Perjanjian Salatiga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(35 revisi perantara oleh 17 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox treaty
{{Sejarah Indonesia}}
|name== Sesudah Perjanjian Salatiga ==
'''Perjanjian Salatiga''' adalah perjanjian bersejarah yang ditandatangani pada tanggal [[17 Maret]] [[1757]] di [[Salatiga]]. Perjanjian ini adalah penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang mengakhiri [[Kesultanan Mataram]]. Dengan berat hati [[Hamengku Buwono I]] dan [[Paku Buwono III]] melepaskan beberapa wilayahnya untuk [[Raden Mas Said]] (Pangeran Sambernyawa). [[Ngawen]] di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.
|image=Gedung Pakuwon (4).jpg
|caption=Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh para pihak yang terlibat konflik di [[Gedung Pakuwon]]
|date_signed=17 Maret 1757
|language=[[Bahasa Jawa|Jawa]] dan [[Bahasa Belanda|Belanda]]
|location_signed=[[Gedung Pakuwon]] di [[Salatiga]], [[Jawa Tengah]]
|mediators=* [[Berkas:VOC.svg|20px]] [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC)<hr>
|parties=
* [[Berkas:Radyalaksana The Emblem of Surakarta Kingdom.svg|20px]] [[Kesunanan Surakarta]]
* [[Berkas:Yogyakarta Sultanate Hamengkubhuwono X Emblem.svg|20px]] [[Kesultanan Yogyakarta]]
* Kelompok [[Mangkunegara I|Pangeran Sambernyawa]]
}}
 
'''Perjanjian Salatiga''' adalah perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757 di [[Salatiga]]. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas [[Perjanjian Giyanti]] tahun 1755.
Perjanjian ini ditandatangani oleh [[Raden Mas Said]], Sunan [[Paku Buwono III]], [[VOC]], dan Sultan [[Hamengku Buwono I]] di gedung VOC yang sekarang digunakan sebagai kantor Walikota [[Kota Salatiga|Salatiga]]{{citation needed}}.
 
Perjanjian politik ini memutuskan kepada kedua belah pihak antara Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I dengan berat hati, membagi untuk kedua kalinya beberapa wilayah Mataram kepada [[Mangkunegara I|Pangeran Sambernyawa.]]
== Menuju Perjanjian ==
Di saat [[Pangeran Mangkubumi]] menempuh jalan perundingan damai dengan imbalan mendapat separuh bagian kekuasaan Mataram melalui [[Perjanjian Giyanti]] dan menjadi [[Sultan Hamengkubuwana I]], [[Pangeran Sambernyawa]] ([[Raden Mas Said]]) tetap melancarkan perlawanan.Dengan keberhasilan [[VOC]] menarik [[Pangeran Mangkubumi]] kedalam kubunya maka perlawanan [[Pangeran Sambernyawa]] menjadi menghadapi [[Pangeran Mangkubumi]],[[Sunan Paku Buwono III]] dan [[VOC]].[[Pangeran Sambernyawa]] tidak mau menyerah kepada salah satu dari ketiganya atau semuanya.Ketika [[VOC]] menyarankan untuk menyerah kepada salah satu dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta) [[Pangeran Sambernyawa]] bahkan memberi tekanan kepada ketiganya supaya Mataram dibagi menjadi tiga kekuasaan.[[VOC]] ingin keluar dari kesulitan untuk mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di Jawa, sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa.Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu mengalahkan [[Pangeran Sambernyawa]] sedang sebaliknya [[Pangeran Sambernyawa]] juga belum mampu mengalahkan ketiganya bersama sama.
'''Perjanjian Salatiga''' pada [[17 Maret]] [[1757]] di [[Salatiga]] adalah solusi dari keadaan untuk mengakhiri peperangan di Jawa.Dengan berat hati [[Hamengku Buwono I]] dan [[Paku Buwono III]] melepaskan beberapa wilayahnya untuk [[Pangeran Sambernyawa]].[[Ngawen]] di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan [[Pangeran Sambernyawa]].
 
