Sultan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Mengganti Gentile_Bellini_003.jpg dengan Bellini,_Gentile_-_Sultan_Mehmet_II.jpg (berkas dipindahkan oleh CommonsDelinker; alasan: File renamed: 2). |
||
(52 revisi perantara oleh 28 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Bellini, Gentile - Sultan Mehmet II.jpg|jmpl|upright=0.9|[[Mehmed II]], Sultan Utsmaniyah. Juga dikenal dengan Muhammad Al-Fatih. Dilukis oleh Gentile Bellini (1429–1507).]]
'''Sultan''' ([[bahasa Arab]]: سلطان, ''sulṭān'') adalah gelar dalam [[Dunia Islam|dunia Muslim]] yang digunakan untuk merujuk berbagai kedudukan yang beragam dalam sepanjang sejarah penggunaannya. Seringnya, Sultan digunakan untuk kedudukan yang mengacu pada [[kepala monarki]] Muslim yang berkuasa atas sebuah negara/ wilayah Islam.
Di masa modern, gelar Sultan kerap disamakan dengan [[khalifah]]. Padahal, terdapat beberapa perbedaan mendasar atas kedua gelar ini. Khalifah merupakan gelar untuk pemimpin seluruh umat Islam (terlepas sebagai pemimpin secara hierarkis atau sekadar simbolis — dikuatkan secara adat-tradisi keislaman & bernuansa sakral). Sementara Sultan, secara makna hanyalah penguasa dari sebuah negara/ wilayah Muslim di tempat ia bertahta saja. Sehingga seorang Sultan bukanlah pemimpin umat Muslim yang tidak berada di wilayah kekuasaannya & kepemimpinannya bersifat pluralis — menerima semua corak warna islam beserta agama selainnya.
Gelar Khalifah dan Sultan kerap disama artikan, hal tersebut karena adanya pengaruh dari penguasa Utsmani yang menyandang gelar khalifah dan sultan secara bersamaan sekitar empat abad lamanya. Yangmana, tentu berakibat mengaburkan batas peran serta tugas utama dari kedua kedudukan tersebut.
Gelar sultan pertama kali diberikan oleh Khalifah al-Mu'tasim dari Dinasti Abbasiyah kepada seorang panglima muslim turki bernama Asynas at-Turki. Sebagai sultan, Asynas at-Turki mempunyai kekuasaan yang besar, tetapi ia tetap berada di bawah dan tunduk kepada Khalifah al-Mu'tasim. Setelah al-Mutawakkil wafat, khalifah-khalifah berikutnya tidak mampu lagi melawan kehendak tentara pengawal dan sultan-sultan. Bahkan turun-naiknya khalifah banyak ditentukan oleh tentara pengawal dan sultan.▼
Sultan juga kerap disamakan dengan [[Raja (gelar)|raja]] (ملك, ''malik''). Meski sama-sama merujuk kepada kepala monarki islam, sultan memiliki konotasi agama Islam yang lebih dominan di dalamnya. Dan secara umum tidak dijumpai Sultan yang beragama selain Islam. Sehingga kedua gelar tersebut memanglah tidak dapat disamakan. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak dialih bahasakan menjadi 'raja'. Dalam berbagai bahasa setempat di seluruh belahan dunia, Sultan tetap ditulis Sultan — diserap apa-adanya.
== Sultan di Indonesia ==▼
Di Indonesia, raja pertama yang diketahui menyandang gelar "Sultan" adalah [[Sultan Sulaiman]] (wafat 1211) dari [[Lamreh]] (kini di provinsi [[Aceh]]).▼
Meski kerap diidentikan dengan seorang laki-laki yang menjadi kepala monarki Muslim di suatu negara/ wilayah Muslim, sultan juga pernah secara resmi digunakan oleh wanita yang menjadi kepala monarki Islam, contohnya di Kesultanan Aceh. Meski secara bahasa, sultan memiliki bentuk wanita, yakni sultanah. Di [[Kesultanan Utsmaniyah|Kesultanan Utsmani]], sultan juga digunakan tidak hanya untuk kepala negara saja, tetapi juga kerabatnya. Kerabat laki-laki dari sang raja yang bertahta menyandang gelar Sultan di depan nama dan perempuan di belakang nama.
Di Jawa, raja pertama yang memakai gelar "Sultan" adalah [[Pangeran Ratu]] dari [[Kesultanan Banten|Banten]] (bertahta 1596—1651), yang mengambil nama tahta Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1638. Ini berarti misalnya sebutan "[[Sultan Trenggana]]" (bertahta 1505—1518 dan 1521—1546) adalah salah, karena Trenggana bertahta sebelum tahun 1638 tersebut.▼
== Etimologi ==
Pada awalnya, sultan merupakan [[Nomina|kata benda]] yang berarti "kekuatan", "kewenangan", atau "kepemimpinan", diturunkan dari kata kerja ''sulṭah'' (سلطة) yang bermakna "wewenang" atau "kuasa". Wilayah kekuasaan sultan disebut kesultanan (سلطنة, ''salṭanah''). Dalam bahasa Ibrani, ''shilton'' atau ''shaltan'' ([[bahasa Ibrani]]: שלטן) berarti "wilayah kekuasaan" atau "rezim".
