Sastra eksil Indonesia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis)
 
Baris 5:
Kebudayaan [[eksil]], termasuk [[sastra eksil]], lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).<ref name="sastraeksil2"/> Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.<ref name="sastraeksil2"/>
 
Sama yang umum dialami kaum eksil, para penulis eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka.<ref name="sastraeksil2"/> Penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (PerancisPrancis) mereka ‘mengubah nama’ mereka menjadi nama-nama PerancisPrancis.<ref name="sastraeksil2"/> Goncangan perubahan itu terlebih dirasakan oleh para eksil, karena di dalam ideologi mereka telah ditanamkan ajaran, bahwa ‘dunia proletariat mereka’ adalah ‘dunia murni’, sedang dunia di luar mereka adalah ‘lautan burjuasi’ yang serba kotor.<ref name="sastraeksil2"/>
 
Eksil Indonesia mempunyai kekhasan dibandingkan berbagai fenomena eksil dunia lainnya. Eksil pada umumnya adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tekanan politik.<ref name="sastraeksil3">{{id}} Supartono, Alex, ''Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani'', Jurnal Kalam No. 18, 2001, Jakarta</ref> Mereka mempersiapkan diri untuk tidak akan pernah bisa pulang.<ref name="sastraeksil3"/> Karenanya, mereka akan berintegrasi penuh dengan budaya dan masyarakat baru di mana mereka akan tinggal.<ref name="sastraeksil3"/> Mereka menjadikan tanah pengasingan itu sebagai rumah baru dan menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Inilah yang dikenal dengan nama kebudayaan diaspora.<ref name="sastraeksil3"/>