Tuanku Imam Bonjol: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Ryan Ikhsan R (bicara | kontrib)
Membalikkan revisi 26377438 oleh Ryan Ikhsan R (bicara)
 
(179 revisi perantara oleh 96 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox Prime Minister Officeholder
| name = Tuanku Imam Bonjol
| nationality = {{negara|Pagaruyung}} [[Minangkabau]]
| image = Tuanku_Imam_BonjolPortret van Tuanku Imam Bonjol.jpg‎jpg
| caption = Gambar Tuanku Imam Bonjol oleh [[Hubert Joseph Jean Lambert de Stuers|Hubert de Stuers]] (sekitar 1820)
| order = Pemimpin Perang Padri
| monarch = [[Pagaruyung]]
| term_start = k.[[1821]]
| term_end = k.[[1837]]
| birth_date = [[1 Januari]] = [[1772]]
| birth_place = {{negara|Pagaruyung}} [[Bonjol]], [[Luhak Agam]], [[Kerajaan Pagaruyung]]
| death_date = [[6 November]] [[1864]] (umur 92)
| death_place = {{negara|Hindia Belanda}} LotakLotta, [[Pineleng, Minahasa|Pineleng]], [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], [[Hindia Belanda]]
|spouse =
|religion = [[Islam]]
}}
 
[[Tuanku]] '''Tuanku Imam Bonjol''' (lahir di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]], [[KabupatenLuhak Pasaman|PasamanAgam]], [[SumateraKerajaan BaratPagaruyung|Pagaruyung]], [[Indonesia]] [[1 Januari]] [[1772]] - wafat dalam [[pengasingan]] dan dimakamkandi[[makam]]kan di Lotak[[Lotta, Pineleng, Minahasa|Lotta]], [[Pineleng, Minahasa|Pineleng]], [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], [[6 November]] [[1864]]), adalah salah seorang [[ulama]], [[pemimpin]] dan [[Pahlawan|pejuang]] yang berperang melawan [[Belanda]] dalam peperangan yang dikenal dengan nama [[Perang Padri]] pada tahun 1803-18381803–1838.<ref name="Radjab">{{cite book|last=Radjab|first=M.,|authorlink=Muhamad Radjab|coauthors=|title=Perang Paderi di Sumatera Barat, 1803-1838|year=1964|publisher=Balai Pustaka|location=|id= }}</ref> Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal [[6 November]]tahun [[1973]].<ref>Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan, (1991), ''Wajah dan sejarah perjuangan pahlawan nasional'', Vol. 3, Departemen Sosial R.I., Direktorat Urusan Kepahlawanan dan Perintis Kemerdekaan.</ref>
 
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah '''Muhammad Shahab''', yang lahir di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] pada [[1 Januari]] [[1772]]. Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, [[Suliki Gunung Mas, Lima Puluh Kota|Suliki, Lima Puluh Kota]].<ref>Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera, 1996</ref> Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa gelar, yaitu ''Peto Syarif'', ''Malin Basa'', dan ''Tuanku Imam''. [[Tuanku nan Renceh]] dari [[Kamang Magek, Agam|Kamang, Agam]] sebagai salah seorang pemimpin dari ''Harimau nan Salapan'' adalah yang menunjuknya sebagai ''Imam'' (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatera Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan Perpustakàan Provinsi Sumatera Barat.
Salah satu naskah asli yang memuat riwayat hidup Tuanku Imam Bonjol tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat.<ref>{{Cite web|date=2017-11-20|title=Pemprov Sumbar Akan Jemput Naskah Tuanku Imam Bonjol ke Belanda - Harian Haluan|url=https://www.harianhaluan.com/sumbar/pr-10204055/pemprov-sumbar-akan-jemput-naskah-tuanku-imam-bonjol-ke-belanda|website=Pemprov Sumbar Akan Jemput Naskah Tuanku Imam Bonjol ke Belanda - Harian Haluan|language=id|access-date=2023-05-24}}</ref>
 
