Politik Minangkabau: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Clean up, replaced: Dekrit → Dekret, added orphan tag using AWB
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(16 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Noref}}{{Refimprove}}
{{Orphan|date=Oktober 2016}}
 
[[Berkas:Pagaruyung.jpg|thumbjmpl|270px|rightka|[[Istana Pagaruyung]], simbol politik tertinggi kerajaan Minangkabau.]]
 
'''Politik Minangkabau''' adalah suatu sistem [[politik]] [[Orang Minang|masyarakat Minangkabau]] yang telah berkembang sejak berabad-abad lalu. Sistem ini berlandaskan kepada dua sistem [[Adat Minangkabau|adat di MinangkabauMinanga]], yakni sistem [[Lareh Koto Piliang|Koto Piliang]] serta [[Lareh Bodi Caniago|Bodi Caniago]].<ref>Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration, West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-1998</ref> Dalam perkembangannya, kedua sistem yang bertolak belakang ini melahirkan sistem politik Minangkabau yang berlandaskan [[demokrasi]], [[egalitarianisme|egalitarian]], dan [[keadilan sosial]].
 
Di Malaysia, sistem politik dan adat yang menganut sistem Koto Piliang dikenal dengan adat ''Temenggong''. Sedangkan sistem politik dan adat yang menganut sistem Bodi Caniago disebut dengan adat ''Perpatih''.<ref>Timothy P. Daniels, Building Cultural Nationalism in Malaysia: Identity, Representation, and Citizenship; New York, 2005</ref> Sistem Perpatih hanya berlaku di [[Negeri Sembilan]] dan bagian utara [[Melaka, Malaysia|Malaka]] saja, sedangkan kerajaan-kerajaan lainnya menganut sistem Temenggong.<ref>Michael G. Peletz, Reason and Passion: Representations of Gender in a Malay Society, Los Angeles, 1996</ref> Di Indonesia, sistem politik Minangkabau yang mengedepankan demokrasi, persamaan hak, dan keadilan sosial itu dirangkum dalam dasar negara [[Pancasila]].<ref>Prosiding Kongres Pancasila IV: Srategi Pelembagaan Nilai-nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalitas di Indonesia, Yogyakarta, 2012</ref>
Baris 10 ⟶ 11:
[[Filosofi]] politik orang Minang berakar dari [[Budaya Minangkabau|kebudayaan Minangkabau]] yang telah dikembangkan oleh dua orang tokoh [[legenda]]ris, yakni [[Datuk Ketumanggungan]] dan [[Datuk Perpatih Nan Sebatang]]. Datuk Ketumanggungan menyusun sistem adat Koto Piliang yang memiliki filosofi "berjenjang naik bertangga turun" (''bajanjang naiak batanggo turun''). Dalam [[Nagari|nagari-nagari]] yang menganut sistem politik ini dikenal adanya kedudukan [[Datuk|penghulu]] yang bertingkat-tingkat. Dari penghulu andiko, penghulu suku, sampai penghulu pucuk. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuk nagari yang tertuang dalam filosofi adat "berpucuk bulat berurat tunggang" (''bapucuak bulek, baurek tunggang''). Dalam sistem ini gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal.<ref>Taufik Abdullah, Adat and Islam: An Examination of Conflict in Minangkabau, 1966</ref>
 
Tokoh legendaris lainnya Datuk Perpatih Nan Sebatang, menyusun sistem adat Bodi Caniago dengan filosofinya "membersit dari bawah" (''mambasuik dari bawah''). Sistem ini merupakan ''anti-tesis'' dari konsep Koto Piliang yang ''hierarkis''. Konsep Bodi Caniago lebih mengedepankan konsep berdasarkan [[Musyawarah|musyawarah mufakat]]. Dalam nagari-nagari yang menerapkan sistem Bodi Caniago, kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Filosofinya "duduk sehamparan berdiri sepematang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi" (''duduak sahamparan tagak sapamatang, duduak samo randah tagak samo tinggi'').<ref>Sangguno Diradjo, Dahler Abdul Madjid, Radjo Mangkuto (Datuk); Mustika Adat Alam Minangkabau‎Minangkabau; Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1979</ref>
 
