Konten dihapus Konten ditambahkan
Perbaikan kata kata
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Ernawatililys (bicara | kontrib)
sunting kalimat
 
(140 revisi perantara oleh 26 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{disambiginfo}}
{{Shintoisme}}
[[Berkas:Itsukushima torii angleGate.jpg|jmpl|280px|SebuahGerbang ''[[torii]]'' dimenuju [[Kuil Itsukushima]] di [[Prefektur Hiroshima]], [[Jepang]], salah satu contoh [[torii]] paling terkenal di negara ini.{{sfn|Littleton|2002|pp=70, 72}} Torii menandai pintu masuk kuil Shinto dan merupakan simbol yang dapat dikenali dari agama tersebut.]]
{{nihongo|'''Shinto'''|神道|Shintō|secara harfiah bermakna "jalan Tuhan"}} adalah sebuah [[agama]] yang berasal dari [[Jepang]].<ref name="KBBID shinto">{{id}} Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Republik Indonesia {{cite web|url=https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/{{urlencode: shinto|WIKI}}|title=Arti kata shinto pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan|accessdate=2020-03-9}}</ref> [[Studi agama|Para cendekiawan keagamaan]] menggolongkannya sebagai [[agama Asia Timur]]; mereka yang menjalankan praktik keagamaannya (praktisi) sering menganggapnya sebagai [[Kepercayaan asli|agama asli]] Jepang dan [[agama alam]]. Para cendekiawan terkadang menyebut para praktisi sebagai "penganut Shinto" walau para penganut sendiri jarang menggunakan istilah tersebut. Shinto tidak dikendalikan oleh suatu otoritas pusat, para praktisi memiliki keyakinan dan praktik keagamaan yang beraneka ragam.
{{nihongo|'''Shinto'''|神道|Shintō|secara harfiah bermakna "jalan/jalur dewa"}} adalah sebuah [[agama]] yang berasal dari [[Jepang]]. Dari masa [[Restorasi Meiji]] hingga akhir [[Perang Dunia II]], Shinto adalah agama resmi di Jepang.
 
Shinto adalah agama [[Politeisme|politeistik]] yang mempercayai ''[[Kami (mitologi)|Kami]]'', entitas supernatural yang diyakini menghuni segala sesuatu, sebagai bagian esensial kepercayaan. ''Kami'' dapat ditemukan dalam kekuatan alam dan lokasi-lokasi lanskap yang signifikan. Hubungan antara ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan alam menyebabkan Shinto dianggap [[animisme|animistik]]. Penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dilakukan di altar rumah tangga ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'', kuil keluarga, dan [[kuil Shinto|kuil umum ''jinja'']].Kuil umum dikelola oleh para pendeta, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}''. Mereka mengelola persembahan makanan dan minuman untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu yang dipuja di lokasi tersebut. Hal itu dilakukan untuk menumbuhkan keharmonisan antara manusia dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' serta untuk meminta berkah darinya. Ritual umum lainnya termasuk tari ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', [[ritus peralihan]], dan festival musiman. Kuil umum menyediakan perlengkapan keagamaan seperti [[jimat]] untuk para penganut Shinto dan memfasilitasi berbagai bentuk [[ramalan]]. Shinto menempatkan fokus konseptual utama pada pemastian kesucian, sebagian besar dengan praktik pembersihan seperti ritual mandi dan basuh, terutama sebelum ibadah. Sedikit penekanan ditempatkan pada kode moral tertentu atau keyakinan kehidupan setelah kematian tertentu meskipun orang yang meninggal dianggap mampu menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Shinto tidak memiliki pencipta tunggal atau teks doktrinal tertentu, agama itu hadir dalam bentuk khas lokal dan regional yang beraneka ragam.
Shinto sebagai agama asli bangsa Jepang, memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti “jalan para dewa”, “pemujaan para dewa”, “pengajaran para dewa”, atau “agama para dewa”. Dan nama Shinto itu sendiri baru dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam masehi.
 
Meskipun waktu Shinto menjadi agama tersendiri dalam sejarah masih diperdebatkan, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dapat ditelusuri kembali pada [[Zaman Yayoi]] (300 SM-300 M) di Jepang. [[Buddhisme Tiongkok|Ajaran Buddha]] masuk ke Jepang pada akhir [[Zaman Kofun]] (300-538 M) dan menyebar dengan cepat. [[Sinkretisme|Sinkretisasi agama]] membuat penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan ajaran Buddha tidak dapat dipisahkan secara fungsional, proses itu disebut ''[[shinbutsu-shūgō]]''. ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' mulai dipandang sebagai bagian dari [[kosmologi Buddha]] dan selanjutnya semakin digambarkan dengan [[antropomorfisme]]. Tradisi tertulis paling awal mengenai penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tercatat dalam ''[[Kojiki]]'' dan ''[[Nihon Shoki]]'' dari abad ke-8. Pada abad-abad berikutnya, ''{{lang|ja-Latn|shinbutsu-shūgō}}'' diadopsi oleh keluarga Kekaisaran Jepang. Selama [[Zaman Meiji]] (1868-1912), kepemimpinan [[nasionalisme Jepang|nasionalis]] Jepang memisahkan pengaruh penganut Buddha dari penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan membentuk [[Shinto negara]]. Ideologi Shinto negara Jepang tersebut dianggap oleh sejumlah sejarawan sebagai asal usul Shinto sebagai agama tersendiri. Kuil berada di bawah pengaruh pemerintah yang berkembang dan masyarakat didorong untuk menyembah [[Kaisar Jepang|kaisar]] sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Dengan terbentuknya [[Kekaisaran Jepang]] pada awal abad ke-20, Shinto disebarkan keluar ke wilayah lain di Asia Timur. Setelah kekalahan Jepang pada [[Perang Dunia II]], Shinto secara resmi [[negara sekuler|dipisahkan dari negara]].
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.
 
Shinto terutama ditemukan di Jepang, wilayah yang menampung sekitar 100.000 kuil umum walau para praktisi juga ditemukan di luar negeri. Secara numerik, agama tersebut merupakan agama terbesar di Jepang, diikuti oleh ajaran Buddha. Sebagian besar penduduk negara tersebut turut berpartisipasi dalam baik kegiatan Shinto maupun Buddha, terutama festival. Fenomena itu mencerminkan pandangan umum dalam [[budaya Jepang]] bahwa kepercayaan dan praktik suatu agama tidak harus dilakukan hanya oleh golongan tertentu. Aspek-aspek dari Shinto juga dimasukkan ke berbagai [[Shinshūkyō|gerakan agama baru di Jepang]].
== Pengertian ==
Shinto adalah kata majemuk daripada “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti harfiah “jalannya roh”, baik roh-roh orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalannya Dewa” atau “jalannya bumi dan langit”. Sedang kata “Shin” atau “Shen” identik dengan kata “Yin” dalam taoisme yang berarti gelap, basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata “Yang”. Dengan melihat hubungan nama “Shinto” ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi paham keagamaan dari Tiongkok.
Sedangkan Shintoisme adalah paham yang berbau keagamaan yang khusus dianut oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup. Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.
 
== Sumber PenulisanDefinisi ==
[[File:YobitoTorii.jpg|thumb|right|Sebuah gerbang ''torii'' menuju Kuil Yobito ({{lang|ja-Latn|Yobito-jinja}}) di Kota Abashiri, Hokkaido]]
* Pertama sumber luar (asing) yang banyak ditemukan pada sejumlah buku atau site seperti wikipedia misalnya, menjelaskan dengan cukup detail tentang agama ini.
Shinto tidak memiliki definisi yang disepakati secara universal.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=viii|2a1=Rots|2y=2015|2p=211}} Namun, penulis Joseph Cali dan John Dougill menyatakan bahwa jika terdapat "satu definisi tunggal yang luas mengenai Shinto" yang dapat dikemukakan, "Shinto merupakan kepercayaan pada ''{{lang|ja-Latn|[[Kami (mitologi)|kami]]}}''", entitas supernatural yang menjadi inti agama tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Ahli budaya Jepang [[Helen Hardacre]] menyatakan bahwa "Shinto meliputi doktrin, institusi, ritual, dan kehidupan kelompok berdasarkan penyembahan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''".{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} Selain itu, cendekiawan keagamaan Inoue Nobutaka mengamati istilah "Shinto" "sering digunakan" dalam "rujukan kepada penyembahan ''kami'' serta teologi, ritual, dan praktik yang terkait."{{sfn|Inoue|2003|p=1}} Berbagai cendekiawan menyebut praktisi Shinto sebagai ''penganut Shinto'' walau istilah ini tidak memiliki terjemahan langsung dalam [[bahasa Jepang]].{{sfn|Picken|1994|p=xviii}}
* Kedua, ajaran Shinto menurut versi negara terutama saat agama ini ditetapkan sebagai agama resmi zaman Meiji dahulu. Doktrin dan ajaran mulai ditulis yang sepertinya lebih difokuskan pada ajaran kesetiaan pada negara dan kaisar.
 
* Ketiga, sumber dari lembaga pendidikan seperti Encyclopedia Shinto.
Para cendekiawan memperdebatkan waktu yang tepat dalam sejarah sebagai titik di mana Shinto dianggap sebagai fenomena tertentu. Cendekiawan keagamaan [[Ninian Smart]] berpendapat bahwa seseorang dapat "berdiskusi tentang agama ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' di Jepang, agama yang pernah hidup bersimbiosis dengan ajaran Buddha yang terorganisasi, dan baru kemudian telah ditetapkan sebagai Shinto."{{sfn|Smart|1998|p=135}} Meskipun berbagai institusi dan praktik yang sekarang dikaitkan dengan Shinto berada di Jepang pada abad ke-8,{{sfn|Hardacre|2017|p=18}} berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto sebagai agama yang tersendiri pada dasarnya "diciptakan" pada abad ke-19, selama [[Zaman Meiji]] di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}} Cendekiawan keagamaan Brian Bocking menekankan bahwa, terutama ketika berhadapan dengan periode sebelum Zaman Meiji, istilah "Shinto" harus "diperlakukan dengan hati-hati".{{sfn|Bocking|1997|p=174}} Inoue Nobutaka menyatakan bahwa "Shinto tidak dapat dianggap sebagai suatu sistem agama tunggal yang ada dari zaman kuno hingga zaman modern"{{sfn|Inoue|2003|p=5}} sedangkan sejarawan [[Toshio Kuroda]] berkomentar bahwa "sebelum zaman modern, Shinto tidak dijumpai sebagai agama yang berdiri sendiri".{{sfn|Kuroda|1981|p=3}}
* Dan yang terakhir adalah sumber dari masyarakat itu sendiri.
 
=== Kategorisasi ===
Banyak cendekiawan memaparkan Shinto sebagai [[agama]].{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xvii|2a1=Nelson|2y=1996|2p=26}} Namun, sejumlah praktisi memandang Shinto sebagai "jalan"{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxiv|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} sehingga mencirikannya cenderung sebagai adat atau [[tradisi]].{{sfn|Breen|2010|p=69}} Hal tersebut juga dilakukan oleh para praktisi sebagai cara untuk menghindari [[Pemisahan agama dan negara|pemisahan modern negara dan agama]] serta untuk memulihkan hubungan historis Shinto dengan negara Jepang.{{sfn|Picken|1994|pp=xxiv–xxv}} Terlebih lagi, konsep beragama dan kategori agama dalam [[dunia Barat|budaya Barat]] "tidak berlaku mutlak" pada Shinto.{{sfn|Picken|1994|p=xix}} Berbeda dengan agama-agama yang dikenal di negara-negara Barat, seperti [[Kristen]] dan [[Islam]], Shinto tidak memiliki tokoh perintis{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=191|2a1=Littleton|2y=2002|2p=6|3a1=Picken|3y=2011|3p=1|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=13}} maupun kitab suci.{{sfn|Offner|1979|p=191}} Agama-agama Barat cenderung menekankan eksklusivitas tetapi praktik lebih dari satu tradisi agama secara bersamaan dapat dilakukan oleh seorang praktisi di Jepang,{{sfn|Picken|1994|p=xxx}} agama dalam budaya Jepang bersifat sangat [[Pluralisme agama|pluralistik]].{{sfn|Picken|2011|p=48}} Shinto sering disebut bersama [[Buddhisme]] sebagai dua agama utama Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Keduanya sering kali berbeda fokus, misalnya Buddhisme menekankan gagasan melampaui kosmos yang dianggap penuh dengan penderitaan sedangkan Shinto berfokus pada adaptasi dengan kebutuhan pragmatis kehidupan.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=30|2a1=Littleton|2y=2002|2p=10}} Shinto mengintegrasikan unsur-unsur dari tradisi agama yang diimpor ke Jepang dari daratan Asia, seperti Buddhisme, [[Konfusianisme]], [[Taoisme]], dan praktik [[ramalan nasib Tiongkok|ramalan Tiongkok]].{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=139|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} Ajaran tersebut memiliki banyak kesamaan dengan [[agama Asia Timur]] lainnya, khususnya dalam kepercayaan terhadap banyak dewa.{{sfn|Inoue|2003|p=7}}
 
{{Quote box
| quote = Beberapa ahli menyarankan agar kita membicarakan jenis Shinto seperti Shinto populer, Shinto rakyat, Shinto domestik, Shinto sektarian, Shinto wangsa kekaisaran, Shinto kuil, Shinto negara, agama Shinto baru, dan sebagainya daripada menganggap Shinto sebagai satu kesatuan. Pendekatan ini dapat membantu tetapi menimbulkan pertanyaan mengenai apa yang dimaksud dengan 'Shinto' dalam setiap kasus, terutama karena setiap kategori memasukkan atau dimasukkan unsur-unsur dari agama Buddha, Konfusianisme, Tao, agama rakyat, dan lain-lain.
| source=— Sarjana agama Brian Bocking{{sfn|Bocking|1997|pp=173–174}}
| align = left
| width = 25em
}}
 
Para cendekiawan keagamaan memiliki pendapat yang berbeda dalam mengklasifikasikan Shinto. Inoue menganggapnya sebagai bagian dari "keluarga agama Asia Timur".{{sfn|Inoue|2003|p=10}} Filsuf [[Stuart DB Picken]] berpendapat bahwa Shinto digolongkan sebagai [[agama dunia]]{{sfn|Picken|1994|p=xxv}} sedangkan sejarawan [[H. Byron Earhart]] menyebutnya sebagai "agama asli/pribumi".{{sfn|Earhart|2004|p=31}} Pada awal abad ke-21, para praktisi secara umum menyebut Shinto sebagai [[agama alam]].{{sfn|Rots|2015|p=210}} Shinto juga sering dideskripsikan sebagai [[Kepercayaan asli|agama asli]]{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=1|2a1=Nelson|2y=1996|2p=7|3a1=Rots|3y=2015|3p=211}} meskipun hal itu menimbulkan perdebatan mengenai berbagai definisi yang berbeda mengenai "asli" dalam konteks Jepang.{{sfn|Nelson|1996|p=7}} Gagasan Shinto sebagai "agama asli" Jepang berasal dari pertumbuhan nasionalisme modern pada [[zaman Edo]] hingga zaman Meiji,{{sfn|Kuroda|1981|p=19}} pandangan ini mempromosikan gagasan bahwa Shinto berasal dari masa praaksara dan mewakili suatu "kehendak yang mendasari budaya Jepang".{{sfn|Kuroda|1981|pp=1–2}} Teolog Shinto terkemuka Sokyo Ono, misalnya, mengatakan bahwa penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' merupakan "ekspresi" dari "keyakinan bangsa asli Jepang yang muncul pada hari-hari mistik zaman kuno yang telah lampau" dan bahwa hal tersebut "seasli orang-orang yang membawa keberadaan bangsa Jepang".{{sfn|Kitagawa|1987|p=xviii}} Banyak ahli menganggap klasifikasi ini tidak akurat. Earhart mengemukakan bahwa Shinto menyerap banyak pengaruh Tiongkok dan Buddhis sehingga "terlalu rumit jika mau dianggap sebagai 'agama asli' saja".{{sfn|Earhart|2004|p=31}}
 
Shinto hadir dengan keragaman yang signifikan di tiap wilayah;{{sfn|Offner|1979|p=215}} antropolog John K. Nelson mengemukakan bahwa Shinto "bukan entitas monolitik terpadu yang memiliki satu pusat dan sistem tersendiri".{{sfn|Nelson|1996|p=7}} [[Sekte dan sekolah Shinto|Berbagai jenis Shinto]] telah diidentifikasi. "Shinto kuil" mengacu pada praktik yang berpusat pada kuil{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=192|2a1=Nelson|2y=1996|2p=7}} dan "Shinto domestik" dipraktikkan dengan cara penghormatan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' di rumah.{{sfn|Offner|1979|p=192}} Beberapa cendekiawan menggunakan istilah "Shinto rakyat" untuk menandai praktik Shinto lokal{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} atau praktik di luar lingkungan yang dilembagakan.{{sfn|Nelson|1996|p=7}} Dalam berbagai periode di masa lalu, ada juga "[[Shinto negara]]", yakni kepercayaan dan praktik Shinto yang terkait erat dengan negara Jepang.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=192|2a1=Nelson|2y=1996|2p=7}} Dalam merepresentasikan "istilah lakuran" untuk banyak tradisi yang bervariasi di seluruh Jepang, istilah "Shinto" mirip dengan istilah "[[Hinduisme]]" yang digunakan untuk menggambarkan beragam tradisi di seluruh Asia Selatan.{{sfn|Bocking|1997|p=viii}}
 
=== Etimologi ===
[[File:Takachiho-gawara Kirishima City Kagoshima Pref02n4050.jpg|thumb|Sebuah gerbang torii di kuil [[Takachiho-gawara]] yang terletak di dekat [[Kirishima, Kagoshima|Kirishima]], [[Prefektur Kagoshima]], yang terkait dengan kisah mitologi [[tenson kōrin|Turunnya ke Bumi]] oleh [[Ninigi-no-Mikoto]].]]
Istilah ''Shinto'' sering diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai "''the way of the {{lang|ja-Latn|kami}}''"{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=193|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=139|3a1=Bocking|3y=1997|3p=173|4a1=Nelson|4y=2000|4p=14|5a1=Earhart|5y=2004|5p=2|6a1=Picken|6y=2011|6p=9}} meskipun maknanya bervariasi sepanjang sejarah Jepang.{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=4|2a1=Bocking|2y=1997|2pp=viii, 173}} Istilah lain yang bersinonim dengan "Shinto" terkadang digunakan; termasuk ''{{lang|ja-Latn|kami no michi}}'' ({{lang|ja|神の道}}, "jalan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''"), ''{{lang|ja-Latn|kannagara no michi}}'' ({{lang|ja|神ながらの道}}, juga ditulis sebagai {{lang|ja|随神の道}} atau {{lang|ja|惟神の道}}, "jalan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sejak dahulu kala"), ''{{lang|ja-Latn|Kodō}}'' ({{lang|ja|古道}}, "jalan kuno"), ''{{lang|ja-Latn|Daidō}}'' ({{lang|ja|大道}}, "jalan besar"), dan ''{{lang|ja-Latn|Teidō}}'' ({{lang|ja|帝道}}, "jalan kekaisaran").{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxiv|2a1=Picken|2y=2011|2p=64}}
 