== Masa muda ==
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah '''Ahmad Syahab''' atau '''Muhammad Syahab''', yang lahir di [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]] pada [[1 Januari]] [[1772]].<ref name=":1" /> Ia merupakan putra dari pasangan Khatib Rajanuddin atau dikenal dengan sebutan Buya Nuddin dan Hamatun.<ref name=":1">{{Cite book|last=Muttaqin|first=Fajriudin, dkk.|date=2015-08-04|url=https://books.google.com/books?id=RFAyDwAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA66&dq=Khatib+Bayanuddin&hl=id|title=SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL|publisher=Humaniora|isbn=978-979-778-269-6|language=id}}</ref> Ayahnya, Khatib Buya Nuddin merupakan seorang [[ulama|alim ulama]] yang berasal dari [[Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota|Sungai Rimbang]], [[Suliki Gunung Mas, Lima Puluh Kota|Suliki, Lima Puluh Kota]].<ref name=":1" /><ref>Muhammad Syamsu As, Ulama pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Lentera, 1996</ref> Ibunya Hamatun adalah seorang [[Aljazair]] yang telah lama bermukim di [[Maroko]], yang kemudian bersama pamannya Syekh Usman merantau ke Ganggo Mudiak, [[Bonjol, Pasaman|Bonjol]].<ref>Sjafnir Aboe Nain, (1988), ''Tuanku Imam Bonjol: Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau, 1784-1832'', Universitas Michigan.</ref> Mereka lalu diterima masuk ke dalam tatanan adat Minangkabau, dimana Syekh Usman menjadi penghulu kaum keturunannya, sebagai bagian klan [[suku Koto]].<ref name=":2" />
 
Setelah dewasa dan menjadi ulama dan pemimpin, Muhammad Syahab mendapat beberapa gelar dari masyarakat setempat, yaitu ''Peto Syarif'', ''Malin Basa'', ''Datuk Bagindo Suman'',<ref name=":2">{{Cite book|last=Djaja|first=Tamar|date=1965|url=https://books.google.com/books?id=ZQ8-AAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Datuk+Bagindo+Suman+kadli&q=Datuk+Bagindo+Suman+kadli&hl=id|title=Pustaka Indonesia: riwajat hidup orang-orang besar tanah air|publisher=Bulan Bintang|pages=340|language=id|url-status=live}}</ref> dan terakhir ''Tuanku Imam''.<ref name=":1" /><ref>https://books.google.co.id/books?id=k57rCgAAQBAJ&pg=PT29&dq=peto+%22pendeta%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiSqNLd7N3mAhUXfH0KHTMACcQQ6AEIMTAB#v=onepage&q=peto%20%22pendeta%22&f=false</ref>
 
Tuanku Imam Bonjol tidak terlibat sejak awal dalam Perang Padri. Ia baru terlibat setelah [[Tuanku nan Renceh]] dari [[Kamang Magek, Agam|Kamang, Agam]] sebagai salah seorang pemimpin ''[[Harimau Nan Salapan]]'' menunjuknya sebagai ''imam'' (pemimpin) bagi [[kaum Padri]] di [[Bonjol]].<ref name=":1" /> Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.<ref name=":1" />
 
== Perang Padri ==
{{utama|Perang Padri}}
{{Refimprove-section}}
Tak dapat dipungkiri, [[Perang Padri]] meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang [[suku Minangkabau|Minang]] dan [[suku Mandailing|Mandailing]] atau [[suku Batak|Batak]] umumnya.
[[File:Makam_Tuanku_Imam_Bonjol_di_Minahasa_2.jpg|jmpl|ki|300px|Makam Tuanku Imam Bonjol di [[Pineleng, Minahasa|Pineleng]], [[Minahasa]]]]
 
Tak dapat dipungkiri, [[Perang Padri]] meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalamdi memori''ranah'' bangsaMinangkabau. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-18211803–1821) praktisumumnya yang berperang adalah sesama orang [[suku Minangkabau|Minang]] dan [[suku Mandailing|Mandailing]] atau [[suku Batak|Batak]] umumnya.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di [[kerajaan Pagaruyung]] untuk menerapkan dan menjalankan syariat [[Islam]] sesuai dengan ''Ahlus Sunnah wal Jamaah'' ([[Sunni]]) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah ''shalallahu 'alaihi wasallam''. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam ''Harimau nan Salapan'' meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] beserta [[Kaum Adat]] untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (''bid'ah'').
 
