Nyadar (upacara adat): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
→Tempat pelaksanaan: Menambahkan keterangan mengenai lontar jatiswara. Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(9 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''
▲'''{{PAGENAME}}''' adalah kekayaan tradisi masyarakat petani garam Desa Pinggir Papas. Nyadar dilakukan di sekitar komplek makam leluhur, disebut juga asta, yang oleh masyarakat setempat lebih dikenal dengan nama Bujuk Gubang. Dalam setahun dilakukan tiga kali berturut-turut dengan rentang waktu satu bulan berselang. Pada Nyadar ketiga biasa mereka sebut dengan Nyadar Bengko. Lokasi Upaca adat tersebut berada di [[Dusun]] Kolla, Desa Kebundadap Barat, Kecamatan Saronggi. Dari [[Kota Sumenep, Sumenep|kota Sumenep]] sendiri untuk menuju lokasi masih harus menempuh jarak sekitar 13 kilometer lagi ke arah Selatan.
== Waktu ==
Penentuan waktu pelaksanaan Nyadar berdasar musyawarah para pemuka adat, yang masih merupakan keturunan dari leluhur Anggasuta. Jika dihubungkan dengan kalender Masehi, biasanya dilaksanakan sekitar bulan Juli, Agustus, dan September.
Hari pelaksanaan selalu Jumat dan Sabtu. Ada beberapa syarat sehubungan dengan pelaksanaan Nyadar Dari syarat tersebut selain mengindikasikan bahwa Nyadar tumbuh dan berkembang setelah [[Islam]] masuk. Selain itu juga mengimplikasikan bahwa penghormatan terhadap leluhur mereka tidak boleh melebihi penghormatan terhadap [[Rasulullah]].
== Tempat pelaksanaan ==
Nyadar pertama dan kedua dilakukan di
Di Nyadar ketiga ini, pada malam harinya biasanya diikuti dengan kesenian mocopat/mamaca
Lontar Jatiswara adalah salah satu lontar bergenre santri lelana, sejenis dengan serat Centini. Lontar Jatiswara juga dibaca tiap 3 tahun sekali pada perayaan Mangayu-ayu di Desa Sembahlun Bumbung di Kaki Gunung Rinjani. Tampaknya ada hubungan antara orang Pinggirpapas dan orang Sasak. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut.
== Sejarah awal mula Nyadar ==
Asal Mbah Anggasuto juga kontroversial, ada yang mengisahkan beliai adalah Ulama pendatang dari Banten, beliai adalah Brawijaya V yang menyamar, bahkan ada yang menganggap beliau adalah panhlima pasukan Bali. Dikisahkan, pada suatu malam melakukan Istikharah. Memohon kepada Tuhan yang maha Esa, jika dia memang ditakdirkan hidup di daerah tersebut. Apa yang bisa dijadikannya sebagai sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Sebab di daerah tersebut adalah daerah pesisir pantai. Yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya.
Konon, Tuhan mengabulkan dan memberinya petunjuk. Pangeran Anggasuto semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai. Pada suatu waktu, Pangeran Anggasuto berjalan ke arah pantai. Karena tanah di pantai itu begitu lembek, hingga membentuk tapak kakinya. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Baris 20 ⟶ 23:
Akhir kata, benda itu kemudian oleh Pangeran Anggasuto disebut dengan Buja, yang merupakan istilah [[bahasa Madura]] untuk garam. Maka, hingga sekarang benda itu dikenal dengan nama buja atau garam. Kabarnya kisah itu sudah tersiar ke segala penjuru daerah.
Seiring perputaran zaman, temuannya itu ternyata memberi manfaat bagi seluruh manusia di penjuru Nusantara. Dimana pola mata pencaharian sebagai petani garam kemudian juga dilakukan oleh beberapa masyarakat di daerah lain seperti di Bali dan
Dari air kesatu hingga air kedua puluh lima yang baru menjadi garam. Yang dimaksud disini adalah kadar air. Kemudian daerah tersebut disebut dengan padaran atau sekarang dikenal dengan talangan. Maka jadilah daerah tersebut dengan hamparan ladang garam, dan mayoritas masyarakatnya mempunyai mata pencaharian sebagai petani garam.
|