Suku Bugis: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
The Bangsawan (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: pranala ke halaman disambiguasi
 
(433 revisi antara oleh lebih dari 100 100 pengguna tak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox ethnic group
{{rapikan}}
| group = Bugis
{{ethnic group|
| image = IMG-20190222-WA0014.jpg
|group=Suku Bugis
| caption = Sepasang pengantin berjalan di bawah Lellu' (kanopi lipat tradisional) pada pernikahan mereka
|poptime=kurang lebih '''4 juta'''.
| total = ± '''7.000.000'''
|popplace=[[Sulawesi Selatan]]: '''4 juta'''.<br>[[Singapura]], [[Malaysia]]
| total_year = 2010
|langs=[[bahasa Bugis]], [[bahasa Indonesia]], [[bahasa Melayu]], dan lain-lain.
| region1 = '''{{Flagcountry|Indonesia}}'''
|rels=[[Islam]].
| pop1 = 6.359.700
|related=[[suku Toraja]], [[suku Mandar]], [[suku Makassar]].
| ref1 = <ref>{{cite book|author=Akhsan Na'im, Hendry Syaputra|title=Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010|year=2011|publisher= Badan Pusat Statistik|isbn=9789790644175}}</ref>
| region2 = {{nbsp|10}}[[Sulawesi Selatan]]
| pop2 = 3.618.683
| ref2 =
| region3 = {{nbsp|10}}[[Kalimantan Timur]]
| pop3 = 735.819
| ref3 =
| region4 = {{nbsp|10}}[[Sulawesi Tenggara]]
| pop4 = 496.432
| ref4 =
| region5 = {{nbsp|10}}[[Sulawesi Tengah]]
| pop5 = 409.741
| ref5 =
| region6 = {{nbsp|10}}[[Sulawesi Barat]]
| pop6 = 144.554
| ref6 =
| region7 = {{nbsp|10}}[[Kalimantan Barat]]
| pop7 = 137.282
| ref7 =
| region8 = {{nbsp|10}}[[Riau]]
| pop8 = 107.159
| ref8 =
| region9 = {{nbsp|10}}[[Kalimantan Selatan]]
| pop9 = 101.727
| ref9 =
| region10 = {{nbsp|10}}[[Jambi]]
| pop10 = 96.145
| ref10 =
| region11 = {{nbsp|10}}[[Papua]]
| pop11 = 88.991
| ref11 =
| region12 = {{nbsp|10}}[[Jakarta]]
| pop12 = 68.227
| ref12 =
| region13 = {{nbsp|10}}[[Papua Barat]]
| pop13 = 40.087
| ref13 =
| region14 = '''{{Flagcountry|Malaysia}}'''
| pop14 = 728.465
| ref14 = <ref name="Mukrimin">{{cite book|author=Mukrimin|title="Moving the Kitchen out": Contemporary Bugis Migration|year=2019|publisher= Southeast Asian Studies}}</ref>
| region15 = '''{{Flagcountry|Singapore}}'''
| pop15 = 15.000
| ref15 = <ref name=Mukrimin/><ref>{{cite book|page=1|title=Malay Family Structure: Change and Continuity with Reference to Singapore|author=Tham Seong Chee|year=1993|isbn=9971-62-336-6|publisher=Department of Malay Studies National University of Singapore}}</ref>
| langs = '''Mayoritas'''<br>[[Bahasa Bugis|Bugis]]{{•}}[[Bahasa Indonesia|Indonesia]]{{•}}[[Bahasa dagang dan kreol Melayu#Melayu Makassar|Melayu Makassar]]<br>'''Minoritas'''<br>[[Rumpun bahasa Sulawesi Selatan|Massenrempulu]]{{•}}[[Bahasa Melayu|Melayu]]
| rels = '''Mayoritas'''<br>[[Islam]]: 98.99%<br>'''Minoritas'''<br>[[Kristen]] ([[Protestan]] dan [[Katolik Roma|Katolik]]): 0,55%{{•}}[[Hindu di Indonesia|Hindu]] (termasuk Tolotang): 0,41% {{•}}Lain-lain (di antaranya [[Buddhisme|Buddhis]]): 0,05%<ref name=2010census>Aris Ananta, Evi Nurvidya Arifin, M Sairi Hasbullah, Nur Budi Handayani, Agus Pramono. ''Demografi Etnis di Indonesia''. Singapura: ISEAS: Institute of Southeast Asian Studies, 2015. hlm. 273.</ref>
| related = {{ubl|[[Rumpun suku bangsa Austronesia]]}}
{{hlist|item_style=font-size:90%;|[[Suku Makassar|Makassar]]|[[Suku Mandar|Mandar]]|[[Suku Toraja|Toraja]]}}
| native_name = To Ugi<br/>{{script|Bugi|ᨈᨚ ᨕᨘᨁᨗ}}
| native_name_lang =
}}
'''Suku Bugis''' merupakan kelompok etnis [[Austronesia]] terbesar di antara tiga kelompok etnolinguistik utama di [[Sulawesi Selatan]], bersama dengan [[suku Makassar]] dan [[Toraja]]. Sulawesi Selatan terletak di bagian barat daya pulau [[Sulawesi]], pulau terbesar ketiga di [[Indonesia]]. Pada tahun 1605, suku Bugis beralih dari kepercayaan animisme ke Islam. Meskipun mayoritas masyarakat Bugis menganut agama Islam, sebagian kecil dari mereka memeluk agama Kristen serta kepercayaan pra-Islam yang dikenal sebagai Tolotang.<ref>{{cite book|first=Keat Gin|last=Ooi|title=Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, From Angkor Wat to East Timor|publisher=[[ABC-CLIO]]|year=2004|isbn=1576077705|page=286}}</ref><ref name=":0">{{cite journal | url=http://www.sabrizain.org/malaya/library/bugisreligion.pdf | title=Religion and Cultural Identity Among the Bugis (A Preliminary Remark) | author=Said, Nurman | journal=[[Inter-Religio (journal)|Inter-Religio]] |date=Summer 2004 | issue=45 | pages=12–20}}</ref>
 