Perjanjian ini ditandatangani oleh Pangeran Sambernyawa, [[Pakubuwana III]], [[Hamengkubuwana I]] dan [[VOC]] di sebuah gedung bernama [[Gedung Pakuwon]] yang terletak di [[Sidomukti, Salatiga|Kecamatan Sidomukti]], [[Kota Salatiga]], [[Jawa Tengah]].<ref>{{Cite web|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/rumah-tinggal-jl-brigjen-sudiarto-penanda-tempat-perjanjian-salatiga/|title=Rumah Tinggal Jalan Brigjen Sudiarto, Penanda Tempat Perjanjian Salatiga|last=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah|first=|date=5 April 2018|website=Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia|access-date=17 Agustus 2019}}</ref>
Pihak-pihak yang menandatangani perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, [[Kasunanan Surakarta]], dan [[VOC]], [[Kesultanan Yogyakarta]], diwakili oleh Patih Danureja, juga terlibat. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 ''karya'', mencakup daerah yang sekarang adalah [[Kabupaten Wonogiri]] dan [[Kabupaten Karanganyar]], [[eksklave]] di wilayah Yogyakarta i Ngawen dan menjadi penguasa [[Kadipaten Mangkunegaran]] dengan gelar [[Mangkunegara I]]. Penguasa wilayah Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan, dan hanya berhak atas gelar Pangeran [[Adipati]].
 
== Latar belakang ==
Lokasi penandatanganan perjanjian ini sekarang digunakan sebagai kantor Walikota [[Kota Salatiga]].
Perjanjian Salatiga sebagai hasil keputusan politik pasca berakhirnya [[Perang Takhta Jawa Ketiga]]. Perlawanan Pangeran Sambernyawa terus terjadi akibat pengangkatan Pangeran Mangkubumi sebagai sultan bergelar [[Hamengkubuwana I]], melalui perundingan dengan VOC dan mendapat separuh kekuasaan Mataram setelah penandatanganan [[Perjanjian Giyanti]].
 
[[Pangeran Sambernyawa]] yang merasa diakhianati oleh Mangkubumi, tetap melancarkan perlawanannya. Dengan demikian Sambernyawa memerangi ketiganya yaitu VOC, Pangeran Mangkubumi dan Pakubuwana III. Ia tetap dengan pendiriannya dan tidak ingin menyerah kepada salah satu dari mereka.
== Sesudah Perjanjian Salatiga ==
 
VOC tidak tinggal diam mereka menyarankan kepada Sambernyawa untuk menyerah kepada salah satu dari saudaranya, Pakubuwana III dan Mangkubumi. Akan tetapi ancaman tersebut tidak dihiraukan oleh Sambernyawa bahkan ia memberi tekanan kepada ketiganya agar Mataram dibagi kembali menjadi tiga kekuasaan. Sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat kekuatan di Jawa. Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu meredamkan perlawanan Sambernyawa, sebaliknya Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya.
Sunan Paku Buwono III wafat pada tahun 1788 dan penggantinya adalah Sunan Paku Buwono IV, yang cakap dalam politik dan piawai dalam intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah wafatnya Paku Buwono III, awal tahun 1790 Sunan [[Paku Buwono IV]] melancarkan strategi politik yang agresif dengan memulai memberi nama untuk saudaranya Arya mataram. Oleh Sunan [[Paku Buwono IV]] [[Arya Mataram]] dianugerahi nama [[Pangeran Mangkubumi]].
 
VOC yang saat itu sedang mengalami kesulitan finansial dan ingin mengamankan posisinya di Jawa akibat perang yang tak kunjung usai. VOC berencana untuk memberikan tawaran perdamaian kepada Sambernyawa.
Pemberian nama "[[Mangkubumi]]" menimbulkan protes Sultan [[Hamengku Buwono I]] yang merasa kebakaran jenggot karena hak nama [[Mangkubumi]] adalah miliknya sampai meninggal dunia.Sultan mengajukan protes kepada Kompeni yang ternyata tidak membuahkan hasil karena Sunan tetap pada pendirian tidak bakalan mencabut Nama [[Mangkubumi]] untuk saudaranya.
 
== Perundingan ==
Jurus politik pertama [[Paku Buwono IV]] di lanjutkan dengan jurus keduanya yaitu menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta.Suhu politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada didepannya. [[Mangkunegara I]] menulis surat kepada Gubernur di Semarang [[Yan Greeve]] pada bulan Mei 1790 yang isinya [[Mangkunegara I]] Menagih janji Residen Surakarta Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Jika [[Pangeran Mangkubumi]] yang menjadi Sultan [[Hamengku Buwono I]] wafat maka [[Mangkunegara I]] berhak menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta.
'''Perjanjian Salatiga''' pada [[17 Maret]] [[1757]] di [[Salatiga]] adalah solusi dari keadaankonflik yang tak kunjung usai untuk mengakhiri peperangan di Jawa.Dengan beratPakubuwana hatiIII [[Hamengkudan BuwonoHamengkubuwana I]] danyang [[Pakusama-sama Buwonoingin III]]mempertahankan posisinya dengan berat hati melepaskan beberapa wilayahnya untuk [[Pangeran Sambernyawa]].[[Ngawen]] di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan [[Pangeran Sambernyawa]].
 
