Monisme dan dualisme dalam hukum internasional: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Zeefra (bicara | kontrib)
Fitur saranan suntingan: 2 pranala ditambahkan.
 
(3 revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{periksaterjemahan|en|Monism and dualism in international law}}
Istilah monisme dan dualisme digunakan dalam menggambarkan dua teori berbeda tentang hubungan antara [[hukum internasional]] dan hukum nasional. Kebanyakan negara menganut sistem sebagian monis dan sebagian dualis dalam praktik penerapan hukum internasional ke dalam hukum nasional.
 
== Monisme ==
Monisme menyatakan bahwa sistem hukum nasional dan internasional membentuk satu kesatuan. Aturan hukum nasional dan internasional yang telah diterima oleh suatu negara sama-sama menentukan apakah suatu tindakan itu sesuai dengan hukum atau tidak.<ref>[[Pieter Kooijmans]], Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, hlm. 82.</ref> Di kebanyakan negara "monis", masih ada perbedaan antara hukum internasional (baik dalam bentuk perjanjian-perjanjian ataupun bentuk-bentuk yang lain, seperti [[Kebiasaan internasional|kebiasaan hukum internasional]] atau [[jus cogens]]) dan nasional, sehingga mereka merupakan negara sebagian monis dan sebagian dualis. Di suatu negara yang murni menganut monisme, hukum internasional sama sekali tidak perlu diubah menjadi hukum nasional. Hukum tersebut secara otomatis berlaku di ranah hukum nasional, dan hukum internasional dapat langsung diterapkan oleh hakim di tingkatan nasional, dan dapat langsung digunakan sebagai landasan hukum dalam perkara oleh warga negara. Seorang hakim dapat menyatakan aturan nasional tidak sah jika bertentangan dengan aturan internasional karena di beberapa negara, hukum yang paling baru dikeluarkan memiliki prioritas. Di negara-negara seperti [[Jerman]], perjanjian-perjanjian memiliki kekuatan hukum sama seperti undang-undang, dan dengan diberlakukannya asas ''[[Lex posterior derogat legi priori]]'' ("''undang-undang baru menghapus yang sebelumnya''"), maka perjanjian tersebut mengesampingkan undang-undang nasional dari masa sebelum ratifikasi. Sistem monisme yang paling murni menyatakan bahwa hukum nasional yang bertentangan dengan hukum internasional tidak berlaku lagi, bahkan jika hukum nasional tersebut dikeluarkan setelah hukum internasional atau jika hukum itu bersifat [[konstitusional]].
 
Dari sudut pandang [[hak asasi manusia]], monisme memiliki beberapa keuntungan. Sebagai contoh, suatu negara yang menerima perjanjian hak asasi manusia{{spaced en dash space}}misalnya, [[Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik]], tetapi beberapa undang-undang nasionalnya membatasi [[kebebasan pers]], maka seorang warga negara yang dituntut oleh negara tersebut apabila melanggar hukum nasional, dapat memohonkan perjanjian hak asasi manusia di ruang sidang nasional dan dapat meminta hakim menerapkan perjanjian tersebut dan memutuskan bahwa hukum nasional tidak sah. Ia tidak harus menunggu proses pengubahan hukum internasional ke dalam hukum nasional. Bagaimanapun, pemerintahannya dapat lalai atau bahkan tidak mau memasukkan hukum internasional.
Baris 30 ⟶ 29:
 
== Contoh-contoh ==
Di beberapa negara, seperti [[Britania Raya]] misalnya, pandangan dualisme sangat dominan. Hukum internasional baru menjadi bagian dari hukum nasional Britania setelah diubah menjadi hukum nasional. Sebuah perjanjian
 
:"tidak memiliki kekuatan hukum dalam hukum nasional sebelum sebuah [[Undang-Undang Parlemen]] disahkan untuk memberi kekuatan hukum terhadapnya.
Baris 43 ⟶ 42:
 
== Soal tradisi hukum nasional ==
Hukum internasional tidak menentukanmengatur sudutapakah pandangnegara manaharus yang lebih disukai,menganut monisme atau dualisme. Setiap negara memutuskan sesuai tradisi hukumnya sendiri. Hukum internasional hanya mensyaratkan bahwa aturan-aturannya harus tetap dihormati, dan negara-negara bebas memutuskan cara mereka menghormati aturan-aturan ini, sehinggadan membuatmemberikannya negara-negarakekuatan tersebuthukum mengikatdi wargaranah negara dan lembaga-lembaganyanasional.
 
<blockquote>
"TransformasiPengubahan norma-norma internasional ke dalam hukum domestik tidak diperlukandiwajibkan dari sudut pandang hukum internasional ... kebutuhan transformasipengubahan merupakan persoalan nasional, bukan hukum internasional ".<ref>[[Antonio Cassese]], International Law in a Divided World, Clarendon Press, [[Oxford]], 1992, pphlm. 21-22.</ref>
</blockquote>
 
Baik negara monis, maupun dualis dapat mematuhi hukum internasional. Satu hal dapatDapat disimpulkan bahwa negara monis kurangmenghadapi berisikorisiko melanggarpelanggaran aturan-aturanhukum internasional yang lebih rendah, karena hakimnya dapat menerapkan hukum internasional secara langsung.<ref name="Kooijmans_83">[[Pieter Kooijmans]], Internationaal publiekrecht in vogelvlucht, Wolters-Noordhoff, Groningen, 1994, phlm. 83.</ref> Kelalaian atau keengganan dalam menerapkan hukum internasional ke dalam hukum nasional, hanya dapat menimbulkan masalah di negara-negara dengan sistem dualisme. Suatu negara bebas memilih cara yang mereka inginkan dalam menghormati hukum internasional, tetapi mereka selalu bertanggung jawab jika mereka gagal menyesuaikan sistem hukum nasional mereka dengan cara yang dengannyasesuai menghormatidengan hukum internasional. Apakah itu dengan mengadopsimemberlakukan konstitusi yang mengimplementasikanmenerapkan sistem monis, sehingga hukum internasional dapat diterapkan secara langsung dan tanpa transformasi, atau tidak; tetapi kemudianpada akhirnya mereka harus menerjemahkanmengubah semua hukum internasional ke dalammenjadi hukum nasional.
Negara-negara monis hanya bergantung pada hakim dan bukan pada legislatoranggota legislatif, tetapi hakim juga bisa membuat kesalahan. Jika seorang hakim di negara monistmonis membuat kesalahan ketika menerapkan hukum internasional, maka negara tersebut melanggar hukum internasional sama seperti negara dualis yang, untuk satu alasan atau lainnya, tidak mengizinkan hakimnya menerapkan hukum internasional secara langsung dan gagal menerjemahkanmengubah atau gagaltidak melakukan menerjemahkanpengubahan dengan benar dan efektif.<ref name="Kooijmans_83"/> Salah satu alasan untuk lebih memilih dualisme adalah ketakutan bahwa hakim nasional tidak akrab denganmengenal hukum internasional;, yang merupakan yaitusuatu bidang hukum yang sangat rumit, dan karenanya memilikiterdapat kemungkinan besar bahwa mereka akan membuat kesalahan.
 
== Lihat pula ==
* [[Kebiasaan internasional|Hukum kebiasaan internasional]]
* [[Daftar sistem hukum nasional]]
* [[Kebiasaan internasional|Hukum kebiasaan internasional]]
* [[Non-refoulement]] — [[Hukum pengungsian]] — [[Suaka politik]]
* [[Peraturan berdasarkan hukum yang lebih tinggi]]
* [[Pluralisme hukum]]
 
== Rujukan ==