Suku Bugis, yang populasinya diperkirakan sekitar enam juta jiwa dan mencakup 2,5% dari [[Demografi Indonesia|total penduduk Indonesia]].<ref name=":Andaya">{{Cite book|last=Andaya|first=Leonard Y.|url=http://worldcat.org/oclc/906499076|title=The kingdom of Johor, 1641-1728|date=1975|publisher=Oxford University Press|isbn=0-19-580262-4|oclc=906499076}}</ref> Secara historis, mereka juga berperan penting di [[Semenanjung Malaya]], [[Sumatra]], [[Kalimantan]], [[Kepulauan Nusa Tenggara]], serta berbagai wilayah lain di nusantara tempat mereka bermigrasi secara besar-besaran sejak akhir abad ke-17. Presiden ketiga Indonesia, [[B. J. Habibie]],<ref>{{cite news |author=<!--not stated--> |title=Mengenang B.J Habibie: Fokus agar Usil Tetap Genius (1)|url=https://www.jawapos.com/nasional/11/09/2019/mengenang-b-j-habibie-fokus-agar-usil-tetap-genius-1/ |work=Jawa Pos |agency=Jawa Pos |date=2019-11-09|access-date=2022-03-29}}</ref><ref>{{cite news |author=<!--not stated--> |title=BJ Habibie, Si Jenius Indonesia dari Sulawesi|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/bj-habibie-si-jenius-indonesia-dari-sulawesi/|work=[[Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia]] |agency=Jawa Pos |date=2019-05-03|access-date=2024-05-16}}</ref> serta mantan wakil presiden Indonesia, [[Jusuf Kalla]], memiliki keturunan Bugis. Di Malaysia, [[Yang di-Pertuan Agong]] saat ini, [[Ibrahim Iskandar dari Johor|Sultan Ibrahim]], dan [[perdana menteri]] kedelapan, [[Muhyiddin Yassin]], juga memiliki darah keturunan Bugis.<ref>{{cite news |author=Cantika Adinda Putri|title=Ini Muhyiddin Yasin, PM Baru Malaysia Berdarah Bugis & Jawa
'''Suku Bugis''' adalah sebuah suku yang berasal dari [[Sulawesi Selatan]], terbagi empat yaitu Bugis Makassar, Bugis Mandar, Tator dan daerah bugis sendiri.
|url=https://www.cnbcindonesia.com/news/20200301151910-4-141543/ini-muhyiddin-yasin-pm-baru-malaysia-berdarah-bugis-jawa |work=CNBC Indonesia |agency=CNBC Indonesia|date=2020-03-01|access-date=2022-09-13}}</ref><ref>{{cite news |author=Cantika Adinda Putri|title=Sultan Johor: Saya pun Bugis, terasa juga|url=https://www.malaysiakini.com/news/403156 |work=Malaysiakini|date=2017-11-27|access-date=2024-01-31}}</ref>
 