Pihak-pihakPerjanjian yangini menandatanganiditengahi perjanjianoleh iniVOC adalahdan ditandatangani oleh Pangeran Sambernyawa, [[KasunananPakubuwana Surakarta]]III, dan [[VOC]],Hamengkubuwana [[KesultananI Yogyakarta]],yang diwakili oleh Patih Danureja, juga terlibat. Perjanjian ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 ''karya'', mencakup daerah yang sekarang adalah [[Kabupaten Wonogiri]] dan [[Kabupaten Karanganyar]], [[eksklave]] di wilayah Yogyakarta i Ngawen dan menjadi penguasa [[Kadipaten Mangkunegaran]] dengan gelar [[Mangkunegara I]]. PenguasaPangeran wilayah MangkunegaranSambernyawa tidak berhakdiperbolehkan menyandang gelar Sunan[[susuhunan]] atau Sultan[[sultan]], dan hanya berhak atas gelar Pangeran [[Adipatiadipati]].
[[VOC]] yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan ke tiga Kerajaan.Kompeni yang di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa [[Mangkunegoro I]] memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga.Dalam waktu yang yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.
 
== Isi perjanjian ==
Tuntutan [[Mangkunegoro I]] juga diikuti dengan tuntutan berikutnya yaitu dikembalikannya [[GKR Bendoro]] isterinya kepada [[Mangkunegara I]].Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebagai gantinya [[Mangkunegara I]] menuntut 4.000 cacah dari Yogyakarta. [[Mangkunegara I]] mulai memobilisasi pasukannya dan pertempuran pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung Kidul menjadi medan pertempuran.dalam mobilisasi dan pertempuran ini [[G.R.M. Sulomo]] (calon [[Mangkunegara II]] sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.
[[Berkas:Jawa Setelah Perjanjian Giyanti.png|jmpl||300px|Peta pembagian Mataram pada tahun 1757 sebagai hasil dari [[Perjanjian Giyanti]] dan Perjanjian Salatiga.]]
Setelah disepakati bersama pada tanggal 17 Maret 1757 isi Perjanjian Salatiga mengakui Raden Mas Said sebagai Adipati Mangkunegaran yang memiliki kedaulatan tersendiri. Berikut merupakan isi daripada Perjanjian Salatiga:<ref>{{cite journal|title= Strategi Kebudayaan Perjuangan Pahlawan Nasional Pangeran Sambernyowo|author= Eko Punto Hendro|journal= Endogami|volume= 1|number= 1|year= 2017|issn= 2599-1078|page= 52|url= https://ejournal.undip.ac.id/index.php/endogami/article/view/16837}}</ref>
 
=== Pasal 1 ===
7 Oktober 1790 [[Yan greeve]] mengintimidasi Sultan [[Hamengku Buwono I]] untuk memberikan 4.000 cacah tetapi Sultan menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti dengan upeti Belanda kepada [[Mangkunegaran]] sebesar 4.000 real.
Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (pangeran yang mempunyai status setingkat penguasa di Jawa).
 
=== Pasal 2 ===
== Mangkunegaran Penyambung Roh Mataram ==
Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di ''Dampar Kencana'' (singgasana)
 
=== Pasal 3 ===
Perjanjian Salatiga secara hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai sebuah wilayah yang otonom pula. Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755. Mataram yang telah bubar dengan traktat Giyanti di bangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran. Politik dan kebudayaan Mataram serta unsur unsur keprajuritan dipertahankan dan dihidupkan dari generasi ke generasi.
Pangeran Miji berhak untuk meyelenggarakan acara penobatan adipati dan memakai semua perlengkapan adipati.
 
=== Pasal 4 ===
== Abad baru Tahun 1800 an (Prolog) ==
Tidak diperbolehkan memiliki Balai Witana.
 