Pada awalnyaAwal timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangandi kalangan pemimpin ulama di [[kerajaan Pagaruyung]] untuk menerapkan dan menjalankan [[syariat]] [[Islam]] sesuai dengan ''Ahlus Sunnah wal Jamaah'' ([[Sunni]]) yang berpegang teguh pada [[Al-Qur'an]] dan sunnah-sunnah Rasullullah ''shalallahu 'alaihi wasallam''. Kemudian pemimpinPemimpin ulama yang tergabung dalam ''Harimau nan Salapan'' meminta [[Tuanku Lintau]] untuk mengajak [[Yang Dipertuan Pagaruyung]] beserta [[Kaum Adat]] untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (''[[bid'ah]]'').
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara [[Kaum Padri]] (penamaan bagi kaum ulama) dengan ''Kaum Adat''. Seiring itu dibeberapa [[nagari]] dalam [[kerajaan Pagaruyung]] bergejolak, dan sampai akhirnya ''Kaum Padri'' di bawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]] dekat [[Batu Sangkar]]. [[Sultan Arifin Muningsyah]] terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
 
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara [[Kaum Padri]] (penamaan bagi kaum [[ulama]]) dengan ''[[Kaum Adat'']]. Seiring itu dibeberapadi beberapa [[nagari]] dalam [[kerajaan Pagaruyung]] bergejolak, dan sampai akhirnya ''Kaum Padri'' di bawah pimpinan [[Tuanku Pasaman]] menyerang [[Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar|Pagaruyung]] pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di [[Koto Tangah, Tanjung Emas, Tanah Datar|Koto Tangah]] dekat [[Batu Sangkar]]. [[Sultan Arifin Muningsyah]] terpaksa melarikan diri dari ibukotaibu kota kerajaan ke Lubukjambi[[Pasar Lubuk Jambi, Kuantan Mudik, Kuantan Singingi|Lubuk Jambi]].
Pada [[21 Februari]] [[1821]], kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah [[Hindia Belanda]] berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di [[Padang]], sebagai kompensasi [[Belanda]] mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).<ref>G. Kepper, (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref> Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti [[kerajaan Pagaruyung]] di bawah pimpinan [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] yang sudah berada di [[kota Padang|Padang]] waktu itu.
 
Pada [[21 Februari]] [[1821]], [[kaum Adat]] secara resmi bekerja sama dengan pemerintah [[Hindia Belanda]] berperang melawan [[kaum Padri]] dalam [[perjanjian]] yang ditandatangani di [[Padang]],. sebagaiSebagai kompensasi, [[Belanda]] mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah [[darek]] ([[pedalaman Minangkabau]]).<ref>G. Kepper, (1900), ''Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900'', M.M. Cuvee, Den Haag.</ref> Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti [[kerajaan Pagaruyung]] di bawah pimpinan [[Bagagarsyah dari Pagaruyung|Sultan Tangkal Alam Bagagar]] yang sudah berada di [[kota Padang|Padang]] waktu itu.
Campur tangan [[Belanda]] dalam perang itu ditandai dengan penyerangan [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang, Dalam hal ini ''Kompeni'' melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
 
Campur tangan [[Belanda]] dalam perang itu ditandai dengan penyerangan [[Simawang, Rambatan, Tanah Datar|Simawang]] dan [[Sulit Air, X Koto Diatas, Solok|Sulit Air]] oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah [[Residen]] James du Puy di [[Padang,]]. Dalam hal ini, Belanda ''Kompeni''beralasan melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jenderal [[Johannes van den Bosch]] mengajak pemimpin ''Kaum Padri'' yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat ''Perjanjian Masang'' pada tahun [[1824]]. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti [[Perang Diponegoro]]. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari [[Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Pandai Sikek]].
 
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padriPadri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui [[Gubernur Jenderal]] [[Johannes van den Bosch]] lalu mengajak pemimpin ''Kaum Padri'' yang waktukala itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat ''Perjanjian Masang'' pada tahun [[1824]]. Hal ini dimaklumi karena disaatpada saat bersamaan [[Batavia|Belanda]] juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah[[Eropa]] dan [[Jawa]], seperti [[Perang Diponegoro]]. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh [[Belanda]] dengan menyerang [[nagari]] [[Pandai Sikek, Sepuluh Koto, Tanah Datar|Pandai Sikek]].
Namun, sejak awal [[1833]] perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat [[Minangkabau]] itu sendiri.
<ref name="Nain">Sjafnir Aboe Nain, , (2004), ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)'', transl., Padang: PPIM.</ref> Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama ''Plakat Puncak Pato'' di [[Tabek Patah, Salimpaung, Tanah Datar|Tabek Patah]] yang mewujudkan [[konsensus]] ''Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah'' (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah ([[Al-Qur'an]])).
 
