Tafsir Al-Qur'an: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Robot: Perubahan kosmetika
BETUL
 
(50 revisi perantara oleh 28 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{islamQuran|tafsir}}
'''TafsirQur'an''' ({{lang-ar|تفسير القرآن}}) adalah ilmu pengetahuan untuk memahami shamil dan qalifffnnn. enafsirkan yang bersangkutan dengan [[Al-Qur'an]] dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al-Qur'an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya. Kebutuhan [[Muslim|u]] terhadap tafsir Al-Qur'an, sehingga makna-maknanya dapat dipahami secara penuh dan menyeluruh, merupakan hal yang mendasar dalam rangka melaksanakan perintah [[Allah]] (Tuhan dalam Islam) sesuai yang dikehendaki-Nya.{{sfn|Mir}}
{{Quran}}
{{utama|Ilmu Al-Qur'an}}
'''Tafsir Al-Qur'an''' adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang bersangkutan dengan Al-Qur'an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak di pahami dan samar artinya, dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab saja tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya, Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an, terdapat dua bentuk penafsiran yaitu at-tafsîr bi al- ma’tsûr dan at-tafsîr bi- ar-ra’yi, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
 
Dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur'an diperlukan bukan hanya pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga berbagai macam ilmu pengetahuan yang menyangkut Al-Qur'an dan isinya. Ilmu untuk memahami Al-Qur'an ini disebut dengan Ushul Tafsir atau biasa dikenal dengan Ulumul Qur'an ([[Ilmu Al-Qur'an|ilmu-ilmu Al-Qur'an]]). Terdapat tiga bentuk penafsiran yaitu Tafsîr bil ma’tsûr, at-tafsîr bir ra’yi, dan tafsir isyari, dengan empat metode, yaitu ijmâli, tahlîli, muqârin dan maudhû’i. Sedangkan dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.
Tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu). Menurut pengertian terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
 
Usaha menafsirkan Al-Qur’anQur'an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam{{SAW}} sendiri. ‘Ali ibn Abi Thâlib (w. 40 H), ‘Abdullah ibn ‘Abbâs (w. 68 H), ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’anQur'an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.<ref>as{{sfn|As-Suyûthi,Suyuthi|p=187}} al-ItqânRAZIN fiDENGAN ‘UlûmZAFRAN al-Qur’ân, Dâr al-Fikr, hlm. 187.</ref>GAGAGAGA
 
== Definisi ==
''Tafsīr'' ({{lang-ar|تفسير}}) adalah kata berakar [[triliteral]] ''f-s-r''. ''F-s-r'' ({{lang|ar|ف-س-ر}} bermakna (1) ''tampak dan jelasnya sesuatu''; (2) ''penyingkapan makna yang samar''.{{sfn|Ath-Thayyar|1993|p=11}} Secara istilah, tafsir (Qur'an) adalah penjelasan firman [[Allah (Islam)|Allah]] yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad.{{sfn|Ath-Thayyar|1993|p=11}} [[As-Suyuthi]] menukil dari az-Zarkasyi, menjelaskan pengertian tafsir sebagai "ilmu untuk memahami kitab [[Allah]] yang diturunkan kepada Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya."{{sfn|As-Suyuthi|p=187}}
 
Sedangkan menurut istilah, ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapat mengenai pengertian tafsir menurut istilah.
 
=== Abu Hayyan dalam Kitab A-Bahru Al-Muhith ===
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana mengucapkan lafadz Al-Qur’an (ilmu qira’at), madlulnya (ilmu bahasa arab), hukumnya baik yang bersifat tunggal atau dalam untaian kalimat (ilmu sharaf, ilmu I’rab, ilmu bayan, dan ilmu badi’), dan makna-maknanya yang terkandung dalam tarkib (ilmu hakikat dan majaz) serta terkait dengan itu (termasuk di dalamnya ilmu nasakh, mansukh, asbabun-nuzul dan lainnya).<ref>{{Cite book|last=Sarwat|first=Ahmad|title=Ilmu Tafsir Sebagai Pengantar|url-status=live}}</ref>
 
=== Az-Zarkashi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an ===
Tafsir adalah ilmu yang mengenal Kitabullah (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
 
Dapat disimpulkan, tafsir adalah ilmu yang mempelajari inti kandungan kitab Al-Qur’an yang diturunklan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta penjelasan maknanya.
 
