Wikipedia:Bak pasir: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
sejarah politik hukum indonesia
Dessyamylia94 (bicara | kontrib)
←Mengosongkan halaman
Tag: Mengosongkan Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
Baris 1:
{{Bakpasir}}
<!-- Uji coba dilakukan di baris di bawah ini -->
Masa 1602-1799
*
Abstrak
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih diberlakukan
di Indonesia saat ini merupakan salah satu dari sekian ratus peraturan hukum
warisan kolonial Belanda. KUHP ini mulai diberlakukan secara resmi di Indonesia
sejak tanggal 1 Januari 1918. Namun sebelum KUHP itu diberlakukan sebenarnya
bangsa Indonesia telah mengenal aturan hukum pidana dalam kehidupan hukum
adatnya. Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang pernah
menduduki Indonesia pada tahun 1602-1799 dan masa kolonial sebelum 1918 pun
pernah memberlakukan hukum pidananya. Perjalanan historis hukum pidana
materiel di Indonesia tersebut membawa dinamika dan problematika tersendiri yang
diharapkan dapat dijadiklan pijakan dalam pembaharuan hukum pidana materiel
saat ini.
Kata kunci:
KUHP, sejarah KUHP, problematika hukum pidana
A. Pendahuluan
Sebagai hukum yang bersifat publik, hukum pidana menemukan arti
pentingnya dalam wacana hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, di dalam
hukum pidana itu terkandung aturan-aturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa
pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan.
1
Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwa
hukum pidana itu bersifat nasional. Dengan demikian, maka hukum
pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah negara Indonesia.
Di samping itu, mengingat materi hukum pidana yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusian mengakibatkan hukum pidana seringkali
digambarkan sebagai pedang yang bermata dua. Satu sisi hukum pidana
bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain
penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi
manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan
mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu
dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu
*
Dosen Jurusan Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), p. 1.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
2
diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di
mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat
baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik
jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki
masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang
dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana materiel
Indonesia (RUU KUHP), artikel ini akan menyoroti sejarah perjalanan
hukum pidana Indonesia (KUHP) dari masa ke masa. Dengan sorotan
historis semacam ini, diharapkan beberapa problematika yang muncul
selama berlakunya KUHP (baca: Wetboek van Strafrecht) dapat tercover dan
menjadi bahan pijakan bagi pembaharuan hukum pidana materiel
Indonesia.
B. Sejarah Pemberlakuan Hukum Pidana di Indonesia
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da
Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan
memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas
tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah
adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara
hukum pidana dengan hukum perdata (privaat).
2
Pemisahan yang tegas
antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat
publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di
Indonesia.
3
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara
turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan
agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh
masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan
Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.
2
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), p. 43.
3
Pemisahan tegas antara hukum perdata dan hukum pidana ini dikenal juga dalam
hukum Islam, yaitu adanya muamalah dan jinayah.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
3
Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran-
ajaran Hindu.
4
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah
bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah
peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga
secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang
pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di
beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah
diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak
umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi
hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat
Sumatera Selatan,
5
dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat
Bali.
6
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Tahun 1602-
1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa
Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan
diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost
Indische Compagnie). VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang
diberikan “kekuasaaan wilayah” di Nusantara oleh pemerintah Belanda.
Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi
monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan
mencetak uang. Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa
VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam
usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturan-
aturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk
plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah
4
Dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional (LPHN), tentang "Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana", beberapa
hukum adat di wilayah Nusantara masih terkait dengan agama yang dianut mayoritas
masyarakat adatnya. Selanjutnya lihat LPHN, Pengaruh Agama terhadap Hukum Pidana,
Laporan Penelitian, (Jakarta: LPHN, 1973) dan BPHN, Simposium Pengaruh
Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1973).
5
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni, 1989).
6
I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (Bandung: Eresco, 1993),
p. 14.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
4
diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan
sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan
yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan
VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu. Kumpulan
peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi)
yang dibuat pada tahun 1642.
7
Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan
Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi
orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain. Walaupun statuta
tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut
sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC,
yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara
pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
8
Alasan VOC mencampuri
urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain: i)
sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai
untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-
peraturan; ii) sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu
menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti;
dan iii) adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan
pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa
VOC. Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum
pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut
pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu
dipidana yang setimpal.
9
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah
terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan
pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem
pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum
Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam.
10
Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie
dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara
digantikan oleh Inggris. Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai
gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak
7
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 43. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Prenhalindo, 2001), p. 14.
8
J. B. Daliyo, Pengantar ..., p. 13.
9
Kanter dan Sianturi, Asas-asas ..., p. 43
10
Ibid., p. 44.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
5
mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku.
Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
b. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda
menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap
koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak,
bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC.
Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri
Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-
daerah jajahan. Dengan demikian ngara Belanda pada masa itu
menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja
berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat
komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di
Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van
dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang
berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan
karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum. Dalam usaha untuk
mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de
Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang
menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
11
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering
(BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian,
beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan
pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau
Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving
(AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan,
Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum
Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan
tentang Acara Perdata.
c. Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem
pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi
monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan
adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda. Perubahan ini
11
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana…, p. 44. Lihat juga J. B. Daliyo,
Pengantar..., p. 15.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
6
mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen
(Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan prundang-
undangan di wilayah jajahan negara Belanda. Perubahan penting ini adalah
dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa “Raja
mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di
bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui
undang-undang. Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-
hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau
diperlukan akan diatur dengan undang-undang”.
12
Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja
Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang. Peraturan-
peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja
dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-
undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh
raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah
Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan
dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855. Selanjutnya RR disebut sebagai UUD
Pemerintah Jajahan Belanda.
Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi
hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55
Tahun 1866.
2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Eropa.
3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun
1872.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad
No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.
 
d. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement
(RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui
Staatblad Nomor 415 Tahun 1925. Perubahan ini diakibatkan oleh
perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan
Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun
12
Ibid, p. 17.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
7
1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda.
Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda
akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas
khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian
golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku. Dengan dasar
ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-
Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131
jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum
pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya
hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami
perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai
Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu
dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu
Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut
menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah
untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan
militer. Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang
mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih
tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal
131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling. Dengan demikian, hukum pidana yang
diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam
Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada
dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya,
pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei
nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun
Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942
dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana
umum dan hukum pidana khusus. Sedangkan Gun Seirei Nomor 14
Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana
karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan
penguasa militer yang tidak saling membawahi. Wilayah Indonesia timur di
bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar,
dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
8
yang berkedudukan di Jakarta. Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat
perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
13
3. Masa Setelah Kemerdekaan
Masa pemberlakukan hukum pidana di Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus 1945, dibagi menjadi empat masa sebagaimana
dalam sejarah tata hukum Indonesia yang didasarkan pada berlakunya
empat konstitusi Indonesia, yaitu pertama masa pasca kemeredekaan
dengan konstitusi UUD 1945, kedua masa setelah Indonesia menggunakan
konstitusi negara serikat (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), ketiga
masa Indonesia menggunakan konstitusi sementara (UUDS 1950), dan
keempat masa Indonesia kembali kepada UUD 1945.
a. Tahun 1945-1949
Dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang
merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang bebas dan berdaulat. Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan
tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum
nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur
negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar
dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan
sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah
hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa
membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih
matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar
memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka. Oleh karena itu,
untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional
belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal
II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk
mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan-peraturan yang telah
ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu
adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah
diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
13
Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 46.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
9
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan
kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial
menjadi tata hukum nasional.
14
Presiden Sukarno selaku presiden pertama kali mengeluarkan
kembali Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tangal 10 Oktober 1945
yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 :
Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang
ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, sebelum diadakan yang baru
menurut Undang Undang Dasar, masih tetap berlaku asal
saja tidak bertentangan dengan dengan Undang Undang
Dasar tersebut.
Pasal 2 :
Peraturan ini mulai berlaku tanggal 17 Agustus 1945.
Sekilas ini Penpres ini hampir sama dengan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945, namun dalam Penpres ini dengan tegas dinyatakan tanggal
pembatasan yaitu 17 Agustus 1945.
Sebagai dasar yuridis pemberlakuan hukum pidana warisan kolonial
sebagai hukum pidana positif di Indonesia, keluarlah UU Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 undang-undang tersebut
secara tegas menyatakan:
Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik
Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan bahwa
peraturan-peraturan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah
peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret
1942.
15
Dengan titik tonggak waktu penyerahan kekuasaan Belanda kepada
Jepang atas wilayah Indonesia ini berarti semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan oleh pemerintahan militer Jepang dan yang dikeluarkan
oleh panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda (NICA) setelah
14
Segala perubahan membawa konsekuensi bahwa isi kehendak itu perlu diubah.
Ketentuan-ketentuan hukum positif yang pernah berlaku di Indonesia, seperti Indische
Staatregeling, Algemene Bepalingen van Wetgeving, Burgerlijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,
Wetboek van Strafrecht dan segala peraturan yang dikeluarkan pada masa penjajahan,
dengan adanya proklamasi kemerdekaan dituntut penggantiannya secara tepat dan cepat.
Oleh karena itu maka ditetapkan segera landasan tata hukum yang baru, yaitu Undang
Undang Dasar 1945. Lihat selanjutnya dalam Moh. Koesnoe, "Pokok Permasalahan
Hukum Dewasa Ini", dalam Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional,
(Jakarta: Rajawali, 1986), p. 100.
15
K. Wantjik Saleh, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana
Sampai dengan Akhir 1980, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), p. 25.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
10
tanggal 8 Maret 1942 dengan sendirinya tidak berlaku. Pasal 2 undang-
undang tersebut juga dinyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana
yang dikeluarkan panglima tertinggi bala tentara Hindia Belanda dicabut.
Pasal 2 ini diperlukan karena sebelum tanggal 8 Maret 1942 panglima
tertinggi bala tentara Hindia Belanda mengeluarkan Verordeningen van het
militer gezag.
Secara lengkap bunyi Pasal 2 UU Nomor 1 Tahun 1946 adalah
sebagai berikut.
Semua peraturan hukum pidana yang dikeluarkan panglima tertinggi
bala tentara Hindia Belanda dulu (Verordeningen van het militer gezag)
dicabut.
16
Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan ditetapkannya UU
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana ternyata belum
menjawab persoalan. Kenyataan ini disebabkan karena perjuangan fisik
bangsa Indonesia atas penjahahan Belanda belum selesai. Secara de jure
memang Indonesia telah memproklamirkan diri sebagai bangsa yang
merdeka, namun secara de facto penjajahan Belanda atas Indonesia masih
saja berkelanjutan. Melalui aksi teror yang dilancarkan oleh NICA Belanda
maupun negara-negara boneka yang berhasil dibentuknya, Belanda
sebenarnya belum selesai atas aksi kolonialismenya di Indonesia. Bahkan
pada tanggal 22 September 1945, Belanda mengeluarkan kembali aturan
pidana yang berjudul Tijdelijke Biutengewonge Bepalingen van Strafrecht
(Ketentuan-ketentuan Sementara yang Luar Biasa Mengenai Hukum
Pidana) dengan Staatblad Nomor 135 Tahun 1945 yang mulai berlaku
tanggal 7 Oktober 1945. Ketentuan ini antara lain mengatur tentang
diperberatnya ancaman pidana untuk tindak pidana yang menyangkut
ketatanegaraan, keamanan dan ketertiban, perluasan daerah berlakunya
pasal-pasal tertentu dalam KUHP, serta dibekukannya Pasal 1 KUHP agar
peraturan ini dapat berlaku surut. Nampak jelas bahwa maksud ketentuan
ini untuk memerangi pejuang kemerdekaan.
Dengan adanya dua peraturan hukum pidana yang diberlakukan di
Indonesia oleh dua “penguasa” yang bermusuhan ini, maka munculah dua
hukum pidana yang diberlakukan bersama-sama di Indonesia. Oleh para
ahli hukum pidana, adanya dua hukum pidana ini disebut masa dualisme
KUHP.
17
b. Tahun 1949-1950
16
Ibid.
17
Ibid, p. 47-48. Sudarto menyebut istilah ini dengan kwasi-dualisme. Lihat Sudarto,
Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990), p. 16.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
11
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai
konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda.
Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi
dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan
peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan
sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak
dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.
18
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang
berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht
yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut
sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian,
permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang
kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada
masa ini.
c. Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara
serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui
kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia
kembali menjadi negara republik-kesatuan. Dengan perubahan ini, maka
konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD
Sementara.
Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum
pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD
Sementara menyebutkan:
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata
usaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku
dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-
ketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
18
Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta
Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung, 1960), p. 67.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
12
diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas
kuasa Undang Undang Dasar ini.
19
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka
hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa
sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana). Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul
pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini
diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang
tersebut dinyatakan:
“Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih
berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab
Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946
dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732
seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan.
Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan.
Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946
dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Dengan demikian,
permasalahan dualisme
KUHP
yang
diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan
berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
d. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah
satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu
Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD
1945 sebagai konstitusinya. Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan
yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di
sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan
dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia
telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi,
19
Ibid., p. 17.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
13
ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu
tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan
peralihan pada masing-masing konstitusi.
C. Sejarah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht)
Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di
Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15
Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.
WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada
tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.
20
Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun
pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi
(penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa
pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme
Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda
membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan
disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon.
Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel
Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada
tahun 1811 Perancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal
(kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon
Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis
meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih
mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.
21
Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan
usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68
tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu,
Code Penal mengalami bebarapa perubahan, terutama pada ancaman
pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code
Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun
1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama
Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai
diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886.
20
Sudarto, Hukum Pidana I, p. 15.
21
Kanter dan Sianturi, Asas-asas…, p. 42.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
14
Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai
pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia-
Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor
Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan
Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari
1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht
voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan
Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari
73.
22
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa pada masa itu terdapat
juga dualisme hukum pidana, yaitu hukum pidana bagi golongan Eropa
dan hukum pidana bagi golongan non-Eropa. Kenyataan ini dirasakan
Idenburg (Minister van Kolonien) sebagai permasalahan yang harus
dihapuskan. Oleh karena itu, setelah dua tahun berusaha pada tahun 1915
keluarlah Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 yang
mengesahkan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dan berlaku tiga
tahun kemudian yaitu mulai 1 Januari 1918.
Dengan gambaran sejarah demikian, runtutan sejarah terbentuknya
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia dapat dilustrasikan
dalam bagan berikut.
Tahun
Peristiwa
Selisih Waktu
1810
Code Penal diberlakukan di Perancis
1 tahun
1811
Code Penal diberlakukan di Belanda
56 tahun
1867
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen
berlaku di Hindia-Belanda
6 tahun
1873
Wetboek
van
Strafrecht
voor Inlander
diberlakukan di Hindia-Belanda
8 tahun
1881
Wetboek van Strafrecht disahkan di Belanda
5 tahun
1886
Wetboek van Strafrecht diberlakukan di
Belanda
29 tahun
1915
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
disahkan untuk Hindia-Belanda
3 tahun
1918
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
diberlakukan di Hindia-Belanda
28 tahun
1946
Wetboek van Strafrecht Netherlands-Indie
disebut sebagai KUHP Indonesia
Total
selisih
22
Ibid., p. 44.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
15
waktu 136 tahun
D. Problematika Penerapan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia (Wetboek van Strafrecht)
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa hukum pidana
Indonesia merupakan warisan hukum kolonial ketika Belanda melakukan
penjajahan atas Indonesia. Jika Indonesia menyatakan dirinya sebagai
bangsa yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, maka selayaknya hukum
pidana Indonesia adalah produk dari bangsa Indonesia sendiri. Namun
idealisme ini ternyata tidak sesuai dengan realitasnya. Hukum pidana
Indonesia sampai sekarang masih mempergunakan hukum pidana warisan
Belanda. Secara politis dan sosiologis, pemberlakuan hukum pidana
kolonial ini jelas menimbulkan problem tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Problematika tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan sejak 59 tahun
lalu merupakan awal pendobrakan hukum kolonial menjadi hukum
yang bersifat nasional. Namun pada realitasnya, hukum pidana positif
(KUHP) Indonesia merupakan warisan kolonial Belanda. Secara
politis ini menimbulkan masalah bagi bangsa yang merdeka.
23
Dengan
kata lain, walaupun Indonesia merupakan negara merdeka, namun
hukum pidana Indonesia belum bisa melepaskan diri dari penjajahan.
2. Wetboek van Strafrecht atau bisa disebut Kitab Undang-undang Hukum
Pidana telah diberlakukan di Indonesia sejak tahun 1918. Ini berarti
KUHP telah berumur lebih dari 87 tahun. Jika umur KUHP dihitung
sejak dibuat pertama kali di Belanda (tahun 1881), maka KUHP telah
berumur lebih dari 124 tahun. Oleh karena itu, KUHP dapat
dianggap telah usang dan sangat tua, walaupun Indonesia sendiri telah
beberapa kali merubah materi KUHP ini. Namun demikian,
perubahan ini tidak sampai kepada masalah substansial dari KUHP
tersebut. KUHP Belanda sendiri pada saat ini telah banyak mengalami
perkembangan.
24
3. Wujud asli hukum pidana Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht yang
menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 bisa disebut dengan KUHP. Hal
ini menandakan bahwa wujud asli KUHP adalah berbahasa Belanda.
25
23
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), p. 70-71.
24
Lihat The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth,
(Colorado: Fred B. Rothman, 1997). Perubahan dalam KUHP Belanda antara lain dalam
principal penalties (pidana pokok) yang menghilangkan pidana mati dan menambahkan
pidana kerja sosial serta denda yang dibuat dengan kategorisasi.
25
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana..., p. 71.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
16
KUHP yang beredar di pasaran adalah KUHP yang diterjemahkan
dari bahasa Belanda oleh beberapa pakar hukum pidana, seperti
terjemahan Mulyatno, Andi Hamzah, Sunarto Surodibroto, R. Susilo,
dan Badan Pembinaan Hukum Nasional. Tidak ada teks resmi
terjemahan Wetboek van Strafrecht yang dikeluarkan oleh negara
Indonesia. Oleh karena itu, sangat mungkin dalam setiap terjemahan
memiliki redaksi yang berbeda-beda.
26
4. KUHP warisan kolonial Belanda memang memiliki jiwa yang berbeda
dengan jiwa bangsa Indonesia. KUHP warisan zaman Hindia Belanda
ini berasal dari sistem hukum kontinental (Civil Law System) atau
menurut Rene David disebut dengan the Romano-Germanic Family. The
Romano Germanic family ini dipengaruhi oleh ajaran yang menonjolkan
aliran individualisme dan liberalisme (individualism, liberalism, and
individual right)
27
. Hal ini sangat berbeda dengan kultur bangsa
Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial. Jika kemudian
KUHP ini dipaksakan untuk tetap berlaku, benturan nilai dan
kepentingan yang muncul tidak mustahil justru akan menimbulkan
kejahatan-kejahatan baru.
5. Jika KUHP dilihat dari tiga sisi masalah dasar
28
dalam hukum pidana,
yaitu pidana, tindak pidana, dan pertanggungjawaban pidana, maka
masalah-masalah dalam KUHP antara lain:
26
Dalam pandangan peneliti, kecuali KUHP terjemahan BPHN, KUHP
terjemahan Mulyatno, R. Susilo dan yang lain terkadang belum mencantumkan beberapa
perubahan parsial dalam KUHP, seperti jenis pidana ditambahkan pidana tutupan,
pengkalian 15 kali untuk pidana denda, dan perluasan wilayah berlakunya hukum pidana
menurut tempat. Di samping itu, terdapat juga perbedaan dalam menerjemahkan suatu
istilah, seperti overspel yang diterjemahkan menjadi beberapa kata, seperti zina, mukah, dan
gendak. Yang lebih fatal lagi adalah ancaman pidana pada Pasal 386 tentang pemerasan.
Di dalam KUHP versi BPHN dan terjemahan dari Engelbrecht, ancaman pidananya 9
bulan, sedangkan dalam KUHP versi Mulyatno dan R. Susilo ancaman pidananya 9
tahun. KUHP aslinya (WvS) yang berbahasa Belanda menyebutnya dengan "jaren" yang
berarti "tahun". Bandingkan Mulyatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bina
Aksara, 1994), Engelbrecht, Kitab Undang Undang..., Tim Penerjemah Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1988), dan R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politea, tth.).
27
Rene David, John E. C. Brierley, Major Legal System in The World Today,
(London, Stevens and Sons, 1978), p. 24.
28
Dalam istilah yang lain, Sudarto menyebutkan tiga problem pokok dalam
hukum pidana yaitu kesalahan, sifat melawan hukumnya perbuatan, dan pidana. Sudarto,
Hukum Pidana I, p. 86. Sedangkan dalam pengertian Barda Nawawi Arief, tiga
substansi/materi/masalah pokok dalam hukum pidana adalah masalah tindak pidana,
masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, dan masalah pidana dan
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
17
a. Pidana
KUHP tidak menyebutkan tujuan dan pedoman pemidanaan
bagi hakim atau penegak hukum yang lain, sehingga arah
pemidanaan tidak tertuju kepada tujuan dan pola yang sama.
Pidana dalam KUHP juga bersifat kaku dalam arti tidak
dimungkinkannya modifikasi pidana yang didasarkan pada
perubahan atau perkembangan diri pelaku. Sistem pemidanaan
dalam KUHP juga lebih kaku sehingga tidak memberi
keleluasaan bagi hakim untuk memilih pidana yang tepat untuk
pelaku tindak pidana. Sebagai contoh mengenai jenis-jenis
pidana, pelaksanaan pidana pidana mati,
29
pidana denda,
30
pidana
penjara,
31
dan pidana bagi anak.
b. Tindak pidana
Dalam menetapkan dasar patut dipidananya perbuatan, KUHP
bersifat positifis dalam arti harus dicantumkan dengan undang-
undang (asas legalitas formil). Dengan demikian, KUHP tidak
memberikan tempat bagi hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang tidak tertulis dalam perundang-undangan.
32
Di
pemidanaan. Lihat Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), p. 87.
29
Di hukum pidana beberapa negara, seperti Venezuela, Columbia, Rumania,
Brazilia, Costarica, Uruguay, Chili, Denmark, dan Belanda sendiri, pidana mati telah
dihapuskan karena dianggap tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan berupa pembinaan
kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHP Indonesia, pidana mati dianggap masih
diperlukan namun pelaksanaannya belum manusiawi karena tetap dianggap sebagai
sebuah "harga mati" walaupun terpidana telah menanti eksekusi selama puluhan tahun.
Lihat Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke Reformasi,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), p. 26-27. Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana
Mati di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi
tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984).
30
Masalah pidana denda dalam KUHP terutama terkait dengan jumlah denda
yang sangat minim, karena penyesuaian kurs pidana denda terakhir kali dilakukan dengan
UU Nomor 18 Prp Tahun 1960. Sebagai contoh adalah ketentuan tentang pidana
kurungan pengganti denda. Dalam KUHP, persamaan pidana denda dengan pidana
kurungan adalah Rp. 7,50 (tujuh, lima puluh rupiah) disamakan dengan 1 hari kurungan.
31
Pembahasan, kritik dan usulan perubahan mengenai pidana penjara diulas
dalam R. Achmad S. Soema di Pradja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di
Indonesia, (Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979), Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana
Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), Barda Nawawi Arief,
Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, (Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, 1994), Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung:
Alumni, 1985).
32
Permasalahan seperti ini sedikit terobati dengan dikenalnya asas legalitas
materiel yang mengakui adanya nilai-nilai yang hidup di masyarakat dalam perundang-
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
18
samping itu, KUHP menganut pada Daadstrafrecht yaitu hukum
pidana yang berorientasi pada perbuatan. Aliran ini pada
sekarang sudah banyak ditinggalkan, karena hanya melihat dari
aspek perbuatan (Daad) dan menafikan aspek pembuat (Dader).
33
KUHP masih menganut pada pembedaan kejahatan dan
pelanggaran yang sekarang telah ditinggalkan. Tindak pidana-
tindak pidana yang muncul di era modern ini, seperti money
laundering, cyber criminal, lingkungan hidup, dan beberapa
perbuatan yang menurut hukum adat dianggap sebagai tindak
pidana belum tercover di dalam KUHP. Oleh karena itu, secara
sosiologis KUHP telah ketinggalan zaman dan sering tidak sesuai
dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
c. Pertanggungjawaban pidana
Beberapa
masalah
yang
muncul
dalam
aspek
pertanggungjawaban pidana ini antara lain mengenai asas
kesalahan (culpabilitas) yang tidak dicantumkan secara tegas
dalam KUHP, namun hanya disebutkan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) sebagai penjelasan WvS.
34
Asas culpabilitas
merupakan penyeimbang dari asas legalitas yang dicantumkan
dalam Pasal 1 ayat (1), yang berarti bahwa seseorang dapat
dipidana karena secara obyektif memang telah melakukan tindak
pidana (memenuhi rumusan asas legalitas) dan secara subyektif
terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku (memenuhi rumusan
asas culpabilitas). Masalah lainnya adalah masalah yang terkait
dengan pertanggungjawaban pidana anak. Anak di dalam KUHP
(Pasal 45-47) adalah mereka yang berumur di bawah 16 tahun.
Pasal-pasal tersebut tidak mengatur secara rinci tentang aturan
pemidanaan bagi anak. Pasal 45 hanya menyebutkan beberapa
alternatif yang dapat diambil oleh hakim jika terdakwanya adalah
anak di bawah umur 16 tahun.
35
Selain itu, KUHP tidak
undangan seperti UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., p. 109.
33
Selanjutnya, dapat dilihat dalam Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan
Kemungkinan Aplikasinya di Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem
Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997), p. 152.
34
Sudarto, Hukum Pidana I, p. 85.
35
Terkait dengan kesepakatan internasional yang diselenggarakan oleh United
Nations di Beijing tahun 1985 tentang Standard Minimum Rules for The Administration of
Juvenile Justice (Beijing Rules) yang salah satu materinya mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana anak (age of criminal responsibility) agar tidak ditentukan terlalu
rendah dengan mempertimbangkan kematangan emosional, mental dan intelektual,
Indonesia mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Menurut
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
19
menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi.
36
Pada
dataran realitas, sering kali beberapa tindak pidana terkait dengan
korporasi seperti pencemaran lingkungan.
E. Penutup
Memperhatikan pembahasan tentang sejarah dan problematika
hukum pidana Indonesia di atas, pembaharuan hukum pidana Indonesia
adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika
yang muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan
berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan
masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari
masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan
kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah
dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP
yang sudah kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh
lembaga legislatif untuk disahkan.
UU ini anak yang masih berumur 8 s.d. 12 tahun hanya dapat dikenakan tindakan, dan
anak yang berumur 12 s.d. 18 tahun dapat dijatuhi pidana. Sedangkan anak yang belum
berumur 8 tahun dianggap belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dengan demikian, secara otomatis ketentuan pertanggungjawaban pidana anak dalam
KUHP tersebut dihapuskan dengan UU Peradilan Anak ini. Lihat selanjutnya dalam
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hlm 143 dan
Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000).
36
Roeslan Saleh, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana",
kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan Kodifikasi Hukum Pidana Nasional,
(Jakarta: BPHN, 1984), p. 48-53. Ulasan menarik mengenai kejahatan korporasi ini dapat
dilihat dalam I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995) dan I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim
Orde Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
20
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996.
_______, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana
Penjara, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Bandung: Bina Cipta, 1996.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988.
_______, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana,
Bandung: Bina Cipta, 1973.
Daliyo, J. B., Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Prenhalindo, 2001.
David, Rene, and John E. C. Brierley, Major Legal System in The World
Today, London, Stevens and Sons, 1978.
Engelbrecht, Kitab Undang Undang, Undang-undang, Peraturan-peraturan serta
Undang Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Jakarta: Gunung
Agung, 1960.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1989.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia: dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986.
_______, dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1985.
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
Koesnoe, Moh., "Pokok Permasalahan Hukum Dewasa Ini", dalam
Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, Jakarta:
Rajawali, 1986.
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, Pengaruh Agama terhadap Hukum
Pidana, Laporan Penelitian, Jakarta: LPHN, 1973.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
_______, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1994.
________________________________________
Ahmad Bahiej: Sejarah dan Problematika...
SOSIO-RELIGIA, Vol. 5 No. 2, Februari 2006
21
Muladi, "Perbandingan Sistem Pidana dan Kemungkinan Aplikasinya di
Indonesia", dalam Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan
Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997.
_______, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985.
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem
Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Prakoso, Djoko, dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-pendapat Mengenai
Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984.
Saleh, K. Wantjik, Pelengkap KUHP: Perubahan KUH Pidana dan UU Pidana
Sampai dengan Akhir 1980, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Saleh, Roeslan, "Tentang Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab
Pidana", kertas kerja dalam Lokakarya Masalah Pembaharuan
Kodifikasi Hukum Pidana Nasional, Jakarta: BPHN, 1984.
Soemadi Pradja, R. Achmad S., dan Romli Atmasasmita, Sistem
Pemasyarakatan di Indonesia, Jakarta: BPHN/Bina Cipta, 1979.
Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea, tth.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1981.
_______, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, 1990.
Susanto, I. S., Kejahatan Korporasi di Indonesia Produk Kebijakan Rezim Orde
Baru, Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar pada Fakultas Hukum
Universitas Dipnegoro Semarang, 12 Oktober 1999.
_______,, Kejahatan Korporasi, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995.
The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth,
Colorado: Fred B. Rothman, 1997.
Undang-undang Peradilan Anak (UU Nomor 3 Tahun 1997), Jakarta: Sinar
Grafika, 2000.
Widnyana, I Made, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco,
1993.
ORDE REFORMASI
Sampai saat ini, perjalanan birokrasi Indonesia selalu menghadirkan dua penilaian yang hampir sama kuat. Pada satu sisi, birokrasi diakui berfungsi dan berperan besar dalam menopang perjalanan pembangunan sejak Indonesia merdeka dan apalagi di masa Orde Baru. Namun di sisi yang lain, kritik tajam juga selalu muncul dan seakan tak pernah henti, terutama berkait masalah inefisiensi pelaksanaan fungsi manajemen pemerintahan. Bahkan, penilaian negatif itu justru lebih kuat dan kemudian menjadi stigma “abadi“ birokrasi kita.Stigma itulah yang menampilkan performa birokrasi yang lamban dan kurang bertanggung jawab. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri pernah mengeluhkan birokrasi yang dipimpinnya yang belum juga berubah secara signifikan, meskipun reformasi pemerintahan telah bergulir selama delapan tahun. Birokrasi Indonesia masih bekerja seperti yang biasa dikerjakan selama ini: lamban bertindak dan lamban memproses sesuatu yang pada akhirnya lamban mengambil keputusan, boros waktu, dan tidak efisien (Kompas, 26/5/2006).
Bahkan, survei yang dilakukan The Political and Economic Risk Consultacy Ltd, Indonesia menduduki peringkat kedua terburuk dalam hal birokrasi berinvestasi. Hasil survei menunjukkan, berinvestasi di Indonesia harus melalui prosedur yang panjang sehingga membutuhkan dana dan biaya yang besar. Indonesia hanya lebih baik dari India. India dinilai sebagai negara dengan birokrasi terburuk dengan nilai 8,95, sedangkan Indonesia memperoleh nilai 8,20. sementara Singapura menjadi negara dengan birokrasi terbaik dengan nilai 2,20, diikuti Hongkong dengan nilai 3,10 (Kompas, 2/7/2005).Namun kini jaman telah berubah.
Di era Presiden Yudhoyono, Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara memiliki komitmen untuk melaksanakan reformasi birokrasi dengan fokus pada peningkatan pelayanan publik. Meski demikian, mewujudkan reformasi birokrasi itu sendiri itu bukan hal yang mudah, apalagi jika mind set para birokratnya belum ikut berubah.
Perubahan mind set birokrasi, karenanya menjadi tuntutan bagi aparatur negara dewasa ini. Merubah mind set sama artinya dengan merubah budaya, kebiasaan, dan pola pikir birokrasi. Perubahan seperti ini memiliki efek luar biasa karena ia mendekonstruksi perilaku birokrasi yang telah mengakar kuat sebelumnya. Perilaku dan sikap sebagai pangreh praja diubah menjadi pamong praja, yang dalam hal ini, lebih mengedepankan aspek pelayanan kepada masyarakat dibanding sebagai pemegang otoritas pemerintahan.
Peter Osborne dalam Reinventing Government mengurai lebih dalam tentang pergeseran mind set birokrasi itu. Osborne menyebut perubahan yang demikian sebagai pembaruan (reinvention) pemerintahan. Pembaruan di sini tidak diterjemahkan secara sempit sebagai kata lain dari reformasi, tidak pula bersinonim dengan kata perampingan, swastanisasi, atau sekadar menekan pemborosan dan kecurangan. Makna pembaruan jauh lebih dalam dari itu semua. Pembaruan adalah mengubah DNA organisasi pemerintah, dari sistem yang birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan mendorong pemerintah untuk memiliki perilaku inovatif, dan secara terus-menerus memperbaiki kinerjanya tanpa harus didorong dari luar.
Salah satu hasil dari pembaruan pemerintahan tersebut adalah pergeseran paradigma pemerintahan dalam melihat fungsi dan tugasnya. Osborne bahkan telah melangkah lebih jauh dalam melihat fungsi dan tugas-tugas birokrasi. Di sini, ada dua tugas pokok yang diemban pemerintah, yaitu tugas pelayanan (service provider) dan tugas pengarahan (steering). Bagi Osborne, seiring dengan perkembangan dalam sistem birokrasi, sedikit demi sedikit, pemerintah justru perlu mengurangi peran-peran pelayanannya, dan melakukan penguatan pada fungsi-fungsi pengarahan. Pemerintah, pada akhirnya, akan lebih berperan sebagai pengarah daripada pelaksana. Selanjutnya, tugas-tugas pelayanan akan diberikan kepada masyarakat sepanjang mereka mampu melaksanakannya. Pola bagi tugas yang demikian yang sejatinya merupakan esensi dari pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, masyarakat ikut dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan.
Menuju Era perubahan
Seiring dengan arus deras reformasi yang melanda Indonesia pasca jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, berkembang pula satu terminologi yang memenuhi wacana manajemen pemerintahan sekaligus mewarnai agenda politik bangsa ini, yang menuntut perubahan mendasar dalam sistem birokrasi kita. Terminologi itu tak lain adalah good governance. Gegap gempita terma ini lantas menghiasi perbincangan tentang arah dan masa depan birokrasi Indonesia. Inilah gambaran cita-cita luhur tentang profil birokrasi yang hendak diwujudkan oleh bangsa ini. Bahkan, saat ini Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara tengah menyusun modul penerapan good governance yang berisi pengalaman berbagai daerah yang sedang dibina Menneg PAN dan bisa dijadikan contoh bagi daerah lain.
Kalau melihat potret beberapa daerah, kita mungkin bisa berharap dari geliat reformasi birokrasi di daerah. Tidak semua birokrasi buruk. Toh nyatanya ada juga birokrasi di daerah yang bisa memberikan pelayanan publik dengan cukup baik. Kabupaten Solok, misalnya. Beberapa hal yang dapat dipetik dari keberhasilan Kabupaten Solok di antaranya adalah peran bupati dalam keberhasilan penerapan program daerah, pelayanan satu pintu plus, pemberian tunjangan daerah, serta transparansi penyelenggaraan pemerintah dan partisipasi masyarakat.Salah satu hasil nyata yang bisa dilihat dari Kabupaten Solok adalah peran bupati dalam memberikan contoh dan teladan dalam berbagai tindakan yang menggambarkan good governance. Misalnya, bupati bersedia mengurangi penghasilannya sampai 87 persen, yang kemudian mampu meredam gejolak yang timbul di beberapa kalangan pejabat yang merasa penghasilannya kurang (Kompas, 26/5/2006).
Contoh lain yang dapat ditiru adalah Kabupaten Sragen. Di kabupaten itu semua sumber daya diberdayakan dengan maksimal. Beberapa hasil nyata yang bisa dilihat adalah keuangan mikro untuk usaha kecil menengah, di bidang pertanian dihasilkan beras organik, dan kantor pelayanan terpadu. Untuk keuangan mikro, Pemerintah kabupaten Sragen menyediakan Rp 72,7 miliar yang diputar untuk membantu usaha kecil menengah. Sementara di kantor pelayanan terpadu, masyarakat bisa mendapatkan 62 jenis pelayanan di satu tempat.
Dengan dua contoh keberhasilan itu, apakah reformasi birokrasi telah cukup, terlebih jika tolok ukurnya hanya dengan pelayanan publik yang baik? Tentu saja jawabannya tidak. Melalui good governance, reformasi birokrasi harus dijalankan secara menyeluruh. Meskipun demikian, implementasi konsep good governance tidak pula semudah membalik telapak tangan, walau bukan berarti tidak mungkin. Sebagai aktivitas memerintah, good governance memenuhi empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah.
Sementara dalam tataran praksis, upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik itu dapat diukur berdasarkan sepuluh sendi yang menjadi karakter birokrasi yang diwujudkan melalui konsep ini. Kesepuluh sendi tersebut merupakan hasil kesepakatan dari Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Se-Indonesia, dan Asosiasi Pemerintah Propinsi Se-indonesia pada tahun 2001, yang terdiri atas:
Pertama, prinsip akuntabilitas. Good governance meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Birokrasi pun muncul sebagai sosok yang bertanggung jawab terhadap kinerjanya demi kemaslahatan seluruh masyarakat.
Kedua, efisiensi dan efektivitas. Melalui good governance, birokrasi didorong untuk menggunakan segala sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab guna menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat. Tidak ada lagi rantai birokrasi yang panjang dan berbelit-belit. Tidak ada lagi prosedur administrasi yang njelimet. Seluruh tata administrasi pemerintahan dibangun menuju prinsip better, faster, cheaper (lebih baik, lebih cepat dan lebih murah).
Ketiga, partisipasi. Good governance mendorong setiap warga untuk menggunakan haknya dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam implementasinya, prinsip ini berhadapan vis a vis dengan apatisme dan skeptisme publik. Publik tidak lagi dipandang sebagai objek pembangunan semata, lebih dari itu, mereka adalah subjek sekaligus partner bagi pemerintah dalam mewujudkan cita-cita pemerintahan yang madani.
Keempat, wawasan ke depan. Dalam prinsip ini, good governance memandu birokrat membangun daerahnya berdasarkan visi, misi dan strategi yang jelas dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan. Dengan demikian, warga pun merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya. Seorang birokrat dituntut untuk memiliki wawasan yang futuristik, yang disertai dengan pola kerja yang sistematis. Jiwa dinamis seorang birokrat ikut mewarnai kerja organisasi. Seorang birokrat haruslah up to date dengan segala perkembangan jaman.
Kelima, transparansi. Berlandaskan pada prinsip good governance, birokrasi mendorong kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dengan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Krisis kepercayaan merupakan salah satu kendala besar yang dihadapi birokrasi Indonesia dewasa ini dalam setiap implementasi serta sosialisasi kebijakan mereka. Alhasil, sense of belonging dan sense of responsibility masyarakat terhadap pembangunan pun menjadi rendah.
Keenam, profesionalisme. Good gonernance meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. Birokrat memiliki kejelian dalam melihat sumber-sumber baru yang potensial dan mampu mengkombinasikan sumber daya yang ada menjadi sesuatu yang optimal, tidak cuma mengeluh terhadap berbagai kekurangan yang ada, seperti anggaran yang terbatas. Birokrat yang tampil kemudian adalah mereka yang mampu mengoptimalkan keterbatasan sumberdaya yang ada menjadi sebuah gabungan kekuatan sinergis (resource mix) dan mempunyai produktivitas tinggi.
Ketujuh, penegakan hukum. Mewujudkan penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa melihat perbedaan ras dan stratifikasi sosial, ekonomi dan politik.
Kedelapan, daya tanggap. Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. Seorang birokrat haruslah pribadi yang sensitif dan responsif melihat semua peluang dan tantangan. Kemampuan berpikir jangka panjang dan penguasaan atas berbagai dinamika yang terjadi merupakan sebuah keharusan.
Kesembilan, kesetaraan. Pemerintahan di sini memberi penekanan pada aspek keadilan ekonomi, di mana negara memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pembangunan tidak sekadar berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi, melainkan pada pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Kesepuluh, pengawasan. Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan masyarakat luas. Pembangunan bukan monopoli pemerintah, melainkan buah sinergi antara pemerintah-masyarakat-swasta. Di sini, pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator.
ORDE BARU
 