Istilah ''Shinto'' berasal dari kombinasi dua karakter Tionghoa: ''[[shen]]'' ({{script|Hani|神}}), yang berarti "roh," dan ''[[dao]]'' ({{script|Hani|道}}), yang berarti "jalan", "cara", atau "arah".{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=139|2a1=Littleton|2y=2002|2p=6|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} Istilah [[bahasa Tionghoa]] ''Shendao'' awalnya diadopsi ke dalam bahasa Jepang sebagai ''Jindō'';{{sfn|Teeuwen|2002|p=243}} kemungkinan pertama kali digunakan sebagai istilah Buddhis untuk merujuk pada dewa-dewa non-Buddha.{{sfn|Teeuwen|2002|p=256}} Salah satu kemunculan paling awal istilah ''Shinto'' di Jepang yang diketahui terdapat dalam teks abad ke-8, ''[[Nihon Shoki]]''.{{sfnm|1a1=Teeuwen|1y=2002|1p=236|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=41}} Istilah tersebut mungkin merupakan istilah umum untuk kepercayaan populer{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1pp=4–5|2a1=Teeuwen|2y=2002|2p=237}} atau mungkin merujuk Taoisme karena banyak praktik penganut Tao diimpor dari daratan Asia.{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=6|2a1=Teeuwen|2y=2002|2p=237|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=42}} Dalam penggunaan bahasa Jepang awal ini, istilah ''Shinto'' tidak berlaku untuk tradisi agama khusus atau untuk sesuatu yang unik dari Jepang;{{sfn|Kuroda|1981|p=7}} ''[[Konjaku Monogatarishū|Konjaku monogatarishui]]'' dari abad ke-11, misalnya, mengacu pada seorang wanita di Tiongkok yang mempraktikkan ''Shinto'' dan orang-orang di India yang menyembah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', menunjukkan bahwa istilah ini digunakan untuk menggambarkan agama-agama di luar Jepang itu sendiri.{{sfn|Kuroda|1981|pp=9–10}}
 
Pada abad pertengahan Jepang, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' umumnya dipandang sebagai bagian dari [[Buddhisme di Jepang]] dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' itu sendiri sering diinterpretasikan sebagai [[Buddhabhāva|Buddha]].{{sfn|Kuroda|1981|pp=11, 12}} Dalam hal ini, istilah ''Shinto'' semakin mengacu pada "otoritas, kekuasaan, atau aktivitas ''{{lang|ja-Latn|kami}}''; menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''; atau, singkatnya, kedudukan atau atribut ''{{lang|ja-Latn|kami}}''."{{sfn|Kuroda|1981|p=10}} Istilah ini muncul dalam pengertian tersebut pada cerita ''{{lang|ja-Latn|Nakatomi no harai kunge}}'' dan ''[[Shintōshū]]''.{{sfn|Kuroda|1981|p=10}} Dalam ''[[Nippo Jisho|Japanese Portuguese Dictionary]]'' yang diterbitkan pada tahun 1603, ''Shinto'' didefinisikan mengacu pada "''{{lang|ja-Latn|kami}}'' atau hal-hal yang berkaitan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''."{{sfn|Kuroda|1981|pp=10–11}} Istilah ''Shinto'' menjadi umum pada abad ke-15.{{sfn|Hardacre|2017|p=42}} Selama akhir Zaman Edo, cendekiawan ''{{lang|ja-Latn|[[kokugaku]]}}'' mulai menggunakan istilah ''Shinto'' untuk menggambarkan apa yang mereka yakini sebagai tradisi Jepang yang telah bertahan lama, tradisi kuno, dan tradisi asli yang mendahului agama Buddha; mereka berpendapat bahwa ''Shinto'' harus digunakan untuk membedakan penyembahan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari tradisi seperti Buddhisme, Taoisme, dan Konfusianisme.{{sfnm|1a1=Kuroda|1y=1981|1p=19|2a1=Bocking|2y=1997|2p=174}} Penggunaan istilah ''Shinto'' tersebut menjadi semakin populer sejak abad ke-18.{{sfn|Bocking|1997|p=174}} Istilah ''Shinto'' menjadi umum digunakan sejak awal abad ke-20, menggantikan istilah ''{{lang|ja-Latn|taikyō}}'' ("agama besar") sebagai nama untuk agama negara di Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=viii}}
 
== Sejarah ==
=== Perkembangan awal ===
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara paham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabad-abad hidup di Jepang, bahkan paham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah sama-sama dengan latar belakang historis tentang asal usul timbulnya negara dan bangsa Jepang. Karena yang menyebabkan timbulnya paham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka paham ini dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah.
[[File:DotakuBronzeBellLateYayoi3rdCenturyCE.jpg|thumb|right|Lonceng ''dotaku'' dari zaman Yayoi yang mungkin memainkan peran penting dalam ritus ''kami'' pada saat itu.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}}]]
Nama Shinto muncul setelah masuknya agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan “hidupnya” sendiri.
Earhart berkomentar bahwa Shinto akhirnya "muncul dari kepercayaan dan praktik Jepang praaksara"{{sfn|Earhart|2004|p=2}} walau Kitagawa mengemukakan bahwa penyebutan agama pada masa praaksara Jepang sebagai "Shinto awal" patut dipertanyakan.{{sfn|Kitagawa|1987|p=39}} Masa praaksara Jepang yang dimaksud adalah [[zaman Yayoi]] yang pertama kali menyisakan peninggalan awal dari materi dan ikonografi yang kemudian termasuk Shinto.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=14|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=18}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' dipuja dalam berbagai bentuk gejala alam selama zaman tersebut; dalam hal itu, sebagian besar ibadah terdiri dari memohon dan meredakan kemarahan mereka. Sedikit bukti ditemukan bahwa mereka dipandang sebagai entitas yang memiliki belas kasihan.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}} Bukti [[arkeologi]] menunjukkan bahwa lonceng perunggu ''{{lang|ja-Latn|[[dotaku]]}}'', senjata perunggu, dan cermin logam memainkan peran penting dalam ritual berbasis ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' selama zaman Yayoi.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=15|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=19}}
Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhirnya mengakibatkan munculnya persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya. Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warna-warni yang mencolok.
 
Pada periode awal ini, Jepang bukan merupakan sebuah negara kesatuan; Jepang terdiri dari beberapa ''{{lang|ja-Latn|[[Uji (klan)|uji]]}}'' (klan) pada [[zaman Kofun]]. Masing-masing ''uji'' memiliki ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' penjaganya sendiri, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|ujigami}}''.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=15|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=24}} Migrasi Korea selama zaman Kofun membawa Konfusianisme dan Buddhisme ke Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=23}} Buddhisme memiliki dampak tersendiri pada aliran-aliran ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=24}} Kelompok migran dan bangsa Jepang yang semakin sejalan dengan pengaruh asing ini membangun kuil Buddha di berbagai wilayah di pulau Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=24}} Beberapa klan saingan yang lebih memusuhi pengaruh asing ini mulai mengubah kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' mereka agar lebih mirip dengan struktur Buddhis yang baru.{{sfn|Hardacre|2017|p=24}} Pada akhir abad ke-5, pemimpin [[dinasti Yamato|klan Yamato]] [[Kaisar Yūryaku|Yūryaku]] menyatakan dirinya ''[[wikt:だいおう|daiō]]'' ("raja besar") dan membangun struktur hegemoni di sebagian besar wilayah Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=25}} Sejak awal abad ke-6 M, gaya ritual pilihan [[dinasti Yamato|Yamato]] mulai menyebar ke kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' lainnya di seluruh Jepang seiring Yamato memperluas pengaruh teritorial mereka.{{sfn|Hardacre|2017|p=27}} Buddhisme juga berkembang. Menurut ''Nihon Shoki'', pada tahun 587 [[Kaisar Yōmei]] memeluk agama Buddha dan agama Buddha menyebar dengan dukungannya.{{sfn|Hardacre|2017|p=28}}
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain tampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal ini berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi.
Setelah abad ketujuh belas timbul lagi gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi, Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan “Badsudo” (jalannya Buddha) dengan “Kami” (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya.
Pada abad kesembilan belas tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang, sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti kepada negara dan politik negara.
 
[[File:Shinpukuji-bon Kojiki (真福寺本古事記).png|thumb|170px|left|Sebuah halaman dari ''Shinpukuji-bon Kojiki'' dari abad ke-14, yang merupakan salinan dari ''Kojiki'' yang ditulis pada abad ke-8]]
== Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto ==
=== Kepercayaan agama Shinto ===
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara paham serba jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan “Kami”.
Istilah “Kami” dalam agama Shinto dapat diartikan dengan “di atas” atau “unggul”, sehingga apabila dimaksudkan untuk menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata “Kami” dapat dialih bahasakan (diartikan) dengan “Dewa” (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata “Kami” tersebut berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek pemujaan yang ada dalam agama lain.
 
Pada pertengahan abad ke-7, sebuah kode hukum yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[Ritsuryō]]}}'' diadopsi untuk mendirikan pemerintahan terpusat bergaya Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=17}} Sebagai bagian dari kode hukum tersebut, [[Jingikan]] ("dewan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dibentuk untuk melakukan ritual-ritual kenegaraan dan mengoordinasikan ritual provinsi dengan ritual-ritual kenegaraan di ibu kota.{{sfn|Hardacre|2017|pp=17–18}} Hal itu dilakukan sesuai dengan kode hukum ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang disebut ''Jingiryō''{{sfn|Hardacre|2017|pp=17–18}} yang meniru ''[[Kitab Ritus|Kitab Ritual]]'' dari Tiongkok.{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} Jingikan terletak di kawasan istana dan memelihara daftar kuil dan pendeta.{{sfn|Hardacre|2017|p=33}} Kalender tahunan ritual-ritual kenegaraan dibuat untuk membantu menyatukan Jepang melalui penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=18}} Ritual-ritual yang diamanatkan secara sah tersebut diuraikan dalam [[Kode Yōrō]] tahun 718{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} dan diperluas dalam ''Jogan Gishiki'' pada sekitar tahun 872 dan ''[[Engi Shiki]]'' tahun 927.{{sfn|Hardacre|2017|p=31}} Di bawah Jingikan, beberapa kuil ditetapkan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kansha}}'' ("kuil resmi") dan diberi hak dan tanggung jawab khusus.{{sfn|Hardacre|2017|pp=33-34}} Hardacre memandang Jingikan sebagai "sumber kelembagaan Shinto".{{sfn|Hardacre|2017|p=18}}
Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal ini diungkapkan dalam istilah “Yao-Yarozuno Kami” yang berarti “delapan miliun dewa”. Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan “Kami”.
Pengikut-pengikut agama Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi “Kami negara – no – mishi” yang artinya : tetap mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada “Kami” daripada benda-benda dan seseorang, keluarga, suku, raja-raja sampai kepada “Kami” alam raya menimbulkan kepercayaan kepada dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Amaterasu Omikami) yang dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian.
 
Pada awal abad ke-8, [[Kaisar Tenmu]] memerintahkan kompilasi legenda dan silsilah klan Jepang, menghasilkan ''Kojiki'' yang selesai pada tahun 712. Teks ini dirancang untuk melegitimasi dinasti yang berkuasa dan membentuk sebuah versi yang disetujui dari berbagai cerita yang sebelumnya beredar dalam tradisi lisan.{{sfn|Hardacre|2017|pp=47–48}} ''Kojiki'' menghilangkan segala referensi terhadap Buddhisme,{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} sebagian tujuannya adalah mengabaikan pengaruh asing dan menitikberatkan narasi yang menekankan unsur-unsur asli dari budaya Jepang.{{sfn|Hardacre|2017|p=68}} Beberapa tahun kemudian, "Nihon shoki" ditulis. Berbeda dengan ''Kojiki'', teks tersebut memiliki berbagai referensi terhadap agama Buddha{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} dan ditujukan untuk pembaca asing.{{sfn|Hardacre|2017|p=69}} Kedua teks ini berusaha untuk membuktikan silsilah klan kekaisaran yang merupakan keturunan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' matahari Amaterasu{{sfn|Hardacre|2017|p=64}} meskipun ada banyak perbedaan dalam narasi kosmogonik yang diberikan.{{sfn|Hardacre|2017|pp=57–59}} ''Nihon shoki'' mengalahkan ''Kojiki'' dengan cepat dari segi pengaruhnya.{{sfn|Hardacre|2017|p=69}} Teks-teks lain yang ditulis pada saat itu juga mengacu pada tradisi lisan mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. Misalnya, ''[[Kujiki|Sendari kuji hongi]]'' mungkin disusun oleh klan [[Mononobe]] dan ''[[Kogoshui]]'' mungkin disusun untuk klan [[Imibe]]; pada kedua kasus tersebut, semua teks dirancang untuk menyoroti asal-usul masing-masing garis keturunan yang terikat dengan para dewa.{{sfn|Hardacre|2017|pp=64-45}} Pada tahun 713, pemerintah mengatur agar setiap daerah menghasilkan ''[[fudoki]]'', yaitu arsip cerita, produk, dan geografi lokal; cerita yang dicatat mengungkapkan lebih banyak tradisi mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang hadir saat itu.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=43|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=66}}
Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni “Kami” versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama Zarathustra.
 
Sejak abad ke-8, penyembahan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan agama Buddha terjalin erat dalam masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=8}} Di samping kaisar dan istana melakukan ritual Buddhis, mereka juga melakukan ritual lainnya untuk menghormati ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Hardacre|2017|p=72}} Tenmu, misalnya, menunjuk seorang putri kekaisaran perawan untuk bertugas sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[saiō]]}}'', salah satu jenis pendeta wanita, di Kuil Ise atas namanya; tradisi tersebut dilanjutkan oleh kaisar-kaisar berikutnya.{{sfn|Hardacre|2017|pp=82-83}} Dari abad ke-8 dan seterusnya hingga [[zaman Meiji]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dimasukkan dalam kosmologi Buddhis dengan berbagai cara.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}} Salah satu pandangan yang ada yaitu ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' menyadari bahwa mereka terjebak dalam siklus [[samsara]] (kelahiran kembali) seperti semua bentuk kehidupan lain dan mereka harus mengikuti ajaran Buddha untuk bebas dari siklus itu.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}} Pendekatan lain memandang ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai entitas baik hati yang melindungi agama Buddha; ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' itu sendiri adalah [[Buddha]]; atau ''kami'' adalah makhluk yang telah mencapai pencerahan. Dalam hal ini, mereka dapat berupa ''{{lang|ja-Latn|[[hongaku]]}}'', roh murni Buddha, atau ''{{lang|ja-Latn|[[honji suijaku]]}}'', transformasi Buddha dalam upaya mereka untuk membantu makhluk hidup.{{sfn|Kuroda|1981|p=9}}
Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan agama Shinto, yaitu :
* Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara langsung.
* Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah meninggal.
* Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.
 
=== PeribadatanZaman agama ShintoNara ===
Zaman ini menjadi tuan rumah bagi banyak perubahan pada negara, pemerintahan, dan agama. Ibu kota dipindahkan kembali ke [[Heijō-kyō]] (sekarang [[Nara, Nara|Nara]]) pada tahun 710 M oleh [[Maharani Genmei]] karena kematian kaisar. Pemindahan ini diperlukan karena kepercayaan Shinto pada ketidaksucian dalam kematian dan kebutuhan untuk menghindari kotoran tersebut. Namun, praktik pemindahan ibu kota karena "ketidakmurnian dalam kematian" ini kemudian dihapuskan oleh [[Kode Taihō]] dan perkembangan pengaruh Buddhis.<ref name="JapaneseReligion1985">{{cite book |title=Japanese Religion |publisher=Prentice Hall Inc |location=Englewood Cliffs, NJ |first=Robert Ellwood |last=Richard Pilgrim |edition=1st |year=1985|isbn=978-0-13-509282-8 |pages=18–19}}</ref> Pembentukan kota kekaisaran dalam hubungannya dengan Kode Taihō penting bagi Shinto karena kantor ritual Shinto menjadi lebih kuat dalam asimilasi kuil klan lokal ke dalam struktur kekaisaran. Kuil-kuil baru dibangun dan berasimilasi setiap kali kota kekaisaran dipindahkan. Seluruh kuil agung diatur oleh [[Kode Taihō]] dan diwajibkan untuk memperhitungkan pendapatan, pendeta, dan praktik karena kontribusi nasional mereka.<ref name="JapaneseReligion1985" />
Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan pensucian dan diakhiri dengan pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
 
=== Zaman Meiji dan Kekaisaran Jepang ===
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja Dewi Matahari (Amaterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan Agustus di atas gunung Fujiyama.
{{main|Shinto negara}}
[[File:Chosen Jingu.JPG|thumb|right|[[Chōsen Jingū]] di [[Seoul]], Korea, didirikan selama pendudukan Jepang di semenanjung]]
Breen dan Teeuwen mencirikan periode antara tahun 1868 dan 1915 pada zaman Meiji sebagai "tahun-tahun pembentukan" Shinto modern.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}} Berbagai cendekiawan berpendapat bahwa Shinto pada dasarnya "diciptakan" pada zaman tersebut.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=7}}
Fridell berpendapat bahwa para cendekiawan menyebut periode dari tahun 1868 hingga 1945 sebagai "periode Shinto Negara" karena "selama beberapa dekade ini, unsur-unsur Shinto sangat dipengaruhi dan dikontrol oleh negara secara terbuka dengan pemerintah Jepang yang secara sistematis menggunakan pemujaan di kuil sebagai kekuatan utama untuk memobilisasi loyalitas kekaisaran atas nama pembangunan bangsa modern."<ref>Wilbur M. Fridell, "A Fresh Look at State Shintō", ''Journal of the American Academy of Religion'' 44.3 (1976), 547–561 [https://www.jstor.org/stable/1462824 in JSTOR]; quote p. 548</ref> Namun, pemerintah telah memperlakukan kuil sebagai perpanjangan dari pemerintah sebelum Meiji; misalnya [[Reformasi Tenpō]]. Selain itu, menurut cendekiawan [[Jason Josephson Storm|Jason Ānanda Josephson]], penggambaran kuil-kuil sebagai penyusun "agama negara" atau "teokrasi" selama periode ini bersifat tidak akurat karena mereka tidak memiliki organisasi atau doktrin dan tidak tertarik melakukan konversi.<ref>Josephson, Jason Ānanda (2012). ''The Invention of Religion in Japan''. University of Chicago Press. p. 133. {{ISBN|0226412342}}.</ref>
 
[[Restorasi Meiji]] pada tahun 1868 didorong oleh pembaruan etika Konfusianisme dan patriotisme kekaisaran di tengah kelas penguasa Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Di antara para reformis ini, agama Buddha dipandang sebagai pengaruh yang telah merusak apa yang mereka bayangkan sebagai kemurnian dan keagungan asli Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Mereka ingin menempatkan penekanan baru pada pemujaan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai bentuk ritual adat asli, suatu sikap yang juga didorong oleh kecemasan mengenai [[ekspansionisme]] Barat dan ketakutan bahwa Kekristenan akan berkembang di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}}
== Ritual Shintoisme ==
Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti festival, perayaan atau hari libur perayaan.
Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi.
Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau [[Doa bagi orang yang telah meninggal dunia|mendoakan arwah]] tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada daerahnya.
Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi (musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan.
 
Pada tahun 1868, semua pendeta kuil ditempatkan di bawah otoritas [[Jingikan]] yang baru (Dewan Urusan Kami).{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|pp=7-8}} Sebuah proyek pemisahan paksa pemujaan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari agama Buddha dilaksanakan dengan pelarangan biksu, dewa, bangunan, dan ritual Buddha dalam kuil ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Citra Buddhis, kitab suci, dan peralatan ritual dibakar, ditutupi kotoran, atau dihancurkan.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=8}} Pada tahun 1871, hierarki kuil yang baru dibuat, dengan kuil nasional dan kekaisaran berada di puncak.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=9}} Kependataan secara turun-temurun dihapuskan dan sistem baru negara untuk mengangkat pendeta yang baru dibuat.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=9}}
=== Matsuri ===
Pada tahun 1872, Jingikan ditutup dan diganti dengan [[Kyobusho]] (Kementerian Pendidikan).{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Kyobusho mengoordinasikan [[Shinto negara#Kampanye Promulgasi Besar|kampanye]] yang mana ''{{lang|ja-Latn|Kyodoshoku}}'' dikirim ke seluruh negeri untuk mempromosikan "ajaran agung" di Jepang. Ajaran ini mencakup penghormatan terhadap ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kepatuhan kepada kaisar.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Kampanye ini dihentikan pada tahun 1884.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=10}} Pada tahun 1906, ribuan kuil desa digabungkan sehingga sebagian besar komunitas kecil hanya memiliki satu kuil yang dapat mengadakan ritual untuk menghormati kaisar.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=11}} Shinto secara efektif menjadi sistem peribadatan negara, kepercayaan yang dipromosikan dengan semangat yang meningkat menjelang Perang Dunia II.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=11}}
[[Matsuri]] berasal dari kata matsuru (matsuru? menyembah, memuja) yang berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jingū merupakan salah satu contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa makna religius.
 
