Herman Neubronner van der Tuuk: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: Perubahan kosmetika
Pineapplethen (bicara | kontrib)
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(23 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox scientist
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van Dr. H.N. van der Tuuk TMnr 10018828.jpg|jmpl|200px|Potret H.N. van der Tuuk]]
|name = Herman Neubronner van der Tuuk
'''Herman Neubronner van der Tuuk''' ({{lahirmati|[[Malaka]]|24|10|1824|[[Surabaya]]|17|8|1894}}<ref name=denis>Lombard D. 1992. A la rencontre d'une société défunte : le cimetière chrétien de Peneleh, à Surabaya. Archipel 44:123-140</ref>) adalah peletak dasar [[linguistika]] modern beberapa bahasa yang dituturkan di [[Nusantara]], seperti [[bahasa Melayu]], [[bahasa Jawa|Jawa]], [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasa Toba|Toba]], [[bahasa Lampung|Lampung]], [[bahasa Kawi|Kawi]] (Jawa Kuno), dan [[bahasa Bali|Bali]]. Dalam buku ”Mirror of the Indies”, Rob Nieuwehuys mengutip komentar seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, “Hanya ada satu orang di seluruh penjuru Bali yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Tuan Dertik (Mr. Van der Tuuk).<ref>Robert Nieuwenhuys, ed. E. M. Beekman (1982), ''Mirror of the Indies'', University of Massachusetts Press, ISBN 0-87023-368-8, ISBN 978-0-87023-368-5</ref> karena oleh kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang kontroversial, namun sekaligus dicintai. Van der Tuuk ikut menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dan Ia termasuk orang menentang dalam cara berpakaian Belanda, penentang segala hal tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat dan ilmu pengetahuan.
[[Berkas:|image = COLLECTIE TROPENMUSEUM Portret van Dr. H.N. van der Tuuk TMnr 10018828.jpg|jmpl|200px|Potret H.N. van der Tuuk]]
|image_size = 200px
|alt =
|caption = Potret Herman Neubronner van der Tuuk
|birth_date = {{Birth date|1824|2|23|df=yes}}
|birth_place = [[Malaka Belanda]], [[Semenanjung Malaya|Malaya]] (sekarang [[Malaka]], [[Malaysia]])
|death_date = {{Death date and age|1894|8|17|1824|2|23|df=yes}}
|death_place = [[Surabaya]], [[Hindia Belanda]]
|residence =
|citizenship =
|nationality =
|ethnicity =
|fields = [[Linguistik]]
|workplaces =
|alma_mater =
|doctoral_advisor =
|academic_advisors =
|doctoral_students =
|notable_students =
|known_for =
|author_abbrev_bot =
|author_abbrev_zoo =
|influences =
|influenced =
|awards =
|signature = <!--(filename only)-->
|signature_alt =
|footnotes =
}}
 
'''Herman Neubronner van der Tuuk''' (disingkat '''H.N. van der Tuuk'''; {{lahirmati|[[Malaka]]|24|10|1824|[[Surabaya]]|17|8|1894}}<ref name=denis>Lombard D. 1992. A la rencontre d'une société défunte : le cimetière chrétien de Peneleh, à Surabaya. Archipel 44:123-140</ref>) adalah peletak dasar [[linguistikalinguistik]] modern beberapa bahasa yang dituturkan di [[Nusantara]], seperti [[bahasa Melayu]], [[bahasa Jawa|Jawa]], [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasaBahasa Batak Toba|Batak Toba]], [[bahasa Lampung|Lampung]], [[bahasa Kawi|Kawi]] (Jawa Kuno), dan [[bahasa Bali|Bali]]. Dalam buku ''”Mirror of the Indies”'', [[Rob Nieuwenhuys|Rob Nieuwehuys]] mengutip komentar seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, “Hanya ada satu orang di seluruh penjuru Bali yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Tuan Dertik (Mr. Van der Tuuk). <ref>Robert Nieuwenhuys, ed. E. M. Beekman (1982), ''Mirror of the Indies'', University of Massachusetts Press, ISBN 0-87023-368-8, ISBN 978-0-87023-368-5</ref> karena oleh kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang kontroversial, namuntetapi sekaligus dicintai. Van der Tuuk ikut menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dan Iaia termasuk orang menentangyang dalammenentang cara berpakaian Belanda, penentang segala hal tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat dan ilmu pengetahuan. Di daerah [[Suku Batak Toba|Batak]], ia dikenal sebagai Tuan Pandortuk.<ref>{{Cite book|last=Simanjuntak|first=Bungaran Antonius|date=2006|url=https://books.google.co.id/books?id=h655ESOLbdwC|title=Struktur Sosial dan Sistem Politik Batak Toba Hingga 1945: Suatu Pendekatan Antropologi Budaya dan Politik|publisher=Yayasan Pustaka Obor Indonesia|isbn=978-979-461-584-3|pages=49|language=id|url-status=live}}</ref>
 