Sesungguhnya istilah penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) yang bercirikan pemerintah yang bersih (clean government) atau bebas dari praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) serta responsif dan inovatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di masa Orde Baru sudah dikenal dan telah menjadi wacana. Namun, ia tidak dapat dipraktekkan karena sistem politik rezim Orde Baru bercorak otoriter dan sentralistik, sementara penerapan good governance, tidak mungkin tidak, harus didukung oleh sistem politik yang demokratis.
Kinerja pemerintahan dalam sistem politik otoriter cenderung tidak efisien dan penuh dengan penyelewengan. Prinsip-prinsip prosedural birokratis yang memang harus ada dalam penyelenggaraan organisasi pemerintahan, yang merupakan mekanisme administratif untuk melayani dan mengelola berbagai kepentingan publik, malah lebih diperumit lagi, bukannya dideregulasi untuk memperluas pilihan kesempatan bagi warga masyarakat dalam melaksanakan berbagai aktivitas sosial-budaya dan ekonomi.
Satu hal yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kecenderungan (trend) kerusakan lingkungan pesisir dan lautan di era reformasi ini pada umumnya justru semakin memburuk. Hal ini terutama disebabkan kebutuhan mendesak di kalangan masyarakat maupun pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang semakin mahal karena depresiasi nilai rupiah terhadap mata uang asing (khususnya dolar Amerika Serikat) yang sangat drastis, keharusan untuk menampung tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan upaya untuk meningkatkan perolehan devisa.
 
