Orang Turki di Jerman: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
Pancawd (bicara | kontrib)
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan.
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Tugas pengguna baru Disarankan: tambahkan pranala
 
(7 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Orang Turki di Jerman''' adalah sekelompok orang [[Turki]] yang bermukim di [[Jerman]] sebagai pekerja tamu (''guest workers'') akibat dari kebijakan ‘''open door for migrants''’ yang digalakan oleh pemerintah [[Jerman]] sejak [[Perang Dunia II]] selesai. Kebijakan tersebut ternyata juga terjadi saat ini, ketika kanselir [[Angela Merkel]] berkuasa.<ref>https://www.express.co.uk/news/world/845648/Germany-Angela-Merkel-2017-election-open-door-migration-policy-European-Union-video</ref>. Terhitung, sudah ada 964.574 pencari suaka di [[Jerman]] di awal tahun 2015. Jumlah imigran [[Turki]] di Jerman sendiri terhitung mencapai 3 juta orang atau sekitar 3,7% dari total jumlah penduduk Jerman. Mereka merupakan orang Turki asli yang direkrut sebagai ''guest workers'' dan kemudian hidup menetap di Jerman secara turun-temurun. Perkembangan kelompok itu di Jerman bahkan telah mencapai tiga generasi. Jika dibandingkan dengan jumlah imigran lain, imigran Turki memang terhitung paling banyak jumlahnya.
 
== Sejarah ==
Sejak 1955, Jerman Barat telah merekrut banyak ''guest workers'' atau pekerja tamu dari berbagai negara. Istilah ''guest workers'' mereka sebut sebagai [[gastarbeiter]]. Memburuknya perekonomian [[Jerman]] yang disebabkan oleh banyaknya kerugian yang mereka alami akibat kekalahannya dalam [[Perang Dunia II]] menyebabkan Jerman merekrut banyak pekerja asing. Jerman berkeyakinan bahwa perekonomian mereka tidak akan membaik apabila tidak memiliki [[sumber daya manusia]] yang baik pula. Akhirnya, [[Jerman]] membuat perjanjian dengan beberapa negara yang dikenal dengan perjanjian “''Agreement on the Recuritment and Placement of Workers”''.<ref>https://www.loc.gov/law/help/guestworker/germany.php</ref>. Perjanjian tersebut disepakati oleh beberapa negara seperti [[Yunani]] dan [[Spanyol]] (1960), Italia (1955), [[Turki]] (1961), [[Morocco]] (1963), [[Portugal]] (1964), [[Tunisia]] (1965), serta Yoguslavia (1968). Ribuan pekerja asing dari negara-negara tersebut direkrut untuk bekerja di pabrik maupun industri-industri di Jerman. Konsep awal dari perjanjian tersebut semula hanya bertujuan untuk membiarkan pekerja tamu itu tinggal selama satu atau dua tahun, kemudian memulangkan mereka ke negaranya. Namun demikian, dalam perkembangannya, banyak di antara pekerja asing itu yang memilih untuk tinggal menetap di [[Jerman]].<ref name=":5">Keyman, F. and Içduygu, A. 2013 Citizenship in a global world: European questions and Turkish experiences. Routledge. </ref>
 
Semula, pemerintah [[Jerman]] benar-benar berniat untuk memulangkan mereka ke negara asalnya, terutama ketika terjadi krisis minyak di [[Arab]] pada tahun 1973. Namun demikian, perusahaan yang terkait tidak ingin memulangkan pekerja yang telah susah payah mereka latih. Begitu pula dengan para pekerja, mereka khawatir tidak akan bisa kembali ke Jerman apabila pulang ke nagara asalnya. Sesuatu yang terjadi justru keluarga di negara asal mereka datang ke [[Jerman]] untuk menengok keadaan para pekerja asing. Para tamu yang semula hanya singgah sementara, dalam perkembangannya justru tinggal bersama secara permanen meskipun tidak ada dukungan infrastruktur dan sosial [[politik]] yang jelas dari pemerintah Jerman.<ref name=":2">http://www.spiegel.de/international/germany/turkish-immigration-to-germany-a-sorry-history-of-self-deception-and-wasted-opportunities-a-716067.html</ref>
 
