Orang Turki di Jerman: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
xxx |
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan. Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Disarankan: tambahkan pranala |
||
(13 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Orang Turki di Jerman''' adalah sekelompok orang [[Turki]] yang bermukim di [[Jerman]] sebagai pekerja tamu (''guest workers'') akibat dari kebijakan ‘''open door for migrants''’ yang digalakan oleh pemerintah [[Jerman]] sejak [[Perang Dunia II]] selesai. Kebijakan tersebut ternyata juga terjadi saat ini, ketika kanselir [[Angela Merkel]] berkuasa.<ref>https://www.express.co.uk/news/world/845648/Germany-Angela-Merkel-2017-election-open-door-migration-policy-European-Union-video</ref>
== Sejarah ==
Sejak 1955, Jerman Barat telah merekrut banyak ''guest workers'' atau pekerja tamu dari berbagai negara. Istilah ''guest workers'' mereka sebut sebagai [[gastarbeiter]]. Memburuknya perekonomian [[Jerman]] yang disebabkan oleh banyaknya kerugian yang mereka alami akibat kekalahannya dalam [[Perang Dunia II]] menyebabkan Jerman merekrut banyak pekerja asing. Jerman berkeyakinan bahwa perekonomian mereka tidak akan membaik apabila tidak memiliki [[sumber daya manusia]] yang baik pula. Akhirnya, [[Jerman]] membuat perjanjian dengan beberapa negara yang dikenal dengan perjanjian “''Agreement on the Recuritment and Placement of Workers”''.<ref>https://www.loc.gov/law/help/guestworker/germany.php</ref>
Semula, pemerintah [[Jerman]] benar-benar berniat untuk memulangkan mereka ke negara asalnya, terutama ketika terjadi krisis minyak di [[Arab]] pada tahun 1973. Namun demikian, perusahaan yang terkait tidak ingin memulangkan pekerja yang telah susah payah mereka latih. Begitu pula dengan para pekerja, mereka khawatir tidak akan bisa kembali ke Jerman apabila pulang ke nagara asalnya. Sesuatu yang terjadi justru keluarga di negara asal mereka datang ke [[Jerman]] untuk menengok keadaan para pekerja asing. Para tamu yang semula hanya singgah sementara, dalam perkembangannya justru tinggal bersama secara permanen meskipun tidak ada dukungan infrastruktur dan sosial [[politik]] yang jelas dari pemerintah Jerman.<ref name=":2">http://www.spiegel.de/international/germany/turkish-immigration-to-germany-a-sorry-history-of-self-deception-and-wasted-opportunities-a-716067.html</ref>
Pekerja dari [[Turki]] terhitung paling banyak jumlahnya sejak masuknya mereka ke [[Jerman]] pada tahun 1960-an hingga tahun 2015. Berdasarkan sensus Jerman
== Imigran Turki di Freiburg ==
''Freiburg im Breisgau'' adalah sebuah kota kecil di bagian selatan Provinsi [[Baden-Württemberg]], [[Jerman]]. Kota ini lumayan terkenal karena memiliki daya tarik dalam bidang [[pendidikan]] dan [[pariwisata]]. Perlu diketahui, salah satu universitas tertua di [[Jerman]], Albert-Ludwig University<ref name=":3">http://sta.uwi.edu/internationaloffice/courses/albert-ludwig-university-freiburg</ref> juga terdapat di kota ini.
