Antropologi forensik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-darimana; +dari mana) |
Rescuing 0 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8 |
||
(8 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Ilmu forensik|fisio}}
'''Antropologi forensik''' adalah cabang antropologi biologi berbasis [[osteologi]] dan [[anatomi]] manusia yang digunakan dalam pengidentifikasian individu untuk kepentingan [[hukum]] dan peradilan.<ref name=":0"><nowiki>http://www.flevin.com/id/lgso/legislation/Mirror/czozMToiZD1ibisyMDExJmY9Ym40NjYtMjAxMS5wZGYmanM9MSI7.pdf</nowiki>
Antropologi forensik juga didefinisikan sebagai area penelitian yang fokus pada pemeriksaan material yang dipercaya sebagai manusia, yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait kedokteran dan hukum (''medico-legal'') yang berhubungan dengan proses identifikasi. Sebagaimana didefinisikan oleh ''[[American Board of Forensic Anthropology
== Identifikasi Forensik ==
Antropologi forensik juga menunjang pelayanan yang diberikan [[kedokteran forensik]]- salah satu jenis [[forensik]] yang sering dipakai untuk mengungkap tindak kejahatan
Proses identifikasi dilakukan dengan minimal menggunakan salah satu dari tiga kriteria primer yang ada, yakni [[gigi]], [[tulang]], [[sidik jari]], atau [[DNA]]. Kriteria sekunder dapat berasal dari bukti foto dan properti benda yang ditemukan.<ref name=":2" /> Kemampuan dalam antropologi forensik yang antara lain terdiri dari: 1) pemeriksaan tulang-belulang manusia; 2) pemeriksaan titik antropologi manusia; 3) pemeriksaan kematangan tulang manusia; dan 4) pelaksanaan rekonstruksi wajah digunakan untuk mengetahui ras, jenis kelamin, serta umur.<ref name=":0" /><ref name=":2" /> Beragam metode telah dikembangkan dalam antropologi forensik untuk menyelesaikan bermacam kasus forensik yang memerlukan identifikasi identitas jasad manusia.<ref name=":2" /> Salah satu metode yang digunakan dalam antropologi forensik ialah [[antropometri]]. Antropometri merupakan metode dengan cara mengukur bagian tubuh. Pengukuran antropometri dilakukan berdasarkan tinggi badan, panjang dan lebar kepala, sidik jari, bentuk hidung, telinga, dagu, warna kulit, warna rambut, tanda pada tubuh, atau DNA.<ref name=":5" /><ref name=":7" /><ref name=":8" /><ref>http://repository.maranatha.edu/8764/3/0810216_Chapter1.pdf.</ref> Pengukuran panjang segmen tertentu, misalnya panjang tulang tertentu, yang kemudian dimasukkan ke dalam rumus tinggi badan juga dapat digunakan, sebab tinggi badan merupakan salah satu profil biologis utama pada tubuh manusia.<ref name=":7" /><ref>Idrianti E. Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia, Aplikasi Antropologi Biologis dalam Konteks Hukum. Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press, 2004.</ref> Sebagai contoh, salah satu bagian tubuh yang dapat diukur untuk menentukan tinggi badan ialah tinggi kepala. Korelasi antara tinggi badan dengan tinggi kepala dapat ditemukan. Pertambahan tinggi badan berbanding lurus dengan pertambahan tinggi kepala. Sehingga, untuk setiap penambahan tinggi badan akan diikuti pula dengan penambahan tinggi kepala.<ref name=":7" /> Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbandingan antara tinggi kepala dan tinggi badan ialah 1
Studi mengenai antropologi forensik diberikan di sekolah/[[fakultas kedokteran]] dan kuliahnya masuk dalam [[kurikulum]] kesehatan dan bencana. Namun, tidak semua fakultas kedokteran menawarkan kelompok keahlian di bidang antropologi forensik ini.<ref name=":2" />
== Perspektif Antropologi ==
Selain membutuhkan pemahaman di bidang osteologi dan [[odontologi]] serta pengalaman pemeriksaan tulang dari berbagai ras dan budaya, pemahaman mengenai kerangka waktu, lokasi geografis, dan lingkungan kematian berdasarkan perspektif antropologi merupakan hal yang sangat berharga saat melakukan proses identifikasi. Pada kasus bencana alam, peran antropologi forensik bahkan