== Urgensi tafsir Al-Qur'an dalam Islam ==
Al-Qur’anQur'an diturunkan kepada [[Muhammad|Nabi Muhammad]] shallallahu 'alaihi wa sallam melalui [[malaikatMalaikat Jibril]] dalam [[bahasa Arab]] dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar [[aqidah]], kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang lurus dalam berpikir dan beramal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal [[Al-Qur’an]]Qur'an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir [[Al-Qur'an]].{{sfn|Al-Utsaimin|2001|p=23}}
 
Tujuan pewahyuan Al-Qur'an adalah tadabbur. ''Tadabbur'' adalah merenungi lafal-lafal {{nowrap|Al-Qur'an}} untuk memahami maknanya. Allah berfirman, "Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran."{{Cite quran|38|29}} Jika tidak ada tadabbur, maka manusia akan kehilangan hikmah tersebut dan lafal-lafal Al-Qur'an tidak akan memberi pengaruh. Firman Allah yang lain, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?"{{Cite quran|47|24}} Allah mencela orang-orang yang tidak men-''tadabbur''-i Al-Qur'an serta menyebutkan tentang terkuncinya dan tidak adanya kebaikan pada hati mereka.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|p=23}}
 
Ulama-ulama terdahulu berpendapat atas wajibnya mempelajari tafsir Al-Qur'an. Mereka mempelajari lafal dan makna Al-Qur'an sehingga mereka bisa melaksanakan amal yang Allah maksudkan dalam Al-Qur'an. Tidak mungkin melakukan suatu amal yang tidak diketahui hakikat maknanya.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|p=23}}
 
Abu Abdirrahman as-Sulamiy berkata, "Orang-orang yang mengajari kami Al-Qur'an, seperti [[Utsman bin Affan]] dan [[Abdullah bin Mas'ud]], ketika belajar sepuluh ayat dari Al-Qur'an kepada Nabi, mereka tidak meminta tambah sampai mereka memahami ilmu dan amal yang terkandung di dalamnya. Mereka berkata, 'Oleh sebab itu, kami mempelajari Al-Qur'an sekaligus ilmu dan amal.'"{{sfn|Al-Utsaimin|2001|pp=23-24}}
 
== Sejarah tafsir Al-Qur'an ==
Sejarah ini diawali dengan masa [[Muhammad|Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam{{SAW}} masih hidup seringkalisering kali timbul beberapa perbedaan pemahaman tentang makna sebuah ayat. Untuk itu mereka dapat langsung menanyakan pada [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam{{SAW}}. Secara garis besar ada tiga sumber utama yang dirujuk oleh para sahabat dalam menafsirkan [[Al-Qur'an]] :
# [[Al-Qur'an]] itu sendiri karena kadang-kadang satu hal yang dijelaskan secara [[global]] di satu tempat dijelaskan secara lebih terperinci di ayat lain.
# [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam semasa masih hidup para [[sahabat]] dapat bertanya langsung pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tentang makna suatu ayat yang tidak mereka pahami atau mereka berselisih paham tentangnya.
# [[Ijtihad]] dan Pemahaman mereka sendiri karena mereka adalah orang-orang [[Bangsa Arab|Arab]] asli yang sangat memahami makna perkataan dan mengetahui aspek kebahasaannya. Tafsir yang berasal dari para sahabat ini dinilai mempunyai nilai tersendiri menurut jumhur ulama karena disandarkan pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terutama pada masalah [[azbabun nuzul]]. Sedangkan pada hal yang dapat dimasuki ra’yi maka statusnya terhenti pada [[sahabat]] itu sendiri selama tidak disandarkan pada [[Rasulullah]] shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Para [[sahabat]] yang terkenal banyak menafsirkan [[Al-Qur'an]] antara lain empat [[khalifah]] , [[IbnIbnu Mas’udMas'ud]], [[IbnIbnu Abbas]], [[UbaiUbay bin Ka’bKa'ab]], [[Zaid bin Tsabit]], [[Abu Musa al-Asy’ari]], [[Abdullah bin Zubair]]. Pada masa ini belum terdapat satupun pembukuan tafsir dan masih bercampur dengan [[haditshadis]].
 
Sesudah generasi sahabat, datanglah generasi [[tabi’in]] yang belajar [[Islam]] melalui para sahabat di wilayah masing-masing. Ada tiga kota utama dalam pengajaran [[Al-Qur'an]] yang masing-masing melahirkan [[madrasah]] atau [[madzhab]] tersendiri, yaitu
* [[Mekkah]] dengan madrasah [[IbnIbnu Abbas]] dengan murid-murid antara lain [[Mujahid ibn Jabir]], [[Atha ibnbin Abi RibahRabah]], [[Ikrimah Maula Ibn Abbas]], [[Thaus ibn Kisan al-Yamani]] dan [[Said ibn Jabir]].,
* [[Madinah]] dengan madrasah [[Ubay ibn Ka’ab]]Ka'ab dengan murid-murid [[Muhammad ibnbin Ka’abKa'ab al-Qurazhi]], [[Abu al-Aliyah ar-Riyahi]] dan [[Zaid ibnbin Aslam]], dan
* [[Irak]] dengan madrasah [[IbnIbnu Mas’ud]]Mas'ud dengan murid-murid [[al-Hasan al-Bashri]], [[Masruq ibn al-Ajda]], [[Qatadah ibn-Di’amahbin Da'amah]], [[Atah ibn Abi Muslim al-Khurasani]] dan [[Marah al-Hamdani]].
 