Jumlah poluasi orang Turki di [[Freiburg]] juga terhitung tinggi. Kota kecil itu memiliki luas 153.06 km2 dengan jumlah penduduk 220.000 jiwa. Di antara jumlah itu, sebanyak 2.078 di antaranya merupakan migran [[Turki]]. Jumlah mereka sebenarnya masih kalah banyak dibandingkan dengan jumlah imigran [[Italia]] yang mencapai 3.229 jiwa. Namun demikian, imigran Turki di [[Freiburg]] menghadapi tantangan yang sangat berat, terutama terkait persoalan identitas yang menghantui [[Jerman]] dalam kurun waktu sebelumnya. Orang [[Turki]] dipandang sebagai minoritas dan marginal, sebab mereka dinilai bukan berasal dari [[Eropa]]. Lain ceritanya dengan orang Italia yang meskipun sama-sama pendatang, tetapi tidak diklaim sebagai kelompok marginal.<ref name=":0" />
Para migran [[Turki]] di [[Freiburg]] tidak bekerja di sektor formal seperti ''public'', ''private'', maupun ''industry'' sebagaimana yang terjadi pada imigran Turki dahulu. Mereka lebih banyak bekerja di sektor informal dengan membuka toko maupun kafe. Hadirnya beberapa toko kebab dan ''Doner'' yang ada di hampir seluruh distrik di Freiburg menunjukan eksistensi imigran Turki di sana. Sebagian besar dari mereka juga banyak membuka supermarket [[Turki]] dan toserba, serta beberapa kafe yang menyediakan sisha ala Turki. Kehidupan mereka di [[Freiburg]] selain mendapat stereotype dari masyarakat, juga tidak sepenuhnya dapat disebut teralienasi. Terbukti, generasi kedua atau ketiga mereka beberapa juga ada yang sedang merampungkan pendidikan di Albert-Ludwig University.<ref name=":3" />
Freiburg yang dipenuhi nuansa ala [[Turki]] terlihat pula pada berbagai festival di [[Freiburg]] yang digelar oleh para imigran [[Turki]]. ''Street Festival'' dan Festival Kebudayaan Jerman-Turki atau ''Deutsch Turkische Kulturage''<ref>http://www.fap-freiburg.de/index.php/deutsch-tuerkische-kulturtage/</ref> setiap tahun sangat populer di sana. Festival itu diselenggarakan oleh ''Islamic Center''. Selain I''slamic Center'', festival kebudayaan Jerman-Turki yang disebut ''Academic Platform Freiburg (FAP'')<ref>http://www.freiburg.de/pb/,Lde/954268.html</ref> juga lumayan populer. Kedua festival tersebut biasanya digelar di tempat yang sama,
== Bahasa ==
Bahasa yang dipergunakan oleh para imigran [[Turki]] di [[Jerman]] umumnya adalah Bahasa Turki. Perlu diketahui bahwa kedatangan orang [[Turki]] ke Jerman masih berlangsung hingga saat ini. Penelitian Swastiyatsu (2015) mdenyebutkan bahwa kedatangan mereka ke Jerman karena terbayang-bayang akan iming-iming kesuksesan yang dialami oleh keluarga mereka yang telah lebih dahulu tinggal di [[Jerman]].<ref name=":0" /> Namun demikian, penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa persoalan bahasa menjadi kendala terbesar yang mereka alami. Para imigran tersebut tidak bisa berbahasa Jerman maupun berbahasa [[Inggris]] yang diakui sebagai
Beberapa anak imigran [[Turki]] memang hidup di lingkungan keluarga yang sebagian besar berbahasa Turki. Namun di sekolah, terutama ketika mereka masuk TK, sekolah mereka membuat aturan melarang penggunaan Bahasa Turki di area sekolah. Aturan itu semata-mata untuk mempermudah anak-anak belajar Bahasa Jerman. Di sekolah mereka, Bahasa Jerman merupakan bahasa pengantar utama yang digunakan. Hal itu tidak membuat anak-anak sepenuhnya meninggalkan Bahasa [[Turki]] di sekolaj. Orang tua Turki biasanya akan mengajarkan Bahasa Turki kepada anak-anaknya sesampainya di rumah. Dalam bahasa lain, mereka berbicara Bahasa [[Jerman]] di sekolah dan berbicara Bahasa Turki di rumah. Hal itu membuat mereka mampu terintegrasi sebagai warga Jerman di sekolah dan menjadi bangsa [[Turki]] sepenuhnya ketika berada di rumah.<ref name=":0" /> Meskipun demikian, tidak semua sekolah di Jerman memberlakukan hal demikian. Ada beberapa sekolah yang memperbolehkan para Jerman-Turki berbicara dalam Bahasa [[Turki]], meksipun jumlahnya sangat sedikit.<ref>https://en.qantara.de/content/the-turkish-language-in-germany-turkish-is-booming-at-schools-and-universities</ref> Hal itu dapat dipandang sebagai upaya Jerman untuk berasimilasi atau berintegrasi dengan Turki.<ref>http://www.spiegel.de/international/germans-try-integrating-with-turkish-migrant-population-a-835653.html</ref>
