Parlindungan Lubis: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
+ kategori |
Menit menit (bicara | kontrib) |
||
(24 revisi perantara oleh 21 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{noref}}
'''Parlindoengan Loebis''' ([[1910]] - [[1994]]) adalah seorang tokoh nasionalis Indonesia. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang ditahan dan dijebloskan ke kamp konsentrasi [[Nazi]] pada [[Perang Dunia II]] dan bisa selamat. Parlindoengan lahir di Batangtoru, [[30 Juni]] [[1910]] dan meninggal dunia di Jakarta pada tanggal [[31 Desember]] [[1994]].▼
{{Nama Mandailing|[[Suku Mandailing|Mandailing]]|[[Lubis]]}}
▲'''Parlindoengan Loebis''' ({{lahirmati|[[
''… Aku dimasukkan ke sebuah sel yang telah dihuni oleh tiga orang. Besar ruangan itu tiga kali tiga meter dan mempunyai dua tempat tidur besi tanpa kasur…. Dalam ruangan itu ada sebuah lubang di mana kami dapat buang air kecil dan besar. Lubang itu ditutup dengan sebilah kayu saja. Siapa yang tidur dekat lubang itu akan mencium bau yang amat busuk….''
Penggalan kalimat di atas diungkapkan oleh Parlindoengan Lubis saat hari pertamanya di dalam kamp konsentrasi Nazi. Inilah awal dari babak mengerikan dalam hidupnya ketika ia diciduk dua polisi rahasia [[Belanda]] di rumah sekaligus tempat praktiknya sebagai dokter di Amsterdam, pada suatu siang, akhir Juni 1941 setelah Belanda bertekuk lutut kepada Jerman.
== Karier Politik ==
Pada masa remajanya, Parlindoengan merantau ke [[Batavia]] dan sempat bergabung di organisasi pemuda [[Jong Islamieten Bond]] dan [[Jong Batak]], yang kemudian bersama perhimpunan mahasiswa lain (selain [[Jong Java]]) bersatu membentuk [[PPPI]] ([[Persatoean Pemoeda Peladjar Indonesia]]) dan [[Indonesia Moeda]].
Parlindungan berangkat ke [[Belanda]] setelah lulus Kandidat I di [[Betawi]] (begitu dia menuliskannya). Di Belanda, ia belajar ilmu kedokteran di [[Universitas Leiden]] pada tahun 1930-an. Selama di [[Leiden]], ia aktif sebagai ketua [[Perhimpoenan Indonesia]] (PI) selama periode [[1936]] – [[1940]] dan dianggap sebagai pelopor PI karena merupakan angkatan II setelah [[Mohammad Hatta]], [[Soetan Sjahrir]], [[Sartono]], [[Iwa Koesoemasumantri]], [[Ali Sastroamidjojo]], dan [[Sukiman]]. Bersama PI, ia berjuang mencita-citakan kemerdekaan Indonesia.
Sepeninggal Hatta, PI mengalami pergeseran orientasi politik dan dianggap berhaluan kiri. Di bawah kepemimpinan Parlindoengan, organisasi ini mengalami sedikit pergeseran dari [[komunis]] menjadi [[sosialis]], terlihat dari caranya menghentikan kerja sama dengan [[Partai Komunis Belanda]] dan memulai hubungan dengan [[Partai Buruh Demokrat Sosial (Belanda)|Partai Buruh Demokrat Sosial]] (SDAP). Sekalipun berhaluan sosialis, Parlindoengan tetap dianggap sebagai '''antifasis'''. Inilah mungkin yang menyebabkan ia ditangkap oleh polisi rahasia Belanda binaan [[Gestapo]], di [[Amsterdam]] pada Juni [[1941]]. Bagi [[Nazi Jerman]], orang-orang seperti Parlindoengan dianggap sebagai pemberontak dan harus diamankan.
== Masuk Kamp Konsentrasi ==
Parlindoengan ditahan oleh Nazi Jerman selama empat tahun, ia ditempatkan di beberapa kamp konsentrasi. Menurut pengakuannya, ia telah dipindahkan sebanyak empat kali: Kamp [[Schoorl]] dan [[Amersfoort]] di Belanda, serta [[Buchenwald]] dan [[Sachsenhausen]] di Jerman.
Di Kamp Schoorl, ia belum disuruh bekerja dan hanya melakukan apel pagi dan olahraga. Ketika seluruh isi kamp digabung dengan Kamp Amersfoort, ia diperintahkan untuk mengerjakan konstruksi, termasuk memasang kawat berduri. Ia pun mulai disiksa secara kejam oleh petugas di sana. Pernyataannya untuk dapat bertahan di sini sungguh menarik. Ia menulis,
''“.. Untuk dapat survive dalam kamp, aku pertama-tama harus mempunyai hati yang keras dan tanpa rasa, seperti batu. Segala perasaan yang sentimental dan cengeng harus dibuang jauh-jauh…. Masa lampau sekali-kali jangan dikenang. Masa yang akan datang jangan diharapkan. Hiduplah untuk hari ini saja.”''
Parlindungan lalu dipindahkan ke Kamp Amersfoort, Belanda lalu ke Kamp Buchenwald, Jerman bersama 100 tawanan lain menggunakan kereta api kelas tiga. Di sini ia bersama 1400 tawanan lainnya mendapat tugas untuk membuka hutan di suatu pegunungan berkabut, memecah batu, membuat barak, saluran air, listrik, bengkel, dan lain-lain, selama 7 hari seminggu, 14 jam sehari. Tawanan sering dipukuli, bahkan hingga mati. Tawanan yang ketahuan mengobrol akan ditembak tanpa ampun.