== Sumbangan ==
Dikenal sebagai orang yang sangat berbakat dalam mempelajari bahasa, ia banyak menyusun [[kamus]], seperti kamus [[bahasa Melayu]], [[bahasa Jawa]], [[bahasa Batak Toba]], [[bahasa Lampung]], dan [[bahasa Bali]]. Sebagai tambahan, sebuah buku [[tata bahasa]] Batak Toba juga berhasil disusunnya sebagai yang pertama kalinya. Motivasi yang terutama sebenarnya adalah dalam rangka misi penyebarluasan [[BibelInjil]] ke dalam bahasa-bahasa itu, meskipunmeski van der Tuuk diketahui kurang menyukai [[kekristenanKekristenan]]. Meskipun demikian, iadia lah orang yang pertama kali menerjemahkan [[Bibel]]Injil ke dalam bahasa Melayu. ''[[Adikarya|Magnum opus]]''-nya adalah kamus tribahasa [[bahasa Kawi|Kawi]]-Bali-[[bahasa Belanda|Belanda]], yang baru terbit sepeninggalnya.
 
Van der Tuuk juga mewariskan dua hukum tentang [[peralihan konsonan]] dalam bahasa-[[bahasa Austronesia]]. Hukum pertama adalah mengenai pergeseran antara bunyi /r/, /g/, dan /h/, sedangkan yang kedua adalah mengenai pergeseran konsonan antara /r/, /d/, dan /l/.
Hukum pertama adalah mengenai pergeseran antara bunyi /r/, /g/, dan /h/, sedangkan yang kedua adalah mengenai pergeseran konsonan antara /r/, /d/, dan /l/.
 
== Kehidupan awal ==
Van der Tuuk lahir dari ayah seorang pengacara [[Belanda]] dan ibu seorang peranakan [[Jerman]] di [[MalakaMelaka]], didimana kalanegara kota pulaubagian itu di bawah kekuasaan [[Hindia Belanda]]. Neubronner adalah nama keluarga dari pihak ibu. Ketika [[Traktat London]] (1924) mulai berlaku pada 1925, keluarga van der Tuuk berpindah ke [[Surabaya]].
 
Seusai menempuh pendidikan dasar, van der Tuuk muda (sekitar 12 tahun) melanjutkan sekolah ke Belanda dan pada usia 16 tahun (1840) ia lulus ujian penerimaan di [[Universitas Groningen]] untuk studi ilmu [[hukum]]. Namun ia ternyata lebih berminat mempelajari [[linguistika]] sehingga tahun 1845 pindah ke [[Universitas Leiden]] untuk memperdalam [[bahasa Arab]] dan [[bahasa Persia|Persia]] di bawah bimbingan Th. W Juynboll, saat itu seorang ahli Kearaban yang terkenal. Di samping itu ia juga mendalami [[Sanskrit]] dan [[bahasa Melayu]].
Baris 26 ⟶ 56:
Suatu hari ia menulis surat kepada Sekretaris Persekutuan Injil (Injil Society) bahwa sudah terlalu banyak kebencian yang memenuhi penanya. Ia adalah ”orang pertama” yang secara terbuka menentang misionaris dan agenda pemerintah Belanda untuk ”meng-Kristen-kan” Bali.
 
Di kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang ”aneh”, namuntetapi sekaligus ”dicintai”. Van der Tuuk ”menyebarkan” semangat perlawanan terhadap Belanda. Ia menentang cara berpakaian Belanda, penentang segala tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat dan ilmu pengetahuan.
 