Penggunaan Bahasa Jerman bagi para imigran menjadi sangat penting agar mereka dapat diterima di lingkungan masyarakat luas. Hal itu ‘memaksa mereka untuk bercakap dengan dua bahasa (''bilingual''); Bahasa [[Jerman]] ketika melakukan aktivitas sehari-hari di luar keluarganya dan Bahasa [[Turki]] ketika melakukan aktivitas di dalam keluarganya. Orang tua mereka pun mendukung anak-anaknya berbicara dengan dua bahasa tersebut. Menurut mereka, meskipun tinggal di [[Jerman]], mereka ingin anak-anaknya tetap mengingat bahasa ‘lidah
== Kewarganegaraan ==
Pada awal tahun 2000, pemerintah [[Jerman]] telah membuat peraturan baru terkait kewarganegaraan di Jerman. Secara tradisional, seseorang dapat disebut sebagai warga negara Jerman apabila memiliki keturunan asli orang [[Jerman]]. Saat itu, aturan itu diubah menjadi siapa pun yang lahir di tanah Jerman secara otomatis akan menerima kewarganegaraan [[Jerman]].<ref>http://www.nytimes.com/2013/04/16/world/europe/16iht-letter16.html</ref> Beberapa persyaratan yang perlu dijadikan catatan antara lain, salah satu orang tua dari anak tersebut harus telah tinggal di Jerman setidaknya dalam waktu delapan tahun dan memegang hak untuk tinggal atau telah memiliki izin tinggal terbatas setidaknya tiga tahun. Kemudian, di antara usia 18 dan 23 anak, anak tersebut harus memilih salah satu kewarganegaraan: ingin menjadi warga negara Jerman atau mengikuti warga negara asli orang tuanya (''option mode'').<ref name=":0">Swastyastu, Monika. 2016. Deutsch Türken dalam Persimpangan Representasi Identitas Jerman-Turki di Freiburg, Jerman. Skripsi. Program Studi Antropologi Universitas Gadjah Mada</ref>
Beberapa mahasiswa [[Turki]] yang tinggal di [[Jerman]] kebanyakan memilih untuk melepas paspor Turki-nya dan memilih untuk menggunakan paspor Jerman. Menurut mereka, dengan memiliki paspor Jerman, kehidupan mereka akan lebih mudah. Sebagai misal, ketika hendak mengikuti ''study tour'' ke negara lain di Eropa, mereka tidak perlu mengurus visa terus menerus yang membutuhkan waktu sampai enam bulan. Dengan memegang visa ''Schengen'' dari Jerman, mereka dapat bepergian ke negara-negara [[Uni Eropa]] secara bebas.<ref name=":6">http://www.worldbulletin.net/turks-in-germany/123704/turks-in-germany-want-to-keep-turkish-citizenship</ref> Selain itu, mereka juga berhak untuk memperoleh pelayanan masyarakat, memilki hak untuk membuka usaha atau bisnis, memiliki hak untuk mempunya pegawai atau pembantu, memiliki hak untuk memilih presiden, dan pasangan pasangan yang bukan Jerman diperbolehkan untuk dibawa dan akan otmatis memperoleh hak ijin kerja. Kebijakan dual kewarganegaraan juga diberikan oleh Jerman kepada Jerman-Turki berkaitan dengan kekuatan presiden Erdogan terkait upaya Turki untuk melindungi warga negaranya di luar negeri, termasuk di Jerman.<ref name=":7">http://www.telegraph.co.uk/news/2017/04/18/senior-german-politicians-call-changes-dual-citizenship-laws/</ref> Tawaran naturalisasi itu menjadi primadona tersendiri, terutama bagi anak muda [[Turki]] yang telah tinggal lama di Jerman. Kebijakan semacam itu dilakukan oleh pemerintah Jerman untuk menyelesaikan permasalahan integrasi dari persoalan migran yang selama ini banyak dialami oleh migran [[Turki]] di Jerman. Namun demikian, kebijakan tersebut tidak sepenuhnya mampu menyelesaikan permasalahan stereotip, diskriminasi, dan marjinalisasi yang dialami oleh mereka.<ref name=":0" />