=== Pasal 5 ===
Sunan [[Paku Buwono III]] wafat tahun 1788, Sultan [[Hamengku Buwono I]] wafat tahun 1792 dan [[Pangeran Mangkunegara I]] wafat tahun 1795. [[Paku Buwono III]] di ganti [[Paku Buwono IV]], Sultan [[Hamengku Buwono]] I diganti Sultan [[Hamengu Buwono II]] dan [[Mangkunegara I]]di ganti [[Mangkunegara II]]. Pembubaran [[VOC]] pada tahun 1800 awal bulan menandai perubahan baru di bekas [[Mataram]].Kewenangan [[VOC]] diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pada masa generasi ini Sunan [[Paku Buwono IV]] menjadi aktor Politik yang sangat piawai sekaligus berbahaya bagi Belanda.Jurus jurus politik yang ditampilkan begitu terampilnya dan tidak gentar dengan gertak peperangan.
Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang pohon beringin kembar.
 
=== Pasal 6 ===
Kedatangan [[Daendels]] dan [[Raffles]] dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga segala perjudian politik pada tahun 1800 an ini seakan akan merupakan pematangan situasi untuk munculnya perang [[Diponegoro]].
Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
 
=== Pasal 7 ===
[[Paku Buwono IV]] berhasil memprovokasi Sultan [[Hamengku Buwono II]] sehingga berkonfrontasi dengan [[Daendels]] dan [[Raffles]] di kemudian hari.Di samping itu faktor [[Secadiningrat]] seorang [[Kapiten Cina]] di Yogyakarta yang menjadi penasehat putera mahkota (Calon [[Hamengku Buwono III]]) juga turut andil dalam merunyamkan pemerintahan [[Hamengku Buwono II]]. [[Secadiningrat]] membocorkan rencana rencana Sultan kepada pihak asing terutama Inggris bahwa Kasultanan mempersenjatai diri untuk kekuatan perang.
Pemberian tanah lungguh seluas 4000 karya yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.
 
== Polemik ==
Yogyakarta di datangi [[Daendels]] dengan beribu pasukan.Sultan [[Hamengku Buwono II]] diturunkan tahta dan di ganti [[Sultan Raja]] ([[Hamengku Buwono III]]). Kasultan Yogyakarta sepeninggal [[Hamengku Buwono I]]mengalami kesuraman yang tiada tara.Dari [[Hamengku Buwono II]] sampai [[Hamengku Buwono VI]] Kasultanan mengalami instabilitas serius.
Perjanjian Salatiga akhirnya memberikan pengakuan kepada Mangkunegara I sebagai penguasa. Pada tahun 1790 [[Pakubuwana IV]] naik takhta menggantikan Pakubuwana III yang wafat pada tahun 1788, ia memiliki ambisi untuk menyatukan Mataram kembali seutuhnya. Pakubuwana IV dikenal lebih cakap dalam politik dibandingkan ayahnya. Ia melancarkan strategi politik yang agresif dengan mulai memberi nama untuk saudaranya, Pangeran Arya Mataram. Oleh [[Pakubuwana IV]], Pangeran Arya Mataram dianugrahi gelar Pangeran Mangkubumi.
 
Pemberian namagelar "[[Mangkubumi]]" kepada Arya Mataram menimbulkan protes Sultan [[Hamengku BuwonoHamengkubuwana I]] yang merasa kebakaran jenggot karena hak nama [[Mangkubumi]] adalah miliknya sampai meninggal dunia.Sultan Hamengkubuwana I mengajukan protes kepada KompeniVOC yang ternyata tidak membuahkan hasil karena SunanPakubuwana IV tetap pada pendirian dan tidak bakalanakan mencabut Namagelar [[Mangkubumi]] untuk saudaranya.
== Generasi Ke 2 Pasca Pembagian Mataram ==
 