Bentuk wanita dari gelar sultan adalah sultanah dan dapat digunakan untuk merujuk pada sultan wanita atau istri dari sultan pria. Hal tersebut pula sering dikaitkan bahwa seorang raja wanita adalah aset kesultanan, karena sultanah sendiri juga bermakna kesultanan.
== Kepala negara ==
{{Islam}}
▲Gelar sultan pertama kali diberikan oleh Khalifah
Dalam periode ini, sultan berperan selayaknya seorang amir, yakni setara dengan gubernur dan khalifah menjadi kepala negara dan pemerintahan dari sebuah kekaisaran besar. Pada keberjalanannya, kekuatan politik khalifah makin menyusut dan sultan secara ''de facto'' menjadi independen. Meski demikian, para sultan ini masih mengakui ketundukan kepada khalifah secara simbolis.
Setelah Baghdad hancur oleh serangan Mongol pada 1258, kekuatan politik khalifah lenyap sehingga khalifah setelah ini hanya berperan sebagai pemimpin umat Islam sepenuhnya simbolis, dan lebih dalam konteks keagamaan daripada pemerintahan seperti periode sebelumnya. Dengan keadaan demikian, tiap sultan menjadi pemimpin tertinggi di wilayah kekuasaannya masing-masing secara resmi. Dengan demikian, sultan dapat disetarakan dengan [[Raja (gelar)|raja]] atau [[kaisar]]. Keadaan ini tetap berlangsung setelah kekhalifahan dibubarkan pada 1924.
Saat ini, negara berdaulat yang kepala negaranya menyandang gelar sultan adalah [[Oman]] dan [[Brunei Darussalam]].
=== Kepala negara bawahan ===
Selain digunakan oleh penguasa dari negara berdaulat seperti [[Kesultanan Utsmaniyah|Kesultanan Utsmani]] dan [[Kesultanan Mamluk (Kairo)|Mamluk]], sultan juga digunakan untuk kepala monarki yang negaranya secara resmi menjadi bawahan negara lain. Di sumatera bagian timur (wilayah indonesia sebelum penjajahan belanda) pemimpin dari Kesultanan Deli dan Kesultanan Asahan juga menyandang gelar sultan, akan tetapi di awal pendirian, kedua negeri tersebut dibawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam.
[[Malaysia]] merupakan sebuah negara monarki konstitusional yang terdiri dari [[Negara bagian dan wilayah persekutuan di Malaysia|tiga belas negara bagian]]. Beberapa kepala negara bagian ini bergelar sultan, seperti [[Johor]], [[Kedah]], dan [[Kelantan]].
Di Indonesia, Sultan Abdurrahman (Hamengkubuwana) dari Yogyakarta berperan sebagai seorang sultan dan gubernur secara bersamaan, serta menjadi bawahan dari kepemerintahan republik yang dalam hal ini di pegang presiden selaku kepala negara Republik Indonesia.
▲=== Sultan di Indonesia ===
▲Di Indonesia, raja pertama yang diketahui menyandang gelar "Sultan" adalah [[Sultan Sulaiman]] (wafat 1211) dari [[Lamreh]] (kini
▲Di Jawa, raja pertama yang memakai gelar "Sultan" adalah [[Pangeran Ratu]] dari [[Kesultanan Banten|Banten]] (bertahta 1596—1651), yang mengambil nama tahta Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir tahun 1638.
Di Indonesia, gelar ini hingga kini masih digunakan (meski hanya bersifat seremonial — pengecualian untuk Yogyakarta) antara lain:
* [[Keraton Kasepuhan|Sultan Kasepuhan]], [[Keraton Kanoman|Sultan Kanoman]] dan [[Keraton Kacirebonan|Sultan Kacirebonan]] di [[Cirebon]];
* [[Kesultanan Deli|Sultan Deli]] di [[Kota Medan|Medan]];
* [[Kesultanan Palembang Darussalam|Sultan Palembang]];
* [[Kesultanan Kutai|Sultan Kutai]];
* [[Kesultanan Pontianak|Sultan Pontianak]];
* [[Kesultanan Buton|Sultan Buton]];
* [[Kesultanan Ternate|Sultan Ternate]];
* [[Kesultanan Tidore|Sultan Tidore]];
* [[Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Sultan Yogyakarta]] saat ini
===
{{artikel|Sultanah}}
Secara bahasa, gelar sultan memiliki bentuk wanita, [[sultanah]]. Meski demikian, beberapa wanita secara resmi menyandang gelar sultan, bukan sultanah, saat berkuasa, seperti [[Syajaruddur]] yang berkuasa di Mesir pada 1250 dan [[Razia Sultana|Razia Sultan]] yang berkuasa di India pada 1236 - 1240. Sebagian muslimah lain yang naik takhta menjadi penguasa menyandang gelar sultanah.