Dilema terhadap ''option mode'' itu kemudian terjawab dengan diperbaruinya hukum baru di [[Jerman]]. Seorang yang tinggal di Jerman tidak lagi diperkenankan untuk memilih kewarganegaraan mana yang ingin ia pegang, melainkan juga memilih keduanya. Mereka bisa memilih menjadi warga negara Jerman dengan tetap menjadi warga negara Turki. Kebijakan tersebut didukung penuh oleh salah satu partai politik terbesar di Freiburg, yang disebut dengan ''Green Party''. Sementara itu, kebijakan itu mendapat kritik pedas dari partai oposisi, yaitu [[Christian Democratic Union of Germany]] yang menilai bahwa kewarganegaraan ganda akan berdampak pada loyalitas warga negara kepada dua negara. Perdebatan tersebut berlangsung amat panjang di parlemen.<ref name=":5" /> Namun demikian, beberapa mahasiswa Turki di [[Jerman]] telah berhasil memperoleh kewarganegaraan ganda. Ayahnya adalah seorang naturalisasi yang memegang paspor [[Jerman]]. Sementara itu, ibunya adalah seorang yang memegang paspor [[Turki]]. Para mahasiswa tersebut harus melewati serangkaian tes untuk mendaftar dan memperoleh paspor [[Jerman]]. Mereka mengikuti tes tulis seputar pengetahuan mereka tentang Jerman, perpolitikannya, tes Bahasa Jerman, interview dengan Bahasa Jerman, dan kemudian ia lulus sehingga berhak memegang paspor Jerman dan paspor Turki yang sebelumnya memang telah dimilikinya.<ref name=":0" />
Lain lagi ceritanya bagi mereka yang orang tuanya tidak tinggal di Jerman minimal delapan tahun. Mereka tidak dapat mengikuti kebijakan ''option mode''. Dengan begitu, mereka harus rela melepas paspor Turki atau
== Praktik
Praktik keagamaan orang-orang keturunan [[Turki]] di Jerman pada umumnya telah luntur. Sebagian besar dari mereka tidak lagi menganut agama [[Islam]] yang taat sebagaimana yang terjadi di [[Turki]]. Mereka mengaku bahwa mereka kini menjadi lebih sekuler, tidak dogmatik maupun fanatik terhadap ajaran [[Islam]]. Ketika bulan [[Ramadan]] dan [[Hari Raya Idul Fitri]] tiba, mereka juga merayakannya. Mereka berpuasa sebagaimana [[Muslim]] lainnya, kerabat mereka juga datang ke rumah mereka untuk bersilaturahmi. Meskipun begitu, mereka melakukannya hanya untuk bersenang-senang dan menjaga tradisi yang telah diterapkan selama turun-temurun di keluarganya. Bahkan, ayah ibu atau orang tua mereka juga terkadang tidak menjalankan ibadah puasa.<ref name=":4">https://www.thelocal.de/20170512/eight-things-to-know-about-islam-in-germany-muslims-religion</ref>
Selain Ramadhan, mereka juga merayakan [[Natal]]. Sebagian besar dari mereka telah terbiasa memperoleh hadiah [[Natal]]. Momen [[Hari Raya Natal]] juga mereka jadikan sebagai kesempatan untuk pulang atau berlibur ke [[Turki]]. Benar saja, ketika [[Hari Raya Idul Fitri]], pemerintah Jerman tidak memberikan tidak memberikan hari libur.
Lunturnya praktik keagamaan mereka juga tercermin lewat pakaian yang mereka kenakan. Ketrurunan Turki di Jerman tidak lagi mengenakan [[jilbab]] maupun pakaian tertutup lainnya. Mereka berpakaian layaknya gadis-gadis [[Jerman]] pada umumnya yang menggunakan pakaian lengan pendek, rok pendek, sepatu, dan lain-lain. Padahal, di Turki, menutup aurat menjadi penanda bahwa mereka adalah orang [[Turki]]. Meskipun tidak semua orang keturunan Turki yang demikian,
== Bayangan akan Turki ==
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keturunan Jerman-Turki juga menghadapi 'bayangan' akan dualisme identitas. Bagi generasi pertama migran Turki yang menetap di Jerman, hubungan [[kekerabatan]] mereka dengan keluarga mereka di [[Turki]] masih terjaga dengan baik. Bagi mereka, Turki adalah tempat untuk pulang, menghabiskan pensiun, dan hari tua. Mereka bahkan rutin pulang ke [[Turki]] setiap tahun dan mengirimkan uang kepada sanak saudara mereka di sana (''remmitance'').<ref name=":1">Kaya, Ahyan. 2007. German-Turkish Transnational Space: A Separate Space of Their Own. German Studies Review, Vol. 30, No. 3 (pp. 483-502 published by: on behalf of the Johns Hopkins University Press German Studies Association)</ref> Hal berlainan dihadapi oleh anak-anak keturunan Turki di [[Jerman]]. Keturunan Jerman-Turki itu mengalami hal yang bereda dengan orang tuanya terhadap Turki. Mereka yang lahir di [[Jerman]] hanya mengenal kampung halamannya itu melalui nostalgia yang diceritakan oleh orang tuanya, terutama melalui makanan di rumah mereka. Hampir seluruh makanan Turki mendominasi dapur rumah mereka.<ref name=":1" />
