tempat ia tinggal,{{sfn|Gonggong|2012|p=49}} serta menugaskan penjaga di sekolahan dan tempat lain, supaya tidak disita.{{sfn|Subanar|2003|p=139}} Namun, usaha ini tidak selalu berhasil, dan berbagai bangunan milik Gereja disita;{{sfn|Subanar|2005|p=59}} begitu pula dana Gereja.{{sfn|Subanar|2005|p=67}}
Soegijapranata tidak dapat menghentikan disiksanya [[tahanan perang]], termasuk para klerus,{{efn|Antara tahun 1942 dan 1945 sebanyak 74 pastor, 47 bruder, dan 160 biarawati dibunuh Jepang. Misalkan, Uskup Maluku dan Papua Barat Giovanni Aerts, bersama dengan sebelas bruder dan pendeta, [[Eksekusi kilat|dieksekusi kilat]] {{harv|Gonggong|2012|p=50}}. Beberapa klerus, termasuk Willekens, memanfaatkan hubungan diplomatik antara Vatikan dan Jepang untuk menyatakan diri sebagai duta, sehingga mereka dilindungi dari kekejaman Jepang {{harv|Subanar|2005|p=57}}.}}{{sfn|Subanar|2003|p=136}} tetapi diri Soegijapranata diperlakukan dengan baik oleh Jepang. Ia kerap diundang untuk upacara Jepang, tetapi tidak pernah hadir; sebagai ganti, ia mengirim karangan bunga.{{sfn|Gonggong|2012|p=48}}
Karena jumlah klerus terbatas sekali, Soegijapranata pergi dari gereja ke gereja untuk berkhotbah secara aktif; hal ini juga menangkal desas-desus bahwa ia telah ditangkap Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=140}}
=== Revolusi Nasional ===
[[Berkas:Albertus Soegijapranata, from "Mgr. A. Soegijapranata S.J., Apostolisch Vicaris van Semarang, ontving prof. mr., Bestanddeelnr 127-6-2".jpg|jmpl|ki|Soegijapranata pada tahun 1946]]
Setelah [[serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki]] dan [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia]] pada bulan Agustus 1945,{{sfn|Adi|2011|p=32}} orang-orang Jepang mulai mengundurkan diri dari negara Indonesia. Untuk mendukung kemerdekaan Indonesia, Soegijapranata memerintahkan agar sebuah [[bendera Indonesia]] dikibarkan di depan Pastoran Gedangan.{{sfn|Subanar|2003|p=146}}
[[Sekutu (Perang Dunia II)|Pasukan Sekutu]] yang ditugaskan untuk mengambil senjata Jepang dan membawa pulang tahanan perang mendarat di Indonesia pada bulan September 1945.{{sfn|Adi|2011|p=36}} Di Semarang, hal ini memicu suatu [[Pertempuran Lima Hari|pertempuran antara pihak Jepang dan Republik]], yang mulai pada tanggal 15 Oktober; orang-orang Indonesia bermaksud untuk mengambil senjata Jepang.{{sfn|Subanar|2003|p=147}} Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan Sekutu mulai mendarat di Semarang, dan beberapa di antara mereka pergi ke Gedangan untuk berbicara dengan Soegijapranata. Karena peduli akan kesengsaraan rakyat,
[[Berkas:Bintaran Church Exterior (3).JPG|
Adanya pertempuran besar di seluruh wilayah Semarang, serta terus beradanya pihak Sekutu, membuat masyarakat kota Semarang kelaparan; dan juga diberlakukannya jam malam dan pemadaman listrik. Kelompok-kelompok yang dipimpin warga sipil berusaha untuk menangani kekurangan ini, tetapi tidak mampu mengatasinya. Sebagai usaha untuk menyelesaikan masalah di Semarang, Soegijapranata mengirim seorang warga lokal ke ibu kota di [[Jakarta]] untuk membicarakannya dengan pemerintah pusat. Warga itu bertemu dengan Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]], yang mengirim [[Wongsonegoro]] ke Semarang untuk membantu dalam pembentukan pemerintahan sipil.{{sfn|Gonggong|2012|pp=68–69}} Namun, pemerintah kota itu masih tidak mampu menangani masalah di Semarang, dan beberapa pemimpinnya ditangkap oleh ''[[NICA|Nederlandsch Indië Civil Administratie]]'' (NICA) dan ditahan; Soegijapranata, biarpun kadang-kadang menyembunyikan para revolusioner Indonesia, tidak ditahan.{{sfn|Gonggong|2012|p=71}}