=== Sultan dan raja ===
Sultan kerap disepadankan dengan [[Raja (gelar)|raja]] (ملك, ''malik'') lantaran keduanya sama-sama merujuk kepada kepala monarki. Meski demikian, gelar sultan memiliki kandungan keislaman di dalamnya sehingga hanya penguasa Muslim yang dapat menyandang gelar ini.<ref name="Montgomery2004">{{cite book|author=James Edward Montgomery|title=ʻAbbasid Studies: Occasional Papers of the School of ʻAbbasid Studies, Cambridge, 6-10 July 2002|url=https://books.google.com/books?id=VHZXeOs_xYsC&pg=PA83|year=2004|publisher=Peeters Publishers|isbn=978-90-429-1433-9|pages=83}}</ref><ref name="Kassis1999">{{cite book|author=Riad Aziz Kassis|title=The Book of Proverbs and Arabic Proverbial Works|url=https://books.google.com/books?id=_zvXrQ7W7PEC&pg=PA65|year=1999|publisher=BRILL|isbn=90-04-11305-3|pages=65}}</ref> Hal ini berbeda dengan gelar raja yang lebih cenderung netral dan sekuler. Dengan demikian, sultan tidak dapat disamakan dengan raja secara mutlak, meski memang ada beberapa persamaan di antara keduanya. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak diterjemahkan menjadi 'raja', tetapi diserap apa-adanya dengan sedikit perubahan dalam dialek penduduk yang bersangkutan.
Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa kepala monarki Muslim mengganti gelar sultan yang mereka sandang, menggantinya dengan 'raja'. Salah satu contohnya adalah [[Maroko]] yang melakukan pergantian gelar ini pada 1957.
== Penggunaan lain ==
Di Kesultanan Utsmani, gelar sultan tidak hanya disandang oleh kepala negara, tetapi juga anggota keluarganya. Para pangeran (''[[Şehzade]]'') menyandang gelar itu sebelum namanya dan para putri menyandang gelar itu setelah namanya. Contoh: Şehzade Sultan Mehmed dan [[Mihrimah Sultan]], putra dan putri Sultan [[Süleyman I|Suleiman Al Qanuni]]. Layaknya para putri, ibu suri dan permaisuri sultan juga menyandang gelar itu setelah nama mereka, seperti [[Hafsa Sultan]], ibunda Suleiman dan ''valide sultan'' pertama, dan [[Hürrem Sultan]], istri Suleiman dan ''[[haseki sultan]]'' pertama. Penggunaan ini menegaskan konsep Utsmani terkait kekuasaan sebagai kewenangan keluarga.<ref name=":0">{{Cite book|title = The Imperial Harem: Women and Sovereignty in the Ottoman Empire|last = Peirce|first = Leslie P.|publisher = Oxford University Press, Inc.|year = 1993|isbn = 0-19-507673-7|location = New York|pages = }}</ref>
== Galeri ==
<gallery>
Berkas:Stamps of Indonesia, 050-06.jpg|Prangko [[Sultan Agung]]
Baris 29 ⟶ 68:
Berkas:Stamps of Indonesia, 053-06.jpg|Prangko [[Sultan Hasanuddin]]
</gallery>
== Budaya populer ==
Dalam film animasi [[Disney]] [[Aladdin (film 1992)|Aladdin]], Sultan adalah gelar bagi penguasa Agrabah. Dalam adaptasinya pada [[Aladdin (film 2019)|Aladdin (2019)]], putri dan anak tunggalnya, Jasmine, mewarisi takhta Agrabah sebagai sultan.
Di Indonesia, dewasa ini kata "Sultan" mengalami pergeseran makna dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kalangan pemuda. "Sultan" menjadi sebutan untuk seseorang atau artis kaya raya yang memiliki gaya hidup mewah.
== Daftar sultan sekarang ==
Daftar berikut adalah penguasa monarki berdaulat yang gelarnya diterjemahkan sebagai sultan, yang berbeda dengan [[Raja (gelar)|raja]] atau [[kaisar]].
{| class="wikitable sortable" width="75%"
|+
!Sultan
!Negara
!Sejak Tanggal
|-
| align="center" |'''[[Hassanal Bolkiah dari Brunei|Hassanal Bolkiah]]'''<br>[[Berkas:Hassanal Bolkiah.jpg|al=|165x165px]]
|{{flag|Brunei Darussalam}}
|4 Oktober 1967
|-
| align="center" |'''[[Haitham dari Oman|Haitham]]'''<br>[[Berkas:Secretary Pompeo Meets with the Sultan of Oman Haitham bin Tariq Al Said (49565463757) (cropped).jpg|al=|141x141px]]
|{{flag|Oman}}
|11 Januari 2020
|}
== Lihat pula ==
Baris 34 ⟶ 95:
* [[Sunan]]
==
{{Reflist}}
=== Daftar pustaka ===
* Khalid, Abu, MA. ''Kamus Arab Al-Huda Arab-Indonesia'', Penerbit Fajar Mulya, Surabaya (tanpa tahun).
* Anonim, 2002, ''Ensiklopedi Islam'', Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
[[Kategori:Penguasa monarki]]
|