Pekerja dari [[Turki]] terhitung paling banyak jumlahnya sejak masuknya mereka ke [[Jerman]] pada tahun 1960-an hingga tahun 2015. Berdasarkan sensus Jerman dipada tahun 2011, ada sekitar 3 juta penduduk yang berasal dari [[Turki]] tinggal menetap di [[Jerman]]. Di antara jumlah tersebut, sebanyak 1,55 juta orang merupakan warga negara Turki yang memegang paspor kewarganegaraan Turki, dan 2,71 juta sisanya adalah orang Turki yang paling tidak memiliki orang tua yang bermigrasi ke [[Turki]]. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 ribu penduduk berpaspor [[Turki]] menurun, sebab mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan paspor dan kewarganegaraan Jerman. Dengan demikian, imigran [[Turki]] di Jerman dikenal sebagai kelompok minoritas terbesar atau kelompok imigran terbesar yang ada di [[Jerman]].<ref name=":2" />
 
== Imigran Turki di Freiburg ==
Baris 13:
Jumlah poluasi orang Turki di [[Freiburg]] juga terhitung tinggi. Kota kecil itu memiliki luas 153.06 km2 dengan jumlah penduduk 220.000 jiwa. Di antara jumlah itu, sebanyak 2.078 di antaranya merupakan migran [[Turki]]. Jumlah mereka sebenarnya masih kalah banyak dibandingkan dengan jumlah imigran [[Italia]] yang mencapai 3.229 jiwa. Namun demikian, imigran Turki di [[Freiburg]] menghadapi tantangan yang sangat berat, terutama terkait persoalan identitas yang menghantui [[Jerman]] dalam kurun waktu sebelumnya. Orang [[Turki]] dipandang sebagai minoritas dan marginal, sebab mereka dinilai bukan berasal dari [[Eropa]]. Lain ceritanya dengan orang Italia yang meskipun sama-sama pendatang, tetapi tidak diklaim sebagai kelompok marginal.<ref name=":0" />
 
Para migran [[Turki]] di [[Freiburg]] tidak bekerja di sektor formal seperti ''public'', ''private'', maupun ''industry'' sebagaimana yang terjadi pada imigran Turki dahulu. Mereka lebih banyak bekerja di sektor informal dengan membuka toko maupun kafe. Hadirnya beberapa toko kebab dan ''Doner'' yang ada di hampir seluruh distrik di Freiburg menunjukan eksistensi imigran Turki di sana. Sebagian besar dari mereka juga banyak membuka supermarket [[Turki]] dan toserba, serta beberapa kafe yang menyediakan sisha ala Turki. Kehidupan mereka di [[Freiburg]] selain mendapat stereotype dari masyarakat, juga tidak sepenuhnya dapat disebut teralienasi. Terbukti, generasi kedua atau ketiga mereka beberapa juga ada yang sedang merampungkan pendidikan di Albert-Ludwig University.<ref name=":3" />.
 
Freiburg yang dipenuhi nuansa ala [[Turki]] terlihat pula pada berbagai festival di [[Freiburg]] yang digelar oleh para imigran [[Turki]]. ''Street Festival'' dan Festival Kebudayaan Jerman-Turki atau ''Deutsch Turkische Kulturage''<ref>http://www.fap-freiburg.de/index.php/deutsch-tuerkische-kulturtage/</ref> setiap tahun sangat populer di sana. Festival itu diselenggarakan oleh ''Islamic Center''. Selain I''slamic Center'', festival kebudayaan Jerman-Turki yang disebut ''Academic Platform Freiburg (FAP'')<ref>http://www.freiburg.de/pb/,Lde/954268.html</ref> juga lumayan populer. Kedua festival tersebut biasanya digelar di tempat yang sama, namuntetapi tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Selain keduanya, di Freiburg juga dikenal komunitas mahasiswa [[Turki]] yang disebut dengan ''Kultruk''. Komunitas tersebut berada di bawah nanungan [[Universitas Albert Ludwig Freiburg|Universitas Freiburg]].<ref>https://www.uni-freiburg.de/?set_language=en</ref>.
 