Pada masa ini tafsir masih merupakan bagian dari [[hadits]]hadis namun masing-masing [[madrasah]] meriwayatkan dari guru mereka sendiri-sendiri. Ketika datang masa [[kodifikasi]] haditshadis, riwayat yang berisi tafsir sudah menjadi bab tersendiri namun belum [[sistematis]] sampai masa sesudahnya ketika pertama kali dipisahkan antara kandungan hadits dan tafsir sehingga menjadi kitab tersendiri. Usaha ini dilakukan oleh para ulama sesudahnya seperti [[IbnIbnu Majah]], [[IbnIbnu Jarir atath-Thabari]], [[Abu Bakr ibn al-Munzir an-Naisaburi]] dan lainnya. Metode pengumpulan inilah yang disebut [[tafsir#Tafsir bi al-MatsurMa`tsur|tafsir ''bil Ma`tsur'']].
 
Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa [[Dinasti]] [[Abbasiyah]] menuntut pengembangan [[metodologi]] tafsir dengan memasukan unsur [[ijtihad]] yang lebih besar. Meskipun begitu mereka tetap berpegangan pada [[Tafsirtafsir bi al-Matsur]]Ma`tsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai [[#Tafsir bi ar-Ra'yi|tafsir bi alar-rayra'yi]] yang memperluas [[ijtihad]] dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran [[tasawuf]] melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir [[isyarah#Tafsir Isyari|tafsir isyari]].
 
== BentukRujukan dalam Tafsir Al-Qur'an ==
Al-Utsaimin menjelaskan bahwa tafsir Al-Qur'an merujuk pada sumber-sumber berikut.{{sfn|Al-Utsaimin|2001|pp=25-28}}
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
<ul><li>'''Pertama: Kalamullah''' (Al-Qur'an ditafsirkan dengan Al-Qur'an), maksudnya ditafsirkan dengan ayat lain, karena Allah adalah Yang menurunkan Al-Qur'an sehingga lebih mengetahui apa yang dikehendaki ayat. Contoh:
<ol>
<li>firman Allah
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
|attr1=[[Surah Yunus|QS Yunus [10]]]: 62
|Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.}}
Lafal "أَوْلِيَاءَ اللَّهِ" (''awliyâ` Allah'', wali-wali Allah) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
{{Verse translation|italicsoff=j|rtl1=q
|الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
|attr1=QS Yunus [10]: 63
|(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.}}</li>
<li>firman Allah SWT
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|وَمَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ
|attr1=[[Surah At-Tariq|QS At-Tariq [86]]]: 2
|tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu?}}
Lafal "الطارق" (''ath-thâriq'', yang datang pada malam hari) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|النَّجْمُ الثَّاقِبُ
|attr1=QS At-Tariq [86]: 3
|(yaitu) bintang yang cahayanya menembus,}}</li>
<li>firman Allah
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|وَالأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا
|attr1=[[Surah An-Nazi'at|QS An-Nazi'at [79]]]: 30
|Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya}}
Lafal "دَحَاهَا" (''daḥâhâ'', dihamparkan-Nya) ditafsirkan dengan firman-Nya pada ayat berikutnya:
{{Verse translation|italicsoff=h|rtl1=hh
|أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا
وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا
|attr1=QS An-Nazi'at [79]: 30
|Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,}}</li></ol></li>
 
<li>'''Kedua: perkataan Rasulullah''' (maksudnya Al-Qur'an ditafsirkan dengan as-sunnah), karena Rasulullah adalah pembawa kabar dari Allah sehingga Rasulullah adalah manusia yang paling mengetahui maksud Allah pada firman-Nya. Contoh:
=== Tafsir bi al-Matsur ===
{{Verse translation|italicsoff=y|rtl1=y
Dinamai dengan nama ini (dari kata ''atsar'' yang berarti [[sunnah]], [[hadits]], jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang [[mufassir]] menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada [[Nabi SAW|Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam]]. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang [[shahih]] yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah karena ia berfungsi sebagai penjelas [[Kitabullah]], dengan perkataan sahabat karena merekalah yang dianggap paling mengetahui Kitabullah, atau dengan perkataan tokoh-tokoh besar [[tabi'in]] karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
|لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
|attr1=QS Yunus [10]: 26
|Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.}}
Nabi menafsirkan lafal "زِيَادَةٌ" (''ziyâdah'', tambahannya) dengan 'melihat wajah Allah', berdasarkan riwayat dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan [[Ibnu Abi Hatim]] tanpa adanya kesamaran dari Abu Musa{{refn|Ibnu Abi Hatim mengeluarkannya dalam tafsirnya 6/1945, hadis no. 10341. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam ''Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd'' cetakan kedua 3/458-459, hadis no. 785.}} dan Ubay bin Ka'ab{{refn|Ath-Thabari mengeluarkannya dalam tafsirnya 15/69, hadis no. 17633. Al-Lalikai mengeluarkannya dalam ''Syarḥ Ushûl al-I'tiqâd'' cetakan kedua 3/456.}}.</li>
 