Lebih jauh lagi, para keturunan Jerman-Turki itu juga rutin berkunjung ke [[Turki]] setiap tahun. Namun demikian, mereka menggunakan istilah “''going''” bukan “''going home''”. Bagi mereka, [[Turki]] adalah tempat untuk berlibur, bukan untuk pulang. Kegiatan itu sudah menjadi agenda wajib yang mendarah daging bagi mereka, sehingga apabila tidak berkunjung ke [[Turki]], mereka merasa ada sesuatu yang hilang. Selama di [[Turki]], mereka juga berkunjung ke sanak saudara mereka. Para orang tua terutama, akan mengajak anak-anaknya berkunjung ke rumah-rumah para [[keluarga]]. Meskipun demikian, bayangan akan [[Turki]] sangat berbeda antara generasi pertama dengan keturunan Jerman-Turki. Bagi keturunan Jerman-Turki, [[Turki]] bukanlah tempat untuk pulang, melainkan tempat untuk menghabiskan masa berlibur.
Hasrat akan Turki pun dirasa berbeda antara generasi pertama dengan keturunan [[Jerman]]-Turki. Beberapa keturunan Jerman-Turki telah mencoba untuk tinggal di [[Turki]] beberapa minggu. Mereka juga ingin menantang diri mereka sendiri dengan mencoba hidup dan bekerja di Turki. Namun demikian, mereka merasa ada yang berbeda dan ada sesuatu yang mengganggu sehingga mereka tidak nyaman berada di sana. Sistem yang ada di [[Turki]] tentu sangat berbeda dengan yang ada di Jerman. Di Turki, menurut mereka, sistemnya tidak sebagus di [[Jerman]]. Keadaan [[politik]] sangat tidak stabil, dan [[korupsi]] dimana-mana. Terbiasa hidup di [[Jerman]] dengan sistem sedemikian rupa membuat mereka merasa bahwa [[Turki]] bukan tempat yang baik untuk pulang, melainkan cukup menjadi tempat untuk menghabiskan masa liburan.<ref name=":1" />
Lebih jauh lagi, secara khusus para Jerman-Turki juga telah terbiasa hidup dengan sistem yang terorganisir, misalnya dalam hal keamanan berkendara dan ketepatan waktu. Sistem tersebut tentu berbeda dengan yang terjadi di [[Turki]], sehingga mereka merasakan sesuatu yang mengganggu ketika mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan sistem mereka sebelumnya. Para Jerman-Turki juga cukup objektif dalam memberikan penilaian kepada kedua negara. Mengacu pada keuntungan dan kerugian terkait beberapa isu strategis seperti [[hak asasi manusia]], [[demokrasi]], [[pendidikan]], [[toleransi]], nilai-niali, dan kesempatan kerja, para Jerman-Turki lebih memilih Jerman sebagai sebagai negara tempat tinggalnya. Sementara itu, mereka tidak bisa menepis fakta bahwa mereka berada dalam hubungan transnasional antara Jerman dan [[Turki]]. Mereka tetap menjalin hubungan yang baik dengan [[Turki]], dalam hal ini sebagai kampung halaman orang tua mereka.<ref name=":
Dengan demikian, Jerman-Turki mengalami dilema identitas. Mereka adalah anak-anak dari orang tua [[Turki]] yang tinggal dan menetap lama di Jerman. Mereka menikmati pendidikan khas [[Jerman]], belajar Bahasa Jerman, dan lahir di [[Jerman]]. Mereka juga berusaha untuk terintegrasi dengan masyarakat Jerman. Untuk dapat diterima, mereka bertingkah laku layaknya orang [[Jerman]]. Di sisi lain, asal usul mereka sebagai pekerja tamu sering kali dianggap sebelah mata. Masyarakat [[Jerman]] kerap memberikan ''stereotype'' terhadap identitas mereka: konservatif, [[Islam]], tidak berpendidikan.<ref name=":0" />
Baris 56:
*
*
[[Kategori:Jerman-Turki]]
[[Kategori:Identitas]]
|