Pada bulan Januari 1946 pemerintah Indonesia pindah dari Jakarta – yang sudah dikuasai Belanda – ke Yogyakarta.{{sfn|Adi|2011|p=53}} Hal ini diikuti sejumlah warga sipil mengungsi dari daerah yang dikuasai Belanda. Soegijapranata awalnya tetap di Semarang, tempat ia berusaha untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan. Namun, pada tanggal 18 Januari 1947 ia akhirnya pindah ke Yogyakarta, sehingga ia bisa berkomunikasi dengan pemerintah dengan mudah.{{sfn|Gonggong|2012|pp=74–77}}{{sfn|Subanar|2005|p=79}}
[[Berkas:Sukarno and Sugiyo Pranoto 17 August 1950 KR.jpg|
Setelah tidak berhasilnya [[Perjanjian Linggajati]], yang dimaksudkan untuk menghentikan perang antara Indonesia dan Belanda, serta [[Agresi Militer Belanda I|serangan besar Belanda terhadap Indonesia]] pada tanggal 21 Juli 1947, Soegijapranata, melalui sebuah pidato di [[Radio Republik Indonesia]], menyatakan bahwa orang-orang Katolik akan bekerja sama dengan pejuang Indonesia.{{sfn|Gonggong|2012|p=82}} Soegijapranata juga banyak menulis kepada [[Tahta Suci]], yang menanggapi surat-surat Soegijapranata dengan mengirim Georges<!---Marie-Joseph-Hubert-Ghislain--> de Jonghe d'Ardoye sebagai duta ke Indonesia; ini membuka jalur diplomasi antara Vatikan dan Indonesia. D'Ardoye tiba di wilayah Republik pada bulan Desember 1947 dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]];{{sfn|Subanar|2005|p=79}} Soegijapranata di kemudian hari berteman dengan presiden.{{sfn|Prior|2011|p=69}}
Setelah [[Agresi Militer Belanda II]], ketika Belanda menduduki ibu kota di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Soegijapranata menyatakan bahwa perayaan [[Hari Natal]] tidak boleh mewah, sebab rakyat sedang sengsara.{{sfn|Gonggong|2012|pp=88–89}} Selama Belanda menguasai Yogyakarta, Soegijapranata dapat mengirim beberapa tulisannya ke luar negeri; tulisan ini, yang dimuat di majalah ''Commonweal'', mendetail kehidupan sehari-hari orang Indonesia di
=== Pasca-revolusi ===
[[Berkas:Randusari Cathedral exterior.JPG|
Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, yang diawali dengan [[Konferensi Meja Bundar]] di [[Den Haag]], Soegijapranata kembali ke Semarang.{{sfn|Gonggong|2012|p=96}} Periode pasca-revolusi ditandai dengan meningkat tajamnya jumlah orang yang masuk di seminari; pastor pribumi yang ke-100 ditahbiskan pada tahun 1956.{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} Namun, pemerintah Indonesia juga memberlakukan beberapa peraturan yang membatasi Gereja. Pada tahun 1953 [[Kementerian Agama Indonesia|Kementerian Agama]] memutuskan bahwa misionaris asing tidak akan diizinkan masuk Indonesia, sementara kebijakan lain melarang orang asing yang sudah di Indonesia dari mengajar. Untuk menghadapi hal ini, Soegijapranata membujuk klerus-klerus untuk menjadi warga negara Indonesia, sehingga mereka tidak terhalang kebijakan baru itu.{{sfn|Gonggong|2012|pp=110–111}}