Karena adanya pertentangan dari dua sistem adat dan politik di Minangkabau itu, maka timbulah suatu ''[[sintesis]]'' politik yang mengambil corak kedua-duanya itu. Sehingga dalam perkembangannya, politik Minangkabau bisa menerapkan sistem Koto Piliang yang ''hierarkis'' beserta sistem Bodi Caniago yang ''egaliter''. Ketegangan di antara dua kubu sistem politik itu merupakan salah satu ''[[dikotomi]]'' yang memelihara keseimbangan di masyarakat.<ref name="Kahin">Audrey R. Kahin, Rebellion to Integration: West Sumatra and the Indonesian Polity, 1926-1998; 1999</ref>
Baris 16 ⟶ 17:
Untuk konsep kepemimpinan politik, masyarakat Minangkabau tidak memposisikan pemimpinnya sebagai orang yang di''[[Kultus individu|kultus]]''kan. Sehingga ketika pemimpin itu tidak amanah atas jabatannya ia bisa disanggah ataupun diganti melalui dewan adat. Hal ini berdasarkan kepada filosofi Minangkabau yang menempatkan pemimpin itu "ditinggikan seranting didahulukan selangkah" (''ditinggikan sarantiang didahulukan salangkah''). Dengan filosofi kepemimpinan politik seperti ini, Minangkabau kemudian banyak melahirkan pemimpin sejati yang rendah hati dan penuh pengabdian karena ia memahami bahwa ia hanya ditinggikan seranting serta didahulukan selangkah oleh masyarakatnya.<ref name="kompas.com">[http://nasional.kompas.com/read/2014/06/26/1617120/Ilusi.Pemimpin.Besar "Ilusi Pemimpin Besar"] ''[[Hamdi Muluk]], [[Kompas.com]]'', 26-06-2014. Diakses 27-12-2014.</ref> Atau juga berdasarkan kepada filosofi "raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah" (''rajo adia rajo disambah, rajo zalim rajo disanggah''). Adanya dewan adat yang terdiri dari para penghulu dan ninik mamak di seluruh nagari, menciptakan sistem ''check and balances'' dalam politik Minangkabau.
 
Sejak masuknya [[Islam]] ke [[Pulau SumateraSumatra|SumateraSumatra]], sistem politik Minangkabau diperkuat oleh tiga unsur (''triumvirat'') yang disebut ''Tigo Tungku Sajarangan''. Triumvirat ini terdiri dari tiga unsur masyarakat yang mencakup kaum adat, kaum cerdik pandai, dan kaum ulama.
 
* ''Kaum Adat'' diwakili oleh beberapa orang penghulu dari suku/klan yang ada dalam sistem adat Minangkabau, seperti suku [[Suku Koto|Koto]] dan [[Suku Piliang|Piliang]], [[Suku Bodi|Bodi]] dan [[Suku Caniago|Caniago]] serta berbagai suku pecahan baru lainnya. Setiap suku/klan diwakili oleh beberapa orang datuk yang merupakan kepala kaum atau keluarga besar.
* ''Kaum Ulama'' diwakili oleh orang-orang yang menguasai ilmu agama Islam, tapi tidak memegang posisi dalam struktur adat.
* ''Kaum Cerdik Pandai'' diwakili oleh orang-orang yang dianggap punya pengetahuan yang luas, pintar dan pandai, tapi juga tidak memegang posisi dalam struktur adat.
 
Ketiga unsur ini saling ber''[[interaksi]]'', ber''[[dialektika]]'', bahkan juga ber''[[konflik]]'' dalam suatu sistem politik yang diwadahi oleh suatu lembaga Kerapatan Adat Nagari. Di dalam lembaga inilah dimusyawarahkan segala sesuatu permasalahan yang ada dalam suatu nagari sehingga dapat ditemukan solusi yang disepakati oleh semua pihak demi keadilan dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Keputusan lembaga ini bersifat ''otonom'' tanpa harus meminta persetujuan dari ''[[otoritas]]'' politik yang lebih tinggi seperti raja atau gubernur.<ref>Azyumardi Azra, Mambangkik Batang Tarandam dalam Reinventing Indonesia: Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Jakarta, 2008</ref>
 