Sebagian besar orang Bugis berbicara dalam bahasa daerah yang khas, yaitu [[bahasa Bugis]] (Basa Ugi), selain menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Bugis termasuk dalam kelompok bahasa Sulawesi Selatan, yang juga mencakup [[Bahasa Makassar|bahasa Makassar]], Toraja, Mandar dan Massenrempulu. Nama "Bugis" merupakan [[eksonim]] yang berasal dari bentuk lama nama tersebut, sedangkan "(To) Ugi" adalah [[endonim]] yang digunakan oleh masyarakat Bugis sendiri.<ref>{{cite book|author=Shiv Shanker Tiwary & Rajeev Kumar|title=Encyclopaedia of Southeast Asia and Its Tribes, Volume 1|year=2009|publisher=Anmol Publications|isbn=978-81-261-3837-1|page=47}}</ref>
<!-- BAGIAN INI BELUM DIRAPIKAN -->
Suku bugis adalah suku yang tergolong deuntro melayu, yaitu melayu muda. MAsuk ke nusantara setelah gelombang pertama migrasi dari daratan asia tepatnya Yunan.
Kata Bugis berasal dari kata to ugi, yang berarti orang bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada Raja Pertama kerajaan Cina (bukan cina tiongkok, tapi cina di jazirah sulawesi selatan tepatnya kecamatan Pammana KAbupaten Wajo saat ini) yaitu LA SAttumpugi. LA Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara LAttu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk LA Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di sulawesi seperti Buton.
Kembali ke awal penamaan "Ugi", Ketika masyarakat La Sattumpugi melabelkan dirinya, maka mereka melabelkan dengan raja mereka. Maka mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari LA Sattumpugi
 
==Asal usul dan latar belakang==
== Perkembangan ==
[[File:Sulawesi Locator.svg|thumb|left|Pulau Sulawesi, ditampilkan dalam warna merah]]
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan dan sebagainya.
=== Toalean — Pribumi Pra-Austronesia di Sulawesi Selatan===
Beberapa kerajaan bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dengan MAndar.
Penduduk paling awal di Sulawesi Selatan kemungkinan berhubungan dengan [[Manusia Wajak]] yang berasal dari ras [[Ras Australoid|Proto-Australoid]]. Beberapa artefak serpihan ditemukan di lembah [[Sungai Walanae]] dan [[Maros]], yang diperkirakan berasal dari antara 40.000 hingga 19.000 SM. Kebudayaan [[Pemburu-pengumpul|pemburu-pengumpul]] di Sulawesi Selatan dikenal sebagai [[Lancipan Maros (artefak)|Budaya Toalean]], yang didasarkan pada penggunaan alat berupa bilah, serpihan, dan [[Epipaleolitikum#Perkembangan Teknologi|mikrolit]]. Mereka mungkin berasal dari ras Melanesoid atau Australoid, sehingga berhubungan dengan populasi kontemporer di [[Papua Nugini]] atau [[Australia]].{{sfn|Pelras|1996|p=39}}
Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara bugis dengan makassar adalah Bulukumba, sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
 