 
 
II. KONSEP
 
Williamson (1994) mengungkapkan bahwa governance merupakan sistem yang diimplementasikan akibat adanya kontrak hubungan antara setiap pihak (stakeholders) dalam hubungan kelembagaannya. Sementara hubungan kelembagaan yang dimaksud adalah hubungan organisasional yang memiliki insentif struktural dan interaksi publik di dalamnya. Dalam substansi yang lebih kurang sama United Nations Development Programme (UNDP, 1997) mendefinisikan governance sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Governance dikatakan baik (good atau sound) apabila pengelolaan sumberdaya alam dan masalah-masalah publik dilakukan secara efektif, efisien yang merupakan respons terhadap kebutuhan masyarakat. Tentu saja pengelolaan yang efektif, efisien dan responsif terhadap kebutuhan rakyat menuntut iklim demokrasi dalam pemerintahan. Untuk itu, pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan dan pengelolaan masalah-masalah publik mesti didasarkan pada keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, serta transparan. Dengan begitu, good governance merupakan tuntutan imperatif, yang harus dilaksanakan.
 
Di dalam praktek good governance dalam konteks pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan guna pembangunan ekonomi, pemerintah perlu mengurangi keterlibatannya dalam wilayah-wilayah di mana pasar bekerja atau dapat dijadikan bekerja dengan cukup baik. Pemerintah perlu membiarkan kompetisi di antara para pelaku ekonomi domestik dan internasional merebak.
 