== Sejarah ==
=== Zaman Pra-Kerajaan ===
Jauh sebelum terbentuknya kerajaan-kerajaan di [[Ranah Minang|tanah Minang]], sistem sosial dan politik masyarakat Minangkabau telah dijalankan dengan prinsip yang demokratis, egaliter, dan berkeadilan sosial. Hal ini terlihat dari berlakunya sistem ''[[Nagari|kanagarian]]'' yang otonom, dimana masing-masing nagari mengatur sistem politiknya sesuai dengan tata cara dan pola kehidupan masyarakatnya. Pada masa ini nagari di Minangkabau merupakan sebuah [[republik]] mini yang memiliki otonomi dan kemerdekaannya masing-masing.<ref>Rusli Amran, SumatraSumatera Barat hingga Plakat Panjang, Jakarta, 1981</ref>
 
=== Zaman Kerajaan ===
[[Berkas:Raja_Melewar.jpg|thumbjmpl|200px|rightka|[[Raja Melewar]], Raja Minangkabau di [[Semenanjung Malaya]].]]
 
Memasuki zaman kerajaan pada abad ke-7, kehidupan politik di tanah Minang tak banyak mengalami perubahan. Para pemimpin politik biasanya juga menjadi seorang pemimpin dalam kafilah perdagangan. Semula kerajaan-kerajaan Minangkabau berkembang di sekitar hulu sungai-sungai besar. Namun untuk memperluas usaha dagang mereka, banyak di antara pemimpin tersebut yang kemudian mengembangkan [[koloni]] dagang dan kerajaan-kerajaan di perantauan. Salah satu kerajaan yang berkembang di hulu [[Sungai Kampar]] ialah [[Minanga|Kerajaan Minanga]]. Seorang pempimpin politiknya [[Dapunta Hyang Sri Jayanasa]], pada tahun 671 melakukan ekspedisi militer ke [[Kota Palembang|Palembang]] dan mendirikan [[Kerajaan Sriwijaya]].<ref>Drs. R. Soekmono, (1973 5th reprint edition in 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 38. ISBN 979-4132290X</ref> Ekspedisi ini juga bertujuan untuk memindahkan pusat kerajaannya di pedalaman ke daerah yang [[strategi]]s di tepi laut.<ref>Dr. Boechari, An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung). In Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, 1979, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional</ref> Selain Minanga, di hulu Sungai Kampar juga berdiri [[Kesultanan Kuntu]].
Baris 35 ⟶ 36:
Di daerah aliran [[Sungai Batanghari]], pada tahun 645 konfederasi politik Minangkabau dan masyarakat setempat mendirikan [[Kerajaan Melayu]]. Kerajaan ini dibentuk untuk memperkuat basis perdagangan emas Minangkabau di [[Selat Malaka]].<ref>Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula</ref> Dalam perjalanan sejarahnya, kerajaan ini kemudian menjadi [[Kerajaan Dharmasraya]], yang bercabang menjadi [[Kerajaan Pagaruyung]] dan [[Kesultanan Melaka]]. Menurut [[Thomas Stamford Raffles]], salah seorang raja Dharmasraya [[Sri Tribuwana Mauliwarmadewa]] merupakan pendiri [[Singapura]], yang kemudian anak keturunannya [[Parameswara]] mendirikan [[Kesultanan Melaka]] di [[Semenanjung Malaysia]].<ref>Raffles, T. S., (1821), ''Malay annals'' (trans. John Leyden), Longman, Hurst, Rees, Orme, and Brown</ref> Di muara [[Sungai Indragiri]], raja-raja Minangkabau juga membentuk sebuah kerajaan pada abad ke-16 yang disebut [[Kerajaan Inderagiri]].<ref>Cortesão, Armando, (1944), ''The Suma Oriental of Tomé Pires'', London: Hakluyt Society, 2 vols.</ref>
 
Karena penguasaan tambang emas di pedalaman SumateraSumatra, pada abad ke-14 hingga abad ke-18 Kerajaan Pagaruyung menjadi salah satu kerajaan yang cukup berpengaruh di [[SumateraSumatra]] dan Semenanjung Malaysia.<ref>Leonard Y. Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, 2008</ref> Sistem politik Pagaruyung terdiri dari tiga raja (''[[Rajo Tigo Selo]]'') yang dipimpin oleh ''[[Raja Alam]]'' yang bertugas melaksanakan pemerintahan. Raja Alam dibantu oleh dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu ''Raja Adat'' dan ''Raja Ibadat''. Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut ''[[Basa Ampek Balai]]'' yang terdiri dari ''Bandaro'', ''Makhudum'', ''Indomo'', dan ''[[Tuan Gadang]]''. Untuk memperkuat kedudukan Raja Alam, pemerintahan Pagaruyung juga mengangkat raja-raja ''vassal'' di seluruh SumateraSumatra.<ref>Elsbeth Locher-Scholten, Sumatran Sultanate and Colonial State: Jambi and the Rise of Dutch Imperialism, 1830-1907, 2004</ref>
 