<li>'''Ketiga: perkataan sahabat''', terutama ulama mereka dan yang memiliki perhatian terhadap tafsir, karena Al-Qur'an turun dengan bahasa mereka, pada masa mereka. Mereka adalah orang-orang yang paling jujur dalam mencari kebenaran, lebih selamat dari hawa nafsu, dan lebih bersih dari perselisihan yang memecah belah mereka. Contoh:
Contoh tafsir Al Qur'an dengan Al Qur'an antara lain:
{{Verse translation|italicsoff=y|rtl1=y
|وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ
|attr1=[[Surah An-Nisa'|QS An-Nisa' [4]]]: 43
|Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan}}
Telah sahih kabar dari Ibnu Abbas RA bahwa dia menafsirkan 'menyentuh perempuan' dengan 'hubungan badan'.</li>
 
<li>'''Keempat: perkataan tabi'in''' yang perhatian untuk mengambil tafsir dari para sahabat{{refn|terutama Tabi'in kibar (lebih banyak bertemu sahabat)}}, karena mereka adalah generasi terbaik setelah sahabat, lebih selamat dari hawa nafsu daripada generasi setelahnya, dan bahasa Arab belum banyak berubah pada masa mereka. Oleh karena itu, mereka lebih dekat kepada kebenaran dalam menafsirkan Al-Qur'an daripada generasi setelahnya.
''"wa kuluu wasyrobuu hattaa yatabayyana lakumul khaithul abyadhu minal khaithil aswadi minal fajri...."'' ([[Surat Al Baqarah]]:187)
 
[[Ibnu Taimiyah]] berkata dalam ''Majmu' al Fatawa'', "Apabila terdapat konsensus di antara para tabi'in, maka argumen mereka tidak dapat diragukan. Jika terdapat perbedaan, maka argumen-argumen mereka tidak bisa dipertentangkan dan tidak pula menentang argumen orang dari masa setelah mereka. Perbedaan itu dikembalikan kepada bahasa Al-Qur'an, sunnah, atau keumuman bahasa Arab atau perkataan sahabat atas hal itu."
Kata ''minal fajri'' adalah tafsir bagi apa yang dikehendaki dari kalimat ''al khaitil abyadhi''.
 
</li>
Contoh Tafsir Al Qur'an dengan [[Sunnah]] antara lain:
 
<li>'''Kelima: konsekuensi makna syar'i atau bahasa berdasarkan konteks terhadap suatu kalimat''' berdasarkan firman Allah yang artinya, "''Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu,''"{{refn|Maksud 'yang telah Allah wahyukan kepadamu' adalah yang telah Allah tunjukkan kepadamu.}} ([[Surah An-Nisa'|QS An-Nisa' [4]]]: 105), "''Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya),''" ([[Surah Az-Zukhruf|QS Az-Zukhruf [43]]]: 3) dan "''Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, suapay ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.''" ([[Surah Ibrahim|QS Ibrahim [14]]]: 4)
''"alladziina amanuu wa lam yalbisuu iimaanahum bizhulmin......"'' ([[Surah Al-An'am|Surat Al An'am]]: 82)
 
Jika makna syar'i bertentangan dengan makna bahasa, maka diambil konsekuensi makna syar'i, kecuali terdapat dalil yang menguatkan makna bahasa sehingga diambil konsekuensi makna bahasa. Hal itu dikarenakan Al-Qur'an turun untuk menjelaskan syariat, bukan untuk menjelaskan bahasa.
Rasulullah s.a.w.menafsirkan dengan mengacu pada ayat :
 
Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna syar'i, firman Allah tentang orang-orang munafik:
''"innasy syirka lazhulmun 'azhiim"'' ([[Surat Luqman]]: 13)
 
{{Verse translation|italicsoff=o|rtl1=k
Dengan itu Dia menafsirkan makna ''zhalim'' dengan [[syirik]].
|وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَداً
|attr1=[[Surah At-Taubah|QS At-Taubah [9]]]: 84
|Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,}}
 