Namun pada saat yang bersamaan, pemerintah perlu lebih banyak berbuat di wilayah-wilayah di mana pasar tak dapat diandalkan atau banyak mengalami distorsi. Dan untuk mengatasi tugas-tugas tersebut pemerintah harus menanamkan investasi langsung pada peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, membangun infrastruktur sosial dan fisik bagi kegiatan publik, serta melindungi lingkungan hidup. Tetapi untuk bisa melaksanakan semua itu mensyaratkan dilakukannya penguatan pada lembaga-lembaga politik, sosial, dan ekonomi masyarakat serta kebijakan yang lebih efisien dan efektif bagi redistribusi dan pertumbuhan ekonomi.
 
Secara lebih rinci Anthony Giddens menguraikan apa saja yang menjadi tugas pemerintahan dalam kerangka good governance ini: menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan masyarakat yang beragam; menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing; menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, di mana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa dilanjutkan; menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif; mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam; menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan; mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui sistem pendidikan; menopang sistem hukum yang efektif, yang menjamin perselisihan ditangani secara adil, tanpa bias ke arah negara atau kepada kepentingan swasta besar.
 
III. OTORITARIANISME BIROKRASI
 
Pemerintah Orde Baru boleh dikatakan "anti" terhadap lembaga-lembaga politik, ekonomi, ataupun sosial masyarakat yang mencoba mempersoalkan cara kerja atau kebijaksanaan yang dibuatnya. Bila ada lembaga masyarakat yang sedikit kritis, ia akan dituduh bertindak subversif. Dan, hampir tidak ada kekuatan kelompok sosial-ekonomi atau sosial-politik formal maupun informal yang bisa mengawasi pemerintah. Peran pemerintah telah terlepas dari kontrol (untouchable) institusi-institusi di luar dirinya.
 
Itulah sistem politik kenegaraan yang bercorak otoritarianisme-birokratik (OB) (bureaucratic-authoritarianism), yaitu suatu bentuk negara otoriter yang kuat dan terpadu, dengan posisi lembaga eksekutif yang sangat dominan dan determinan, dan mampu mensubordinasikan kelompok-kelompok politik, sosial, dan ekonomi masyarakat.
 
Dalam sistem OB keterlibatan negara tidak sekadar dalam politik formal, tetapi masuk sampai ke dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan kultural masyarakat sehari-hari dan secara geografis menyebar sampai jauh ke pelosok, dan secara sosiologis masuk ke dalam aspek kehidupan yang paling kecil seperti rumah tangga dan individu.
 
Tindakan negara OB kerap kali menggunakan kekuatan represif yang ditujukan untuk meredam partisipasi masyarakat. Di bidang administrasi, negara sangat tergantung pada struktur birorkasi yang rumit yang fungsi sebenarnya adalah untuk mengontrol prilaku-prilaku atau kegiatan-kegiatan masyarakat.
 
Memang dalam negara OB ini secara formal terlihat ada lembaga-lembaga yang mewakili masyarakat, baik dalam bentuk partai politik, organisasi sosial, ekonomi, dan kultural. Tetapi, institusi-institusi kemasyarakatan itu bersifat korporatis, yaitu suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya dibatasi serta bersifat tunggal atau seragam; tidak diperbolehkan untuk saling berkompetisi, dan diatur secara hirarkis; yang diakui dan diberi izin (kalau tidak diciptakan sendiri oleh negara) serta diberi hak monopoli untuk merepresentasikan kepentingan dalam bidangnya masing-masing sebagai imbalan atas kesediaan memenuhi pengendalian-pengendalian tertentu.
 
Di samping itu, pimpinan institusi tersebut harus melalui penyaringan yang ketat dari aparat negara. Semua cara pengendalian itu diarahkan supaya tidak terjadi pertentangan antar kelas atau kelompok kepentingan serta terciptanya keselarasan, kesetiakawanan, dan kerja sama dalam hubungan antara negara dan masyarakat.
 
Karena negara Orde Baru merupakan rezim otoriterisme birokratis, dengan sendirinya good governance tidak bisa diimplementasikan. Sistem otoritarianisme birokratik dengan good governance bertentangan satu sama lain, bukan pasangannya. Yang menjadi pasangan dari sistem otoritarianisme birokratis adalah penyelenggaraan pemerintahan yang birokratis, tidak efisien, penyimpangan dalam penggunaan dana-dana pembangunan, pengambilan keputusan yang tertutup dan sentralistik, serta melakukan pembungkaman terhadap kelompok-kelompok masyarakat.
 
 
 
 
 
 
VII. PENUTUP
 
Pergeseran dan perubahan yang mesti dilakukan menuntut perubahan pola pikir dari ''mendukung pemerintah'' ke ''memperbaiki kepemerintahan''. Keberhasilan pemerintah tidak sekadar ditentukan berdasarkan keberhasilan menjalankan kebijakannya sendiri, melainkan juga kemampuannya dalam mendorong usaha-usaha LSM, dunia usaha, dan kelompok masyarakat lain.
 
Perubahan pola kerja itu mensyaratkan cara kerja baru yang efektif dan tidak bertumpu pada pemerintah saja. Pergeseran paradigma sosial dari government ke governance menuntut bentuk baru pengambilan keputusan dan definisi baru untuk tanggung jawab dan kemitraan. Sikap positif dalam interaksi sangat dituntut, tidak diwarnai syak wasangka (prejudice). Kreativitas lebih dituntut daripada pendekatan rutin.
 
Pengetahuan, pemahaman, dan kepedulian akan arti penting dan strategis pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan bagi pembangunan nasional, sehingga perlu dipelihara kelestariannya perlu terus disebarluaskan ke berbagai kalangan, khususnya para anggota legislatif, kalangan pengambil keputusan di pemerintahan maupun swasta.
 
Beberapa hal yang dikemukakan di atas merupakan "daftar panjang" yang musti dipikirkan bersama atau bahkan harus menjadi aksi bersama sehingga beban tidak berada di pundak pemerintah saja tetapi juga berada di pundak semua stakeholder pesisir dan lautan agar harapan bahwa masa depan Indonesia ada di laut benar-benar terwujud.
 