Koloni dagang serta kerajaan orang-orang Minang juga terbentang di sepanjang pantai barat SumateraSumatra dari [[Tapak Tuan, Aceh Selatan|Tapaktuan]], [[Barus, Tapanuli Tengah|Barus]], [[Kota Sibolga|Sibolga]], [[Natal, Mandailing Natal|Natal]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], [[Kota Bengkulu|Bengkulu]], hingga [[Kabupaten Lampung Barat|Lampung Barat]]. Di wilayah ini politik Minangkabau direpresentasikan oleh [[Kesultanan Indrapura]].<ref name="Kat1">{{cite journal| last =Kathirithamby-Wells | first = J.| year = 1976| title = The Inderapura Sultanate: The Foundation of its Rise and Decline, from the Sixteenth to the Eighteenth Century| journal = Indonesia | volume = 21 | pages = 65-84}}</ref>. Di pesisir timur SumateraSumatra, politik Minangkabau direpresentasikan oleh [[Kesultanan Kota Pinang]] yang kemudian para keturunannya menjadi raja-raja di [[Kesultanan Asahan]], [[Kerajaan Pannai|Pannai]], dan Bilah.<ref>Tengku Ferry Bustamam, Bunga Rampai Kesultanan Asahan, 2003</ref> Sama seperti halnya dengan pendirian nagari-nagari di [[Dataran Tinggi Minangkabau|dataran tinggi Minangkabau]] yang mensyaratkan adanya empat suku, pendirian kota-kota dagang dan kerajaan di rantau timur-pun pada umumnya mengambil sistem politik "Datuk Empat Suku". Dimana musyawarah para datuk tersebut yang akan menentukan pemimpin dan para sultan di kerajaan.<ref>Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara, 1973</ref>
 
Pada abad ke-17, kedudukan politik Minangkabau di [[Selat Malaka]] dan Semenanjung Malaysia mulai menguat. Tahun 1718 di bawah kepemimpinan [[Abdul Jalil Syah dari Siak|Raja Kecil]], para politisi Minangkabau menduduki tahta [[Kesultanan Johor-Riau]]. Empat tahun kemudian, tahta Raja Kecil dikudeta oleh pasukan [[Suku Bugis|Bugis]] pimpinan Daeng Parani. Kemudian ia pergi ke [[Provinsi Riau|Riau]] dan mendirikan [[Kesultanan Siak Sri Inderapura]].<ref>Ahmad Jelani Halimi, Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu, Kuala Lumpur, 2008</ref> Pada tahun 1773, untuk memperkuat kedudukan politik orang Minang di Semenanjung Malaysia, masyarakat [[Negeri Sembilan]] menjemput [[Raja Melewar]] dari [[Pagaruyung]].<ref>De[[P. JosselinE. de Jong,Josselin P.de E.,Jong]] (1951), Minangkabau and Negri Sembilan, Leiden, The Hague</ref> Keturunan Raja Melewar inilah kemudian yang banyak menjadi pemimpin politik di Malaysia.
 
=== Zaman Kolonial ===
[[Berkas:SultanHRH MalaysiaTuanku IAbdul Rahman Ibni Al-Marhum Tuanku Muhammad. The Tuanku Ja'afar Royal Gallery, Seremban.jpg|150px|thumbjmpl|leftkiri|[[Abdul Rahman dari Negeri Sembilan|Tuanku Abdul Rahman]], pemimpin politik [[Malaysia]].]]
 