Selain mengawasi para klerus baru, Soegijapranata terus bertugas supaya anak dari keluarga Katolik mendapatkan pendidikan dan bahwa keluarga mereka makmur. Ia menekankan bahwa siswa harus menjadi bukan hanya orang Katolik yang baik, tetapi juga orang Indonesia yang baik;{{sfn|Gonggong|2012|pp=97–98}} ia juga menerangkan bahwa siswa harus belajar di mana-mana, bukan hanya di sekolah.{{sfn|Gonggong|2012|p=101}} Gereja juga terus mengembangkan sarana pendidikan, dari sekolah dasar hingga universitas.{{sfn|Gonggong|2012|p=102}} Soegijapranata juga mulai mereformasi Gereja di vikariat apostoliknya, sehingga menjadi lebih Indonesia. Ia mengadvokasi penggunaan bahasa Indonesia dan daerah dalam misa; ini diizinkan mulai tahun 1956. Ia juga mendukung penggunaan musik gamelan saat misa, dan menyetujui penggunaan [[wayang]] untuk mengajar cerita [[Al Kitab]] ke anak-anak.{{sfn|Gonggong|2012|pp=104–105}}
Dengan [[Perang Dingin]] yang semakin meningkat, terjadi
Ada pula gangguan di dalam hierarki Gereja. Hubungan antara Indonesia dan Belanda masih buruk, dan adanya konflik mengenai penguasaan [[Papua bagian barat]] - daerah itu secara historis dikuasai Belanda, tetapi diklaim oleh Indonesia. Soegijapranata dengan tegas mendukung penguasaan Indonesia atas daerah tersebut. Dalam sebuah surat Soegijapranata menulis bahwa orang Indonesia terus sengsara dan bahwa Katholieke Nationale Partij di Belanda adalah penyebab hubungan buruk antara dua negara itu. Papua bagian barat digabung dengan Indonesia pada tahun 1963.{{sfn|Gonggong|2012|pp=114–116}} Ada pula gangguan pada tahun 1957 setelah Presiden Soekarno menyatakan bahwa dirinya merupakan presiden seumur hidup dan menentukan [[Sejarah Indonesia (1959-1966)|sistem Demokrasi Terpimpin]]. Faksi yang dipimpin Soegijapranata mendukung pemerintah, sementara faksi yang dipimpin Kasimo menentangnya. Soekarno lalu minta agar Soegijapranata bergabung dengan Dewan Nasional, sebuah permintaan yang ditolak Soegijapranata. Namun, ia tetap mengirim dua orang agar orang Katolik tetap diwakili.{{efn|Partai Katolik, yang menolak sistem pemerintahan baru, tidak mengirim wakil {{harv|Gonggong|2012|pp=117–118}}.}} Ini, serta dukungan Soegijapranata untuk [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]] yang menentukan kembalinya ke [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]], membuat Uskup Jakarta [[Adrianus Djajasepoetra]] menyatakan bahwa Soegijapranata seorang penjilat. Namun, Soegijapranata sangat tegas menolak gagasan [[Nasakom]], yang mendasarkan pemerintahan Indonesia pada komunisme.{{sfn|Gonggong|2012|pp=117–118}}
== Uskup Agung Semarang dan kematian ==
[[Berkas:Sogijapranata Nasional 24 July 1963.jpg|
Pada akhir dasawarsa 50-an, KWI sering mengadakan pertemuan untuk membahas perlunya hierarki Katolik Roma di Indonesia yang berdaulat. Pembahasan ini, yang diadakan setahun sekali, membahas soal administrasi serta kepastoran, termasuk penerjemahan lagu rohani ke dalam [[daftar bahasa di Indonesia|bahasa daerah]]. Pada tahun 1959, Kardinal [[Grégoire-Pierre Agagianian]] mengunjungi Indonesia untuk memeriksa persiapan Gereja. Pada bulan Mei 1960, KWI secara resmi mengajukan permohonan untuk dibentuknya Gereja Katolik Indonesia yang berdaulat; surat permohonan ini dibalas [[Paus Yohanes XXIII]], dalam surat bertanggal 20 Maret 1961, yang membagi nusantara Indonesia menjadi enam provinsi gerejawi, yaitu dua di pulau [[Jawa]], satu di [[