Pada tahun 1882, pemerintah Meiji menetapkan tiga belas gerakan keagamaan yang bukan Buddha maupun Kristen sebagai bentuk "[[Sekte Shinto]]".{{sfn|Offner|1979|p=215}} Jumlah dan nama sekte yang ditetapkan secara formal ini bervariasi;{{sfn|Bocking|1997|p=112}} sering kali mereka menggabungkan ide-ide dari tradisi Buddhisme, Kristen, Konfusianisme, Taois, dan [[Esoterisme Barat|esoterik Barat]] dengan Shinto.{{sfn|Littleton|2002|pp=100-101}} Pada zaman Meiji, banyak tradisi lokal telah melesap dan digantikan oleh praktik standar nasional yang didorong dari Tokyo.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=12}}
== Dewa Dewi ==
Dewi Matahari Shinto disebut Uzumaki Naruto yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami. Amaterasu adalah Ratu dari seluruh “Kami”, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu. Oleh karena itu maka para Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa. Kamus Istilah dan Konsep Buddhis menyertakan informasi berikut berkaitan dengannya: “Dewi Matahari yang terdapat dalam mitologi Jepang, yang belakangan diadopsi menjadi seorang dewa pelindung dalam Buddhisme. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon Shoki (Sejarah Negeri Jepang), ia adalah pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari keluarga kerajaan.
Dalam banyak tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin sebagai personifikasi dari perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang yang memiliki hati kepercayaan dalam Hukum sejati.”
 
Meskipun dukungan pemerintah terhadap kuil menurun, [[nasionalisme Jepang]] tetap terkait erat dengan legenda dari yayasan dan kaisar, seperti yang dikembangkan oleh para cendekiawan ''{{lang|ja-Latn|kokugaku}}''. Pada tahun 1890, [[Reskrip Kekaisaran tentang Pendidikan]] dikeluarkan dan para pelajar diminta untuk mengucapkan sumpahnya untuk "menawarkan dirimu dengan berani kepada Negara" serta untuk melindungi keluarga Kekaisaran dalam ritual. Proses seperti itu terus berlanjut selama awal [[zaman Shōwa]] dan berakhir tiba-tiba pada Agustus 1945 ketika Jepang kalah [[Perang Dunia II|perang di Pasifik]]. Pada 1 Januari 1946, [[Kaisar Shōwa]] mengeluarkan [[Deklarasi Kemanusiaan|Ningen-sengen]], dengan mengutip [[Piagam Sumpah|Sumpah dalam Lima Pasal]] dari [[Kaisar Meiji]] dan menyatakan bahwa ia bukan seorang ''{{lang|ja-Latn|[[Deklarasi Kemanusiaan|akitsumikami]]}}'' (dewa dalam bentuk manusia).<ref name="National Diet Library">[http://www.ndl.go.jp/constitution/e/shiryo/03/056shoshi.html Emperor, Imperial Rescript Denying His Divinity (Professing His Humanity)], ''[[National Diet Library]]''</ref>
== Kitab Suci ==
Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang pertama, yaitu;
Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala yang disusun pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang pangeran Jepang.
Kemudian terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-lembaga pada masa Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya utama, tetapi ini tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan.
 
=== Tujuan Agama ShintoPascaperang ===
[[File:Association of Shinto Shrines 2010.jpg|thumb|Markas besar Asosiasi Kuil Shinto di [[Shibuya]], [[Tokyo]].]]
Tujuan utama dari Shinto adalah mencapai keabadian di antara mahluk-mahluk rohani, Kami. Kami dipahami oleh penganut Shinto sebagai satu kekuasaan supernatural yang suci hidup di atau terhubung dengan dunia roh. Agama Shinto sangat animistik, sebagaimana kebanyakan keyakinan timur, percaya bahwa semua mahluk hidup memiliki satu Kami dalam hakikatnya. Hakikat manusia adalah yang paling tinggi, karena mereka memiliki Kami yang paling banyak. Keselamatan adalah hidup dalam jiwa dunia dengan mahluk-mahluk suci ini, Kami. Jalan Untuk Mencapai Tujuan
Selama pendudukan Amerika Serikat, sebuah konstitusi baru disusun. Konstitusi tersebut menjunjung tinggi [[kebebasan beragama]] di Jepang dan memprakarsai [[pemisahan agama dan negara]], tindakan yang dirancang untuk menghapus "Shinto negara" (''kokka shinto'').{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=304|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=171|3a1=Bocking|3y=1997|3p=18|4a1=Earhart|4y=2004|4p=207}} Sebagai bagian dari itu, Kaisar secara resmi menyatakan bahwa ia bukan seorang ''kami'';{{sfn|Earhart|2004|p=207}} setiap ritual Shinto yang dilakukan oleh keluarga kekaisaran menjadi urusan pribadi mereka sendiri.{{sfn|Ueda|1979|p=304}} Pembubaran ini mengakhiri subsidi pemerintah untuk kuil dan memberi kebebasan baru kepada tempat-tempat suci dengan untuk mengatur urusan mereka sendiri.{{sfn|Earhart|2004|p=207}} Pada tahun 1946, banyak kuil kemudian membentuk organisasi sukarela, [[Asosiasi Kuil Shinto]] (''Jinja Honchō'').{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=75|2a1=Earhart|2y=2004|2pp=207–208}} Pada tahun 1956, asosiasi tersebut mengeluarkan pernyataan kepercayaan, ''keishin seikatsu no kōryō'' ("karakteristik umum dari kehidupan yang dimuliakan dalam penghormatan kepada ''kami''"), untuk merangkum apa yang mereka anggap sebagai prinsip Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=94}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 80% dari kuil Shinto di Jepang merupakan bagian dari asosiasi ini.{{sfn|Bocking|1997|p=76}}
Dalam Shinto keselamatan dicapai melalui pentaatan terhadap semua larangan dan penghindaran terhadap orang atau objek yang mungkin menyebabkan ketidak sucian atau polusi. Persembahyangan dilakukan dan persembahan dibawa ke kuil untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di alam semesta. Manusia tidak mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tetapi hanya perlu mengetahui bagaimana menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai manifestasinya. Kami seseorang tetap hidup setelah kematian, dan manusia biasanya menginginkan untuk berharga dan dikenang dengan baik oleh keturunannya. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban adalah unsur yang paling penting dari Shinto.
 
Puluhan tahun pascaperang, banyak orang Jepang menyalahkan Shinto karena mendorong kebijakan militeristik yang mengakibatkan kekalahan dan pendudukan.{{sfn|Earhart|2004|p=207}} Sedangkan yang lain tetap bernostalgia dengan sistem Shinto negara;{{sfn|Kitagawa|1987|p=172}} pendapat bahwa sektor-sektor masyarakat Jepang bersekongkol untuk memulihkannya muncul sebagai hal yang diperhatikan.{{sfn|Picken|2011|p=18}} Pascaperang, berbagai perdebatan hukum membicarakan keterlibatan pejabat publik dalam Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=18}} Pada tahun 1965, misalnya, kota [[Tsu, Mie|Tsu]], Prefektur Mie membayar empat pendeta Shinto untuk menyucikan tempat di mana balai atletik kota akan dibangun. Kritikus membawa kasus ini ke pengadilan, mengklaim hal tersebut bertentangan dengan pemisahan konstitusional agama dan negara; pada tahun 1971, pengadilan tinggi memutuskan bahwa tindakan pemerintah kota tersebut merupakan inkonstitusional meskipun hal ini dibatalkan oleh [[Mahkamah Agung Jepang|Mahkamah Agung]] pada tahun 1977.{{sfn|Ueda|1979|p=307}}
 
Pada periode pascaperang, motif Shinto sering dicampur dengan [[gerakan agama baru]] di Jepang;{{sfn|Nelson|1996|p=180}} dari kelompok Sekte Shinto, [[Tenrikyo]] mungkin yang paling sukses dalam dekade pascaperang{{sfn|Kitagawa|1987|p=172}} meskipun mereka menolak identitas Shinto sendiri pada tahun 1970.{{sfn|Bocking|1997|p=113}} Perspektif Shinto juga mempengaruhi budaya populer. Sutradara film [[Hayao Miyazaki]] dari [[Studio Ghibli]] misalnya mengakui pengaruh Shinto dalam film-filmnya, seperti pada ''[[Spirited Away]]''.{{sfn|Boyd|Nishimura|2016|p=3}} Shinto juga menyebar ke luar negeri melalui migran Jepang dan konversi agama oleh orang non-Jepang.{{sfnm|1a1=Picken|1y=2011|1p=xiv|2a1=Suga|2y=2010|2p=48}} [[Kuil Agung Tsubaki]] di [[Suzuka, Mie|Suzuka]], [[Prefektur Mie]], adalah kuil pertama yang mendirikan cabang di luar negeri: [[Kuil Agung Tsubaki Amerika]] didirikan di California dan kemudian pindah ke [[Granite Falls, Washington]].{{sfn|Picken|2011|p=32}}
 
Selama abad ke-20, sebagian besar penelitian akademis mengenai Shinto dilakukan oleh para teolog Shinto, sering kali pendeta.{{sfn|Bocking|1997|p=176}} Hal ini memunculkan tuduhan bahwa penelitian sering mengaburkan teologi dengan analisis sejarah.{{sfn|Hardacre|2017|p=4}} Sejak tahun 1980-an, terdapat peningkatan minat akademik pada Shinto baik di Jepang maupun luar negeri.{{sfn|Bocking|1997|p=177}}
 
== Kepercayaan ==
=== ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' ===
{{Main|Kami (mitologi)}}
[[File:A man confronted with an apparition of the Fox goddess.jpg|thumb|200px|Penggambaran artistik dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' Inari yang muncul di hadapan seorang pria]]
Shinto bersifat [[politeisme|politeistik]]. Agama ini melibatkan pemujaan banyak dewa yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=23|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} atau terkadang sebagai ''{{lang|ja-Latn|jingi}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=70|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=31}} Sesuai kelaziman bahasa Jepang, perbedaan antara yang tunggal dan jamak tidak tampak sehingga istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' mengacu baik pada individu dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' maupun kelompok ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfnm|1a1=Boyd|1a2=Williams|1y=2005|1p=35|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} Meskipun tidak memiliki terjemahan langsung,{{sfn|Earhart|2004|p=8}} istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' terkadang diterjemahkan sebagai "god" ("dewa") atau "spirit" ("roh");{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=2|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} sejarawan agama [[Joseph Kitagawa]] menyatakan bahwa terjemahan bahasa Inggris dari ''kami'' dianggap "sangat tidak memuaskan dan menyesatkan"{{sfn|Kitagawa|1987|p=36}} dan berbagai cendekiawan mendesak agar ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tidak diterjemahkan dalam bahasa Inggris.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=194|2a1=Bocking|2y=1997|2p=84}} Dalam bahasa Jepang, ada perkataan "terdapat [[Bilangan tak tentu dan fiktif|delapan juta]] ''{{lang|ja-Latn|kami}}''" yang berkonotasi bahwa ''kami'' "berjumlah tidak terbatas";{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=29|2a1=Littleton|2y=2002|2p=24}} praktisi Shinto percaya bahwa mereka ada di mana-mana.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} Mereka tidak dianggap sebagai [[kemahakuasaan|maha kuasa]], [[Kemahatahuan|maha tahu]], atau pasti [[keabadian|abadi]].{{sfnm|1a1=Boyd|1a2=Williams|1y=2005|1p=35|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=52}}
 
Istilah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' "memiliki konsep yang lentur"{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=35}} serta "tidak jelas dan tidak tepat".{{sfn|Offner|1979|p=194}} Dalam bahasa Jepang ''kami'' sering digunakan untuk mewakili kekuatan fenomena yang menimbulkan rasa heran dan kagum pada orang yang melihatnya.{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxi|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=35}} Kitagawa menyebut hal tersebut sebagai "kodrat ''{{lang|ja-Latn|kami}}''"; pernyataan yang menunjukkan bahwa ia menganggapnya "agak mirip" dengan gagasan Barat mengenai [[numinus]] dan [[keramat]].{{sfn|Kitagawa|1987|p=36}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' dipandang mendiami baik yang hidup maupun yang mati, bahan organik dan anorganik, serta bencana alam seperti gempa bumi, kekeringan, dan wabah penyakit;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} mereka tampak hadir dalam kekuatan alam seperti angin, hujan, api, dan sinar matahari.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} Oleh karena itu, Nelson berkomentar bahwa Shinto menganggap "'fenomena aktual' dari dunia itu sendiri" bersifat "ketuhanan".{{sfn|Nelson|1996|p=26}} Pemahaman Shinto mengenai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' juga dicirikan [[animisme|animistik]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=40|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=13}}
 
Di Jepang, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dihormati sejak masa praaksara.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}} Pada [[zaman Yayoi]], mereka dianggap tidak berbentuk dan tidak kasatmata.{{sfn|Hardacre|2017|p=19}} Baru saat dipengaruhi agama Buddha, mereka digambarkan dalam bentuk antropomorfik.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=180|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=1}} Pada masa modern, patung ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinzo}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=180}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' biasanya diasosiasikan dengan tempat tertentu, sering kali diasosiasikan dengan suatu aspek penting sebuah bentang ruang seperti air terjun, gunung, batu besar, atau pohon yang istimewa.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=75|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=14}} Objek fisik atau tempat yang diyakini memiliki kehadiran ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[shintai]]}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=172}} objek yang dihuni oleh ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang ditempatkan di kuil dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|go-shintai}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Nelson|2y=1996|2p=144}} Objek yang biasa dipilih untuk tujuan tersebut termasuk cermin, pedang, batu, manik-manik, dan papan bertulis.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Earhart|2y=2004|2pp=36–37}} ''{{lang|ja-Latn|go-shintai}}'' ini disembunyikan dari pandangan pengunjung{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} dan mungkin disembunyikan dalam kotak sehingga bahkan para pendeta tidak tahu seperti apa bentuknya.{{sfn|Bocking|1997|p=172}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' diyakini mampu melakukan perbuatan baik maupun merusak;{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=27|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13}} jika peringatan mengenai perilaku baik diabaikan, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dapat menjatuhkan hukuman yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shinbatsu}}'', sering kali berupa penyakit atau kematian mendadak.{{sfn|Bocking|1997|p=164}} Beberapa ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|magatsuhi-no-kami}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|araburu kami}}'', dianggap jahat dan merusak.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=114|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} Persembahan dan doa ditujukan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mendapatkan berkah dan untuk mencegah mereka melakukan tindakan yang merusak.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Shinto berusaha untuk menumbuhkan dan memastikan hubungan yang harmonis antara manusia dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan maka dari itu dengan alam.{{sfn|Earhart|2004|pp=7–8}} ''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' yang lebih terlokalisasi mungkin mendapatkan keintiman dan keakraban dari anggota komunitas lokal, berbeda dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang disembah secara lebih luas seperti Amaterasu.{{sfn|Nelson|1996|p=33}} ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari komunitas tertentu disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|ujigami}}''{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1pp=214-215|2a1=Littleton|2y=2002|2p=24}} sedangkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari rumah tertentu disebut ''{{lang|ja-Latn|yashikigami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=222}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kami}}'' tidak dianggap berbeda dengan manusia [[metafisika|dari segi metafisik]]{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=35}} sehingga manusia mungkin menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Earhart|2004|p=8}} Manusia yang sudah mati terkadang dipuja sebagai kami, dianggap sebagai pelindung atau sosok leluhur.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=27|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=13|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=1}} Salah satu contoh yang paling terkemuka adalah [[Kaisar Ōjin]] yang pada kematiannya diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' [[Hachiman]] yang diyakini sebagai pelindung Jepang dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' perang.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1pp=31-32|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=14}} Dalam budaya Jepang, leluhur dapat dipandang sebagai bentuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Earhart|2004|p=10}} Di Jepang Barat, istilah ''{{lang|ja-Latn|[[jigami]]}}'' digunakan untuk menggambarkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diabadikan dari seorang pendiri desa.{{sfn|Bocking|1997|p=69}} Dalam beberapa kasus, manusia hidup juga dipandang sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} mereka dipanggil ''{{lang|ja-Latn|akitsumi kami}}''{{sfn|Picken|2011|pp=35–36}} atau ''{{lang|ja-Latn|arahito-gami}}''.{{sfn|Picken|2011|p=42}} Dalam sistem Shinto Negara pada zaman Meiji, kaisar Jepang dinyatakan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}''{{sfn|Earhart|2004|p=8}} sementara beberapa sekte Shinto juga memandang pemimpin mereka sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang hidup.{{sfn|Earhart|2004|p=8}}
 
[[File:Hokora in Takeo no Okusu.jpg|thumb|left|Pohon suci berusia 3000 tahun ([[shintai]]) dari Kuil Takeo]]
 
Meskipun sejumlah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dihormati hanya dalam satu lokasi, sisanya memiliki lebih dari satu kuil yang didedikasikan untuk mereka di banyak wilayah Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Hachiman, misalnya, memiliki sekitar 25.000 kuil yang didedikasikan untuknya.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} Tindakan mendirikan kuil baru untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang sudah memilikinya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[bunrei]]}}'' ("membagi roh").{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Picken|2y=2011|2p=57|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=15}} Sebagai bagian dari itu, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diundang untuk memasuki tempat baru, tempat ia dapat dipuja, dengan rangkaian upacara yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kanjo]]}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Kuil cabang yang baru dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|bunsha}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Picken|2y=2011|2p=58}} Kekuatan individu ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini tidak berkurang dengan terbaginya tempat tinggal mereka menjadi beberapa lokasi dan tidak ada batasan jumlah kuil tempat tinggal ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Dalam beberapa periode, dikenakan biaya untuk hak menempatkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu dalam kuil di lokasi baru.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Kuil tidak selalu dirancang dengan struktur permanen.{{sfn|Hardacre|2017|p=1}}
 
Banyak kami diyakini memiliki utusan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami no tsukai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|tsuka washime}}''. Para utusan tersebut umumnya digambarkan dalam bentuk binatang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}} Utusan Inari, misalnya, digambarkan sebagai rubah (''[[kitsune]]''){{sfnm|1a1=Picken|1y=2011|1p=40|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=15}} sedangkan utusan Hachiman adalah seekor merpati.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=15}}
Kosmologi Shinto juga mencakup ''{{lang|ja-Latn|[[Obake|bakemono]]}}'', roh yang berbuat jahat.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} ''{{lang|ja-Latn|Bakemono}}'' termasuk ''{{lang|ja-Latn|[[oni]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[tengu]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[Kappa (mitologi)|kappa]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[mononoke]]}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|[[Yama-uba|yamanba]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Cerita rakyat Jepang juga memuat kepercayaan akan ''{{lang|ja-Latn|goryō}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|onryō}}'', roh yang tidak tenang atau pendendam, terutama mereka yang meninggal dalam peristiwa kejam dan tanpa upacara pemakaman yang sesuai.{{sfn|Bocking|1997|p=37}} Para roh itu diyakini menimbulkan penderitaan pada mereka yang hidup dan oleh karena itu mereka harus ditenangkan, biasanya melalui upacara Buddhis atau kadang-kadang dengan penempatan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dalam kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=37}} Sosok supranatural Jepang lainnya termasuk ''{{lang|ja-Latn|[[tanuki]]}}'', makhluk seperti binatang yang dapat berubah meniru bentuk manusia.{{sfn|Bocking|1997|p=200}}
 