Kekuatan dan pentingnya penggunaan antropologi di samping kebutuhan akan ilmu pertulangan (osteologi) dalam menuntaskan proses identifikasi tergambarkan pada berbagai kasus di berbagai tempat di dunia, termasuk di Indonesia, baik yang terjadi akibat [[bencana alam]] maupun bencana buatan.<ref name=":2" /><ref>Rathburn TA, Buikstra JE. Human identifcation: Case studies in forensic anthropology. Springfeld: Charles C. Thomas; 1984.</ref><ref>Steadman DW. Hard evidence: Case studies in forensic anthropology. 2nd ed. Prentice Hall: Pearson; 2009.</ref><ref>Reichs KJ. Forensic osteology. Advances in identifcation of humans.Springfeld: Charles C Thomas Pub; 1998.</ref><ref>Blau S, Ubelaker D. Handbook of forensic anthropology and archaeology. California: Left Coast Press, Inc;2011.</ref><ref>Indriati E. The roles of forensic anthropology in fetal death investigation. Berkala Ilmu Kedokteran. 1999; 31 (3): 181-7.</ref><ref>Indriati E. Penentuan individu pada penggal kepala dengan kongruensi vertebra. Berkala Ilmu Kedokteran.2000;32 (3): 1147-54.</ref> Namun demikian, antropologi forensik yang merupakan bidang keahlian dengan spesialisasi yang tinggi ini sering dilupakan dan dipandang rendah di Indonesia. Para ahli di bidang ini pun sangat sedikit jumlahnya.<ref name=":2" /> Pada operasi DVI/''[[Disaster Victim Identification
== Prosedur DVI (''Disaster Victim Identification'') Interpol
Ketika sebuah bencana terjadi, baik secara alami maupun akibat buatan manusia, terdapat lima langkah dalam identifikasi korban bencana/''Disaster Victim Identification'' (DVI) berdasarkan acuan komite polisi internasional/''International Police'' ([[Interpol]]). [[Indonesia]] menggunakan prosedur DVI Interpol ini untuk menemukan dan mengidentifikasi jasad manusia. Namun, tidak semua negara menggunakan acuan ini. Ada negara-negara yang tidak menggunakan prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol, misalnya [[Amerika Serikat]]. Lima langkah prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol ialah: 1) proses pencarian dan evakuasi, 2) memasukkan ke kamar mayat untuk pemeriksaan postmortem, 3) mengumpulkan data antemortem, 4) rekonsiliasi data antemortem, dan 5) menyampaikan atau mengeksekusi hasil/''release debrief''.<ref name=":2" />
Pada fase I ini, berlokasi di tempat kejadian dan area di sekitarnya, dilakukan proses pencarian tubuh/anggota tubuh dan benda-benda yang mempunyai keterkaitan, pemetaan terhadap area bencana, pemberian label (untuk setiap lokasi yang berbeda diberi label yang berbeda), dokumentasi, dan penyimpanan tubuh/anggota tubuh ke dalam kantung yang telah disiapkan. Informasi mengenai tempat ditemukan tubuh/sisa tubuh serta posisi anatomis tubuh/sisa tubuh juga sangat penting. Para evakuator yang telah mendapat pelatihan DVI akan sedapat mungkin mendapatkan informasi tersebut. Namun, yang seringnya terjadi ialah orang-orang di sekitar lokasi kejadian yang tidak mengetahui prosedur DVI yang datang melakukan evakuasi pertama kali.
Pada fase II dilakukan yang disebut pemeriksaan [[postmortem]], biasanya dilakukan di rumah mayat/kamar mayat yang ada di rumah sakit. Tahapan pada fase II ini yaitu:
# Menerima kantung berisi tubuh/bagian tubuh di rumah mayat setelah pengambilan sidik jari dan penandatanganan formulir pelacakan untuk menunjukkan dari mana kantung itu berasal.
Baris 35 ⟶ 36:
Seluruh data postmortem atau seluruh data yang didapatkan dari fase II ini kemudian disimpan dalam formulir yang berwarna merah muda.
Data [[antemortem]] dikumpulkan melalui informasi dari anggota keluarga maupun teman-teman, orang terdekat, berupa data mengenai tanda di tubuh/ciri khusus, barang-barang yang dikenakan- perhiasan, jam tangan, pakaian- untuk dicocokkan dan dijadikan kriteria sekunder teridentifikasi. Selain itu, catatan medis dari dokter dan dokter gigi juga dibutuhkan untuk keperluan mencocokkan kriteria primer teridentifikasi dengan data yang sudah ada.
Baris 42 ⟶ 43:
Terdapat formulir A hingga G di dalam formulir kuning antemortem yang membutuhkan ketelitian dalam pengisiannya. Data antemortem yang dikumpulkan dari anggota keluarga dan teman, contohnya: ''kapan waktu terakhir bertemu'', ''pakaian apa yang dikenakan'', ''berapa ukuran sepatu'', ''berapa tinggi badan'', ''apakah menyimpan foto terakhir'', ''apakah pernah dioperasi atau memiliki karakter fisik yang unik''. Dan untuk mendapatkan data mengenai tinggi badan, diperlukan informasi jenis kelamin, golongan darah, sidik jari, serta catatan kesehatan atau catatan gigi, dsb.
Fase ini merupakan tahap dimana hasil pemeriksaan postmortem dicocokkan dengan data antemortem. Perdebatan sering terjadi
Pada fase ini jenazah sudah dapat diidentifikasi dan dikembalikan kepada keluarga bersamaan dengan surat pelepasannya.
|