Saat ini terjadi, Soegijapranata berada di Eropa untuk [[Konsili Vatikan II]], mulai dengan sesi persiapan, termasuk sebagai anggota Komisi Persiapan Sentral;{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} di komisi tersebut Soegijapranata merupakan salah satu dari enam uskup dan uskup agung dari Asia.{{sfn|Cahill|1999|p=51}} Soegijapranata mengikuti sesi pertama Konsili dan menunjukkan keprihatinan akan keadaan kepastoran{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}} dan memohon agar sistem Gereja dimodernisasi.{{sfn|Cahill|1999|p=195}} Dia lalu kembali ke Indonesia, tetapi dalam kesehatan yang kurang baik.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}
Setelah dirawat di Rumah Sakit Elisabeth Candi pada tahun 1963, Soegijapranata dilarang melaksanakan tugasnya. [[Justinus Darmojuwono]], seorang mantan tahanan Jepang dan [[vikaris jenderal]] Semarang sejak tanggal 1 Agustus 1962, menjalani tugas uskup. Pada tanggal 30 Mei 1963 Soegijapranata meninggalkan Indonesia dan kembali ke Eropa untuk menghadiri pemilihan [[Paus Paulus VI]]. Ia lalu pergi ke [[Nijmegen]] dan dirawat di Rumah Sakit Canisius Hospital dari tanggal 29 Juni hingga 6 Juli; perawatan ini tidak berhasil. Soegijapranata meninggal dunia pada tanggal 22 Juli 1963 di sebuah susteran di desa [[Steyl]], Belanda; ia mengalami [[serangan jantung]] tidak lama sebelum meninggal.{{sfn|Moeryantini|1975|pp=29–31}}{{sfn|Subanar|2005|pp=113–114}}
[[Berkas:Jenazah Mgr. Soegija.jpeg|225px|jmpl|ka|Jenazah Mgr. Albertus Soegijapranata saat disemayamkan]]
Karena Soekarno tidak ingin Soegijapranata dikebumikan di Belanda, jenazah Soegijapranata diterbangkan ke Indonesia setelah doa yang dipimpin Kardinal [[Bernardus Johannes Alfrink]].{{sfn|Gonggong|2012|p=124}} Soegijapranata dinyatakan seorang [[Daftar pahlawan nasional Indonesia|Pahlawan Nasional Indonesia]] pada tanggal 26 Juli 1963 melalui Keputusan Presiden No. 152/1963, saat jenasahnya masih dalam perjalanan ke Indonesia.{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Pesawat yang membawa Soegijapranata tiba di [[Bandar Udara Kemayoran]] di Jakarta pada tanggal 28 Juli. Pada hari berikutnya jenasahnya diterbangkan ke Semarang dan, pada tanggal 30 Juli dikebumikan di [[Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal]].{{sfn|Gonggong|2012|pp=124–125}} Darmojuwono dipilih pada bulan Desember 1963 sebagai
== Warisan ==
[[Berkas:Grave of Soegijapranata.JPG|
Soegijapranata dibanggakan oleh orang Jawa yang beragama Katolik;{{sfn|Prior|2011|p=69}} mereka memuji kekuatannya selama pendudukan Jepang dan revolusi nasional.{{sfn|Moeryantini|1975|p=7}} Penulis Anhar Gonggong menyatakan bahwa Soegijapranata bukan hanya seorang uskup, melainkan pemimpin Indonesia yang "teruji sebagai pemimpin yang baik dan memang layak dijadikan pahlawan nasional."{{efn|Asli: "''... was tested as a good leader and deserved the hero status.''"}}{{sfn|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}} Sejarawan Indonesia Anton Haryono menyatakan bahwa kenaikan Soegijapranata menjadi uskup sangat "monumental", mengingat bahwa ia baru ditahbiskan sembilan tahun sebelumnya, dan tetap diangkat meskipun ada pastor lain yang lebih berpengalaman.{{sfn|Gonggong|2012|p=127}} Henricia Moeryantini, seorang suster dalam