=== Kosmogoni ===
[[File:Kobayashi Izanami and Izanagi.jpg|thumb|upright=0.7|[[Izanami]]-no-Mikoto dan [[Izanagi]]-no-Mikoto, oleh Kobayashi Eitaku, akhir abad ke-19]]
Asal usul ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan Jepang sendiri diceritakan dalam dua teks dari abad ke-8, ''[[Kojiki]]'' dan ''Nihon Shoki'',{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=195|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=142|3a1=Littleton|3y=2002|3p=23|4a1=Earhart|4y=2004|4p=32|5a1=Cali|5a2=Dougill|5y=2013|5p=18}} tetapi keduanya memuat cerita yang berbeda.{{sfn|Hardacre|2017|pp=48–49}} Dengan pengaruh dari Tiongkok,{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=195|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=142|3a1=Littleton|3y=2002|3p=37|4a1=Earhart|4y=2004|4p=33}} teks-teks tersebut diperintahkan agar dibuat oleh elit penguasa untuk melegitimasi dan mengkonsolidasikan kekuasaan mereka.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1pp=33–34|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2pp=18–19}} Meskipun tidak begitu penting bagi kehidupan keagamaan di Jepang,{{sfn|Earhart|2004|p=33}} pemerintah mengeklaim cerita-cerita tersebut sebagai kenyataan pada awal abad ke-20 .{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=19}}
 
''Kojiki'' menceritakan bahwa alam semesta bermula dengan ''{{lang|ja-Latn|ame-tsuchi}}'', pemisahan elemen ringan dan murni (''{{lang|ja-Latn|ame}}'', "surga") dari elemen berat (''{{lang|ja-Latn|tsuchi}}'', "bumi").{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=5|2a1=Picken|2y=2011|2p=38|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=19}} Tiga ''kami'' kemudian muncul: [[Amenominakanushi]], [[Takamimusubi|Takamimusuhi no Mikoto]], dan [[Kamimusubi|Kamimusuhi no Mikoto]]. ''Kami'' lainnya muncul setelah mereka, termasuk [[Izanagi]] dan [[Izanami]] yang bersaudara.{{sfnm|1a1=Cali|1a2=Dougill|1y=2013|1p=19|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=48}} Para ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' menyuruh Izanagi dan Izanami untuk membuat daratan di bumi. Untuk itu, sepasang saudara itu mengaduk lautan asin dengan tombak bepermata, dari sana [[Pulau Onogoro]] terbentuk.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2pp=19–20|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=49}} Izanagi dan Izanami kemudian turun ke Bumi di mana Izanami melahirkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''-''kami'' selanjutnya. Salah satunya adalah ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' api yang kelahirannya menewaskan Izanami.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=20|3a1=Hardacre|3y=2017|3p=50}} Izanagi kemudian turun ke dunia bawah tanah (''{{lang|ja-Latn|yomi}}'') untuk menyelamatkan saudarinya tetapi ia melihat tubuh Izanami yang membusuk di sana. Malu terlihat dalam keadaan tersebut, Izanami mengusir saudaranya keluar dari ''{{lang|ja-Latn|yomi}}'' dan Izanagi pun menutup pintu masuknya.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Bocking|2y=1997|2p=67|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=20|4a1=Hardacre|4y=2017|4p=50}}
 
Izanagi mandi di laut untuk membersihkan diri dari kotoran karena menyaksikan pembusukan Izanami. Melalui tindakan ini, ''kami'' selanjutnya muncul dari tubuhnya: [[Amaterasu]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' matahari) lahir dari mata kirinya, [[Tsukuyomi]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' bulan) dari mata kanannya, dan [[Susanoo]] (''{{lang|ja-Latn|kami}}'' badai) dari hidungnya.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=196|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=143|3a1=Bocking|3y=1997|3p=67|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=20|5a1=Hardacre|5y=2017|5p=53}} Susanoo berperilaku merusak; untuk menghindarinya, Amaterasu menyembunyikan diri dalam sebuah gua, menenggelamkan bumi dalam kegelapan. ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang lain akhirnya berhasil membujuk Amaterasu keluar.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=196–197|2a1=Kitagawa|2y=1987|2p=144|3a1=Bocking|3y=1997|3p=3|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=21|5a1=Hardacre|5y=2017|5pp=53-54}} Susanoo kemudian dibuang ke bumi di mana ia menikah dan memiliki anak.{{sfnm|1a1=Cali|1a2=Dougill|1y=2013|1p=22|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=54}} Menurut ''Kojiki'', Amaterasu kemudian mengirim cucunya, [[Ninigi]], untuk memerintah Jepang dan memberinya manik-manik berlengkung, cermin, dan pedang: simbol otoritas kekaisaran Jepang.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=144|2a1=Hardacre|2y=2017|2p=57}} Amaterasu masih menjadi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang mungkin paling dihormati di Jepang.{{sfn|Littleton|2002|p=98}}
 
=== Kosmologi dan kehidupan setelah kematian ===
Dalam Shinto, prinsip penciptaan yang menghubungkan seluruh bentuk kehidupan dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|musubi}}'', hal yang memiliki ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tersendiri.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=129|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=34}} Konsep dualitas kebaikan dan keburukan tidak ditemukan pada pemikiran tradisional Jepang.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=26|2a1=Picken|2y=2011|2p=36}} Konsep ''{{lang|ja-Latn|aki}}'' mencakup kemalangan, ketidakbahagiaan, dan bencana tetapi konsep ini tidak dapat disamakan dengan konsep keburukan pada pemikiran Barat.{{sfn|Picken|2011|p=36}} Tidak ada [[eskatologi]] dalam Shinto.{{sfn|Picken|2011|p=71}}
Teks-teks seperti ''Kojiki'' dan ''Nihon Shoki'' menggambarkan banyak alam dalam kosmologi Shinto.{{sfn|Doerner|1977|pp=153–154}} Teks tersebut menghadirkan alam semesta yang dibagi menjadi tiga bagian: Dataran Tinggi Surga (''{{lang|ja-Latn|Takama-no-hara}}''), tempat ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' hidup; Dunia Fenomena atau Manifestasi (''{{lang|ja-Latn|Utsushi-yo}}''), tempat manusia tinggal; dan Dunia Bawah (''{{lang|ja-Latn|Yomotsu-kuni}}''), tempat roh-roh jahat bersemayam.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=143|2a1=Bocking|2y=1997|2p=216}} Namun demikian, naskah-naskah mitologis tidak menggambarkan pembatasan yang tegas antara alam-alam ini.{{sfn|Kitagawa|1987|p=143}}
 
Shinto mencakup kepercayaan pada roh atau jiwa manusia (''{{lang|ja-Latn|mitama}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|tamashii}}'') yang mengandung empat aspek.{{sfn|Hardacre|2017|p=75}} Meskipun gagasan asli mengenai kehidupan setelah kematian mungkin berkembang dengan baik sebelum kedatangan agama Buddha,{{sfn|Littleton|2002|p=90}} orang Jepang kontemporer sering mengadopsi konsep Buddhis tentang itu.{{sfn|Littleton|2002|p=89}} Shinto modern lebih menekankan pada kehidupan saat ini daripada kehidupan setelah kematian.{{sfnm|1a1=Doerner|1y=1977|1p=153|2a1=Littleton|2y=2002|2p=90}} Kisah-kisah mitologis seperti ''Kojiki'' menggambarkan ''{{lang|ja-Latn|yomi}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|yomi-no-kuni}}'' sebagai alam orang mati{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=90|2a1=Picken|2y=2011|2p=71}} meskipun alam tersebut tidak memainkan peran dalam Shinto modern.{{sfn|Littleton|2002|p=90}} Gagasan Shinto modern mengenai kehidupan setelah kematian sebagian besar berkisar pada gagasan bahwa roh terus ada setelah tubuh mengalami kematian dan terus membantu mereka yang hidup. Setelah 33 tahun, mereka kemudian menjadi bagian dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' keluarga.{{sfn|Littleton|2002|pp=89-91}} Roh-roh leluhur ini kadang-kadang dianggap bersemayam di pegunungan,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=91|2a1=Picken|2y=2011|2p=39}} mereka turun dari sana untuk ikut serta dalam acara pertanian.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Keyakinan kehidupan setelah kematian dalam Shinto juga mencakup ''{{lang|ja-Latn|obake}}'', roh gelisah yang mati dalam keadaan buruk dan sering membalas dendam.{{sfn|Littleton|2002|p=92}}
 
=== Kesucian dan ketidaksucian ===
Tema kunci dalam Shinto adalah menghindari ''[[kegare]]'' ("polusi" atau "kotoran"){{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=93|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=20}} sambil memastikan ''[[harae]]'' ("kesucian").{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=101|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=21}} Dalam pemikiran Jepang, manusia dipandang suci pada asalnya.{{sfn|Picken|2011|p=45}} Oleh karena itu, ''kegare'' dipandang sebagai kondisi sementara yang dapat diperbaiki melalui pencapaian ''harae''.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Ritual penyucian dilakukan untuk memulihkan kesehatan "spiritual" individu dan menjadikannya berguna bagi masyarakat.{{sfn|Nelson|1996|p=102}}
 
[[File:Karasuzumo purification ritual.jpg|thumb|left|Ritual penyucian Shinto setelah turnamen [[sumo]] anak-anak di [[Kuil Kamigamo|Kamigamo Jinja]] di [[Kyoto]]]]
 
Gagasan kesucian ini hadir dalam banyak aspek budaya Jepang, seperti pada mandi yang sering menjadi sorotan.{{sfn|Nelson|1996|p=38}} Penyucian misalnya dianggap penting dalam persiapan musim tanam.{{sfn|Nelson|1996|p=63}} Contoh lain yaitu praktik para pemain teater [[noh]] menyucikan diri sebelum mereka tampil dalam pertunjukan.{{sfn|Picken|2011|p=7}} Di antara hal-hal yang dianggap sebagai kotoran khusus dalam Shinto adalah kematian, penyakit, sihir, pengulitan hewan hidup-hidup, inses, zoofilia, tinja, dan darah yang berhubungan dengan menstruasi atau persalinan.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=206|2a1=Nelson|2y=1996|2p=104}} Untuk menghindari ''kegare'', pendeta dan praktisi lain dianjurkan menahan diri (berpantang) dan menghindari berbagai kegiatan sebelum festival atau ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=93}}
Berbagai kata yang disebut ''imi-kotoba'' juga dianggap tabu dan dihindari diucapkan saat berada di kuil; kata-kata tabu itu termasuk ''shi'' (kematian), ''byō'' (penyakit), dan ''shishi'' (daging).{{sfn|Bocking|1997|p=58}}
 
Upacara penyucian yang dikenal sebagai ''misogi'' menggunakan air tawar, air asin, atau garam untuk menghilangkan ''kegare''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Perendaman penuh di laut sering dianggap sebagai bentuk penyucian paling terdahulu dan efektif.{{sfn|Nelson|1996|p=140}} Tindakan ini terkait dengan kisah mitologis yang menceritakan Izanagi membenamkan diri di laut untuk bersuci setelah menemukan istrinya yang sudah meninggal; karena tindakan tersebut, ''kami'' lain muncul dari tubuhnya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=141|2a1=Bocking|2y=1997|2p=124}} Pilihan lainnya adalah berendam di bawah air terjun.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=124|2a1=Picken|2y=2011|2p=45}} Garam sering dianggap sebagai zat penyuci;{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=141|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} sebagian praktisi Shinto misalnya menaburkan garam pada diri mereka setelah pemakaman{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=141–142|2a1=Picken|2y=2011|2p=70}} dan pemilik restoran menaruh setumpuk kecil garam di luar setiap hari sebelum membuka layanan.{{sfn|Picken|2011|p=6}} Api juga dianggap sebagai sumber penyucian.{{sfn|Earhart|2004|p=11}} ''yaku-barai'' adalah bentuk ''harae'' yang dirancang untuk mencegah kemalangan{{sfn|Bocking|1997|p=219}} sedangkan ''oharae'', "upacara penyucian besar", sering digunakan dalam ritual penyucian akhir tahun dan dilakukan dua kali setahun di banyak kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=136}} Sebelum zaman Meiji, ritual penyucian umumnya dilakukan oleh [[onmyōji|''onmyōji'']], jenis peramal yang praktiknya berasal dari filosofi [[yin dan yang]] dari Tiongkok. {{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=12}}
 
=== ''Kannagara'', moralitas, dan etika ===
Dalam Shinto, ''kannagara'' ("jalan ''kami''") menjelaskan hukum [[kosmos|tatanan alam]],{{sfn|Picken|1994|p=xxiii}} dengan ''wa'' ("harmoni") yang melekat dalam segala hal.{{sfn|Littleton|2002|p=58}} Mengacaukan ''wa'' dianggap buruk sedangkan ikut serta dalam ''wa'' dianggap baik;{{sfn|Littleton|2002|pp=58, 61}} dengan demikian, subordinasi individu pada unit sosial yang lebih besar telah lama menjadi karakteristik agama tersebut.{{sfn|Littleton|2002|pp=11, 57}} Shinto mempunyai komponen mitos dan cerita moral tetapi tidak memiliki doktrin etika yang menyeluruh dan mengatur;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=13}} Offner mencatat bahwa Shinto tidak menetapkan "kode perilaku yang terpadu dan sistematis".{{sfn|Offner|1979|p=191}} Pandangannya mengenai ''kannagara'' mempengaruhi pandangan etis tertentu, terfokus pada ketulusan (''makoto'') dan kejujuran (''tadashii'').{{sfn|Picken|1994|p=xxiii}} ''Makoto'' dianggap sebagai kebajikan utama dalam agama Jepang secara lebih luas.{{sfn|Bocking|1997|p=115}} Shinto terkadang menyertakan rujukan kepada empat kebajikan yang dikenal sebagai ''akaki kiyoki kokoro'' atau ''sei-mei-shin'', yang berarti "kemurnian dan keceriaan hati", yang terkait dengan keadaan ''harae''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=157|2a1=Picken|2y=2011|2p=34}} Offner percaya bahwa dalam Shinto, gagasan mengenai kebaikan terkait dengan "apa yang memiliki atau berhubungan dengan keindahan, kecerahan, keunggulan, nasib baik, kemuliaan, kemurnian, kesesuaian, harmoni, kesesuaian, [dan] produktivitas."{{sfn|Offner|1979|p=198}} ''Shojiki'' dianggap sebagai kebajikan, meliputi kejujuran, kebenaran, ketulusan, dan keterusterangan.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Fleksibilitas Shinto mengenai moralitas dan etika sering menjadi sumber kritik, terutama dari mereka yang berpendapat bahwa agama dapat dengan mudah menjadi alat bagi mereka yang ingin menggunakannya untuk melegitimasi otoritas dan kekuasaan mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=198}}
 
Sepanjang sejarah Jepang, gagasan ''saisei-itchi'', atau penyatuan otoritas agama dan otoritas politik, telah lama dikenal.{{sfn|Kitagawa|1987|p=xvii}}
Cali dan Dougill mencatat bahwa Shinto telah lama diasosiasikan dengan "pandangan picik dan protektif" dari masyarakat Jepang.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=10}} Mereka menambahkan bahwa Shinto cenderung ke arah konservatisme dan nasionalisme pada zaman modern.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=10}} Pada akhir tahun 1990-an, Bocking mencatat bahwa "nasionalisme yang tampak regresif sepertinya masih merupakan sekutu alami dari beberapa elemen sentral" dari Shinto.{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Akibat dari asosiasi ini, Shinto masih dipandang mencurigakan oleh berbagai kelompok [[kebebasan sipil]] di Jepang dan banyak negara tetangga Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=ix}}
 
[[File:Yasukuni Shrine 2012.JPG|thumb|right|Tindakan para pendeta di Kuil Yasukuni di Tokyo telah menimbulkan kontroversi di seluruh Asia Timur]]
 
Pendeta Shinto menghadapi berbagai teka-teki etika. Pada tahun 1980-an, misalnya, para pendeta di [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] di [[Nagasaki]] berdebat mengenai pengundangan awak kapal Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) yang berlabuh di kota pelabuhan pada perayaan festival mereka mengingat sensitivitas mengenai [[Pemboman atom Hiroshima dan Nagasaki#Nagasaki|penggunaan bom atom oleh AS pada tahun 1945 di kota itu]].{{sfn|Nelson|1996|pp=66–67}} Dalam kasus lain, para pendeta menentang proyek konstruksi di tanah milik kuil, terkadang membuat mereka bertentangan dengan kelompok kepentingan lain.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=317|2a1=Rots|2y=2015|2p=221}} Pada awal tahun 2000-an, seorang pendeta menentang penjualan tanah kuil untuk membangun [[pembangkit listrik tenaga nuklir]] di [[Kaminoseki, Yamaguchi|Kaminoseki]]; ia akhirnya ditekan untuk mengundurkan diri karena masalah ini.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Persoalan lain yang cukup diperdebatkan adalah aktivitas [[Kuil Yasukuni]] di Tokyo. Kuil ini dikhususkan untuk para korban perang Jepang dan pada tahun 1979 kuil tersebut mengabadikan 14 orang, termasuk [[Hideki Tojo]], yang dinyatakan sebagai terdakwa Kelas A pada [[Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh|Pengadilan Kejahatan Perang Tokyo]] pada tahun 1946. Hal ini menimbulkan kecaman baik domestik maupun internasional, terutama dari Tiongkok dan Korea.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=2000|1p=12|2a1=Littleton|2y=2002|2p=99|3a1=Picken|3y=2011|3pp=18–19}}
 
Pada abad ke-21, Shinto semakin digambarkan sebagai spiritualitas yang berpusat pada alam dengan kredensial [[environmentalism|environmentalis]].{{sfn|Rots|2015|pp=205, 207}} Kuil Shinto semakin menekankan pelestarian hutan yang mengelilingi banyak kuil{{sfn|Rots|2015|p=209}} dan sejumlah kuil telah bekerja sama dengan kampanye lingkungan lokal.{{sfn|Rots|2015|p=223}} Pada tahun 2014, sebuah konferensi antaragama internasional tentang kelestarian lingkungan diadakan di kuil Ise, dihadiri oleh perwakilan [[PBB]] dan sekitar tujuh ratus pendeta Shinto.{{sfn|Rots|2015|pp=205–206}} Para komentator kritis menyampaikan bahwa presentasi Shinto sebagai gerakan lingkungan bercirikan taktik retoris, bukan upaya bersama oleh lembaga-lembaga Shinto untuk menjadi ramah lingkungan.{{sfn|Rots|2015|p=208}} Cendekiawan Aike P. Rots menyarankan bahwa reposisi Shinto sebagai "agama alam" mungkin tumbuh semakin populer sebagai sarana untuk memisahkan agama dari isu-isu kontroversial "terkait dengan ingatan perang dan patronase kekaisaran."{{sfn|Rots|2015|p=210}}
 
== Praktik ==
Shinto cenderung berfokus pada perilaku ritual daripada doktrin.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=214|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=10}} Filsuf James W. Boyd dan Ron G. Williams menyatakan bahwa Shinto adalah "tradisi ritual yang pertama dan terkemuka",{{sfn|Boyd|Williams|2005|p=33}} sementara Picken mengamati bahwa "Shinto tidak tertarik pada ''kepercayaan'' tetapi pada ''agenda'', bukan pada sesuatu yang harus dipercayai tetapi pada sesuatu yang harus dilakukan."{{sfn|Picken|1994|p=xxxii}} Sarjana agama Clark B. Offner menyatakan bahwa fokus Shinto adalah pada "mempertahankan tradisi seremonial komunal untuk tujuan kesejahteraan manusia (komunal)".{{sfn|Offner|1979|p=198}} sering kali sulit untuk membedakan praktik Shinto dari kebiasaan Jepang secara lebih luas,{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=8}} dengan Picken mengamati bahwa "pandangan dunia Shinto" memberikan "sumber utama pemahaman diri dalam cara hidup orang Jepang".{{sfn|Picken|1994|p=xxxii}} Nelson menyatakan bahwa "Orientasi dan nilai-nilai berbasis Shinto[...] terletak pada inti budaya, masyarakat, dan karakter Jepang".{{sfn|Nelson|1996|p=3}}
 
