Senduro, Senduro, Lumajang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
Adhiyan216 (bicara | kontrib) |
||
(48 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 7:
|kecamatan =Senduro
|kode pos =67361
|nama pemimpin =
|luas =
|penduduk =
|kepadatan =-
}}
'''Senduro''' adalah sebuah [[desa]] di [[Senduro, Lumajang|Kecamatan Senduro]], [[Kabupaten Lumajang]], [[provinsi]] [[Jawa Timur]], [[Indonesia]]. Desa Senduro
Desa Senduro mempunyai potensi di bidang pertanian dan peternakan. Salah satu produk pertanian yang diunggulkan adalah Pisang Agung sementara produk peternakan Desa Senduro mempunyai budidaya Kambing Senduro. Dua komoditas itu menjadi andalan bagi penggerak perekonomian warga.
Desa Senduro juga memiliki potensi yang sangat menarik di bidang pariwisata. Desa Senduro disebut juga sebagai Desa [[Bunga Edelweiss]]. Senduro memiliki tempat ibadah umat hindu yaitu [[Pura Mandara Giri Semeru Agung]]. Senduro juga adalah tempat seribu pemandangan yang berbeda, sehingga banyak para wisatawan yang datang ke Senduro. Senduro juga memiliki pasar pisang, sebagai pusat distribusi pisang yang merupakan Komoditas utama kota Lumajang. Senduro juga memiliki sebuah stasiun radio di frekuensi 94.7 MHz.
== Sejarah ==
Desa Senduro berdiri pada tahun 1844 bertepatan dengan tahun baru Islam. Nama Senduro konon berasal dari kata Sundoro. Sundoro adalah nama seorang pangeran asal Mataram yang kelak naik tahta menjadi raja kedua Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Hal ini dibuktikan dengan toponimi nama tempat seperti Kadipaten Lumajang hingga Kerajaan Sindura yang tercantum dalam kitab pusaka Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu Kitab Kanjeng Kyai Suryaraja yang digubah oleh Sultan Hamengkubuwono II.
Sebelum menjadi sebuah desa, Senduro adalah sebuah pedukuhan kecil bernama Sumber. Dukuh ini dipimpin oleh seorang tokoh bernama Mbah Sembrung. Dukuh Sumber sudah ada sejak era Kerajaan Kediri dan menjadi transit para peziarah yang hendak Tirtayatra menuju Gunung Semeru. Dukuh ini kemudian berkembang menjadi tiga dusun utama Desa Senduro yaitu Dusun Sumber Agung, Dusun Sumber Rejo dan Dusun Sumber Mulyo. Hingga kini nama ketiga dusun itu dipertahankan dan menjadi bagian dari Desa Senduro bersama dua dusun lainnya yaitu Dusun Jurang Langak dan Dusun Tempuran.
Meskipun berdiri mulai tahun 1844, Desa Senduro kemungkinan menjadi desa dengan kelengkapan perangkat desanya bersamaan dengan ditunjuknya Raden Hendro Kusumo sebagai Patih Afdelling pertama. Hal ini sesuai dengan metode pemilihan Kepala Desa yang pada masa lampau melibatkan Patih Afdelling sebagai panitia seleksinya. Karena Patih Hendro Kusumo ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1867 maka Desa Senduro kemungkinan baru memiliki Kepala Desa pada tahun 1867 atau sesudahnya.
[[Berkas:Tompokerso.jpg|jmpl|576x576px|Pohon Keluarga Trah Tompokerso]]
Berdasarkan penelusuran para sesepuh Desa Senduro maka pada tahun 1968 ditemukan nama seorang tokoh bernama Mbah Tompokerso. Mbah Tompokerso bukanlah nama sebenarnya. Nama asli beliau adalah Ki Demang Legawa. Ki Demang Legawa berasal dari daerah Gerbo (Pasuruan) yang ditugasi oleh Adipati Nitiadiningrat untuk menjaga kawasan keramat bernama Selarawa ([[Situs Selogending]]).
Tugas untuk menjaga kawasan Selarawa memang bukan tanpa sebab. Di tempat itu salah satu keturunan Adipati Malayakusuma yaitu Kyai Mas Tedjo Kusumo yang hidup di bawah perlindungan Pandita Amongdharma. Di kemudian hari Kyai Mas Tedjo Kusumo memimpin perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial pada tahun 1813. Perlawanan itu mengakibatkan tewasnya beberapa perwira Inggris dan Bupati Probolinggo yaitu Han Kik Ko. Kyai Mas Tedjo Kusumo memiliki seorang istri yang tidak lain adalah putri dari Ronggo Besuki yaitu Han Mi Djoen / Kyai Madiroen.
Keberadaan Desa Senduro juga tak terlepas dari keberadaan tiga langgar tua. Tiga langgar tua itu adalah Langgar Panggung, Langgar Sumber dan Langgar Kecamatan. Ketiga langgar itu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk beribadah sebelum akhirnya Masjid Besar Baitusalam didirikan untuk mengakomodir jumlah masyarakat yang sudah mulai meningkat.