(Dalam ayat terdapat kata yang bermakna ''as-shalah'', kemudian diterjemahkan 'menyembahyangkan.') Salat secara bahasa artinya doa, sedangkan secara syar'i dalam ayat ini adalah berdiri di samping jenazah untuk mendoakannya dengan cara-cara khusus. Dengan demikian makna syar'i didahulukan, karena memang hal itulah yang dimaksud oleh Yang berbicara dan yang dipahami oleh yang mendengar. Adapun larangan berdoa untuk mereka secara mutlak diambil dari dalil lain.
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: [[Tafsir Ibnu Jarir]], [[Tafsir Abu Laits As Samarkandy]], [[Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur]] (karya [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin As Sayuthi]]), [[Tafsir Ibnu Katsir]], [[Tafsir Al Baghawy]] dan [[Tafsir Baqy ibn Makhlad]], [[Asbabun Nuzul]] (karya [[Al Wahidy]]) dan [[An Nasikh wal Mansukh]] (karya [[Abu Ja'far An Nahhas]]).
 
Contoh terjadinya perselisihan makna bahasa dan syar'i, kemudian diambil makna bahasa dengan dukungan dalil, firman Allah SWT
=== Tafsir bi ar-Rayi ===
 
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah [[Abbasiyah]] maka tafsir ini memperbesar peranan [[ijtihad]] dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu [[bahasa Arab]], ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur'an, [[hadits]] dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
{{Verse translation|italicsoff=y|rtl1=y
|خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ
|attr1=QS At-Taubah [9]: 103
|Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka.}}
 
(Dalam ayat terdapat kata yang bermakna ''as-shalah'', kemudian diterjemahkan 'mendoalah.') Maksud salat di sini adalah doa berdasarkan dalil HR Muslim{{refn|Muslim mengeluarkannya di halaman 849, Kitab Zakat, Bab 54: Doa untuk orang yang membayar zakat, hadis no. 1078.}} dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa Nabi pernah ketika menerima zakat orang-orang, berdoa (bersalawat) untuk mereka. Kemudian datang Abi Aufa menyerahkan zakatnya, kemudian Nabi berdoa, "''Allâhumma shalli 'alâ âli Abî Awfa'' (Ya Allah, semoga salawat tercurahkan kepada keluarga Abi Aufa)."{{refn|Hukum bersalawat kepada selain Nabi dan keluarganya diperselisihkan ulama. Yang membolehkan memberi syarat: (1) mengikuti salawat kepada Nabi, (2) karena seseorang melakukan perbuatan baik sebagai bentuk rasa terima kasih, (3) tidak dianggap syiar agama Islam.}}
 
</li></ul>
 
== Bentuk Tafsir Al-Qur'an ==
Adapun bentuk-bentuk tafsir Al-Qur'an yang dihasilkan secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga:
 
=== Tafsir bi al-Ma`tsur ===
Dinamai dengan nama ini (dari kata ''atsar'' yang berarti [[sunnah]], [[hadits]], jejak, peninggalan) karena dalam melakukan penafsiran seorang [[mufassir]] menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya, terus sampai kepada [[Nabi SAW|Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam]]. Tafsir bi al-Matsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang [[shahih]] yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas [[Kitabullah]], dengan perkataan sahabat. Para sahabatlah yang dianggap paling memahami Kitabullah. Setelah itu barulah perkataan tokoh-tokoh besar [[tabi'in]], karena mereka pada umumnya menerimanya dari para sahabat.
 
Menurut Al-Zarkasyi istilah tafsir Bil Al-matsur merupakan gabungan dari tiga fakta tafsir, bi, dan al-ma’tsur. Secara bahasa tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Bi berarti dengan. Sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil. Sedangkan secara etimologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu :
 
“Tafsir bi al-ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.
 
Diatas telah dibahas tentang perbedaan dalam memaknai tafsir bi al-ma’tsur. Pertama adalah pendapat yang meyakini tafsir bi al-ma’tsur dengan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadits, pendapat sahabat, dan tabi’in. kedua, tafsir yang berupa kompilasi penafsiran nabi, shahabat, dan tabi’in. sekilas redaksionalnya berdekatan, namun hakikat dari kedua definisi ini sangat jauh berbeda.
 
Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat mempunyai nilai tersendiri. Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat mempunyai status hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’yu maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah.
 
Tafsir-tafsir bil ma'tsur yang terkenal antara lain: [[Tafsir al-Tabari|Tafsir Ibnu Jarir]], [[Tafsir Abu Laits As Samarkandy]], [[Tafsir Ad Dararul Ma'tsur fit Tafsiri bil Ma'tsur]] (karya [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin As Sayuthi]]), [[Tafsir Ibnu Katsir]], [[Tafsir Al Baghawy]] dan [[Tafsir Baqy ibn Makhlad]], [[Asbabun Nuzul]] (karya [[Al Wahidy]]) dan [[An Nasikh wal Mansukh]] (karya [[Abu Ja'far An Nahhas]]).
 