Namun, sejak awal [[1833]] perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Padri melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan rakyat Minangkabau itu sendiri.<ref name="Nain">Sjafnir Aboe Nain, , (2004), ''Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)'', transl., Padang: PPIM.</ref> Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama ''Plakat Puncak Pato'' di [[Tabek Patah, Salimpaung, Tanah Datar|Tabek Patah]] yang mewujudkan [[konsensus]] ''Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah'' (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah ([[Al-Qur'an]])).
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya ''Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?'' (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).<ref name="Nain" />
 
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang [[Minang]], [[Mandailing]] dan [[Batak]], terefleksi dalam ucapannya ''Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?'' (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).<ref name="Nain" /> Kemudian semuanya bersorak "''ah, saketek indak baã, iyo biktu awak samo awak badusanak''" ([[Bahasa Indonesia]]: ah, sedikit tidak apa, iya seperti itu jika kita bersaudara).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh [[Belanda]] dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)<ref>G. Teitler, 2004, ''Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie'', Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 59-183.</ref> yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti [[suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]], [[Suku Bugis|Bugis]], dan [[Pulau Ambon|Ambon]]. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama ''Inlandsche'' ([[pribumi]]) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
 
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh [[Belanda]] dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)<ref>G. Teitler, 2004, ''Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie'', Amsterdam: De Bataafsche Leeuw, 59-183.</ref> yang dipimpin oleh [[jenderal]] dan para [[perwira]] Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa [[pribumi]] yang terdiri dari berbagai suku, seperti [[suku Jawa|Jawa]], [[Suku Madura|Madura]], [[Suku Bugis|Bugis]], dan [[Pulau Ambon|Ambon]]. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jenderal Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, dan Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapiTetapi juga terdapat nama-nama ''Inlandscheinlandsche'' ([[pribumi]]) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, ''Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen'' (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Padri.
 
DariPada [[Batavia]]saat penyerangan pertama, Belanda didukung oleh 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, dan 4.130 tentara pribumi. Serangan terhadap benteng Bonjol dimulai oleh orang-orang Bugis yang berada di bagian terdepan. Namun karena pertahanan Padri sangatlah kuat, maka didatangkan teruslagi tambahan kekuatanpasukan tentaradari Belanda[[Batavia]], di mana pada tanggal [[20 Juli]] [[1837]] mereka tiba di Padang dengan Kapal Perle. diPasukan Padang,tersebut terdiri dari Kapitein Sinninghe, sejumlah orang [[Eropa]] dan [[Afrika]], 1 ''sergeant'', 4 ''korporaals'' dan 112 ''flankeurs''. Yang belakangan ini menunjukmerujuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benuakawasan itu,yang kinisekarang negarabernama [[Ghana]] dan [[Mali]]. Mereka juga disebut ''Sepoys'' danyang berdinas dalam tentaraketentaraan Belanda.
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal [[16 Agustus]] [[1837]], Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
 
[[Berkas:Masjid Imam Bonjol di Minahasa.jpg|jmpl|ki|300px|Masjid Imam Bonjol]]
Dalam bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke [[Palupuh, Agam|Palupuh]] untuk berunding. Tiba di tempat itu langsung ditangkap dan dibuang ke [[Cianjur]], [[Jawa Barat]]. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], dekat [[Manado]]. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal [[8 November]] [[1864]]. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut
Setelah datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali pengepungan,pengepungannya. dan padaDi masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit,. namunNamun ia masih terus bertahan tak sudi untuk menyerah kepada Belanda. Sehingga sampai untuk ketigatiga kali Belanda mengganti komandan perangnya, untukbarulah merebutpada Bonjol,tanggal yaitu[[16 sebuahAgustus]] negeri[[1837]], kecilBenteng denganBonjol -- benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal [[16 Agustus]] [[1837]], Benteng Bonjol-- dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,<ref>Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda</ref> sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] sejak tanggal [[6 November]] [[1973]].
 