Pada tahun 2015, sisa-sisa kerangka seorang wanita muda bernama [[Bessé]] ditemukan di Leang Panninge, Sulawesi Selatan. Kerangka tersebut diperkirakan berusia lebih dari 7.200 tahun. Setengah dari DNA-nya diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan penduduk asli Australia, masyarakat di Papua Nugini, dan Pasifik Barat, serta menunjukkan adanya garis keturunan manusia yang sebelumnya tidak diketahui, yang bercabang sekitar 37.000 tahun lalu. DNA Bessé memberikan bukti penting dalam memahami migrasi manusia purba.<ref>{{Cite web|last=Bower|first=Bruce|date=2021-08-25|title=Ancient DNA shows the peopling of Southeast Asian islands was surprisingly complex|url=https://www.sciencenews.org/article/ancient-dna-skeleton-woman-indonesia-peopling-southeast-asian-islands|access-date=2021-11-19|website=Science News|language=en-US}}</ref>
[[[[== Mata Pencaharian ==]]
Karena masyarakat bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.]]
 
===Kedatangan Austronesia===
== Hubungan Aspek Sejarah dengan Perantauan ==
[[File:Spread of South Sulawesi languages id.svg|thumb|Asal usul yang diperkirakan (diarsir dalam warna hijau) dan ekspansi (rute berwarna oranye) dari [[Bahasa Sulawesi Selatan|keluarga bahasa Sulawesi Selatan]] di [[Semenanjung Selatan, Sulawesi]].]]
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan bugis pada abad 16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah sulawesi selatan. hal ini menyebabkan banyaknya orang bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. komunitas bugis hampir selalu dapat ditemui didaerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke malaysia, filipina, brunai dan thailand.
Kedatangan orang-orang [[Austronesia]] ke [[Sulawesi Selatan]] membawa perubahan signifikan dalam sejarah wilayah tersebut. Diperkirakan bahwa mereka tiba sekitar 4.000 tahun yang lalu, membawa serta teknologi bercocok tanam, perahu layar, dan sistem sosial yang lebih kompleks. Orang Austronesia inilah yang kemudian berbaur dengan penduduk asli dan menjadi nenek moyang langsung suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan, termasuk suku Bugis. Migrasi dan penyebaran budaya mereka memiliki dampak besar terhadap perkembangan bahasa, budaya, serta struktur sosial di wilayah ini.<ref>{{cite journal | pmc=2408594 | pmid=18482451 | doi=10.1186/1471-2148-8-146 | volume=8 | title=Paternal genetic affinity between Western Austronesians and Daic populations | year=2008 | journal=BMC Evol. Biol. | pages=146 | last1 = Li | first1 = H | last2 = Wen | first2 = B | last3 = Chen | first3 = SJ | issue=1 | display-authors = etal | doi-access=free | bibcode=2008BMCEE...8..146L }}</ref>
budaya perantau yang dimiliki orang bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. kebahagiaan dalam tradisi bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.(Rahmat Munawar)
 
Christian Pelras, seorang [[antropolog]], mengajukan hipotesis bahwa proto-Bugis kemungkinan tiba dari luar negeri, mungkin dari Kalimantan, ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Kedatangan mereka didorong oleh keinginan untuk mengendalikan sumber daya mineral dan alam di daerah pedalaman. Seiring dengan penyebaran mereka ke interior wilayah yang kini dikenal sebagai pusat Bugis, kelompok ini semakin terpisah dari saudara-saudara mereka yang bersebelahan, seperti Suku Makassar, Mandar dan Toraja. Pada saat yang sama, proto-Bugis mulai mengasimilasi suku Austronesia yang sebelumnya berada di daerah yang jarang penduduknya, suatu proses di mana populasi asli secara bertahap mengadopsi bahasa dari pendatang baru. Dengan demikian, terbentuklah identitas hibrida melalui [[etnogenesis]], yang menggabungkan unsur-unsur asli dari masyarakat pribumi dengan teknik, barang, dan ide baru yang dibawa oleh pemukim baru, termasuk [[tenun]], [[pengerjaan logam]], dan doktrin [[teologis]]. Meskipun demikian, masyarakat tetap terbagi antara dua kelas utama, yaitu kaum bangsawan dan rakyat biasa.{{sfn|Pelras|1996|p=335-336}}
 