Masjid Baitusalam sendiri berhubungan erat dengan sosok Raden Panji Atmo Kusumo yang saat itu menjabat sebagai Patih Afdelling Lumajang pada tahun 1886. Putra dari Raden Endro Kusumo (Patih Afdelling pertama) itu diperkirakan membidani pembangunan Masjid Baitusalam hingga akhir masa jabatannya sebagai Patih Afdelling pada tahun 1890. Masjid Baitusalam Senduro juga terhubung dengan Masjid Pondok Pesantren Giri Kusumo Demak yang juga bernama Baitusalam. Inskripsi di Masjid Giri Kusuma menunjukkan masa pembangunan masjid yang berlangsung selama 4 jam yang sesuai dengan masa pemerintahan Raden Panji Atmo Kusumo yang hanya 4 tahun.
Selain Raden Endro Kusumo, Masjid Baitusalam juga tidak terlepas dari keberadaan keluarga besar Kyai Thaha. Kyai Thaha adalah salah satu bangsawan Kesultanan Jambi yang dibuang pasca runtuhnya Kesultanan Jambi. Kyai Thaha memiliki ikatan yang sangat erat dengan Sultan Jambi terakhir yaitu Sultan Thaha Syaifudin.
Banyak bangsawan asal Jambi yang dibuang ke Senduro termasuk diantaranya adalah Ratu Mas Sina. Ratu Mas Sina dimakamkan di tengah perkebunan di Dusun Sumber Agung. Ratu Mas Sina juga menjadi dasar penamaan sumber mata air yaitu Sumber Sino. Sumber Sino sendiri adalah sebuah mata air di Dusun Sumber Rejo yang tanahnya adalah milik Haji Ibrahim (saudara kandung Kyai Thaha).
Pada tahun 1970 umat Hindu di Desa Senduro juga memprakarsai pembangunan Pura Mandara Giri Semeru Agung. Pembangunan yang juga melibatkan pemerintah Provinsi Bali tersebut dibidani oleh tokoh Senduro yang juga sekaligus keturunan Ki Demang Tompokerso yaitu Pandita Sardjo Atmo Suryo Kusumo. Pembangunan Pura yang dituakan tersebut sekaligus menunjukkan nilai-nilai toleransi yang dijaga oleh masyarakat Desa Senduro. Hingga kini pura tersebut menjadi jujugan masyarakat Bali setiap tahun pada acara Piodalan Pura Mandara Giri Semeru Agung.
== Kepala Desa ==
Berikut ini daftar Kepala Desa yang pernah memimpin Desa Senduro hingga saat ini.
{| class="wikitable"
|+
!No
!Nama
!Tahun
!Masa Jabatan
!Trah Tompokerso
|-
|1
|Kemadi
|Mulai th.1867
|
|Mbok Saminten
|-
|2
|Demo
|
|
|Tidak diketahui
|-
|3
|Kayah
|1872 - 1881
|09 tahun
|Tidak diketahui
|-
|4
|Uriyah
|1881 - 1892
|11 tahun
|Tidak diketahui
|-
|5
|Djojo Dirun
|1892 - 1899
|07 tahun
|Tidak diketahui
|-
|6
|Saekat Sanun
|1899 - 1912
|13 tahun
|Tidak diketahui
|-
|7
|Seneri
|1912 - 1917
|05 tahun
|Tidak diketahui
|-
|8
|Murti
|1917 - 1927
|10 tahun
|Tidak diketahui
|-
|9
|Surodjojo
|1927 - 1956
|29 tahun
|Berasal dari Jambekumbu
|-
|10
|Seleman
|1956 - 1977
|21 tahun
|Mbok Saminten
|-
|11
|Likoen
|1977 - 1990
|13 tahun
|Berasal dari Lumajang
|-
|12
|Ridwan Suwadi bin Surodjojo (Kepala Desa ke 9)
|1990 - 2006
|16 tahun
|Mbah Garnam
|-
|13
|Sulchan bin Djumain bin Mochtar bin Wirio bin Soemodiwirjo bin Kyai Mas Tedjo Kusumo
|2006 - 2013
|07 tahun
|Mbok Saminten
|-
|14
|Farid Rahman H bin Ridwan Suwadi (Kepala Desa ke 12)
|2013 - Sekarang
|Petahana
|Mbah Garnam
|}
== Referensi ==
# Shofi, Muhammad Aminuddin (2020). Konversi Agama Pasca Pernikahan Perspektif Teori Sistem Hukum dan Sadd Al-Dzari'ah (Studi di Kabupaten Lumajang). Tesis Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2020.
# Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
# Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". ''The Leiden University Scholarly Repository''.
{{Senduro, Lumajang}}
{{
{{Kelurahan-stub}}
|