=== Kuil ===
{{Main|Kuil Shinto}}
[[File:Fushimi Inari - Main gate.jpg|thumb|right|Gerbang utama ke [[Fushimi Inari-taisha]] di Kyoto, salah satu kuil tertua di Jepang]]
Ruang publik di mana ''kami'' disembah sering dikenal dengan istilah ''[[Kuil Shinto|jinja]]'' ("tempat ''kami''");{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xviii|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} istilah ini berlaku untuk lokasi dan bukan untuk bangunan tertentu.{{sfn|Picken|2011|p=21}} ''Jinja'' biasanya diterjemahkan sebagai "kuil",{{sfn|Earhart|2004|p=36}} sebuah istilah yang sekarang lebih umum digunakan untuk struktur Buddhis Jepang.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=1}} Terdapat sekitar 100.000 kuil umum di Jepang;{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} sekitar 80.000 kuil berafiliasi dengan Asosiasi Kuil Shinto,{{sfnm|1a1=Picken|1y=1994|1p=xxxi|2a1=Picken|2y=2011|2p=29|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=5|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=8}} dengan 20.000 kuil lainnya tidak terafiliasi.{{sfn|Picken|2011|p=29}} Kuil-kuil tersebut ditemukan di seluruh negeri, dari daerah pedesaan yang terisolasi hingga daerah metropolitan yang padat.{{sfnm|1a1=Earhart|1y=2004|1p=36|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=7}} Istilah yang lebih spesifik terkadang digunakan untuk kuil tertentu tergantung pada fungsinya; beberapa kuil agung dengan asosiasi kekaisaran disebut ''jingū'',{{sfn|Bocking|1997|pp=71, 72}} kuil yang diabdikan untuk kematian perang disebut ''shokonsha'',{{sfn|Bocking|1997|p=182}} dan kuil yang terkait dengan pegunungan yang dianggap dihuni oleh ''kami'' disebut ''yama-miya''.{{sfn|Bocking|1997|p=220}}
 
Jinja biasanya terdiri dari kompleks beberapa bangunan,{{sfn|Littleton|2002|p=68}} dengan gaya arsitektur kuil yang sebagian besar dikembangkan pada [[zaman Heian]].{{sfn|Nelson|1996|p=93}} Tempat perlindungan bagian dalam yang ditinggal kami adalah ''[[honden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Di dalam honden mungkin tersimpan benda-benda milik kami; yang dikenal sebagai ''shinpo'', dapat mencakup karya seni, pakaian, senjata, alat musik, lonceng, dan cermin.{{sfn|Bocking|1997|p=170}} Biasanya, para pemuja melakukan aktivitas mereka di luar honden.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Di dekat honden terkadang dapat ditemukan kuil tambahan, ''bekkū'', untuk kami lainnya; kami yang menghuni kuil ini tidak selalu dianggap lebih rendah dari yang ada di honden.{{sfn|Bocking|1997|p=9}} Di beberapa tempat, aula ibadah didirikan, yang disebut ''[[Haiden (Shinto)|haiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=42|3a1=Picken|3y=2011|3p=43|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Pada tingkat yang lebih rendah dapat ditemukan aula persembahan, yang dikenal sebagai ''[[Heiden (Shinto)|heiden]]''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=92|2a1=Bocking|2y=1997|2p=49|3a1=Picken|3y=2011|3p=43}} Bersamaan dengan itu, gedung yang menampung honden, haiden, dan heiden disebut sebagai ''hongū''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Pada beberapa kuil, terdapat bangunan terpisah untuk mengadakan upacara tambahan, seperti pernikahan, yang dikenal sebagai ''gishikiden'',{{sfn|Bocking|1997|p=34}} atau bangunan khusus tempat tarian ''kagura'' ditampilkan, yang dikenal sebagai ''kagura-den''.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Secara kolektif, bangunan pusat kuil dikenal sebagai ''shaden'',{{sfn|Bocking|1997|p=160}} sementara kawasannya dikenal sebagai ''keidaichi''{{sfn|Bocking|1997|p=94}} atau ''shin'en''.{{sfn|Bocking|1997|p=166}} Kawasan ini dikelilingi oleh pagar ''tamagaki'',{{sfn|Bocking|1997|p=197}} dengan masuk melalui gerbang ''shinmon'', yang dapat ditutup pada malam hari.{{sfn|Bocking|1997|p=169}}
 
[[File:Hushimi-inari-taisha otsuka3.jpg|thumb|left|Gambaran dari torii di kuil Fushimi Inari-taisha di Kyoto]]
 
Pintu masuk kuil ditandai oleh gerbang dua tiang dengan satu atau dua palang di atasnya, yang dikenal sebagai ''[[torii]]''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=207|3a1=Earhart|3y=2004|3p=36|4a1=Cali|4a2=Dougill|4y=2013|4p=7}} Detail yang tepat dari torii ini bervariasi dan setidaknya terdapat dua puluh gaya yang berbeda.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=207|2a1=Picken|2y=2011|2p=43}} Pintu masuk ini dianggap sebagai pembatas area tempat kami berada;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} melewatinya sering dipandang sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Secara luas, torii adalah simbol Jepang yang diakui secara internasional.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Bentuk arsitekturnya khas Jepang, meskipun keputusan untuk mengecatnya dengan warna [[merah merona]] mencerminkan pengaruh Tiongkok yang berasal dari [[zaman Nara]].{{sfn|Picken|2011|p=20}} Terdapat pula ''[[komainu]]'' yang terletak di pintu masuk banyak kuil, yang merupakan patung hewan seperti singa atau anjing yang dianggap menakuti roh jahat;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=201|2a1=Bocking|2y=1997|2p=104}} biasanya patung tersebut diletakkan berpasangan, salah satunya bermulut terbuka, dan yang lain bermulut tertutup.{{sfn|Bocking|1997|p=104}}
 
Kuil biasanya terletak di dalam taman{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=12}} atau hutan rimba yang disebut ''chinju no mori'' ("hutan penjaga kami"),{{sfn|Rots|2015|p=211}} yang ukurannya bervariasi dari hanya beberapa pohon hingga area hutan yang cukup besar.{{sfn|Rots|2015|p=219}} Lentera besar, yang dikenal sebagai ''[[tōrō]]'', sering ditemukan di dalam kawasan ini.{{sfn|Bocking|1997|p=208}} Kuil biasanya memiliki kantor, yang dikenal sebagai ''shamusho'',{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=71|2a1=Bocking|2y=1997|2p=72}} sebuah ''saikan'' tempat para pendeta menjalani bentuk pantang dan penyucian sebelum melakukan ritual,{{sfn|Bocking|1997|p=148}} dan bangunan lain seperti tempat tinggal pendeta dan gudang.{{sfn|Offner|1979|p=201}} Berbagai kios sering menjual jimat kepada pengunjung.{{sfn|Bocking|1997|pp=72–73}} Sejak akhir tahun 1940-an, kuil-kuil harus mandiri secara finansial, bergantung pada sumbangan para penyembah dan pengunjung. Dana ini digunakan untuk membayar upah para pendeta, membiayai pemeliharaan bangunan, menutupi biaya keanggotaan kuil dari berbagai kelompok Shinto regional dan nasional, dan berkontribusi pada dana bantuan bencana.{{sfn|Nelson|1996|p=77}}
 
Dalam Shinto, dianggap penting bahwa tempat-tempat kami dimuliakan dijaga kebersihannya dan tidak diabaikan.{{sfn|Picken|2011|p=23}} Selama zaman Edo, kuil Kami biasanya dihancurkan dan dibangun kembali di lokasi terdekat untuk menghilangkan kotoran dan memastikan kemurnian.{{sfn|Nelson|1996|p=92}} Hal ini terus berlanjut hingga saat ini di beberapa tempat tertentu, seperti Kuil Agung Ise, yang dipindahkan ke lokasi yang berdekatan setiap dua dekade.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=93|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163|3a1=Nelson|3y=2000|3p=4|4a1=Hardacre|4y=2017|4pp=79-80}} Kuil terpisah juga dapat digabungkan dalam proses yang dikenal sebagai ''jinja gappei'',{{sfn|Bocking|1997|p=73}} sedangkan tindakan memindahkan kami dari satu bangunan ke bangunan lain disebut ''sengu''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Kuil mungkin memiliki legenda mengenai fondasinya, yang dikenal sebagai ''en-gi''. Legenda tersebut terkadang juga mencatat keajaiban yang terkait dengan kuil.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Sejak periode Heian, ''en-gi'' sering diceritakan kembali pada gulungan gambar yang dikenal sebagai ''[[emakimono]]''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=26|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}}
 
==== Kependetaan dan ''miko'' ====
[[File:Miwa-shrine Yutateshinji A.JPG|thumb|right|Upacara {{lang|ja-Latn|Yutateshinji}} yang diselenggarakan oleh pendeta Shinto di [[Ōmiwa jinja|Kuil Miwa]] di [[Sakurai, Nara]]]]
Kuil-kuil dapat dirawat oleh para pendeta, komunitas lokal, atau keluarga yang memiliki properti kuil tersebut.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=7}} Pendeta Shinto dikenal dalam bahasa Jepang sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kannushi]]}}'', yang berarti "pemilik ''{{lang|ja-Latn|kami}}''",{{sfn|Bocking|1997|p=88}} atau secara alternatif sebagai ''{{lang|ja-Latn|shinshoku}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|shinkan}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=168, 171}} Banyak kannushi mengambil peran dalam garis suksesi turun-temurun yang dapat ditelusuri dari keluarga tertentu.{{sfnm|1a1=Ueda|1y=1979|1p=325|2a1=Nelson|2y=1996|2p=29}} Dalam Jepang kontemporer, terdapat dua universitas pelatihan utama bagi mereka yang ingin menjadi ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'', [[Universitas Kokugakuin]] di Tokyo dan [[Universitas Kogakkan]] di [[Prefektur Mie]].{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=29|2a1=Bocking|2y=1997|2pp=99, 102}} Para pendeta dapat naik pangkat selama karier mereka.{{sfn|Nelson|1996|p=42}} Jumlah pendeta di kuil tertentu dapat bervariasi; beberapa kuil dapat memiliki puluhan pendeta, dan yang lainnya tidak memilikinya, melainkan dikelola oleh sukarelawan awam setempat.{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=73|2a1=Picken|2y=2011|2pp=31–32}} Beberapa pendeta mengelola beberapa kuil kecil, terkadang lebih dari sepuluh.{{sfn|Picken|2011|p=32}}
 
Pakaian pendeta sebagian besar didasarkan pada pakaian yang dikenakan di istana kekaisaran selama zaman Heian.{{sfn|Nelson|2000|p=15}} Pakaian tersebut termasuk topi bulat tinggi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|eboshi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=25}} dan bakiak kayu berpernis hitam yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|asagutsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=7|2a1=Picken|2y=2011|2p=44}} Pakaian luar yang dikenakan oleh seorang pendeta, biasanya berwarna hitam, merah, atau biru muda, adalah ''{{lang|ja-Latn|hō}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=53}} atau ''{{lang|ja-Latn|ikan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=58}} Versi sutra putih dari ''{{lang|ja-Latn|ikan}}'', digunakan untuk acara-acara resmi, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saifuku}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=58, 146}} Jubah pendeta lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|kariginu}}'', yang mencontoh pakaian berburu gaya Heian.{{sfn|Bocking|1997|pp=89–90}} Benda lain dari pakaian pendeta standar adalah kipas ''{{lang|ja-Latn|hiōgi}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=51}} sedangkan selama ritual, pendeta membawa sepotong kayu datar yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[Shaku (tongkat ritual)|shaku]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=162}} Pakaian ini umumnya lebih berornamen daripada pakaian suram yang dikenakan oleh biksu Buddha Jepang.{{sfn|Nelson|2000|p=15}}
 
[[File:Kamogawa ceremony 02.jpg|thumb|left|Miko melakukan upacara Shinto di dekat [[Sungai Kamo]]]]
 
Kepala pendeta di kuil adalah {{lang|ja-Latn|gūji}}.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=212|2a1=Nelson|2y=1996|2p=186|3a1=Bocking|3y=1997|3p=39|4a1=Boyd|4a2=Williams|4y=2005|4p=33}} Kuil yang lebih besar mungkin juga memiliki asisten kepala pendeta, ''{{lang|ja-Latn|gon-gūji}}''.{{sfn|Offner|1979|p=212}} Seperti halnya guru, instruktur, dan pendeta Buddha, pendeta Shinto sering disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[sensei]]}}'' oleh praktisi awam.{{sfn|Nelson|1996|p=179}} Secara historis, terdapat pendeta perempuan meskipun sebagian besar dipaksa keluar dari posisinya pada tahun 1868.{{sfn|Nelson|1996|p=123}} Selama Perang Dunia II, wanita kembali diizinkan menjadi pendeta untuk mengisi kekosongan yang disebabkan oleh sejumlah besar pria yang terdaftar di militer.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada akhir tahun 1990-an, sekitar 90% pendeta adalah laki-laki, 10% pendeta adalah perempuan.{{sfn|Littleton|2002|p=98}} Pendeta bebas untuk menikah dan memiliki anak.{{sfn|Nelson|1996|p=124}} Pada kuil-kuil yang lebih kecil, para pendeta sering memiliki pekerjaan penuh waktu lainnya, dan hanya melayani sebagai pendeta selama acara-acara khusus.{{sfn|Offner|1979|p=212}}
Sebelum perayaan-perayaan besar tertentu, para pendeta dapat menjalani masa pantang dari hubungan seksual.{{sfn|Nelson|1996|p=43}} Beberapa dari mereka yang terlibat dalam festival juga berpantang dari berbagai hal, seperti minum teh, kopi, atau alkohol, sesaat sebelum acara.{{sfn|Nelson|1996|p=141}}
 
Para pendeta dibantu oleh ''{{lang|ja-Latn|jinja miko}}'', terkadang disebut sebagai "gadis kuil".{{sfn|Bocking|1997|p=121}} ''{{lang|ja-Latn|[[miko]]}}'' tersebut biasanya belum menikah,{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=47|2a1=Bocking|2y=1997|2p=121}} meski belum tentu perawan.{{sfn|Nelson|1996|p=47}} Dalam banyak kasus, mereka adalah putri seorang pendeta atau praktisi.{{sfn|Bocking|1997|p=121}} Mereka berada di bawah para pendeta dalam hierarki kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=124–125}} Mereka berperan penting dalam tarian ''{{lang|ja-Latn|[[kagura]]}}'', yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|otome-mai}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} ''{{lang|ja-Latn|Miko}}'' hanya menerima gaji kecil tetapi mendapatkan rasa hormat dari anggota masyarakat setempat dan belajar keterampilan seperti memasak, kaligrafi, melukis, dan tata krama yang dapat bermanfaat bagi mereka ketika nanti mencari pekerjaan atau pasangan hidup.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Mereka umumnya tidak tinggal di kuil.{{sfn|Nelson|1996|p=125}} Kadang-kadang mereka mengisi peran lain, seperti menjadi sekretaris di kantor kuil atau juru tulis di meja informasi, atau sebagai pelayan pada pesta ''{{lang|ja-Latn|naorai}}''. Mereka juga membantu ''{{lang|ja-Latn|kannushi}}'' pada ritus upacara.{{sfn|Nelson|1996|p=125}}
 
==== Kunjungan ke kuil ====
Kunjungan ke kuil disebut ''{{lang|ja-Latn|sankei}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=152}} atau ''{{lang|ja-Latn|jinja mairi}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Beberapa orang mengunjungi kuil setiap hari, sering kali pada rute pagi ketika berangkat kerja;{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} biasanya hanya memakan waktu beberapa menit.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Biasanya, seorang penyembah akan mendekati honden, menempatkan persembahan uang ke dalam sebuah kotak dan kemudian membunyikan lonceng untuk meminta perhatian ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=201–202|2a1=Littleton|2y=2002|2p=72|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Kemudian, mereka membungkuk, bertepuk tangan, dan berdiri sambil diam-diam memanjatkan doa.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=204|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3|3a1=Cali|3a2=Dougill|3y=2013|3p=11}} Tepuk tangan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kashiwade}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hakushu}}'';{{sfn|Bocking|1997|pp=43, 90}} doa atau permohonan disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|kigan}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=96}} Penyembahan secara individu ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hairei}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=42}} Secara luas, doa ritual kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' disebut ''{{lang|ja-Latn|[[norito]]}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=135}} sedangkan koin yang dipersembahkan adalah ''{{lang|ja-Latn|saisen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=149}} Pada kuil, doa yang dipanjatkan secara individu tidak harus ditujukan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Seorang penyembah mungkin tidak tahu nama ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang tinggal di kuil atau banyaknya ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diyakini tinggal di sana.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=202|2a1=Cali|2a2=Dougill|2y=2013|2p=11}} Tidak seperti pada agama-agama tertentu lainnya, kuil Shinto tidak memiliki kebaktian mingguan yang diharapkan untuk dihadiri oleh para praktisi.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
 
[[File:魂入れに伴う山車(聖武山)の修祓、姥神大神宮の鳥居前にて(2018年8月9日撮影).jpg|thumb|left|Pendeta menyucikan area di depan kediaman ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.]]
 
Beberapa praktisi Shinto tidak mempersembahkan doa mereka kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' secara langsung, melainkan meminta seorang pendeta untuk mempersembahkannya atas nama mereka; doa-doa ini dikenal sebagai '''kitō''.{{sfn|Bocking|1997|p=98}} Banyak orang mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk meminta permintaan pragmatis.{{sfn|Nelson|1996|p=116}} Permintaan untuk hujan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|amagoi}}'' ("meminta hujan") ditemukan di seluruh Jepang, dengan Inari merupakan pilihan populer untuk permintaan tersebut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=3|2a1=Picken|2y=2011|2p=36}}
Doa-doa lain mencerminkan keprihatinan yang lebih kontemporer. Misalnya, orang mungkin meminta pendeta mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk menyucikan mobil mereka dengan harapan agar tidak terlibat dalam kecelakaan.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=116|2a1=Bocking|2y=1997|2p=114}} Demikian pula, perusahaan transportasi sering meminta upacara penyucian untuk bus atau pesawat baru yang akan mulai beroperasi.{{sfn|Bocking|1997|p=108}} Sebelum sebuah bangunan dibangun, biasanya seseorang atau perusahaan konstruksi mempekerjakan seorang pendeta Shinto untuk mendatangi tanah yang sedang dikembangkan dan melakukan ''{{lang|ja-Latn|jichinsai}}'', atau ritual penyucian bumi. Ini memurnikan situs dan meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk memberkatinya.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=190–196|2a1=Bocking|2y=1997|2p=68}}
 
Orang-orang sering meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk membantu dalam mengimbangi peristiwa buruk yang mungkin memengaruhi mereka. Misalnya, dalam budaya Jepang, usia 33 tahun bagi wanita dan usia 42 tahun bagi pria dipandang sebagai sial, dan dengan demikian orang-orang dapat meminta ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk mengimbangi kemalangan yang terkait dengan usia tersebut.{{sfn|Nelson|1996|p=183}} Arah tertentu juga dapat dilihat sebagai tidak menguntungkan bagi orang-orang tertentu pada waktu tertentu dan dengan demikian orang-orang dapat mendekati ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meminta mereka untuk mengimbangi masalah ini ketika mereka harus melakukan perjalanan di salah satu arah sial itu.{{sfn|Nelson|1996|p=183}}
 
[[Ziarah]] telah lama menjadi penting dalam agama Jepang,{{sfn|Kitagawa|1987|pp=xvii–xviii}} dengan ziarah ke kuil Shinto yang disebut ''{{lang|ja-Latn|[[junrei]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Ziarah keliling, ketika individu mengunjungi serangkaian kuil dan situs suci lainnya yang merupakan bagian dari rute tetap, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|junpai}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=80}} Seseorang yang memimpin para peziarah ini, terkadang disebut sebagai ''{{lang|ja-Latn|sendatsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=158}} Selama berabad-abad, orang-orang juga mengunjungi kuil karena alasan budaya dan rekreasi, bukan alasan spiritual.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Banyak kuil diakui sebagai situs sejarah penting dan beberapa diklasifikasikan sebagai [[Situs Warisan Dunia]] oleh [[UNESCO]].{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=11}} Kuil-kuil seperti [[Kuil Shimogamo|Shimogamo Jinja]] dan [[Fushimi Inari Taisha]] di Kyoto, [[Kuil Meiji|Meiji Jingū]] di Tokyo, dan [[Atsuta Jingū]] di Nagoya merupakan beberapa tempat wisata paling populer di Jepang.{{sfn|Rots|2015|p=221}} Banyak kuil memiliki cap stempel unik yang dapat ditambahkan ke dalam ''{{lang|ja-Latn|sutanpu bukku}}'' atau buku stempel, yang menunjukkan berbagai kuil yang dikunjungi.{{sfn|Bocking|1997|p=192}}
 
=== ''Harae'' dan ''hōbei'' ===
{{Main|Harae}}
[[File:ItsukushimaBasin7406.jpg|thumb|right|Ritual Shinto dimulai dengan proses penyucian, sering kali melibatkan mencuci tangan dan mulut pada kolam {{lang|ja-Latn|temizu}}; salah satunya berada di Itsukushima Jinja.]]
 