''“Setelah dipindahkan ke Buchenwald, aku memperkirakan bahwa tidak mempunyai harapan lagi untuk dibebaskan, kecuali Jerman dikalahkan Sekutu dalam perang. Namun, menurut perkiraanku itu tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat…. Aku harus siap untuk ditawan beberapa tahun. Itu pun kalau aku tidak terbunuh….”''
Perasaan ini ia lukiskan pada awal April [[1942]] kala tiba di Kamp Buchenwald. Kegelisahan Parlindoengan yang dituangkan dalam otobiografinya itu memang tak mengada-ada. Setidaknya, hampir setiap pekan puluhan tawanan mati akibat sakit dan kelaparan di kamp konsentrasi Buchenwald. Sejak menampung tawanan pada [[1937]] hingga [[1945]], lebih dari 56 ribu korban menemui ajal di kamp konsentrasi yang terletak di pinggiran kota [[Weimar]] itu.
Dengan pekerjaan yang telah disebutkan di atas, para tawanan hanya mendapat jatah makanan sangat minim. “Pagi-pagi dapat roti kurang-lebih 400 gram, bubur dan kopi pakai gula kurang-lebih 400 cc. Kopi yang diberikan itu sebenarnya bukan kopi, melainkan dibuat dari sejenis padi,” tulis Parlindoengan. Ia kembali menambahkan, “”Makanan itu kalau dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan dan cuaca yang dingin sangatlah tidak mencukupi.” Yang lebih mengenaskan, bila para tawanan dipaksa untuk bekerja jauh di luar kamp. Para tawanan dilarang melewati garis yang telah ditentukan. Bila melanggar, akan ditembak pasukan [[SS]] yang mengawasi mereka. Parlindoengan menyimak, “banyak juga tawanan yang memanfaatkan itu untuk bunuh diri. Mereka dengan sengaja melewati garis itu supaya ditembak mati dari belakang.”
Pada [[1944]], sebagian kamp Buchenwald hancur ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara. Kini sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu telah rata tanah. Yang masih tersisa beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan. Di bangunan krematorium, yang terletak sejajar dengan barak tawanan, terdapat enam tungku pembakaran mayat. Di salah satu sudut ruangan terdapat kamar penyimpan abu jenazah, dan sebuah ruang bawah tanah, dulu berfungsi untuk menumpuk mayat.
Akan tetapi, Parlindoengan tidak ada di sini saat peristiwa tersebut terjadi karena ia telah dipindahkan lagi, pada Oktober 1942, ke Sachsenhausen, ke instalasi pabrik pesawat perang [[Heinkel]]. Di sini situasi lebih baik. Kamp lebih difokuskan pada pekerjaan teknis, biarpun kekejaman masih berlangsung dan menyita nyawa manusia segala bangsa di sana. Kali ini, Parlindoengan ditugaskan sebagai dokter kamp, sehingga tugasnya lebih ringan.
Saat akhirnya pasukan Sekutu berhasil masuk ke Jerman, terjadi kekacauan dalam kamp. Para tawanan dan penjaga membentuk barisan tak teratur yang terus bergerak ke barat. Tawanan yang keluar barisan langsung ditembak di belakang kepala. Tapi banyak juga penjaga yang juga lari memisahkan diri. Mereka akhirnya berhenti di [[Grabouw]]. Sempat barisan dari kamp lain bergabung. Akhirnya, tentara [[Rusia]] masuk juga ke sana. Parlindoengan resmi lepas dari tawanan, tetapi perlu waktu untuk memulihkan diri dan mencari cara untuk lepas dari kawasan Rusia, menyeberangi sungai [[Elbe]], masuk ke kawasan Sekutu bagian Barat, dan akhirnya kembali ke Belanda dengan kereta ke [[Maastricht]], lalu naik mobil ke keluarganya di Amsterdam.
== Kembali ke Tanah Air ==
Usai Perang Dunia II, Parlindoengan kembali ke tanah airnya, Indonesia, yang telah memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Di Indonesia, Parlindoengan hidup berpindah-pindah tempat. Sepanjang [[1947]]-[[1950]], ia menetap di [[Yogyakarta]] dan berkerja sebagai Kepala Dinas Kesehatan Pabrik-pabrik Persenjataan [[Departemen Pertahanan]]. Setelah itu, ia bekerja sebagai dokter perusahaan [[Borneo Sumatra Handel Maatschappij]] di Jakarta - sembari sorenya membuka praktik dokter di rumah dinasnya di kawasan [[Kebayoran Baru]]. Pada [[1959]], Parlindoengan hijrah ke [[Tanjungpandan]], [[Belitung|P. Belitung]]. Ia bekerja sebagai dokter di [[PN Tambang Timah]].
Ia meninggal di Jakarta pada 31 Desember [[1994]] (tepatnya tanggal 31 Desember), nyaris tanpa perhatian dari bangsa kita.
== Rujukan ==
* Parlindoengan Loebis dan Harry A. Poeze, 2006, ''Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi NAZI. Autobiografi Parlindoengan Loebis''. Depok: Komunitas Bambu, Jakarta: KITLV Press. ISBN 979-3731-08-7▼
▲* Parlindoengan Loebis dan Harry A. Poeze, 2006, ''Orang Indonesia di [[Kamp Konsentrasi]] [[NAZI]]. Autobiografi Parlindoengan Loebis''. Depok: Komunitas Bambu, Jakarta: KITLV Press. ISBN 979-3731-08-7
{{lifetime|1910|1994|}}
{{DEFAULTSORT:Loebis}}▼
▲{{DEFAULTSORT:Loebis, Parlindoengan}}
[[Kategori:Tokoh Perang Dunia II]]
[[Kategori:
[[Kategori:
▲[[Kategori:Tokoh Indonesia]]
|