[[Universitas Katolik Soegijapranata]] di Semarang dinamakan untuk Soegijapranata.{{sfn|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}{{sfn|Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat}} Ada pula berbagai jalan yang diberi nama Soegijapranata, termasuk di Semarang,{{sfn|Google Maps, Semarang}} [[Malang]],{{sfn|Google Maps, Malang}} dan [[Medan]].{{sfn|Google Maps, Medan}} Makam Soegijapranata di Giri Tunggal sering menjadi tempat ziarah untuk orang Indonesia yang Katolik; mereka sering mengadakan misa di tempat itu.{{sfn|Fiska 2007, Menghormati Pahlawan}}{{sfn|Suara Merdeka 2009, Semarang Metro}}
Baris 223 ⟶ 234:
|date=30 June 2007
|url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0706/30/kot15.htm
|archivedate=
|last=Fiska
|first=Modesta
|accessdate=7 July 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Fiska 2007, Menghormati Pahlawan}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite book
Baris 290 ⟶ 302:
|date=8 June 2012
|url=http://oase.kompas.com/read/2012/06/08/00441789/Hari.Pertama.Tayang.100.000.Tiket.Film.Soegija.Ludes
|archivedate=
|accessdate=3 July 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Kurniawan and Aziz 2012, Hari Pertama Tayang}}
|last1=Kurniawan
Baris 298 ⟶ 310:
|last2=Aziz
|first2=Nasru Alam
|dead-url=yes
}}
* {{cite news
Baris 307 ⟶ 320:
|date=16 May 2012
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/16/soegijapranata-a-biopic-indonesia-s-humanist-hero.html
|archivedate=
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Loka 2012, Soegijapranata : A biopic}}
|last=Loka
|first=Emanuel Dapa
|dead-url=no
}}
* {{cite news
Baris 320 ⟶ 334:
|date=5 August 2003
|url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0308/05/kot20.htm
|archivedate=
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Suara Merdeka 2003, Mengajar Umat}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite book
Baris 361 ⟶ 376:
|first=Garna
|url=http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2012/06/08/6244/Ayu-Utami-Luncurkan-Buku-Soegija
|archivedate=
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Raditya 2012, Ayu Utami}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite news
Baris 372 ⟶ 388:
|date=4 August 2009
|url=http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/cetak/2009/08/04/75263
|archivedate=
|accessdate=7 July 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Suara Merdeka 2009, Semarang Metro}}
|dead-url=no
}}
* {{cite news
Baris 385 ⟶ 402:
|date=3 June 2012
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2012/06/03/soegija-sends-a-message-humanity.html
|archivedate=
|accessdate=29 June 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Setiawati 2012, 'Soegija' sends a message}}
|last=Setiawati
|first=Indah
|dead-url=no
}}
* {{cite book
Baris 433 ⟶ 451:
[[Kategori:Yesuit Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh Katolik Indonesia]]▼
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
▲[[Kategori:Tokoh Katolik Indonesia]]
[[Kategori:Daftar pahlawan nasional Indonesia yang beragama Katolik]]
[[Kategori:Uskup Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]
[[Kategori:
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:
|