Sekitar 40 tahun waktunya ia habiskan untuk mempelajari bahasa Bali dan Jawa Kuno. Ia bersabahat baik dengan para seniman tradisional dan para sastrawan kidung, tembang dan kakawin di Bali. Ikut membaur dengan masyarakat Singaraja, selalu mengenakan sarung dan jarang memakai baju. Ia adalah gambaran lain dari orang Belanda masa kolonial.
Baris 32 ⟶ 62:
Pada masa tuanya, konon, ia sering berjalan-jalan di pantai Singaraja, dengan tungked (tongkat untuk membantu berjalan) yang di ujungnya berpentol besar. Kalau ada yang mengganggunya atau menertawakan caranya berjalan, ia memukul kepala orang-orang dengan pentol tongkatnya.
 
Di Rumah Sakit Militer Surabaya, malam hari tanggal 16 AugutusAgustus 1894 dini hari (17 Agustus 1894), setelah terserang disentri beberapa lama, ia mengembuskan napasnya yang terakhir. Sekitar seratus surat dan ribuan catatannya tergeletak di sebuah rumah bambu di Singaraja. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Kristen Peneleh, [[Surabaya]].<ref name=denis/>.
 
== Yayasan Van der Tuuk ==
Memasuki 34 tahun kematian Van der Tuuk, diselenggarakan sebuah pertemuan sangat bersejarah. Tempatnya di Kintamani, kawasan pegunungan Batur, tanggalPada 2 Juni 1928., L.J.J Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu di [[Kintamani, Bangli|Kintamani]], kawasan gunung Batur, untuk berdiskusi mengenai kekayaan kesenian sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali. Rapat itu sepakat untuk membentuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.
 
Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama ''Kirtya Lefrink-Van der Tuuk''; mengurusimengoleksi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistanasisten residentresiden pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.
Rapat itu sepakat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan sepakat untuk mengabadikan nama Van der Tuuk menjadi nama sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali; Stichting van der Tuuk.
 
Kata ”kirtya” diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ”kr””''kr''”, menjadi ”krtya””''krtya''”, sebuah kata dari [[bahasa Sanskerta]] yang mengandung arti “usaha” atau “jerih payah”.
Sebagai tindak lanjutnya, tidak lama kemudian, tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali. Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk; mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan resident pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok.
 
HariSampai saat ini, telah lahir ratusan thesis magister dan desertasi doctoraldoktoral dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dandan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek Kamus Jawa Kuno, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor [[Petrus Josephus Zoetmulder|P.J. Zoetmulder]] (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuno yang akrab dipanggil Romo Zoet). Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuno-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuno-Indonesia atas jerih payah Romo [[Theodoor Willem Geldorp|Dick Hartoko]].
Kata ”kirtya” diusulkan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu; kirtya berakar kata ”kr”, menjadi ”krtya”, sebuah kata dari [[bahasa Sanskerta]] yang mengandung “usaha” atau “jerih payah”.
 
Dalam pengantar kamus itu terungkap jasa dari koleksi Van der Tuuk dan Perpustakaan [[Gedong Kirtya]] dalam penyususan kamuspenyusunan megaproyek kamus yang dikerjakan Romo Zoet dengan pesan kecintaan, –jangan''"jangan pernah membayangkan proyek ini mendapat sponsor pemerintah"''.
Hari ini, telah lahir ratusan thesis magister dan desertasi doctoral dari hasil riset terhadap koleksi perpustakaan Kirtya ini. Ribuan karya ilmiah mengalir. Dan yang paling monumental, telah lahir sebuah megaproyek Kamus Jawa Kuno, dikerjakan puluhan tahun oleh Profesor P.J. Zoetmulder (salah satu peneliti terbesar sastra Jawa Kuno yang akrab dipanggil Romo Zoet).Setelah Romo Zoet berpulang, misi ini dilanjutkan oleh Prof. S.O. Robson. Awalnya hanya seri Jawa Kuno-English, kini sudah tersedia terjemahan Jawa Kuno-Indonesia atas jerih payah Romo Dick Hartoko.
 