Pada zaman kolonial sistem politik Minangkabau tidak mendapatkan tempat yang semestinya. Nagari-nagari bukan lagi menjadi sistem politik yang otonom, namun berada di bawah ''Laras'' yang para pemimpinnya diangkat oleh kolonial [[Belanda]].<ref>Graves, Elizabeth E. (2007). ''Asal- usul Elite Minangkabau Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX''. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia</ref><ref>Franz von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckmann; Political and Legal Transformations of an Indonesian Polity: The Nagari from Colonisation to Decentralisation, 2013</ref> Akibat dianulirnya peran politik masyarakat Minang, banyak dari tokoh-tokoh Minang yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1908 terjadi Pemberontakan Anti-Pajak di seluruh [[Sumatera Barat]]. Karena aspirasi politiknya tak didengar, pada tahun 1927 sekali lagi rakyat Minangkabau melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Pemberontakan ini dimotori oleh kaum [[Islam]]-[[komunis]] di [[Silungkang, Sawahlunto|Silungkang]], [[Kota Padang|Padang]], dan [[Kota Padang Panjang|Padang Panjang]], yang kemudian memberikan dampak luas ke seluruh Hindia Belanda. Untuk meredakan ketegangan di Minangkabau, pemerintah Belanda memberikan kesempatan kepada masyarakat Minang untuk membentuk Dewan Minangkabau (''[[Minangkabau Raad]]''). Dewan ini menjadi saluran aspirasi politik Minangkabau, dimana banyak dari tokoh-tokoh Minang yang kemudian duduk menjadi anggota [[Volksraad]]. Beberapa anggota Volksraad dari ranah Minang yang cukup vokal antara lain [[Abdul Muis]], [[Agus Salim]], dan [[Jahja Datoek Kajo]].<ref name="Kahin"/>
 
Akibat sistem politik kolonial Belanda yang merugikan, banyak dari anak-anak muda Minang yang mencita-citakan kemerdekaan. Salah satu anak muda tersebut yang kemudian terinspirasi dengan sistem politik di Minangkabau ialah [[Tan Malaka]]. Ia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan mencita-citakannya menjadi sebuah negara republik. Atas perjuangannya dalam mendirikan [[Republik Indonesia]], ia kemudian dikenal sebagai "Bapak Republik Indonesia".<ref>Harry A. Poeze; Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, 2008</ref> Satu lagi tokoh politik Minang yang memiliki kedudukan cukup penting ialah [[Roestam Effendi]]. Ia merupakan satu-satunya orang [[Hindia Belanda]] yang pernah menjadi anggota parlemen (''Tweede Kamer'') di Belanda.<ref>Rampan, Korrie. Leksikon Sastra Indonesia. Balai Pustaka, 2000, Jakarta</ref>
 
Di [[Malaysia]] dan [[Singapura]], banyak pula pemuda-pemudi Minang yang berjuang menentang kolonialisme [[Inggris]]. Mereka diantaranya [[Burhanuddin al-Hilmi]], [[Ahmad Boestamam]], [[Shamsiah Fakeh]], dan [[Khatijah Sidek]]. Mereka merupakan pendiri-pendiri organisasi kemerdekaan radikal, seperti Angkatan Pemuda Insaf dan Kesatuan Melayu Muda.<ref>Zulhasril Nasir; Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau di Indonesia, Malaysia, dan Singapura; Yogyakarta, 2007</ref> Sedangkan di Singapura, [[Mohammad Eunos Abdullah]] mendirikan Kesatuan Melayu Singapura, sebuah organisasi politik yang membela hak-hak kaum [[Bangsa Melayu|Melayu]] Singapura.<ref>Anthony Milner, The Malays, Wiley-Blackwell</ref>
 
=== Era Kemerdekaan Indonesia ===
Pada masa kemerdekaan Indonesia, sistem politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter kembali mendapatkan tempat. Sistem politik ini kemudian menjadi anti-tesis bagi sistem politik besar lainnya di [[Indonesia]] yang diusung oleh [[budaya Jawa]] yang cenderung sentralistik, patron klien, dan [[Feodalisme|feodalistik]]. Dalam sejarah Indonesia merdeka, kedua sistem politik ini saling berinteraksi, bersaing, dan berdialektika dalam rangka pengelolaan negara demi pencapaian tujuan bernegara, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Baris 55 ⟶ 56:
{{Multiple image|direction=horizontal|align=right|image1=TanMalaka DariPendjara ed3.jpg|image2=Mohammad Hatta 1950.jpg|image3=SoetanSjahrir.jpg|image4=Agus Salim headshot.jpg|image5=Mohammad Natsir1.jpg|width1=70|width2=73|width3=71|width4=78|width5=86|footer=[[Tan Malaka]], [[Mohammad Hatta]], [[Sutan Sjahrir]], [[Agus Salim]], dan [[Mohammad Natsir]]; beberapa pemimpin politik penting [[Republik Indonesia|Indonesia]] dari Minangkabau.}}
 