Ritual Shinto dimulai dengan proses penyucian, atau ''{{lang|ja-Latn|harae}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=39|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Ritual ini menggunakan air tawar atau air asin, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|misogi}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=124}} Di kuil, ritual ini memerlukan percikan air pada wajah dan tangan, prosedur yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|temizu}}'',{{sfn|Bocking|1997|p=45}} menggunakan sebuah wadah yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[temizuya]]}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=91}} Bentuk penyucian lain pada awal dari ritus Shinto yaitu dengan menggoyangkan panji atau tongkat yang dipasang kertas putih dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=39, 46|2a1=Bocking|2y=1997|2p=45}} Saat tidak digunakan, ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' biasanya disimpan dalam posisi berdiri.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Pendeta menggoyangkan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' secara horizontal di atas orang atau benda yang disucikan dalam gerakan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|sa-yu-sa}}'' ("kiri-kanan-kiri").{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Terkadang, alih-alih menggunakan ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'', penyucian dilakukan dengan ''{{lang|ja-Latn|o-nusa}}'', cabang cemara yang dipasang potongan kertas.{{sfn|Bocking|1997|p=45}} Goyangan dari ''{{lang|ja-Latn|haraigushi}}'' sering diikuti dengan tindakan penyucian tambahan, ''{{lang|ja-Latn|shubatsu}}'', di mana pendeta memercikkan air, garam, atau air garam di atasnya yang dikumpulkan dari kotak kayu yang disebut ''{{lang|ja-Latn|'en-to-oke}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|magemono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=184}}
 
Tindakan penyucian terselesaikan, petisi yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|norito}}'' diucapkan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Hal itu diikuti oleh penampilan ''{{lang|ja-Latn|miko}}'', yang dimulai dengan gerakan melingkar perlahan di depan altar utama.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Persembahan kemudian disajikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dengan ditaruh di atas meja.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Tindakan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hōbei}}'';{{sfn|Bocking|1997|p=53}} persembahan itu sendiri dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|saimotsu}}''{{sfn|Bocking|1997|p=148}} atau ''{{lang|ja-Latn|sonae-mono}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Secara historis, persembahan yang diberikan kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' meliputi makanan, kain, pedang, dan kuda.{{sfn|Cali|Dougill|2013|pp=13–14}} Pada periode kontemporer, umat awam biasanya memberikan hadiah uang kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sedangkan para pendeta umumnya menawarkan makanan, minuman, dan tangkai dari pohon {{lang|ja-Latn|[[sakaki]]}} yang sakral.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=14}} [[Pengurbanan hewan]] tidak dianggap sebagai persembahan yang pantas, karena penumpahan darah dipandang sebagai tindakan pengotoran yang memerlukan penyucian.{{sfn|Nelson|1996|p=64}} Persembahan yang disajikan terkadang sederhana dan terkadang lebih rumit; di Kuil Agung Ise, misalnya, 100 jenis makanan disajikan sebagai persembahan.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Pilihan persembahan sering kali disesuaikan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan kesempatan tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
 
Persembahan makanan dan minuman secara khusus disebut ''{{lang|ja-Latn|shinsen}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=170}}
[[Sake]], atau arak beras, adalah persembahan yang sangat umum untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=150}} Setelah persembahan diberikan, orang-orang sering menyesap arak beras yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=40}} Meminum arak ''{{lang|ja-Latn|o-miki}}'' dipandang sebagai bentuk persekutuan dengan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Nelson|1996|p=53}} Pada acara-acara penting, sebuah pesta kemudian diadakan, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|naorai}}'', di dalam aula perjamuan yang terhubung dengan kompleks kuil.{{sfn|Nelson|1996|pp=40, 53}}
 
''{{lang|ja-Latn|kami}}'' diyakini menikmati musik.{{sfn|Nelson|1996|p=49}} Salah satu gaya musik yang ditampilkan di kuil adalah ''{{lang|ja-Latn|[[gagaku]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=49|2a1=Bocking|2y=1997|2p=33}} Alat musik yang digunakan antara lain tiga ''reed'' (''{{lang|ja-Latn|fue}}'', ''{{lang|ja-Latn|sho}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|hichiriki}}''), ''{{lang|ja-Latn|yamato-koto}}'', dan "tiga drum" (''{{lang|ja-Latn|taiko}}'', ''{{lang|ja-Latn|kakko}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|shōko}}'').{{sfn|Bocking|1997|p=33}} Gaya musik lain yang ditampilkan di kuil dapat memiliki fokus yang lebih terbatas. Di kuil seperti [[Kuil Ōharano]] di Kyoto, musik ''{{lang|ja-Latn|azuma-asobi}}'' ("hiburan timur") dipertunjukkan pada 8 April.{{sfn|Bocking|1997|p=8}} Selain itu, berbagai festival di Kyoto menggunakan gaya musik dan tarian ''{{lang|ja-Latn|[[dengaku]]}}'', yang berasal dari lagu penanaman padi.{{sfn|Bocking|1997|p=22}} Selama ritual, orang yang mengunjungi kuil diharapkan untuk duduk dengan gaya ''{{lang|ja-Latn|[[seiza]]}}'', dengan kaki diselipkan di bawah bokong.{{sfn|Nelson|1996|p=214}} Untuk menghindari kram, seseorang yang menahan posisi ini untuk waktu yang lama dapat secara berkala menggerakkan kaki dan melenturkan tumit.{{sfn|Nelson|1996|pp=214–215}}
 
=== Kuil keluarga ===
[[File:Kamidana.jpg|300px|right|thumb|''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' yang menampilkan ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|[[Shide (Shinto)|shide]]}}'']]
Setelah melihat popularitas yang meningkat di era Meiji,{{sfn|Bocking|1997|p=85}} banyak praktisi Shinto juga memiliki kuil keluarga, atau ''{{lang|ja-Latn|[[kamidana]]}}'' ("rak ''kami''"), di rumah mereka.{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1pp=200|2a1=Nelson|2y=1996|2p=184|3a1=Littleton|3y=2002|3p=73|4a1=Earhart|4y=2004|4p=11}} Kuil tersebut biasanya terdiri dari rak-rak yang ditempatkan pada posisi tinggi di ruang tamu.{{sfn|Offner|1979|pp=200–201}} ''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' juga dapat ditemukan di tempat kerja, restoran, toko, dan kapal laut.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} Beberapa kuil umum menawarkan ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}''.{{sfn|Picken|2011|p=31}}
 
Selain ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'', banyak rumah tangga Jepang juga memiliki ''{{lang|ja-Latn|[[butsudan]]}}'', altar Buddha yang mengabadikan leluhur keluarga;{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=13|2a1=Earhart|2y=2004|2p=11}} penghormatan leluhur tetap menjadi aspek penting dari tradisi keagamaan Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Dalam kasus yang jarang terjadi ketika orang Jepang diberi pemakaman Shinto daripada pemakaman Buddhis, kuil ''{{lang|ja-Latn|tama-ya}}'', ''{{lang|ja-Latn|mitama-ya}}'', atau ''{{lang|ja-Latn|sorei-sha}}'' dapat didirikan di rumah sebagai pengganti ''{{lang|ja-Latn|butsudan}}''. Kuil ini biasanya ditempatkan di bawah ''{{lang|ja-Latn|kamidana}}'' dan menyertakan simbol roh leluhur yang tinggal, misalnya cermin atau gulungan.{{sfn|Bocking|1997|p=198}}
 
''{{lang|ja-Latn|Kamidana}}'' sering kali mengabadikan kami dari kuil umum terdekat serta kami pelindung yang terkait dengan penghuni rumah atau profesi mereka.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut dapat didekorasi dengan miniatur torii dan ''{{lang|ja-Latn|shimenawa}}'' serta jimat yang diperoleh dari kuil umum.{{sfn|Bocking|1997|p=85}} Kuil tersebut sering mencakup wadah untuk menempatkan persembahan;{{sfn|Offner|1979|p=201}} persembahan harian beras, garam, dan air ditempatkan di sana, dengan sake dan barang-barang lainnya juga ditawarkan pada hari-hari khusus.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=85|2a1=Littleton|2y=2002|2p=74}} Ritual domestik ini sering dilakukan di pagi hari,{{sfn|Littleton|2002|p=81}} dan sebelum melakukannya, praktisi biasanya mandi, berkumur, atau mencuci tangan sebagai bentuk penyucian.{{sfn|Offner|1979|p=203}}
 
Shinto rumah tangga dapat memusatkan perhatian pada ''{{lang|ja-Latn|dōzoku-shin}}'', ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang dianggap sebagai leluhur ''{{lang|ja-Latn|dōzoku}}'' atau kelompok kekerabatan yang luas.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=24|2a1=Picken|2y=2011|2pp=75-76}} Kuil kecil untuk leluhur sebuah rumah tangga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|soreisha}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=187}} Kuil desa kecil yang berisi kami pelindung dari keluarga besar dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|iwai-den}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=66}} Selain kuil pemujaan dan kuil rumah tangga, Shinto juga memiliki kuil kecil di pinggir jalan yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[hokora]]}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=54}} Ruang terbuka lain yang digunakan untuk pemujaan kami adalah ''{{lang|ja-Latn|[[iwasaka]]}}'', sebuah area yang dikelilingi oleh batu-batu keramat.{{sfn|Bocking|1997|p=65}}
 
=== Engimono, Ema, ramalan, dan jimat ===
[[File:Ema of Izumo taisha.jpg|thumb|''{{lang|ja-Latn|Ema}}'' kayu yang terkumpul tergantung di Kuil Shinto]]
Sebuah ciri khas umum dari kuil Shinto adalah penyediaan ''{{lang|ja-Latn|[[Ema (Shinto)|ema]]}}'', plakat kayu kecil di mana praktisi akan menulis keinginan atau harapan yang ingin dikabulkan. Pesan praktisi tertulis pada salah satu sisi plakat, sedangkan sisi yang lain biasanya berupa gambar atau pola tercetak yang berhubungan dengan kuil itu sendiri.{{sfn|Bocking|1997|pp=25–26}} ''{{lang|ja-Latn|Ema}}'' disediakan di kuil Shinto dan kuil Buddha di Jepang;{{sfn|Bocking|1997|p=25}} tidak seperti kebanyakan jimat, yang diambil dari kuil, ''{{lang|ja-Latn|ema}}'' biasanya ditinggalkan di sana sebagai pesan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=26}} Mereka yang mengelola kuil kemudian akan membakar semua ''{{lang|ja-Latn|ema}}'' yang terkumpul pada tahun baru.{{sfn|Bocking|1997|p=26}}
 
Ramalan merupakan fokus dari banyak ritual Shinto,{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=18}} dengan berbagai bentuk ramalan yang digunakan oleh para praktisinya, beberapa di antaranya diperkenalkan dari Tiongkok.{{sfn|Picken|2011|p=73}} Di antara bentuk ramalan kuno yang ditemukan di Jepang adalah ''{{lang|ja-Latn|rokuboku}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|kiboku}}''.{{sfn|Cali|Dougill|2013|p=17}} Beberapa bentuk ramalan yang melibatkan [[panahan]] juga dipraktekkan dalam Shinto, yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[yabusame]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|omato-shinji}}'', dan ''{{lang|ja-Latn|mato-i}}''.{{sfnm|Picken|2011|pp=43, 73}} Kitagawa menyatakan bahwa "tidak diragukan lagi" berbagai jenis "peramal perantara" berperan dalam agama Jepang awal.{{sfn|Kitagawa|1987|p=39}} Bentuk ramalan yang sebelumnya umum di Jepang adalah ''{{lang|ja-Latn|[[bokusen]]}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|uranai}}'', yang sering menggunakan cangkang kura-kura; masih digunakan di beberapa tempat.{{sfn|Picken|2011|p=50}}
 
Salah satu bentuk ramalan yang populer di kuil Shinto adalah ''{{lang|ja-Latn|[[omikuji]]}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=138|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}} Ramalan tersebut berupa secarik kertas kecil yang diperoleh dari kuil (untuk sumbangan) dan kemudian dibaca untuk memperlihatkan prediksi masa depan.{{sfn|Bocking|1997|pp=137–138}} Mereka yang sering menerima prediksi buruk kemudian mengikat ''{{lang|ja-Latn|omikuji}}'' pada pohon atau bingkai terdekat yang disiapkan untuk tujuan tersebut. Tindakan ini dipandang sebagai penolakan prediksi, sebuah proses yang disebut ''{{lang|ja-Latn|sute-mikuji}}'', dan dengan demikian menghindari kemalangan yang diprediksinya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=139|2a1=Picken|2y=2011|2p=74}}
 
[[File:Hiromine-jinja Omikuji.jpg|thumb|left|Bingkai untuk mengikat omikuji di kuil]]
 
Penggunaan [[jimat]] secara luas disetujui dan populer di Jepang.{{sfn|Earhart|2004|p=12}} Jimat tersebut mungkin terbuat dari kertas, kayu, kain, logam, atau plastik.{{sfn|Earhart|2004|p=12}}
''{{lang|ja-Latn|[[Ofuda]]}}'' bertindak sebagai jimat untuk menghindari kemalangan serta membawa manfaat dan keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|p=135}} Mereka biasanya terdiri dari sepotong kayu yang runcing di mana nama kuil dan ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' yang diabadikannya ditulis atau dicetak. ''{{lang|ja-Latn|Ofuda}}'' kemudian dibungkus dengan kertas putih dan diikat dengan benang berwarna.{{sfn|Bocking|1997|pp=135–136}} ''{{lang|ja-Latn|Ofuda}}'' disediakan baik di kuil Shinto dan kuil Buddha.{{sfn|Bocking|1997|p=135}} Jenis jimat lain yang disediakan di kuil dan kuil adalah ''{{lang|ja-Latn|[[omamori]]}}'', yang secara tradisional merupakan tas serut kecil berwarna cerah dengan nama kuil tertulis pada tas serut tersebut.{{sfn|Bocking|1997|p=138}} ''{{lang|ja-Latn|Omamori}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|ofuda}}'' terkadang ditempatkan di dalam tas jimat yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[kinchaku]]}}'', biasanya dikenakan oleh anak-anak kecil.{{sfn|Bocking|1997|p=96}}
 
Pada tahun baru, banyak kuil menjual ''{{lang|ja-Latn|[[Hama Yumi|hamaya]]}}'' ("panah penghancur keburukan"), yang dapat dibeli dan disimpan di rumah mereka selama tahun mendatang untuk membawa keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|pp=43–44}}
''{{lang|ja-Latn|[[Daruma]]}}'' merupakan boneka kertas yang bundar dari biksu India, [[Bodhidharma]]. Penerima membuat keinginan dan melukis satu mata; ketika tujuan tercapai, penerima melukis mata yang lain. Meskipun ini adalah praktik Buddhis, daruma juga dapat ditemukan di kuil. Boneka ini sangat umum.<ref name="ReferenceA">{{cite book |title= Handy Bilingual Reference For Kami and Jinja |work= Study Group of Shinto Culture |year=2006 |publisher=International Cultural Workshop Inc. |location=Tokyo |pages=39–41}}</ref>
Benda pelindung lainnya termasuk: ''{{lang|ja-Latn|dorei}}'', yaitu lonceng gerabah yang digunakan untuk meminta keberuntungan. Lonceng ini biasanya berbentuk binatang zodiak.<ref name="ReferenceA" /> ''{{lang|ja-Latn|Inuhariko}}'' adalah anjing kertas yang digunakan untuk membujuk dan memberkati kelahiran yang baik.<ref name="ReferenceA" /> Secara kolektif, jimat ini yang digunakan untuk memanipulasi peristiwa dan mempengaruhi roh, serta mantra dan ritus terkait untuk tujuan yang sama, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|majinai}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=114–15}}
 
=== ''Kagura'' ===
[[File:Ymananashi-oka shrine Daidai Kagura A.JPG|thumb|right|Tarian tradisional ''{{lang|ja-Latn|kagura}}'' dilakukan di kuil Yamanashi-oka]]
''{{lang|ja-Latn|[[Kagura]]}}'' menggambarkan musik dan tarian yang ditunjukkan untuk ''{{lang|ja-Latn|kami}}'';{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} istilah ini mungkin berasal dari ''{{lang|ja-Latn|kami no kura}}'' ("kursi dari {{lang|ja-Latn|kami}}").{{sfn|Kobayashi|1981|p=3}} Sepanjang sejarah Jepang, tarian ini memainkan peran budaya yang penting dan dalam Shinto dianggap memiliki kapasitas untuk menenangkan ''{{lang|ja-Latn|kami}}''.{{sfn|Kitagawa|1987|p=23}} Terdapat cerita [[mitologi]] mengenai bagaimana tari {{lang|ja-Latn|kagura}} muncul. Menurut ''Kojiki'' dan ''Nihon Shoki'', [[Ama-no-Uzume|Ame-no-Uzume]] menampilkan tarian untuk membujuk Amaterasu keluar dari gua tempat ia menyembunyikan dirinya.{{sfnm|1a1=Kitagawa|1y=1987|1p=23|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81|3a1=Picken|3y=2011|3p=68}}
 
Ada dua jenis yang luas dari Kagura.{{sfn|Bocking|1997|p=81}} Salah satunya adalah Kagura Kekaisaran, juga dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}''. Gaya ini dikembangkan di istana kekaisaran dan masih dilakukan di [[Tiga Tempat Suci Istana|tanah kekaisaran]] setiap bulan Desember.{{sfn|Bocking|1997|pp=81–82}} Gaya ini juga dilakukan pada festival panen Kekaisaran dan di kuil-kuil besar seperti Ise, [[Kuil Kamo|Kamo]], dan [[Kuil Iwashimizu|Iwashimizu Hachiman-gū]]. Gaya ini dilakukan oleh penyanyi dan musisi menggunakan genta kayu ''{{lang|ja-Latn|[[shakubyoshi]]}}'', ''{{lang|ja-Latn|[[hichiriki]]}}'', seruling ''{{lang|ja-Latn|kagura-bue}}'', dan sitar berdawai enam.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Jenis utama lainnya adalah ''{{lang|ja-Latn|sato-kagura}}'', diturunkan dari ''{{lang|ja-Latn|mikagura}}'' dan ditampilkan di kuil-kuil di seluruh Jepang. Tergantung pada gayanya, tarian ini dilakukan oleh {{lang|ja-Latn|miko}} atau aktor yang mengenakan topeng untuk menggambarkan berbagai tokoh mitologis.{{sfn|Bocking|1997|pp=82, 155}} Para aktor ini diiringi oleh band ''{{lang|ja-Latn|hayashi}}'' menggunakan seruling dan drum.{{sfn|Bocking|1997|p=82}} Ada juga jenis kagura regional lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=82}}
 