== Bahasa ==
Bahasa yang dipergunakan oleh para imigran [[Turki]] di [[Jerman]] umumnya adalah Bahasa Turki. Perlu diketahui bahwa kedatangan orang [[Turki]] ke Jerman masih berlangsung hingga saat ini. Penelitian Swastiyatsu (2015) mdenyebutkan bahwa kedatangan mereka ke Jerman karena terbayang-bayang akan iming-iming kesuksesan yang dialami oleh keluarga mereka yang telah lebih dahulu tinggal di [[Jerman]].<ref name=":0" /> Namun demikian, penelitian yang sama juga menyebutkan bahwa persoalan bahasa menjadi kendala terbesar yang mereka alami. Para imigran tersebut tidak bisa berbahasa Jerman maupun berbahasa [[Inggris]] yang diakui sebagai ahasa internasional. Satu-satunya bahasa yang bisa mereka gunakan adalah Bahasa [[Turki]]. Hal itu menyebabkan lingkaran pergaulan mereka hanya terbatas pada imigran [[Turki]] yang tinggal di Jerman. Namun demikian, tidak semua imigran Turki mengalami hal itu. Telah banyak keturunan para imigran yang telah menerima pendidikan Bahasa [[Jerman]] sejak kecil, sehingga lihai berkomunikasi pada siapa pun.<ref name=":0" />
 
Beberapa anak imigran [[Turki]] memang hidup di lingkungan keluarga yang sebagian besar berbahasa Turki. Namun di sekolah, terutama ketika mereka masuk TK, sekolah mereka membuat aturan melarang penggunaan Bahasa Turki di area sekolah. Aturan itu semata-mata untuk mempermudah anak-anak belajar Bahasa Jerman. Di sekolah mereka, Bahasa Jerman merupakan bahasa pengantar utama yang digunakan. Hal itu tidak membuat anak-anak sepenuhnya meninggalkan Bahasa [[Turki]] di sekolaj. Orang tua Turki biasanya akan mengajarkan Bahasa Turki kepada anak-anaknya sesampainya di rumah. Dalam bahasa lain, mereka berbicara Bahasa [[Jerman]] di sekolah dan berbicara Bahasa Turki di rumah. Hal itu membuat mereka mampu terintegrasi sebagai warga Jerman di sekolah dan menjadi bangsa [[Turki]] sepenuhnya ketika berada di rumah.<ref name=":0" /> Meskipun demikian, tidak semua sekolah di Jerman memberlakukan hal demikian. Ada beberapa sekolah yang memperbolehkan para Jerman-Turki berbicara dalam Bahasa [[Turki]], meksipun jumlahnya sangat sedikit. <ref>https://en.qantara.de/content/the-turkish-language-in-germany-turkish-is-booming-at-schools-and-universities</ref> Hal itu dapat dipandang sebagai upaya Jerman untuk berasimilasi atau berintegrasi dengan Turki.<ref>http://www.spiegel.de/international/germans-try-integrating-with-turkish-migrant-population-a-835653.html</ref>
 