 
 
DAFTAR PUSTAKA
1. PKSPL-IPB, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pembangunan Daerah - Depdagri, Bogor.
2. Bengen, D. G, dan Achmad Rizal. 2002. Menyoal Pengaturan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan. Artikel Warta INCUNE. Edisi Tahun 2 Nomor 1.
3. Boyce, T.M. and J. Catena. 1991. The Living Ocean Understanding and Protecting Marine Biodiversity, Washington, D.C. Covelo, California.
4. Cicin-Sain, B. and R.W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: Concepts and Practices. Island Press, California.
5. Cross, N. 2001. The Future is Now.
6. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
7. Kartasasmita, Ginandjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES. Jakarta.
8. Hanna, S., 1999. Strengthening governance of ocean fishery resources. www.erlsevier.com/locate/ecolecon.
9. Giddens. A. 1999. The Third Way.
10. Hardin. 1968. Tragedy of the Commons.
11. Lindley, D. 1988. Is the Earth Live or Death? Nature.
12. Ostrom, E. 1999. Annual Review of Political Science 2: 493-535.
13. Santoso, Mas Achmad. 2001. Good Governance dan Hukum Lingkungan. ICEL. Jakarta.
14. UNDP. 1997. Reconceptualising Governance. UNDP Discussion Paper 2. Management Development and Governance Division Bureau for Policy and Programme Support.
15. Ward, B. 1982. Down to Earth. London, Temple Smith.
16. Williamson, O.E., 1994. Transactions cost economics and organization theory. In: Smelser, N.J., Swedberg, R. (Eds.), The Handbook of Economic Sociology. Princeton University Press, Princeton, NJ. Pp. 77-107.
Diposting oleh ANHakim jam 12:28 PM
0 komentar:
Post a Comment
Link ke posting ini
Create a Link
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan landasan konstitusional penyelenggaraan negara, dalam waktu relatif singkat (1999-2002), telah mengalami 4 (empat) kali perubahan. Dengan berlakunya amandemen UUD 1945 tersebut, telah terjadi perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu : (1) penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (2) ditiadakannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional; dan (3) diperkuatnya otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai dokumen perencanaan pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalah dalam bentuk GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Ketetapan MPR ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran DPR, sekarang tidak ada lagi.
Instrumen dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai acuan utama dalam memformat dan menata sebuah bangsa, mengalami dinamika sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Perubahan mendasar yang terjadi adalah semenjak bergulirnya bola reformasi, seperti dilakukannya amandemen UUD 1945, demokratisasi yang melahirkan penguatan desentralisasi dan otonomi daerah (UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 yang telah diganti dengan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004), UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, penguatan prinsip-prinsip Good Governance : transparansi, akuntabilitas, partisipasi, bebas KKN, pelayanan publik yang lebih baik. Disamping itu dokumen perencanaan pembangunan nasional juga dipengaruhi oleh desakan gelombang globalisasi (AFTA, WTO, dsb) dan perubahan peta geopolitik dunia pasca tragedi 11 September 2001.
Perjalanan dokumen perencanaan pembangunan nasional sebagai kompas pembangunan sebuah bangsa, perkembangannya secara garis besar dapat dilihat dalam beberapa periode yakni :
Dokumen perencanaan periode 1958-1967
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno (Orde Lama) antara tahun 1959-1967, MPR Sementara (MPRS) menetapkan sedikitnya tiga ketetapan yang menjadi dasar per encanaan nasional yaitu TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-1969, dan Ketetapan MPRS No.IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan.
Dokumen perencanaan periode 1968-1998
Landasan bagi perencanaan pembangunan nasional periode 1968-1998 adalah ketetapan MPR dalam bentuk GBHN. GBHN menjadi landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden untuk menjabarkannya dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita), proses penyusunannya sangat sentralistik dan bersifat Top-Down, adapun lembaga pembuat perencanaan sangat didominasi oleh pemerintah pusat dan bersifat ekslusif. Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai subjek utama out-put perencanaan kurang dilibatkan secara aktif. Perencanaan dibuat secara seragam, daerah harus mengacu kepada perencanaan yang dibuat oleh pemerintah pusat walaupun banyak kebijakan tersebut tidak bisa dilaksanakan di daerah. Akibatnya mematikan inovasi dan kreatifitas daerah dalam memajukan dan mensejahterakan masyarakatnya. Distribusi anggaran negara ibarat piramida terbalik, sedangkan komposisi masyarakat sebagai penikmat anggaran adalah piramida seutuhnya.
Sebenarnya pola perencanaan melalui pendekatan sentralistik/top-down diawal membangun sebuah bangsa adalah sesuatu hal yang sangat baik, namun pola sentralistik tersebut terlambat untuk direposisi walaupun semangat perubahan dan otonomi daerah telah ada jauh sebelum dinamika reformasi terjadi.
Dokumen perencanaan periode 1998-2000
Pada periode ini yang melahirkan perubahan dramatis dan strategis dalam perjalanan bagsa Indonesia yang disebut dengan momentum reformasi, juga membawa konsekuensi besar dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan nasional, sehingga di periode ini boleh dikatakan tidak ada dokumen perencanaan pembangunan nasional yang dapat dijadikan pegangan dalam pembangunan bangsa, bahkan sewaktu pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terbersit wacana dan isu menyangkut pembubaran lembaga Perencanaan Pembangunan Nasional, karena diasumsikan lembaga tersebut tidak efisien dan efektif lagi dalam konteks reformasi.
Dokumen perencanaan periode 2000-2004
Pada sidang umum tahun 1999, MPR mengesahkan Ketetapan No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004. Berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya, pada GBHN tahun 1999-2004 ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk bersama-sama menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN, sebagai realisasi ketetapan tersebut, Presiden dan DPR bersama-sama membentuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Propenas menjadi acuan bagi penyusunan rencana pembangunan tahunan (Repeta), yang ditetapkan tiap tahunnya sebagai bagian Undang-Undang tentang APBN. sedangkan Propeda menjadi acuan bagi penyusunan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (Repetada).
Dokumen perencanaan terkini menurut UU Nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN
Diujung pemerintahannya Presiden Megawati Soekarno Putri menandatangani suatu UU yang cukup strategis dalam penataan perjalanan sebuah bangsa untuk menatap masa depannya yakni UU nomor 25 tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional. Dan bagaimanapun UU ini akan menjadi landasan hukum dan acuan utama bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memformulasi dan mengaplikasikan sesuai dengan amanat UU tersebut. UU ini mencakup landasan hukum di bidang perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dalam UU ini pada ruang lingkupnya disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara pemerintahan di pusat dan daerah dengan melibatkan masyarakat.
Intinya dokumen perencanaan pembangunan nasional yang terdiri dari atas perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh kementerian/lembaga dan perencanaan pembangunan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenanganya mencakup : (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan periode 20 (dua puluh) tahun, (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan periode 5 (lima) tahun, dan (3) Rencana Pembangunan Tahunan yang disebut dengan Rencana Kerja Pemerintah dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKP dan RKPD) untuk periode 1 (satu) tahun.
Lahirnya UU tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini, paling tidak memperlihatkan kepada kita bahwa dengan UU ini dapat memberikan kejelasan hukum dan arah tindak dalam proses perumusan perencanaan pembangunan nasional kedepan, karena sejak bangsa ini merdeka, baru kali ini UU tentang perencanaan pembangunan nasional ditetapkan lewat UU, padahal peran dan fungsi lembaga pembuat perencanaan pembangunan selama ini baik di pusat maupun di daerah sangat besar.
Tapi pertanyaan kita, apakah UU nomor 25 tahun 2004 tentang SPPN ini tidak hanya bertukar kulit saja ? apakah RPJP, RPJM, RKP itu secara model dan mekanisme perumusannya sama saja halnya dengan program jangka panjang yang terkenal dengan motto menuju Indonesia tinggal landas, Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan berbagai periode dan APBN sebagai program satu tahunnya semasa pemerintahan Orde Baru ?
Apakah aspirasi, partisipasi dan pelibatan masyarakat dalam proses penjaringan, penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi dari perencanaan yang dibuat, masih dihadapkan pada balutan sloganistis dan pemenuhan azas formalitas belaka ? mungkin substansi ini yang perlu kita sikapi bersama dalam konteks perumusan kebijakan dokumen perencanaan pembangunan nasional maupun daerah ini kedepan.
Catatan : Sudah pernah dipublikasikan pada Koran Kaba Luhan Nan Tuo