=== Tafsir bi ar-Ra'yi ===
Seiring perkembangan zaman yang menuntut pengembangan metode tafsir karena tumbuhnya ilmu pengetahuan pada masa Daulah [[Abbasiyah]] maka tafsir ini memperbesar peranan [[ijtihad]] dibandingkan dengan penggunaan tafsir bi al-Matsur. Dengan bantuan ilmu-ilmu [[bahasa Arab]], ilmu qiraah, [[Ilmu Al-Qur'an|ilmu-ilmu Al-Qur'an]], [[hadits]] dan ilmu hadits, ushul fikih dan ilmu-ilmu lain seorang mufassir akan menggunakan kemampuan ijtihadnya untuk menerangkan maksud ayat dan mengembangkannya dengan bantuan perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang ada.
 
Contoh Tafsir bir ra'yi dalam Tafsir Jalalain:
Baris 56 ⟶ 146:
''“khalaqal insaana min 'alaq”'' ([[Surat Al Alaq]]: 2)
 
Kata ''{{'}}alaq'' disini diberi makna dengan bentuk jamak dari lafaz ''{{'}}alaqah'' yang berarti segumpal [[darah]] yang kental.
 
Adapun istilah ''tafsir bir-ra’yi'' dijadikan sebagai lawan dari ''tafsir bil ma’tsur'', dengan makna ra’yu adalah logika, pendapat, akal dan opini. Maksudnya sumber penafsiran suatu ayat bukan didasarkan pada riwayat dan sanad yang sampai ke shahabat atau Rasulullah SAW, melainkan penjelasannya datang dari diri sang mufassir sendiri. Kadang juga diistilahkan dengan tafsir bid-dirayah dimana maknua dirayah itu sama saja dengan makna ra’yu, yaitu yang artinya mengerti, mengetahui, dan memahami. Bahkan menurut Syekh Muhammad Ali As-Shobuni yang dimaksud ra’yu adalah al-ijtihad.
 
Tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan istilah tafsir bi al-ma’qul, tasfir bi al-ijtihad atau tafsir bi al-istinbath yang secara selintas mengisyratkan tafsir ini lebih berorentasi kepada penalaran ilmiah yang bersifat aqli (rasional) dengan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai tafsir bi al-ra’yi. Akan halnya ijtihad yang memungkinkan hasilnya benar atau salah, maka tafsir bi al-ra’yi juga demikian adanya. Ada yang dianggap benar yang karenanya maka layak dipedomani, tetapi ada juga yang dianggap salah atau menyimpang dan karenanya maka harus dijauhi.
 
Misalnya ketika menjelaskan makna bahasa suatu kata dalam Al-Quran, sang mufassir menjelaskan bahwa secara makna bahasa, kata yang dimaksud itu punya akar kata terentu dan juga dijelaskan bagaimana penggunaannya oleh orang Arab. Tentu penjelasan secara kebahasaan seperti ini tidak datang dari Nabi SAW, para shahabat atau tabi’in, melainkan datang dari diri sang mufassir sendiri yang mana dia memang ahli di bidang bahasa Arab. Atau misalnya ketika seorang mufassir menjelaskan pelajaran yang bermanfaat yang didapat dari suatu ayat, tentu saja ini pun tidak ada penjelasan dari Nabi SAW atau atsar para shahabat. Sebab menguraikan pelajaran serta hikmah apa yang bisa didapat dari suatu ayat tentu bisa dilakukan oleh setiap orang.
 
Dan di masa modern para ilmuwan dan pakar ilmu pengetahuan seringkali mengaitkan informasi di dalam suatu ayat dengan apa-apa yang mereka temukan dalam fakta-fakta ilmiyah. Tentu temuan mereka ini juga tidak bersumber dari atsar, melainkan dari hasil pengamatan mereka sendiri serta fakta-fakta dalam ilmu pengetahuan sendiri. Maka semua hal itu oleh kebanyakan ulama masih dianggap sebagai bagian dari bentuk penafsiran Al-Quran, dan dinamakanlah dengan istilah tafsir ''bir-ra’yi'', sebagai antitesis dari tafsir ''bil ma’tsur''. Dalam implementasinya, tafsir bir-ra’yi ini oleh para ulama dibagi menjadi dua macam, yaitu tafsir dengan logika yang terpuji dan tasfir dengan logika yang tidak terpuji. Memang begitulah istilah yang digunakan, yaitu terpuji dan tidak terpuji. Nampaknya penggunaan istilah ini ingin menghindari klaim benar atau salah
 