Penggunaan Bahasa Jerman bagi para imigran menjadi sangat penting agar mereka dapat diterima di lingkungan masyarakat luas. Hal itu ‘memaksa mereka untuk bercakap dengan dua bahasa (''bilingual''); Bahasa [[Jerman]] ketika melakukan aktivitas sehari-hari di luar keluarganya dan Bahasa [[Turki]] ketika melakukan aktivitas di dalam keluarganya. Orang tua mereka pun mendukung anak-anaknya berbicara dengan dua bahasa tersebut. Menurut mereka, meskipun tinggal di [[Jerman]], mereka ingin anak-anaknya tetap mengingat bahasa ‘lidah ibu’ nya sendiri, yaitu Bahasa [[Turki]].<ref name=":0" />
Baris 33:
Lain lagi ceritanya bagi mereka yang orang tuanya tidak tinggal di Jerman minimal delapan tahun. Mereka tidak dapat mengikuti kebijakan ''option mode''. Dengan begitu, mereka harus rela melepas paspor Turki atau kewargenagaraan [[Turki]] menjadi [[Jerman]].<ref name=":6" /> Meskipun demikian, mereka tetap akan memperoleh kartu biru dari pemerintah Turki. Kartu tersebut dapat dipergunakan sebagaimana warga Turki lainnya; untuk memiliki aset, mendapat pensiuanan, bekerja, memiliki perlindungan, dan wajib membayar pajak. Bedanya, mereka para pemegang kartu biru Turki tidak memiliki hak suara dalam pemilihan presiden.<ref name=":7" /> Kartu biru tersebut dapat menjadi simbol dari kewarganegaraan orang-orang Turki yang menjadi Jerman tanpa harus memutus hubungan kekeluargaannya dengan kampung halamannya sendiri. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan bahwa kartu tersebut menjadi propaganda [[Turki]] untuk mengakomodasi kepentingannya demi bergbaung menjadi bagian dari [[Uni Eropa]]. Maklum saja, jumlah imigran Turki yang ada di [[Eropa]], termasuk Jerman, ada lebih dari 3 juta jiwa. Turki juga dianggap memanfaatkan kartu biru itu untuk tidak kehilangan keuntungan ekonomi dari remittance yang dikirim oleh para migran [[Turki]] di Jerman.<ref name=":0" />
 
== Praktik KegamaanKeagamaan ==
Praktik keagamaan orang-orang keturunan [[Turki]] di Jerman pada umumnya telah luntur. Sebagian besar dari mereka tidak lagi menganut agama [[Islam]] yang taat sebagaimana yang terjadi di [[Turki]]. Mereka mengaku bahwa mereka kini menjadi lebih sekuler, tidak dogmatik maupun fanatik terhadap ajaran [[Islam]]. Ketika bulan [[Ramadan]] dan [[Hari Raya Idul Fitri]] tiba, mereka juga merayakannya. Mereka berpuasa sebagaimana [[Muslim]] lainnya, kerabat mereka juga datang ke rumah mereka untuk bersilaturahmi. Meskipun begitu, mereka melakukannya hanya untuk bersenang-senang dan menjaga tradisi yang telah diterapkan selama turun-temurun di keluarganya. Bahkan, ayah ibu atau orang tua mereka juga terkadang tidak menjalankan ibadah puasa.<ref name=":4">https://www.thelocal.de/20170512/eight-things-to-know-about-islam-in-germany-muslims-religion</ref>
 
Selain Ramadhan, mereka juga merayakan [[Natal]]. Sebagian besar dari mereka telah terbiasa memperoleh hadiah [[Natal]]. Momen [[Hari Raya Natal]] juga mereka jadikan sebagai kesempatan untuk pulang atau berlibur ke [[Turki]]. Benar saja, ketika [[Hari Raya Idul Fitri]], pemerintah Jerman tidak memberikan tidak memberikan hari libur. Meskipun demikian, tidak ada pohon [[Natal]], kunjungan keluarga, atau beribadah ke [[gereja]]. Mereka hanya melakukannya karena alasan untuk bersenang-senang.<ref name=":4" />
 