Jurus politik pertama [[Paku BuwonoPakubuwana IV]] di lanjutkan dengan jurus keduanya yaitujuga menolak hak suksesi Putra''adipati Mahkotaanom'' Kasultanan(putra mahkota) Kesultanan Yogyakarta.Suhu Keadaan politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I yang melihat suatu peluang ada didepannya. [[Mangkunegara I]] menulis surat kepada Gubernur di Semarang [[Yan Greeve]], pada bulan Mei 1790 yang isinya [[Mangkunegara I]] Menagihmenagih janji Residen Surakarta Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Jika [[Pangeran Mangkubumi]] yang menjadi Sultan [[Hamengku BuwonoHamengkubuwana I]] jika wafat maka [[Mangkunegara I]] akan diangkat menjadi Hamengkubuwana II dan berhak menduduki tahtatakhta KasultananKesultanan Yogyakarta.
Generasi ke dua para petinggi kerajaan paska pembagian [[Mataram]] memperlihatkan kepada khalayak tentang persiapan generasi pertama dalam mewariskan pemerintahan dan penyiapkan para penggantinya.Pada generasi ke dua ini Kasultanan Yogyakarta yang bertahta adalah [[Sultan Hamengku Buwono II]], [[Mangkunegaran]] yang bertahta adalah [[Pangeran Mangkunegara II]] dan [[Kasunanan Surakarta]] yang bertahta adalah [[Paku Buwono IV]].
 
[[VOC]] yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan keketiga tigakerajaan. Kerajaan.KompeniVOC yang di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan fakta bahwa [[MangkunegoroMangkunegara I]] memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga. Dalam waktu yang yang singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.
[[Hamengku Buwono II]] merupakan putera [[Hamengku Buwono I]] setelah saudaranya [[RM Entho]] yang menjadi Putera Mahkota meninggal dunia.[[Paku Buwono IV]] adalah putera [[Paku Buwono III]] sedang [[Mangkunegara II]] adalah cucu [[Mangkunegara I]]. Pada pemerintahan generasi ke dua ini Yogyakarta dibawah [[Hamengku Buwono II]] mengalami kemerosotan yang serius. Sultan ke dua Yogyakarta ini mengalami naik turun tahta selama pergantian kekuasaan kolonial di Nusantara ini.
 
Tuntutan [[MangkunegoroMangkunegara I]] juga diikuti dengan tuntutan berikutnya yaitumenuntut dikembalikannya [[GKR Bendoro]]Bendara isterinyaistrinya. kepada [[Mangkunegara I]].Jika tuntutan ini tidak dipenuhi sebagai gantinya [[Mangkunegara I]] menuntut 4.000 cacah dari Yogyakarta. [[Mangkunegara I]] mulai memobilisasi pasukannya dan pertempuran pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung Kidul menjadi medan pertempuran., dalam mobilisasi dan pertempuran ini [[G.R.M.Raden Sulomo]]Mas Sulama (calon [[Mangkunegara II]]) sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.
 
Pada 7 Oktober 1790, [[Yan greeve]]Greeve mengintimidasi Sultan [[Hamengku BuwonoHamengkubuwana I]] untuk memberikan 4.000 cacah tetapi Sultania menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti dengan upeti Belanda kepada [[Mangkunegaran]] sebesar 4.000 real.
 
Wilayah tersebut saat ini mencakup [[Banjarsari, Surakarta|Banjarsari]], [[Kabupaten Karanganyar|Karanganyar]], [[Wonogiri]], [[Ngawen, Gunungkidul|Ngawen]], dan [[Semin, Gunungkidul|Semin]]. Kini lokasi penandatanganan Perjanjian Salatiga digunakan sebagai kantor Wali Kota Salatiga.<ref>{{Cite news|title=Perjanjian Salatiga dan Akhir Kekuasaan Mataram Islam|url=https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210611154257-31-653261/perjanjian-salatiga-dan-akhir-kekuasaan-mataram-islam|work=[[CNN Indonesia]]|language=id-ID|access-date=2022-08-24}}</ref>
 
== Referensi ==
<references />
 
== Daftar pustaka ==
* M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002
* {{citation|last=Ricklefs|first=M. C.|title=Soul Catcher: Java's Fiery Prince Mangkunagara I, 1726-95|date=31 Juli 2018|publisher=NUS Press|isbn=978-981-4722-84-1}}
* {{cite book|last=Ricklefs|first=M. C.|title=Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java|year=1982|publisher=University Microfilms}}
 
== Pranala luar ==
{{indo-sejarah-stub}}
* [http://dprd-salatigakota.go.id/peninjauan-ke-bangunan-cagar-budaya-gedung-pakuwon/ Peninjauan Gedung Pakuwon].
 
[[Kategori:PerjanjianTraktat yang melibatkan Hindia Belanda]]
[[Kategori:Sejarah Kota Surakarta]]
[[Kategori:Sejarah Yogyakarta]]
[[Kategori:IstanaSejarah MangkunegaranSalatiga]]
[[Kategori:Peristiwa 1757]]
[[Kategori:Kota Salatiga]]