Beberapa tafsir bir ra'yi yang terkenal antara lain: [[Tafsir Al Jalalain]] (karya [[Jalaluddin al-Mahalli|Jalaluddin Muhammad Al Mahally]] dan disempurnakan oleh [[Jalaluddin as-Suyuthi|Jalaluddin Abdur Rahman As Sayuthi]]),[[Tafsir Al Baidhawi]], [[Tafsir Al Fakhrur Razy]], [[Tafsir Abu Suud]], [[Tafsir An Nasafy]], [[Tafsir Al Khatib]], [[Tafsir Al Khazin]].
Baris 72 ⟶ 170:
 
== Metodologi Tafsir Al-Qur'an ==
Metodologi Tafsir dibagi menjadi empat macam., Yaituyaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.
 
=== Metode Tahlili (Analitik) ===
Metode ini adalah yang paling tua dan paling sering digunakan. Menurut Muhammad Baqir ash-Shadr, metode ini, yang ia sebut sebagai metode tajzi'i, adalah metode yang mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat [[Al-Qur’an]]Qur'an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat alAl-Qur`'an sebagaimana tercantum dalam alAl-Qur`'an.
 
Tafsir ini dilakukan secara berurutan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal hingga akhir sesuai dengan susunan Al-Qur'an. Dia menjelaskan kosa katakosakata dan lafazh, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur [[I’jazI'jaz al-Qur'an|i’jaz]], [[balaghah]], dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diambil dari ayat yaitu [[hukum]] [[fiqih]], [[dalil syar’i]], arti secara bahasa, [[Norma (sosiologi)|norma]]-norma]] akhlak dan lain sebagainya.
 
Menurut [[Malik bin Nabi]], tujuan utama ulama menafsirkan Al-Qur'an dengan metode ini adalah untuk meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemukzizatankemukjizatan Al-Qur'an, sesuatu yang dirasa bukan menjadi kebutuhan mendesak bagi umat [[Islam]] dewasa ini. Karena itu perlu pengembangan metode penafsiran karena metode ini menghasilkan gagasan yang beraneka ragam dan terpisah-pisah .
 
Kelemahan lain dari metode ini adalah bahwa bahasan-bahasannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga mengesankan bahwa uraian itulah yang merupakan pandangan Al-Qur'an untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini dirasa terlalu “mengikat” generasi berikutnya.
Baris 89 ⟶ 187:
 
=== Metode Muqarin ===
Tafsir ini menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan [[hadits]], atau antara pendapat-pendapat para [[ulama]] tafsir dengan menonjolkan perbedaan tertentu dari obyekobjek yang diperbandingkan itu.
 
=== Metode Maudhu’i (Tematik) ===
Tafsir berdasarkan tema, yaitu memilih satu tema dalam alAl-Qur'an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut. Metode ini adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mempunyai tujuan satu, yang bersama-sama membahas topik atau judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain kemudian mengambil hukum-hukum darinya.
 
== Macam tafsir Al-Qur'an ==
Setiap penafsir akan menghasilkan corak tafsir yang berbeda tergantung dari latar belakang ilmu pengetahuan, aliran kalam, mahzab [[fiqih]], kecenderungan [[sufisme]] dari [[mufassirahli tafsir]] itu sendiri sehingga tafsir yang dihasilkan akan mempunyai berbagai corak. [[Abdullah Darraz]] mengatakan dalam [[an-Naba’ al-Azhim]] sebagai berikut:
 
{{cquote|Ayat-ayat Al-Qur'an bagaikan [[intan]], setiap sudutnya memancarkan [[cahaya]] yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat.}}
 
Di antara berbagai corak itu antara lain adalah :
* '''Corak Sastra Bahasa''': munculnya corak ini diakibatkan banyaknya orang non-[[Bangsa Arab|Arab]] yang memeluk [[Islam]] serta akibat kelemahan orang-orang Arab sendiri di bidang [[sastra]] sehingga dirasakan perlu untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan [[Al-Qur'an]] di bidang ini.
* '''Corak Filsafat dan Teologi''' : corak ini muncul karena adanya penerjemahan [[kitab]]-kitab [[filsafat]] yang memengaruhi beberapa pihak serta masuknya penganut agama-agama lain ke dalam [[Islam]] yang pada akhirnya menimbulkan pendapat yang dikemukakan dalam tafsir mereka.
* '''Corak Penafsiran Ilmiah''': akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan [[teknologi]] maka muncul usaha-usaha penafsiran [[Al-Qur'an]] sejalan dengan perkembangan ilmu yang terjadi.
* '''Corak Fikih''': akibat perkembangan ilmu [[fiqih]] dan terbentuknya [[madzhab]]-mahzab fikih maka masing-masing golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat [[hukum]].
* '''Corak Tasawuf''' : akibat munculnya gerakan-gerakan [[sufi]] maka muncul pula tafsir-tafsir yang dilakukan oleh para sufi yang bercorak [[tasawuf]].
* '''Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan''': corak ini dimulai pada masa [[Muhammad Abduh|Syaikh Muhammad Abduh]] yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat [[Al-Qur'an]] yang berkaitan langsung dengan kehidupan [[masyarakat]], usaha-usaha untuk menanggulangi masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk tersebut dalam [[bahasa]] yang mudah dimengerti dan enak didengar.
* '''Corak pendidikan :''' penafsiran Al-Quran dengan pendekatan pendidikan biasa disebut dengan Tafsir tarbawi<ref>{{Cite web|title=Azania Journal|url=https://www.azaniajournal.com/|website=www.azaniajournal.com|access-date=2023-02-27}}</ref>.
 