Lunturnya praktik keagamaan mereka juga tercermin lewat pakaian yang mereka kenakan. Ketrurunan Turki di Jerman tidak lagi mengenakan [[jilbab]] maupun pakaian tertutup lainnya. Mereka berpakaian layaknya gadis-gadis [[Jerman]] pada umumnya yang menggunakan pakaian lengan pendek, rok pendek, sepatu, dan lain-lain. Padahal, di Turki, menutup aurat menjadi penanda bahwa mereka adalah orang [[Turki]]. Meskipun tidak semua orang keturunan Turki yang demikian, namuntetapi sebagian besar warga keturunan Turki telah menanggalkan pakaian ‘khas’ Turki mereka.<ref name=":0" />
 
== Bayangan akan Turki ==
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa keturunan Jerman-Turki juga menghadapi 'bayangan' akan dualisme identitas. Bagi generasi pertama migran Turki yang menetap di Jerman, hubungan [[kekerabatan]] mereka dengan keluarga mereka di [[Turki]] masih terjaga dengan baik. Bagi mereka, Turki adalah tempat untuk pulang, menghabiskan pensiun, dan hari tua. Mereka bahkan rutin pulang ke [[Turki]] setiap tahun dan mengirimkan uang kepada sanak saudara mereka di sana (''remmitance'').<ref name=":1">Kaya, Ahyan. 2007. German-Turkish Transnational Space: A Separate Space of Their Own. German Studies Review, Vol. 30, No. 3 (pp. 483-502 published by: on behalf of the Johns Hopkins University Press German Studies Association)</ref> Hal berlainan dihadapi oleh anak-anak keturunan Turki di [[Jerman]]. Keturunan Jerman-Turki itu mengalami hal yang bereda dengan orang tuanya terhadap Turki. Mereka yang lahir di [[Jerman]] hanya mengenal kampung halamannya itu melalui nostalgia yang diceritakan oleh orang tuanya, terutama melalui makanan di rumah mereka. Hampir seluruh makanan Turki mendominasi dapur rumah mereka.<ref name=":1" />
 
Lebih jauh lagi, para keturunan Jerman-Turki itu juga rutin berkunjung ke [[Turki]] setiap tahun. Namun demikian, mereka menggunakan istilah “''going''” bukan “''going home''”. Bagi mereka, [[Turki]] adalah tempat untuk berlibur, bukan untuk pulang. Kegiatan itu sudah menjadi agenda wajib yang mendarah daging bagi mereka, sehingga apabila tidak berkunjung ke [[Turki]], mereka merasa ada sesuatu yang hilang. Selama di [[Turki]], mereka juga berkunjung ke sanak saudara mereka. Para orang tua terutama, akan mengajak anak-anaknya berkunjung ke rumah-rumah para [[keluarga]]. Meskipun demikian, bayangan akan [[Turki]] sangat berbeda antara generasi pertama dengan keturunan Jerman-Turki. Bagi keturunan Jerman-Turki, [[Turki]] bukanlah tempat untuk pulang, melainkan tempat untuk menghabiskan masa berlibur. <ref name=":0" />
 
Hasrat akan Turki pun dirasa berbeda antara generasi pertama dengan keturunan [[Jerman]]-Turki. Beberapa keturunan Jerman-Turki telah mencoba untuk tinggal di [[Turki]] beberapa minggu. Mereka juga ingin menantang diri mereka sendiri dengan mencoba hidup dan bekerja di Turki. Namun demikian, mereka merasa ada yang berbeda dan ada sesuatu yang mengganggu sehingga mereka tidak nyaman berada di sana. Sistem yang ada di [[Turki]] tentu sangat berbeda dengan yang ada di Jerman. Di Turki, menurut mereka, sistemnya tidak sebagus di [[Jerman]]. Keadaan [[politik]] sangat tidak stabil, dan [[korupsi]] dimana-mana. Terbiasa hidup di [[Jerman]] dengan sistem sedemikian rupa membuat mereka merasa bahwa [[Turki]] bukan tempat yang baik untuk pulang, melainkan cukup menjadi tempat untuk menghabiskan masa liburan.<ref name=":1" />