Musik memainkan peran yang sangat penting dalam pertunjukan {{lang|ja-Latn|kagura}}. Mulai dari pengaturan instrumen hingga suara yang paling halus dan aransemen musik sangat penting untuk mendorong ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' untuk turun dan menari. Lagu-lagu tersebut digunakan sebagai perangkat ajaib untuk memanggil ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dan sebagai doa memohon berkah. Umumnya menggunakan pola ritme lima dan tujuh, yang mungkin berkaitan dengan kepercayaan Shinto dari dua belas generasi dewa surgawi dan duniawi. Terdapat pula iringan vokal yang disebut ''{{lang|ja-Latn|kami uta}}'' ketika penabuh drum menyanyikan lagu-lagu sakral kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}''. sering kali iringan vokal mengalahkan tabuhan drum dan instrumen, memperkuat bahwa aspek vokal dari musik lebih untuk [[mantera]] daripada [[estetika]].<ref>[[Averbuch]], [[Irit]], ''The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura'', Ithaca, NY: East Asia Program, Cornell University, 1995, pp. 83–87.</ref>
 
=== Festival ===
[[File:Aoi Matsuri.jpg|thumb|right|Partisipan dalam prosesi untuk ''Aoi Matsuri'' di Kyoto]]
Festival umum biasanya disebut ''{{lang|ja-Latn|[[matsuri]]}}'',{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=81|2a1=Boyd|2a2=Williams|2y=2005|2p=36|3a1=Picken|3y=2011|3p=9}} meskipun istilah ini memiliki arti yang beragam—"festival", "pemujaan", "perayaan", "upacara adat", atau "pemanjatan doa"—dan tidak ada terjemahan langsung ke dalam bahasa Inggris.{{sfn|Bocking|1997|p=117}} Picken memberi kesan bahwa festival itu adalah "tindakan utama pemujaan Shinto" karena Shinto adalah agama "berbasis komunitas dan keluarga".{{sfn|Picken|1994|p=xxvi}} Sebagian besar menandai tahun panen dan melibatkan persembahan yang ditujukan kepada {{lang|ja-Latn|kami}} sebagai rasa syukur.{{sfn|Bocking|1997|pp=117–118}} Menurut [[kalender lunar]] tradisional, kuil Shinto harus mengadakan perayaan festival pada {{lang|ja-Latn|hare-no-hi}} atau hari yang "cerah", hari dari bulan baru, setengah, dan purnama.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Hari-hari lain, yang dikenal sebagai {{lang|ja-Latn|ke-no-hi}}, umumnya dihindari untuk perayaan.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Namun, sejak akhir abad ke-20, banyak kuil mengadakan perayaan festival pada hari Sabtu atau Minggu terdekat dengan tanggal tersebut sehingga lebih sedikit orang yang akan bekerja dan dapat hadir.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=224|2a1=Earhart|2y=2004|2p=222}} Setiap kota atau desa sering memiliki festivalnya sendiri, yang berpusat di kuil lokal.{{sfn|Littleton|2002|p=81}} Misalnya, festival ''[[Aoi Matsuri]]'', diadakan pada tanggal 15 Mei untuk berdoa agar panen gandum berlimpah, berlangsung pada kuil-kuil di [[Kyoto]],{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=6|2a1=Picken|2y=2011|2p=42}} sementara ''[[Chichibu Yo-Matsuri]]'' berlangsung pada tanggal 2-3 Desember di [[Chichibu, Saitama|Chichibu]].{{sfn|Picken|2011|p=59}}
 
Festival musim semi disebut ''{{lang|ja-Latn|haru-matsuri}}'' dan sering kali menyertakan doa untuk panen yang baik.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival tersebut terkadang melibatkan upacara ''{{lang|ja-Latn|ta-asobi}}'', dengan menanam padi secara ritual.{{sfn|Bocking|1997|p=46}} Festival musim panas disebut ''{{lang|ja-Latn|natsu-matsuri}}'' dan biasanya difokuskan untuk melindungi tanaman dari hama dan ancaman lainnya.{{sfn|Bocking|1997|p=132}} Festival musim gugur dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|aki-matsuri}}'' dan terutama berfokus pada ucapan terima kasih kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' atas beras atau panen lainnya.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=2|2a1=Picken|2y=2011|2p=35}} ''{{lang|ja-Latn|[[Niiname-sai]]}}'', atau festival beras baru, diadakan di banyak kuil Shinto pada 23 November.{{sfn|Nelson|1996|p=170}} Kaisar juga mengadakan upacara untuk menandai festival ini, dengan mempersembahkan buah pertama dari panen kepada ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' pada tengah malam.{{sfn|Offner|1979|p=205}} Festival musim dingin, yang disebut ''{{lang|ja-Latn|fuyu no matsuri}}'' sering kali menampilkan penyambutan di musim semi, mengusir kejahatan, dan mengundang pengaruh baik untuk masa depan.{{sfn|Bocking|1997|p=32}} Ada sedikit perbedaan antara festival musim dingin dan festival tahun baru tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=32}}
 
[[File:Tomioka hachimangu10.jpg|thumb|left|Prosesi ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' sebagai bagian dari festival [[Fukagawa Matsuri]] di Tokyo]]
 
[[Tahun Baru Jepang|Tahun baru]] disebut ''{{lang|ja-Latn|shogatsu}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=182|2a1=Littleton|2y=2002|2p=80}} Pada hari terakhir dalam setahun (31 Desember), ''{{lang|ja-Latn|omisoka}}'', praktisi biasanya membersihkan kuil rumah tangga mereka untuk persiapan Tahun Baru (1 Januari), ''{{lang|ja-Latn|ganjitsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=139}} Banyak orang mengunjungi kuil umum untuk merayakan tahun baru;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=199|3a1=Littleton|3y=2002|3p=80|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=3}} "kunjungan pertama" pada tahun itu dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|hatsumōde}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|hatsumairi}}''.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=47|2a1=Breen|2a2=Teeuwen|2y=2010|2p=3}} Di sana, mereka membeli jimat dan talisman untuk memberikan keberuntungan di tahun mendatang.{{sfn|Nelson|1996|p=208}} Untuk merayakan festival ini, banyak orang Jepang memasang tali yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[shimenawa]]}}'' di rumah dan tempat usaha mereka.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=163}} Beberapa juga memasang ''{{lang|ja-Latn|[[kadomatsu]]}}'' ("pinus gerbang"), yang tersusun dari ranting pinus, pohon plum, dan batang bambu.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=206|2a1=Bocking|2y=1997|2p=81}} Terdapat pula ''{{lang|ja-Latn|kazari}}'', yang lebih kecil dan lebih berwarna; tujuannya adalah untuk menjauhkan kemalangan dan menarik keberuntungan.{{sfn|Bocking|1997|p=93}} Di banyak tempat, perayaan tahun baru menggabungkan ''{{lang|ja-Latn|[[hadaka matsuri]]}}'' ("festival telanjang") dengan pria yang hanya mengenakan kain pinggang {{lang|ja-Latn|[[fundoshi]]}} terlibat dalam aktivitas tertentu, seperti memperebutkan benda tertentu atau membenamkan diri di sungai.{{sfn|Bocking|1997|p=41}}
 
Aspek umum dari festival adalah prosesi atau parade yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|gyōretsu}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=39–40}} Parade tersebut bisa saja riuh, dengan banyak peserta mabuk;{{sfnm|1a1=Offner|1y=1979|1p=205|2a1=Nelson|2y=1996|2p=133}} Breen dan Teeuwen mencirikan mereka sebagai memiliki "suasana karnaval".{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}} Mereka sering dipahami memiliki efek regeneratif baik bagi peserta maupun komunitas.{{sfn|Nelson|1996|p=134}} Selama prosesi ini, ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' melakukan perjalanan pada kuil yang diangkut yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|[[mikoshi]]}}''.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=140|2a1=Bocking|2y=1997|2p=122|3a1=Littleton|3y=2002|3p=82|4a1=Breen|4a2=Teeuwen|4y=2010|4p=4}} Dalam berbagai kasus ''{{lang|ja-Latn|mikoshi}}'' mengalami ''{{lang|ja-Latn|hamaori}}'' ("turun ke pantai"), suatu proses dengan membawanya ke pantai dan terkadang ke laut, baik dengan kapal pengangkut atau perahu.{{sfn|Bocking|1997|p=43}} Misalnya, dalam festival Okunchi yang diadakan di kota barat daya [[Nagasaki]], ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' dari [[Kuil Suwa (Nagasaki)|Kuil Suwa]] diarak ke Ohato, dengan mereka ditempatkan di sebuah kuil di sana selama beberapa hari sebelum diarak kembali ke Suwa.{{sfn|Nelson|1996|pp=152–154}} Sering kali perayaan-perayaan semacam ini sebagian besar diorganisir oleh anggota komunitas lokal daripada oleh para pendeta itu sendiri.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=4}}
 
=== Ritus peralihan ===
Pengakuan formal dari suatu peristiwa sangat penting dalam budaya Jepang.{{sfn|Nelson|1996|p=34}} Sebuah ritual umum, ''{{lang|ja-Latn|hatsumiyamairi}}'', mengharuskan kunjungan pertama seorang anak ke kuil Shinto.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1p=161|2a1=Bocking|2y=1997|2p=47|3a1=Breen|3a2=Teeuwen|3y=2010|3p=3}} Sebuah tradisi menyatakan bahwa, jika anak laki-laki maka harus dibawa ke kuil pada hari ketiga puluh dua setelah kelahiran, dan jika anak perempuan maka harus dibawa pada hari ketiga puluh tiga.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Secara historis, seorang anak biasanya dibawa ke kuil bukan oleh ibu, yang dianggap tidak suci setelah lahir, tetapi oleh kerabat perempuan lain; sejak akhir abad ke-20 sudah lebih umum bagi ibu untuk melakukannya.{{sfn|Bocking|1997|p=47}} Ritus penerimaan lainnya, ''{{lang|ja-Latn|saiten-sai}}'' atau ''{{lang|ja-Latn|seijin shiki}}'', merupakan ritual datangnya usia yang menandai transisi menuju dewasa dan terjadi ketika seorang individu berusia sekitar dua puluh tahun.{{sfnm|1a1=Nelson|1y=1996|1pp=212–213|2a1=Bocking|2y=1997|2p=156}} Upacara pernikahan sering dilakukan di kuil Shinto.{{sfn|Earhart|2004|p=15}} Pernikahan tersebut disebut ''{{lang|ja-Latn|shinzen kekkon}}'' ("pernikahan sebelum ''{{lang|ja-Latn|kami}}''") dan dipopulerkan pada Zaman Meiji; sebelum ini, pernikahan biasanya dilakukan di rumah.{{sfn|Bocking|1997|pp=178-179}}
 
Di Jepang, pemakaman cenderung berlangsung di kuil Buddha dan melibatkan kremasi,{{sfnm|1a1=Littleton|1y=2002|1p=92|2a1=Earhart|2y=2004|2p=15}} dengan pemakaman Shinto menjadi langka.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Bocking mencatat bahwa kebanyakan orang Jepang "masih 'terlahir Shinto' namun 'meninggal secara Buddhis'."{{sfn|Bocking|1997|p=ix}} Dalam pemikiran Shinto, kontak dengan kematian dipandang sebagai menanamkan ketidaksucian (''{{lang|ja-Latn|kegare}}''); periode setelah persinggungan ini dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kibuku}}'' dan dikaitkan dengan berbagai tabu.{{sfn|Bocking|1997|p=95}} Dalam kasus ketika manusia mati diabadikan sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami}}'', sisa-sisa fisik jenazah tersebut tidak disimpan di kuil.{{sfn|Picken|2011|p=19}} Meskipun tidak umum, terdapat contoh pemakaman yang dilakukan melalui ritus Shinto. Contoh paling awal diketahui dari pertengahan abad ke-17; pemakaman tersebut terjadi di daerah-daerah tertentu di Jepang dan mendapat dukungan dari pemerintah setempat.{{sfn|Kenney|2000|p=241}}
Setelah Restorasi Meiji, pada tahun 1868 pemerintah secara khusus mengakui pemakaman Shinto bagi para pendeta Shinto.{{sfnm|1a1=Bocking|1y=1997|1p=187|2a1=Kenney|2y=2000|2p=240}} Lima tahun kemudian, hal tersebut diperluas untuk mencakup seluruh penduduk Jepang.{{sfn|Kenney|2000|pp=240–241}} Meskipun Meiji mempromosikan pemakaman Shinto, mayoritas penduduk tetap menjalankan upacara pemakaman Buddhis.{{sfn|Kenney|2000|p=241}} Dalam beberapa dekade terakhir, pemakaman Shinto biasanya disediakan untuk pendeta Shinto dan untuk anggota sekte Shinto tertentu.{{sfn|Bocking|1997|p=188}} Setelah [[kremasi]], proses pemakaman normal di Jepang, abu seorang pendeta boleh dikebumikan di dekat kuil, tetapi tidak di dalam kawasannya.{{sfn|Picken|2011|p=71}}
 
Penghormatan leluhur tetap menjadi bagian penting dari kebiasaan agama Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=39}} Permohonan bagi jenazah, dan terutama korban perang, dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|shо̄kon}}''.{{sfn|Bocking|1997|p=182}} Berbagai ritus merujuk hal tersebut. Misalnya, pada festival [[Bon Festival|Bon]] yang sebagian besar beragama Buddha, arwah para leluhur diyakini mengunjungi yang hidup, dan kemudian diusir dalam sebuah ritual yang disebut ''{{lang|ja-Latn|shо̄rо̄ nagashi}}'', dengan memasukkan lentera ke dalam perahu kecil, sering dibuat dari kertas, dan ditempatkan di sungai untuk mengapung hingga ke hilir.{{sfn|Bocking|1997|p=183}}
 
=== Perantara roh dan penyembuhan ===
[[File:Inako 2006-10-09.jpg|thumb|right|''{{lang|ja-Latn|Itako}}'' pada festival musim gugur Inako Taisai di [[Gunung Osore]], Prefektur Aomori, Jepang]]
Praktisi Shinto percaya bahwa ''kami'' dapat merasuki manusia dan kemudian berbicara melalui mereka, sebuah proses yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|kami-gakari}}''.{{sfn|Bocking|1997|pp=85–86}} Beberapa gerakan agama baru yang menggunakan Shinto, seperti [[Tenrikyo]] dan [[Oomoto]], didirikan oleh individu-individu yang mengaku dibimbing oleh ''kami'' yang merasukinya.{{sfn|Bocking|1997|p=86}} ''{{lang|ja-Latn|Takusen}}'' merupakan [[orakel]] yang diturunkan dari ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' melalui perantara.{{sfn|Bocking|1997|p=197}}
 
''{{lang|ja-Latn|[[Itako]]}}'' dan ''{{lang|ja-Latn|ichiko}}'' merupakan wanita tunanetra yang dilatih untuk menjadi [[perantara|perantara spiritual]], secara tradisional di wilayah [[Tohoku]] utara Jepang.{{sfn|Bocking|1997|p=63}} Pelatihan ''{{lang|ja-Latn|Itako}}'' di bawah ''{{lang|ja-Latn|itako}}'' lain sejak dini, menghafal teks-teks suci dan doa-doa, puasa, dan melakukan tindakan asketisme yang berat, yang melaluinya diyakini dapat menumbuhkan kekuatan gaib.{{sfn|Bocking|1997|p=63}} Dalam upacara inisiasi, ''kami'' diyakini merasuki wanita muda tersebut, dan keduanya kemudian secara ritual "menikah". Setelah itu, ''kami'' menjadi roh penjaganya dan dia akan dapat memanggilnya, dan berbagai roh lainnya, di masa depan. Dengan menghubungi roh-roh ini, dia dapat menyampaikan pesan mereka kepada orang yang hidup.{{sfn|Bocking|1997|p=63}} ''{{lang|ja-Latn|Itako}}'' biasanya melaksanakan ritual mereka terlepas dari sistem kuil.{{sfn|Bocking|1997|pp=63–64}} Budaya Jepang juga mencakup penyembuh spiritual yang dikenal sebagai ''{{lang|ja-Latn|ogamiya-san}}'' yang pekerjaannya melibatkan pemanggilan ''kami'' dan ''Buddha''.{{sfn|Bocking|1997|p=136}}
 
== Demografi ==
[[File:Japan 310316 Tsurugaoka Hachiman-gu 03.jpg|thumb|right|Patung rubah yang menjaga kuil Inari di Tsurugaoka Hachiman-gū di Kamakura]]
Kebanyakan orang Jepang berpartisipasi dalam beberapa tradisi keagamaan,{{sfn|Earhart|2004|pp=4, 214}} dengan Breen dan Teeuwen mencatat, "dengan sedikit pengecualian", tidak mungkin membedakan antara penganut Shinto dan Buddha di Jepang.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=2}} Pengecualian utama adalah anggota kelompok agama minoritas, termasuk Kristen, yang mempromosikan pandangan dunia eksklusif.{{sfn|Earhart|2004|p=215}} Menentukan proporsi penduduk negara yang melakukan aktivitas Shinto terhalang oleh fakta bahwa, jika ditanya, orang Jepang akan sering mengatakan "Saya tidak beragama".{{sfn|Earhart|2004|p=215}} Banyak orang Jepang menghindari istilah "agama", sebagian karena mereka tidak menyukai konotasi kata yang paling cocok dengannya dalam bahasa Jepang,{{lang|ja-Latn|shūkyō}}. Istilah agama berasal dari {{lang|ja-Latn|shū}} ("sekte") dan {{lang|ja-Latn|kyō}} ("doktrin").{{sfn|Nelson|1996|p=8}}
 
Statistik resmi menunjukkan Shinto sebagai agama terbesar di Jepang, dengan lebih dari 80 persen penduduk negara itu diidentifikasi terlibat dalam kegiatan Shinto.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}}<ref name=":0">{{cite web|url = http://www.stat.go.jp/data/nenkan/back64/zuhyou/y2322a00.xls|title = 宗教団体数,教師数及び信者数|date = 2015|access-date = August 25, 2015|website = Statistical Yearbook of Japan|publisher = Statistics Japan, [[Ministry of Internal Affairs and Communications]]}}</ref> Sebaliknya, dalam kuesioner hanya sebagian kecil orang Jepang yang menggambarkan diri mereka sebagai "penganut Shinto".{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} Hal tersebut menunjukkan bahwa jumlah orang yang terlibat dalam kegiatan Shinto jauh lebih banyak daripada yang menyebut Shinto sebagai identitas agama mereka.{{sfn|Breen|Teeuwen|2010|p=1}} Tidak ada ritual formal untuk menjadi praktisi "shinto rakyat". Jadi, "keanggotaan Shinto" sering diperkirakan hanya menghitung mereka yang bergabung dengan sekte Shinto yang terorganisir.{{sfn|Williams|Bhar|Marty|2004|pp=4–5}} Shinto memiliki sekitar 81.000 kuil dan sekitar 85.000 pendeta di negara itu.<ref name=":0" /> Menurut survei yang dilakukan pada tahun 2006<ref name="Dentsu2006">Dentsu Communication Institute, Japan Research Center: ''[http://www2.ttcn.ne.jp/honkawa/9460.html Sixty Countries' Values Databook]'' (世界60カ国価値観データブック).</ref> dan 2008,<ref name="NHK2008">{{cite web|url= http://www.nhk.or.jp/bunken/summary/research/report/2009_05/090505.pdf |title=2008 NHK survey of religion in Japan — 宗教的なもの にひかれる日本人〜ISSP国際比較調査(宗教)から〜|publisher=NHK Culture Research Institute}}</ref> kurang dari 40% penduduk Jepang mengidentifikasi diri dengan agama yang terorganisir: sekitar 35% adalah [[Buddhisme|Buddhis]], 30% hingga 40% adalah anggota [[Sekte dan sekolah Shinto|sekte Shinto dan agama turunannya]]. Pada tahun 2008, 26% dari partisipan melaporkan sering mengunjungi kuil Shinto, sementara hanya 16,2% yang menyatakan percaya akan adanya ''{{lang|ja-Latn|kami}}'' secara umum.<ref name="NHK2008" />
 