Pada awal kemerdekaan, sistem politik Minangkabau yang termanifestasi dalam lakon politik tokoh-tokoh Minangkabau, seperti [[Hatta]], [[Syahrir]], [[Natsir]], [[Agus Salim]], [[Assaat]], dan [[Muhammad Yamin]], mendapatkan tempat yang lebih luas. Hal ini ditandai dengan berlakunya [[sistem parlementer]] yang diwarnai dengan berdirinya berbagai macam partai politik. Pada masa ini, banyak pendiri dan aktivis partai politik yang datang dari kalangan Minangkabau. Akibatnya pada masa itu [[DPR|parlemen Indonesia]] didominasi oleh politisi Minang yang berada di semua spektrum ideologi : nasionalis, sosialis, islamis, dan komunis.<ref>Fronz and Keebet von Benda-Beckmann, Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan Komunitas-komunitas Politik Minangkabau dalam Politik Lokal di Indonesia, Jakarta, 2007</ref>
 
Sistem ini berlaku sampai keluarnya [[Dekret Presiden]] pada tahun 1959. Sistem politik demokratis yang berumur 14 tahun itu kemudian berganti dengan sistem politik sentralistik dan feodalistik yang dijalankan oleh [[Presiden Soekarno]]. Sistem politik [[Demokrasi Terpimpin]] dengan kekuasaan yang hampir tak terbatas itu, tidak cocok dengan kultur politik Minangkabau yang demokratis dan egaliter. Akibatnya masyarakat Minangkabau melakukan pemberontakan [[PRRI]] (1958-1960). Pada tahun 1966, rezim Soekarno tumbang dan digantikan oleh [[Soeharto]]. Selama 32 tahun, Presiden Soeharto-pun menjalankan sistem yang hampir sama dengan pendahulunya. Namun perlakuan Soeharto yang mengakomodasi kepentingan politik Minangkabau, tidak menimbulkan riak yang bisa menyebabkan terjadinya pemberontakan. Setelah reformasi 1998, perpolitikan Indonesia kembali ke sistem demokrasi, dan memberikan [[otonomi]] yang seluas-luasnya kepada seluruh propinsi/kabupaten-kota di Indonesia. Sistem ini pada hakekatnya menyerupai sistem nagari-nagari di tanah Minang, yang menjadi cita-cita dan perjuangan para politisi Minang.<ref name="Kahin"/>
Baris 63 ⟶ 64:
 
== Pranala luar ==
* [http://www.berdikarionline.com/opini/20100726/nilai-egalitarian-dan-demokrasi-masyarakat-minangkabau.html "Nilai Egalitarian Dan Demokratis Masyarakat Minangkabau"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20130302070728/http://www.berdikarionline.com/opini/20100726/nilai-egalitarian-dan-demokrasi-masyarakat-minangkabau.html |date=2013-03-02 }}<small> ''Berdikari Online'', 26 Juli 2010. Diakses 6 Juni 2013.</small>
* [http://www.lenteratimur.com/kun-fayakun-jadilah-indonesia/ "Kun Fayakun, Jadilah Indonesia"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20130605152227/http://www.lenteratimur.com/kun-fayakun-jadilah-indonesia/ |date=2013-06-05 }}<small> ''Lentera Timur'', 12 Juli 2011. Diakses 6 Juni 2013.</small>
* [http://politik.kompasiana.com/2010/03/08/berpikir-minang-untuk-indonesia-88699.html "Berpikir Minang untuk Indonesia"] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20141014095457/http://politik.kompasiana.com/2010/03/08/berpikir-minang-untuk-indonesia-88699.html |date=2014-10-14 }}<small> ''Kompasiana''. Diakses 6 Juni 2013.</small>
 
[[Kategori:Minangkabau]]
[[Kategori:Politik di Indonesia]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia]]