== Perkembangan ==
Ilmu tafsir Al -Qur'an terus mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan ini merupakan suatu keharusan agar Al -Qur'an dapat bermakna bagi umat [[Islam]]. Pada perkembangan terbaru mulai diadopsi metode-metode baru guna memenuhi tujuan tersebut. Dengan mengambil beberapa metode dalam ilmu [[filsafat]] yang digunakan untuk membaca teks [[Al-Qur'an]] maka dihasilkanlah cara-cara baru dalam memaknai Al-Qur'an. Di antara metode-metode tersebut yang cukup populer antara lain adalah Metode [[Takwil|Tafsir Hermeneutika]] dan Metode [[Tafsir Semiotika]].
 
== Tafsir terkenal antara lain ==
Baris 118 ⟶ 217:
 
== Ilmu terkait ==
# '''Lughat (fitologifilologi)''', yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkalakadang kala satu kata mengandung berbagai arti. Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti yang berbeda.
# '''Nahwu (tata bahasa)'''. Sangat penting mengetahui ilmu nahwu, karena sedikit saja i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
# '''Sharaf (morfologi)''' (perubahan bentuk kata)
# '''Isytiqaq (akar kata)'''
# '''Ma'ani (susunan kata)'''
Baris 133 ⟶ 232:
# '''Hadits'''
# '''Wahbi '''
 
== Lihat pula ==
* [[Ayat Muhkam]]
 
== Pranala luar ==
* [https://ar.islamway.net/collection/15478/%D9%85%D8%AF%D8%A7%D8%B1%D8%B3%D8%A9-%D9%82%D8%B5%D8%A7%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D9%85%D9%81%D8%B5%D9%84 Kajian tafsir ''Qishar al-mufashshal'' (dalam bahasa Arab)]
 
== Referensi ==
=== Kutipan ===
{{reflist}}
 
=== PranalaDaftar luarpustaka ===
{{refbegin}}
* Hamzah, Muchotob (2003). ''Studi Al-Qur'an Komprehensif''. Yogyakarta: Gama Media ISBN 979-95526-1-3
* {{cite book |ref=harv |last=Al-Utsaimin |first=Muhammad Shalih |author-link=Muhammad bin Shalih al-Utsaimin |title=Ushûl fî at-Tafsîr |year=2001 |url=http://waqfeya.com/book.php?bid=9490 |language=Arab |publisher=Al-Maktabah al-Islamiyyah |location= |editor=Tim Editor Al-Maktabah al-Islamiyyah }}
* {{cite book |ref=harv |last=As-Suyuthi |author-link=Jalaluddin as-Suyuthi |title=Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur`ân |language=Arab |publisher=Dar al-Fikr }}
* {{cite book |ref=harv |last=Ath-Thayyar |first=Musa'ad Sulaiman |year=1993 |title=Fuṣūl fī Uṣūl al-Tafsīr |trans-title=Pasal-pasal dalam Landasan Tafsir |language=Arab |location=Riyadh, KSA |publisher=Darun Nasyr Addauli |url=https://waqfeya.net/book.php?bid=9499}}
* {{cite book |last=Hamzah |first=Muchotob |year=2003 |title=Studi Al-Qur'an Komprehensif |location=Yogyakarta |publisher=Gama Media |ISBN=979-95526-1-3}}
 
'''Sumber daring'''
* {{cite web |ref={{harvid|Mir}} |last=Mir |first=Mustansir |title=Tafsīr |series=The Oxford Encyclopedia of the Islamic World |website=Oxford Islamic Studies Online |url=http://www.oxfordislamicstudies.com/article/opr/t236/e0775 |access-date=26 Oktober 2017 |language=bahasa Inggris}}
{{refend}}
 
{{Ulumul Qur'an}}
 
[[Kategori:Ilmu Al-Qur'an]]
[[Kategori:Al Qur'an]]