=== Luar Jepang ===
[[File:Guji Francesco Brigante.jpg|thumb|right|Ritual Shinto yang dilakukan di jinja di [[San Marino]], Eropa Barat]]
Shinto ditemukan terutama di Jepang, meskipun pada [[Imperium kolonial Jepang|periode kekaisaran]] ajaran tersebut diperkenalkan ke berbagai koloni Jepang dan saat ini juga dipraktikkan oleh anggota diaspora Jepang.{{sfn|Earhart|2004|p=31}} Jinja di luar Jepang disebut ''{{lang|ja-Latn|kaigai jinja}}'' ("kuil luar negeri"), istilah yang diciptakan oleh Ogasawara Shōzō.{{sfn|Suga|2010|p=48}} Kuil tersebut didirikan baik di wilayah yang ditaklukkan oleh Jepang maupun daerah di mana migran Jepang menetap.{{sfn|Suga|2010|p=48}} Ketika Kekaisaran Jepang runtuh pada tahun 1940-an, terdapat lebih dari 600 kuil umum, dan lebih dari 1.000 kuil kecil, di dalam wilayah taklukan Jepang. Banyak dari kuil-kuil tersebut kemudian dibubarkan.{{sfn|Suga|2010|p=48}} Shinto telah menarik minat di luar Jepang, sebagian karena kurangnya fokus doktrinal dari agama-agama besar yang ditemukan di belahan dunia yang lain.{{sfn|Picken|2011|p=xiv}} Shinto diperkenalkan di Amerika Serikat sebagian besar oleh [[Eropa Amerika]] yang tertarik daripada migran Jepang.{{sfn|Picken|2011|p=xiv}} Migran Jepang mendirikan beberapa kuil di Brasil.{{sfn|Suga|2010|pp=59–60}}
 
== Lihat pula ==
{{Portal|Jepang|Agama|Filosofi}}
* [[Dōsojin]]
* [[Yorishiro]]
* [[Kodama]]
* [[Agama Ryukyu]]
* [[Shide (Shinto)]]
* [[Arsitektur kuil Shinto]]
 
== Referensi ==
=== Catatan kaki ===
* http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/
{{Reflist|20em}}
* http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/150.htm
 
* http://hmikomlah.blogspot.com/2011/05/sejarah-ajaran-agama-shinto.html
=== Sumber ===
{{Refbegin|30em|indent=yes}}
* {{cite book |last=Bocking |first=Brian |title=A Popular Dictionary of Shinto |location=Richmond |publisher=Curzon |year=1997 |isbn=978-0-7007-1051-5 |ref={{sfnref|Bocking|1997}}}}
* {{cite journal |last1=Boyd |first1=James W. |last2=Williams |first2=Ron G. |title=Japanese Shinto: An Interpretation of a Priestly Perspective |journal=Philosophy East and West |year=2005 |volume=55 |issue=1 |pages=33–63 |doi=10.1353/pew.2004.0039 |s2cid=144550475 |ref={{sfnref|Boyd|Williams|2005}}}}
* {{cite journal |last1=Boyd |first1=James W. |last2=Nishimura |first2=Tetsuya |year=2016 |title=Shinto Perspectives in Miyazaki's Anime Film ''Spirited Away'' |journal=Journal of Religion and Film |volume=8 |issue=33 |url=https://digitalcommons.unomaha.edu/jrf/vol8/iss3/4 |pages=1–14 |ref={{sfnref|Boyd|Nishimura|2016}}}}
* {{cite journal |last=Breen |first=John |year=2010 |title='Conventional Wisdom' and the Politics of Shinto in Postwar Japan |journal= Politics and Religion Journal |volume=4 |issue=1 |pages=68–82|doi=10.54561/prj0401068b|doi-access=free |ref={{sfnref|Breen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Breen |first1=John |last2=Teeuwen |first2=Mark |title=A New History of Shinto |url=https://archive.org/details/newhistoryofshin0000bree |location=Chichester |publisher=Wiley-Blackwell |year=2010 |isbn=978-1-4051-5515-1 |ref={{sfnref|Breen|Teeuwen|2010}}}}
* {{cite book |last1=Cali |first1=Joseph |last2=Dougill |first2=John |title=Shinto Shrines: A Guide to the Sacred Sites of Japan's Ancient Religion |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |year=2013 |isbn=978-0-8248-3713-6 |ref={{sfnref|Cali|Dougill|2013}}}}
* {{cite journal |last=Doerner |first=David L. |title=Comparative Analysis of Life after Death in Folk Shinto and Christianity |year=1977 |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=4 |issue=2 |pages=151–182 |doi=10.18874/jjrs.4.2-3.1977.151-182 |doi-access=free |ref={{sfnref|Doerner|1977}}}}
* {{cite book |last=Earhart |first=H. Byron |year=2004 |title=Japanese Religion: Unity and Diversity |edition=keempat |location=Belmont, CA |publisher=Wadsworth |isbn=978-0-534-17694-5 |ref={{sfnref|Earhart|2004}}}}
* {{cite book |last=Hardacre |first=Helen |title=Shinto: A History |url=https://archive.org/details/shintohistory0000hard |location=Oxford |publisher=Oxford University Press |year=2017 |isbn=978-0-19-062171-1 |ref={{sfnref|Hardacre|2017}}}}
* {{cite journal |jstor=30233666 |title=Shinto Funerals in the Edo Period |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=27 |issue=3/4 |pages=239–271 |last=Kenney |first=Elizabeth |year=2000 |ref={{sfnref|Kenney|2000}}}}
* {{cite book |last=Kitagawa |first=Joseph M. |author-link=Joseph Kitagawa |title=On Understanding Japanese Religion |year=1987 |publisher=Princeton University Press |location=Princeton, New Jersey |isbn=978-0-691-10229-0 |url-access=registration |url=https://archive.org/details/onunderstandingj0000kita |ref={{sfnref|Kitagawa|1987}}}}
* {{cite journal |last=Kobayashi |first=Kazushige |title=On the Meaning of Masked Dances in Kagura |translator=Peter Knecht |journal=Asian Folklore Studies |volume=40 |issue=1 |year=1981 |pages=1–22 |doi=10.2307/1178138 |jstor=1178138 |ref={{sfnref|Kobayashi|1981}}}}
* {{cite journal |title=Shinto in the History of Japanese Religion |last=Kuroda |first=Toshio |translator=James C. Dobbins and Suzanne Gay |journal=Journal of Japanese Studies |volume=7 |number=1 |year=1981 |pages=1–21 |doi=10.2307/132163 |jstor=132163 |ref={{sfnref|Kuroda|1981}}}}
* {{cite book |last=Inoue |first=Nobutaka |title=Shinto: A Short History |year=2003 |editor=Nobutaka Inoue |translator=Mark Teeuwan and John Breen |publisher=Routledge |location=London and New York |pages=1–10 |isbn=978-0-415-31913-3 |ref={{sfnref|Inoue|2003}}}}
* {{cite book |title=Shinto: Origins, Rituals, Festivals, Spirits, Sacred Places |publisher=Oxford University Press |location=Oxford, NY |first=C. Scott |last=Littleton| author-link=C. Scott Littleton |year=2002 |isbn=978-0-19-521886-2 |oclc=49664424 |ref={{sfnref|Littleton|2002}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=A Year in the Life of a Shinto Shrine |url=https://archive.org/details/yearinlifeofs00nels |url-access=registration |location=Seattle and London |publisher=University of Washington Press |year=1996 |isbn=978-0-295-97500-9 |ref={{sfnref|Nelson|1996}}}}
* {{cite book |last=Nelson |first=John K. |title=Enduring Identities: The Guise of Shinto in Contemporary Japan |url=https://archive.org/details/enduringidentiti0000nels |year=2000 |location=Honolulu |publisher=University of Hawai'i Press |isbn=978-0-8248-2259-0 |ref={{sfnref|Nelson|2000}}}}
* {{cite book |last=Offner |first=Clark B. |title=The World's Religions |edition=keempat |year=1979 |pages=191–218 |editor=Norman Anderson |location=Leicester |publisher=Inter-Varsity Press |ref={{sfnref|Offner|1979}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Essentials of Shinto: An Analytical Guide to Principal Teachings |year=1994 |publisher=Greenwood |location=Westport and London |isbn=978-0-313-26431-3 |ref={{sfnref|Picken|1994}}}}
* {{cite book |last=Picken |first=Stuart D. B. |author-link=Stuart D. B. Picken |title=Historical Dictionary of Shinto |url=https://archive.org/details/historicaldictio0000pick_e6n3 |edition=kedua |location=Lanham |publisher=Scarecrow Press |year=2011 |isbn=978-0-8108-7172-4 |ref={{sfnref|Picken|2011}}}}
* {{cite journal |last=Rots |first=Aike P. |year=2015 |title=Sacred Forests, Sacred Nation: The Shinto Environmentalist Paradigm and the Rediscovery of Chinju no Mori |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=42 |issue=2 |pages=205–233 |doi=10.18874/jjrs.42.2.2015.205-233 |doi-access=free |ref={{sfnref|Rots|2015}}}}
* {{cite book |last=Smart |first=Ninian |title=The World's Religions |url=https://archive.org/details/worldsreligions00smar_0 |url-access=registration |edition=kedua |year=1998 |location=Cambridge |publisher=Cambridge University Press |isbn=978-0-521-63748-0 |ref={{sfnref|Smart|1998}}}}
* {{cite journal |last=Suga |first=Kōji |title=A Concept of "Overseas Shinto Shrines": A Pantheistic Attempt by Ogasawara Shōzō and Its Limitations |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=37 |issue=1 |year=2010 |pages=47–74 |ref={{sfnref|Suga|2010}}}}
* {{cite journal |first=Mark |last=Teeuwen |title=From Jindō to Shintō. A Concept Takes Shape |journal=Japanese Journal of Religious Studies |year=2002 |volume=29 |issue=3–4 |pages=233–263 |ref={{sfnref|Teeuwen|2002}}}}
* {{cite journal |last=Ueda |first=Kenji |title=Contemporary Social Change and Shinto Tradition |journal=Japanese Journal of Religious Studies |volume=6 |issue=1–2 |year=1979
|pages=303–327 |doi=10.18874/jjrs.6.1-2.1979.303-327 |doi-access=free |ref={{sfnref|Ueda|1979}}}}
* {{cite book|last1=Williams|first1=George|last2=Bhar|first2=Ann Marie B.|last3=Marty|first3=Martin E.|authorlink3=Martin E. Marty|title=Shinto (Religions of the World)|date=2004|publisher=Chelsea House|isbn=978-0791080979 |ref={{sfnref|Williams|Bhar|Marty|2004}}}}
{{refend}}
 
== Bacaan lanjutan ==
{{refbegin|30em}}
* {{cite book |title=The Gods Come Dancing: A Study of the Japanese Ritual Dance of Yamabushi Kagura |url=https://archive.org/details/godscomedancings0000aver |publisher=East Asia Program, Cornell University |location=Ithaca, NY |first=Irit |last=Averbuch |year=1995 |isbn=978-1-885445-67-4 |oclc=34612865}}
* {{cite journal |title=Shamanic Dance in Japan: The Choreography of Possession in Kagura Performance |journal=Asian Folklore Studies |first=Irit |last=Averbuch |year=1998 |volume=57 |issue=2 | pages = 293–329 |doi=10.2307/1178756 |jstor=1178756 }}
* {{cite web |url=http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html |title=Shinto and the Sacred Dimension of Nature |work=Shinto.org |first=Dr. Carmen |last=Blacker |year=2003 |accessdate=2008-01-21 |archiveurl = https://web.archive.org/web/20071222193053/http://www.shinto.org/isri/eng/dr.carmen-e.html <!-- Bot retrieved archive --> |archivedate = 2007-12-22}}
* {{cite book |title=The Cambridge Illustrated History of Religions |url=https://archive.org/details/cambridgeillustr00john |publisher=Cambridge University Press |location=New York City |first=John W |last=Bowker | authorlink = John Bowker (theologian) |year=2002 |isbn=978-0-521-81037-1 |oclc=47297614}}
* {{cite book|last1=Breen|first1=John|authorlink1=John Breen (scholar)|authorlink2=Mark Teeuwen|last2=Teeuwen|first2=Mark|title=A New History of Shinto|date=2010|publisher=Blackwell|isbn=978-1405155168}}
* {{cite book |title=Shintō in History: Ways of the Kami |publisher=Hawaii University Press |location=Honolulu |editors=Breen, John and Mark Teeuwen |year=2000 |isbn= 978-0-8248-2362-7 }}
* {{cite journal |title=On the Dramatic Tradition in Kagura: A Study of the Medieval Kehi Songs as Recorded in the Jotokubon |journal=Asian Folklore Studies |first=Gerhild |last=Endress |year=1979 |volume=38 |issue=1 | pages = 1–23 |doi=10.2307/1177463 |jstor=1177463 }}
* {{cite book|last1=Engler|first1=Steven|authorlink1=Steven Engler |last2=Grieve|first2=Gregory P.|title=Historicizing "Tradition" in the Study of Religion|url=https://archive.org/details/historicizingtra0000unse|date=2005|publisher=Walter de Gruyter, Inc.|isbn=978-3110188752|pages=[https://archive.org/details/historicizingtra0000unse/page/92 92]–108}}
* {{Cite book|title=Shinto: A History |last=Hardacare |first=Helen |isbn=978-0190621711 |year=2016 |publisher=[[Oxford University Press]]}}, 729pp; a major scholarly history; [https://nichibun.repo.nii.ac.jp/?action=repository_action_common_download&item_id=7244&item_no=1&attribute_id=18&file_no=1 online review 2019]
* {{cite book |title=Nanzan Guide to Japanese Religions |url=https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse |chapter=Shinto |first=Norman |last=Havens |editor=Paul L. Swanson & Clark Chilson, (eds.) |year=2006 |pages=[https://archive.org/details/nanzanguidetojap0000unse/page/14 14]–37 |publisher=University of Hawaii Press |location=Honolulu|isbn=978-0-8248-3002-1 |oclc=60743247}}
* {{cite book |title=Shinto The Fountainhead of Japan |url=https://archive.org/details/shintoatfountain0000jean |publisher=Stein and Day |location=New York |year=1967 |last=Herbert |first=Jean | authorlink=Jean Herbert}}
* Inoue, Nobutaka et al. ''Shinto, a Short History'' (London: Routledge Curzon, 2003) [https://www.questia.com/library/104550913/shinto-a-short-history online]
* {{cite book |title= The Invention of Religion in Japan |publisher= University of Chicago Press |location=Chicago|first= Jason Ānanda |last= Josephson |year=2012 |isbn= 978-0226412344 |oclc= 774867768}}
* {{cite book |title=Myth and Deity in Japan: The Interplay of Kami and Buddhas |publisher=Japan Publishing Industry Foundation for Culture |location=Tokyo|first=Tōji |last=Kamata |year=2017 |isbn=978-4-916055-84-2}}
* {{cite book|last=Kitagawa|first=Joseph Mitsuo|authorlink=Joseph Kitagawa|title=On Understanding Japanese Religion|url=https://archive.org/details/onunderstandingj0000kita|date=1987|publisher=Princeton University Press|isbn=978-0691102290}}
* {{cite journal |title=On the Meaning of Masked Dances in Kagura |journal=Asian Folklore Studies |first=Kazushige |last=Kobayashi |author2=Knecht, Peter |year=1981 |volume=40 |issue=1 | pages = 1–22 |doi=10.2307/1178138 |jstor=1178138 }}
* {{cite journal|title=Shinto in the History of Japanese Religion |journal=Journal of Japanese Studies|volume=7|issue=1|last=[[Toshio Kuroda|Kuroda, Toshio]]|year=1981|jstor=132163|pages=1–21|author2=James C. Dobbins|author3=Gay, Suzanne|doi=10.2307/132163|authorlink2=James C. Dobbins|first1=K.}}
* {{cite book |title=Shinto: Origins, Rituals, Festivals, Spirits, Sacred Places |url=https://archive.org/details/shintooriginsrit0000litt |publisher=Oxford University Press |location=Oxford, NY |first=C. Scott |last=Littleton| authorlink=C. Scott Littleton |year=2002 |isbn=978-0-19-521886-2 |oclc=49664424}}
* {{cite book|last=Picken|first=Stuart D.B.|authorlink=Stuart D. B. Picken|title=Essentials of Shinto: An Analytical Guide to Principal Teachings|date=1994|publisher=Greenwood|isbn=978-0313264313}}
* {{cite book |title=Historical Dictionary of Shinto |publisher=The Scarecrow Press |location=Lanham, MD; and London |year=2002 |last=Picken |first=Stuart D. B. |isbn= 978-0-8108-4016-4 }}
* {{cite book |title=The Religious Heritage of Japan: Foundations for Cross-Cultural Understanding in a Religiously Plural World |url=https://archive.org/details/religiousheritag0000unse |chapter=The Concept of Kami |first=Kenji |last=Ueda |editor=John Ross Carter (ed.) |year=1999 |pages=[https://archive.org/details/religiousheritag0000unse/page/n65 65]–72 |publisher=Book East |location=Portland, OR|isbn=978-0-9647040-4-6 |oclc=44454607}}
* {{cite book |title=The Essence of Shinto, Japan's Spiritual Heart |publisher=Kodansha International |location=Tokyo; New York; London |first=Motohisa |last=Yamakage |year=2007 |isbn=978-4-7700-3044-3}}
* Victoria Bestor, [[Theodore C. Bestor]], Akiko Yamagata. ''Routledge Handbook of Japanese Culture and Society''. Routledge, 2011. {{ASIN|B004XYN3E4}}, {{ISBN|0415436494}}
{{refend}}
 
== Pranala luar ==
{{sisterlinks|commons=category:Shintō|d=Q812767|n=no|mw=no|m=no|species=no|voy=no|q=no|b=no|v=no|s=Portal:Religion#Shinto}}
* {{Curlie|Society/Religion_and_Spirituality/Shintoism/}}
* [http://www.jinjahoncho.or.jp/en/ Jinja Honcho – English] {{in lang|en}}
* [http://eos.kokugakuin.ac.jp/modules/xwords/ Kokugakuin University Encyclopedia of Shinto] {{in lang|en}}
* [http://www.tsubakishrine.org/ Tsubaki Grand Shrine of America] {{in lang|en}}
* [https://web.archive.org/web/20090212140632/http://heianjingu.or.jp/index_e.html Heian Jingu Shrine] {{in lang|en}}
* [https://www.meijijingu.or.jp/en/ Meiji Jingu] {{in lang|en}}
* [http://www.yasukuni.or.jp/english/index.html Yasukuni Jinja] {{in lang|en}}
* [https://web.archive.org/web/20051103203043/http://www.shoinjinja.org/english/ Shoin-Jinja] {{in lang|en}}
* [http://www.yushimatenjin.or.jp/pc/eng-page/english.htm Yushima Tenjin] {{in lang|en}}
 
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Shinto| ]]