Dalam Kalangwan,<ref>{{Cite ”Abook|last=Zoetmulder, SurveyP. ofJ.|date=1985|url=http://worldcat.org/oclc/246210441|title=Kalangwan: OldSastra JavaneseJawa Literature” (Kalangwan,Kuno Selayang Pandang|publisher=Penerbit Sastra Jawa Kuno),Djambatan|oclc=246210441}}</ref> Prof. P.J. [[Zoetmulder]] memberi kesaksian terhadap peranan besar Perpustakaan Kirtya: “Terdapat tiga koleksi utama, yaitu [[Perpustakaan nasional|Perpustakaan Nasional]] di Jakarta, dulu dikenal sebagai ''Batavians Genootschap van Kunsten en Wetenchappen''; di perpustakaan [[Universitas Leiden|Universitas Negeri di Leiden]], Negeri Belanda, dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (duluatau sebelumnya perpustakaan Kirtya Liefrinck der Tuuk)".
Dalam pengantar kamus itu terungkap jasa dari koleksi Van der Tuuk dan Perpustakaan Kirtya dalam penyususan kamus megaproyek yang dikerjakan Romo Zoet dengan kecintaan –jangan pernah membayangkan proyek ini mendapat sponsor pemerintah.
 
Dalam Kalangwan, ”A Survey of Old Javanese Literature” (Kalangwan, Selayang Pandang Sastra Jawa Kuno), Prof. P.J. [[Zoetmulder]] memberi kesaksian terhadap peranan besar Perpustakaan Kirtya: “Terdapat tiga koleksi utama, yaitu Perpustakaan Nasional di Jakarta, dulu dikenal sebagai Batavians Genootschap van Kunsten en Wetenchappen; di perpustakaan Universitas Negeri di Leiden, Negeri Belanda, dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (dulu perpustakaan Kirtya Liefrinck der Tuuk).
 
Kalau diperhatikan jumlah naskah yang dimiliki sebuah perpustakaan, maka Leiden-lah menduduki tempat pertama, khususnya karena koleksi lontar dari Lombok dan koleksi dari warisan H.N. Van der Tuuk. Tetapi di lain pihak Kirtya memiliki keanekaragaman yang lebih besar mengenai karya-karya Jawa Kuno, walaupun umumnya hanya satu salinan dari setiap karya.
Baris 53 ⟶ 81:
Pada tahun 1928 didirikan sebuah yayasan (Kirtya) di bawah pemerintah setempat di Bali; dengan terang dijelaskan apa yang menjadi tujuan yayasan itu, yakni: Melacak semua naskah yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan Pertengahan, berbahasa Bali dan Sasak, sejauh itu masih terdapat di Bali dan Lombok (kebanyakan dimiliki oleh perorangan) dan untuk membuat kesempatan agar naskah-naskah tersebut dengan lebih mudah dikonsultasi (diakses) oleh para peminat.
 
Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya. Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan, naskah-naskah mana saja yang dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu. Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya kecil kemungkinan bahwa naskah penting lolos dari perhatian kita dan tetap tersembunyi dalam salah satu tempat terpencil.
 
Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Hanya kecillah kemungkinan bahwa naskah penting lolos dari perhatian kita dan tetap tersembunyi dalam salah satu tempat terpencil.
 
Perpustakaan Lontar Kirtya, atau lebih dikenal dengan nama [[Gedong Kirtya]], yang kini berfungsi sebagai perpustakaan naskah atau lontar-lontar Bali, bercikal bakal dari koleksi buku-buku dan lontar-lontar yang diwariskan Van der Tuuk.
 
== Referensi ==
 
[[Sugi Lanus]], 2006. "Van der Tuuk – Sang Juru Selamat Bali". Bali Post, Sabtu Wage, 7 Januari 2006 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/1/7/f2.htm
{{reflist}}
 
=== Pustaka ===
* [[Sugi Lanus]], 2006. "Van der Tuuk – Sang Juru Selamat Bali". Bali Post, Sabtu Wage, 7 Januari 2006 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/1/7/f2.htm
 
== Karya ==
 
* {{nl}} Herman Neubronner van der Tuuk (1897), (Vols. 1-3 editor oleh Dr. J. Brandes; v. 4 editor oleh D. A. Rinkes. ) ''Kawi-balineesch-nederlandsch woordenboek'', Landsdrukkerij, Batavia
 
{{Terjemahan Alkitab}}
 
{{DEFAULTSORT:Tuuk, van der}}
[[Kategori:BahasaLinguis IndonesiaBelanda]]
[[Kategori:Eropa-Indonesia]]
[[Kategori:Penerjemah Alkitab]]