Cultuurstelsel: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(66 revisi perantara oleh 41 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{More citations needed|date=Januari 2022}}
[[Berkas:Raden Sarief Bastaman Saleh - Johannes Graaf van den Bosch.jpg|ka|jmpl|Graaf Johannes van den Bosch, pelopor Cultuurstelsel]]
{{Judul miring}}
'''''Cultuurstelsel''''' (harfiah: '''Sistem Kultivasi''' atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai '''Sistem Budi Daya''') yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai '''Sistem Tanam Paksa''', adalah peraturan yang dikeluarkan oleh [[Gubernur Jenderal]] [[Johannes van den Bosch]] pada tahun [[1830]] yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya [[kopi]], [[tebu]], dan [[tarum]] (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
[[Berkas:Raden Sarief Bastaman Saleh - Johannes Graaf van den Bosch.jpg|ka|jmpl|Graaf Johannes van den Bosch, pelopor kebijakan ''Cultuurstelsel''.]]
'''''Cultuurstelsel''''' (harfiah: '''Sistem Kultivasi''' atau secara kurang tepat diterjemahkan sebagai '''Sistem Budi Daya'''), yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai '''Sistem Tanam Paksa''', adalah peraturan yang dikeluarkan oleh [[Gubernur Jenderal]] [[Johannes van den Bosch]] pada tahun [[1830]] yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditikomoditas ekspor, khususnya [[kopiteh]], [[tebukopi]], dan [[tarumkakao]] (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam [[pajak]].
 
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku [[ekspor]] dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan [[Belanda]]. Wilayah yang digunakan untuk praktik ''cultuurstelstel'' pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan [[pertanian]].
 
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi [[Hindia Belanda]]. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem [[monopoli]] [[VOC]] karena ada sasaran pemasukantarget penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditikomoditas tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada [[1835]] hingga [[1940]].
 
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar ''[[Graaf]]'' oleh raja Belanda, pada [[25 Desember]] [[1839]].
Baris 11 ⟶ 13:
 
== Aturan ==
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa:
* Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia[[Pribumi]] agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
* Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
* Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
* Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam [[padi]] atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
* Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
* Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggungditanggung pemerintah Belanda
* Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada [[kepala desa (isnansoleh5@gmail.com)]]
 
== Kritik ==
[[Berkas:Wolter Robert van Hoëvell.jpg|ka|jmpl|Wolter Robert baron van Hoëvell, pejuang PolitkPolitik Etis]]
Menurut sebuah catatan seorang Eropa yang jadi inspektur Tanam Paksa, yaitu L. Vitalis menyebut ilustrasi nan muram: laporan dari awal 1835, di [[Priangan]]. Mayat para petani bergelimpangan karena keletihan dan kelaparabkelaparan, di sepanjang [[Tasikmalaya]] dan [[Garut]], Arjawinangun dan Galo. Manakala mereka dibiarkan saja, tak dikubur, itu karena alasan [[Bupati]] yang kalemseolah tak peduli: "Di waktu malam harimau akan menyeret mereka."<ref name="CP">{{aut|[[Goenawan Mohamad|Mohamad, Goenawan]]}} (2006, cet.6). ''Catatan Pinggir''. '''1''':430{{spaced ndash}}431. [[Jakarta]]: Grafiti Pers. ISBN 979-96724-3-0.</ref> Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di [[Grobogan]], [[Demak]], [[Cirebon]]. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap [[bumiputra]] Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang [[sastra]] muncul [[Multatuli]] (Eduard Douwes Dekker), di lapangan [[jurnalistik]] muncul [[E.S.W. Roorda van Eisinga]], dan di bidang politik dipimpin oleh [[Baron van Hoevell]]. Dari sinilah muncul gagasan [[politik etis]].
 
=== Kritik kaum liberal ===
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun [[1870]], dengan diberlakukannya UU Agraria, ''Agrarische Wet''. Namun, tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
 
Gerakan [[liberalisme|liberal]] di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha [[swasta]]. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
 
UU ini memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas dengan jangka waktu paling lama 75 tahun, untuk ditanami [[tanaman keras]] seperti [[karet]], [[teh]], [[kopi]], [[kelapa sawit]], [[tarum]] (nila), atau untuk [[tanaman semusim]] seperti [[tebu]] dan [[tembakau]] dalam bentuk sewa jangka pendek.
 
=== Kritik kaum humanis ===
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria ini mendapat kritik dari para kaum [[humanis]] Belanda. Seorang Asisten Residen di [[Lebak]], [[Banten]], Eduard Douwes Dekker mengarang buku ''[[Max Havelaar]]'' ([[1860]]). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran [[Multatuli]]. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat [[Hindia Belanda]].
 
Seorang anggota Raad van Indie, [[C. Th van Deventer]] membuat tulisan berjudul ''Een Eereschuld'', yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah ''De Gids'' yang terbit tahun [[1899]]. Van Deventer dalam bukunya menghimbaumengimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi [[Politik Etis]].
 
== Dampak ==
=== Dalam bidang pertanian ===
''Cultuurstelsel'' menandai dimulainya penanaman tanaman komoditikomoditas pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil [[rempah-rempah]] seperti [[lada]], [[pala]], dan [[cengkehcengkih]].
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditikomoditas [[pertanian]], dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
 
=== Dalam bidang sosial ===
Dalam bidang pertaniansosial, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya. isnansoleh5@gmail.com
 
=== Dalam bidang ekonomi ===
Baris 53 ⟶ 55:
 
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://djambatan.co.id/editorial/artikel.php?aid=8 Secara Ekonomi, Tanam Paksa Gagal]{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
 
[[Kategori:Hindia Belanda]]