Tuanku Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai pejabat kolonial Belanda.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Hadler|first=Jeffrey|date=2008/08|title=A Historiography of Violence and the Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and the Uses of History|url=https://www.cambridge.org/core/journals/journal-of-asian-studies/article/historiography-of-violence-and-the-secular-state-in-indonesia-tuanku-imam-bondjol-and-the-uses-of-history/E87E1A7ADBE2861999240C78C27C0829|journal=The Journal of Asian Studies|language=en|volume=67|issue=3|pages=971–1010|doi=10.1017/S0021911808001228|issn=1752-0401}} Halaman 986-989, 1002</ref> Imam Bonjol dibuang ke ke [[Cianjur]], [[Jawa Barat]]. Kemudian dipindahkan ke [[Ambon]] dan akhirnya ke Lotta, [[Kabupaten Minahasa|Minahasa]], dekat [[Manado]].<ref>{{Cite web|date=2018-03-21|title=Menyusuri Makam Tuanku Imam Bonjol di Minahasa|url=https://republika.co.id/share/p5x1v7328|website=Republika Online|language=id|access-date=2023-05-24}}</ref> Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal [[8 November]] [[1864]]. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Tuanku Imam Bonjol menulis [[autobiografi]] yang dinamakan ''Naskah Tuanku Imam Bonjol'' yang antara lain berisi penyesalannya atas kekejaman dalam perang Padri.<ref name=":0" /> Tulisan tersebut merupakan karya sastra autobiografi pertama dalam [[Bahasa Melayu|bahasa Melayu]] yang disimpan oleh keturunan Imam Bonjol serta dipublikasikan tahun 1925 di [[Berkeley, California|Berkeley]]<ref>Imam Bondjol, Tuanku, and Naali, Sutan Caniago (1925) ''Naskah Tuanku Imam Bondjol [manuscript in Arabic-script Minangkabau]'', University of California, Berkeley. Doe Library, DS646.15.S76.I43.</ref> dan tahun 2004<ref>Imam Bondjol, Tuanku, (2004), ''Naskah Tuanku Imam Bonjol'', Transliterator Syafnir Aboe Nain, Padang: PPIM.</ref> di Padang.<ref name=":0" />
Selain itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran [[Bank Indonesia]] [[6 November]] [[2001]].<ref>http://www.tokohindonesia.com [http://www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku] (diakses pada 23 Juli 2010)</ref>
 
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan,<ref>Kompas 10/11/2007 Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada [[Opleiding Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië]], [[Universiteit Leiden]], [[Belanda]]</ref> sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] sejak tanggal [[6 November]] [[1973]].
 
Selain itu, nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rpuang 5Rp5.000 keluaran [[Bank Indonesia]] [[6 November]] [[2001]].<ref>http://www.tokohindonesia.com [http://www.tokohindonesia.com Imam Bonjol, Tuanku] (diakses pada 23 Juli 2010)</ref>
 
== Keturunan ==
Diantara anak-anak Tuanku Imam Bonjol, yakni Sutan Chaniago dan Sutan Saidi (lain ibu). Ibu Sutan Chaniago berasal dari Alahan Panjang, sedangkan ibu Sutan Saidi berasal dari Koto Lawas, Koto Tinggi.<ref>{{Cite book|last=Nain|first=Sjafnir Abu|date=2004|url=https://books.google.com/books?id=CdNwAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=naali+sutan&q=naali+sutan&hl=id|title=Naskah Tuanku Imam Bonjol|publisher=Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau|isbn=978-979-3797-05-2|language=ms}}</ref> Selepas Perang Padri, Sutan Chaniago diangkat menjadi Kepala Laras Alahan Panjang (1851–1875), sementara Sutan Saidi dibuang bersama Tuanku Imam Bonjol ke Manado dan kembali ke Bonjol setelah sang ayah meninggal.<ref>{{Cite book|last=Nain|first=Sjafnir Abu|date=1988|url=https://books.google.com/books?id=Ui0eAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=naali+sutan&q=naali+sutan&hl=id|title=Tuanku Imam Bonjol: sejarah intelektual Islam di Minangkabau, 1784-1832|publisher=Esa|language=id}}</ref>
 
Putra Imam Bonjol lainnya bernama Mahmud tewas kena tusukan bayonet saat Belanda menaklukkan [[Benteng Bukit Tajadi]] pada 1836.<ref>{{Cite book|last=Martamin|first=Mardjani|date=1984|url=https://books.google.com/books?id=IwseAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=MARDJANI+MARTAMIN&q=MARDJANI+MARTAMIN&hl=en|title=Tuanku Imam Bonjol|publisher=Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional|pages=20|language=id|url-status=live}}</ref>
 
== Referensi ==
{{reflist|2}}
 
== PranalaLihat luarjuga ==
* [[Makam Tuanku Imam Bonjol]]
 
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/294-pahlawan/1367-imam-bonjol Bio Imam Bonjol di Ensiklopedi Tokoh Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20131126094534/http://www.tokohindonesia.com/tokoh/article/294-pahlawan/1367-imam-bonjol |date=2013-11-26 }}
 
{{Pahlawan Indonesia}}
Baris 67 ⟶ 82:
[[Kategori:Tokoh pejuang yang dibuang]]
[[Kategori:Tokoh Islam Indonesia]]
[[Kategori:Arab-Indonesia]]
[[Kategori:Ulama Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh pejuang Minangkabau]]
[[Kategori:Tokoh dari Pasaman]]
[[Kategori:Marga Shahab]]