=== Tana Ogi — Tanah Bugis ===
[[Kategori:Suku bangsa di Indonesia|Bugis]]
Tanah leluhur suku Bugis terletak di sekitar [[Danau Tempe]] dan [[Danau Sidenreng]] di Depresi [[Walanae, Tanete Riattang, Bone|Walannae]] di semenanjung barat daya Sulawesi. Di sinilah nenek moyang suku Bugis saat ini menetap, kemungkinan pada pertengahan hingga akhir milenium kedua SM. Wilayah ini kaya akan [[ikan]] dan [[satwa liar]], dan fluktuasi tahunan Danau Tempe (yang merupakan danau penampung untuk sungai Bila dan Walannae) memungkinkan penanaman [[padi]] secara spekulatif, sementara perbukitan dapat digunakan untuk bercocok tanam dengan sistem ladang, penanaman padi sawah, serta berburu dan mengumpulkan hasil hutan.
 
Sekitar tahun 1200 M, ketersediaan barang-barang impor bergengsi, termasuk keramik Cina dan Asia Tenggara serta tekstil blok cetak dari Gujarat, ditambah dengan penemuan sumber bijih besi baru di [[Luwu]], memicu revolusi agraria. Revolusi ini meluas dari kawasan danau besar ke dataran rendah di timur, selatan, dan barat Depresi Walannae. Proses ini mendorong perkembangan kerajaan-kerajaan utama di Sulawesi Selatan dan transformasi masyarakat adat menjadi proto-kerajaan yang bersifat hierarkis dalam kurun waktu empat ratus tahun berikutnya.<ref>{{cite journal|last=Caldwell|first=Ian|year=1995|title=Power, state and society among the pre-Islamic Bugis|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=151|issue=3|pages=394–421|doi=10.1163/22134379-90003038 |doi-access=free}}</ref><ref>{{cite book|last1=Bulbeck|first1= David|first2=Ian|last2=Caldwell 2000|title=Land of iron; The historical archaeology of Luwu and the Cenrana valley|publisher=Hull: Centre for South-East Asian Studies, University of Hull}}</ref>
[[en:Bugis]]
 
[[ms:Bugis]]
== Sejarah ==
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Hofdames in Bone Celebes TMnr 10003352.jpg|thumb|250px|Para wanita istana Bone, tanggal tidak diketahui]]
=== Masyarakat Awal ===
Gaya hidup masyarakat Bugis kuno sebagian besar dipertahankan oleh masyarakat [[Toraja]] yang masih memeluk [[agama tradisional]] hingga awal abad ke-20. Rumah mereka umumnya dibangun di atas tiang, dan komunitas-komunitas tersebut cenderung tersebar di sepanjang tepi sungai, pantai, atau tepi danau. Kegiatan utama pada periode ini meliputi bercocok tanam padi, [[millet]], [[jali]] dan tanaman pangan lainnya, menangkap ikan dan kerang, memperoleh hasil hutan, serta berburu hewan liar. Kerbau diimpor dan digunakan dalam acara-acara penting.{{sfn|Pelras|1996|p=11}}{{sfn|Pelras|1996|p=44}}
 
Penduduk awal kemungkinan mengenakan pakaian yang sederhana. Wanita kemungkinan memakai [[rok]], sementara pria menggunakan [[Cawot|cawat]] dan mungkin juga [[penutup kepala]]. Berdasarkan bukti arkeologis, ditemukan sisa-sisa ornamen dari [[tembaga]] dan [[emas]]. Kerajinan [[tembikar]] terlihat ada, meskipun wadah [[bambu]] lebih banyak digunakan bersamaan dengan pisau bambu. Senjata terbuat dari [[besi]] dan [[batu]], sementara [[helm]] dan [[perisai]] terbuat dari [[rotan]].{{sfn|Pelras|1996|p=44}}
 
Secara teologis, Bugis awal kemungkinan mempraktikkan [[pemujaan leluhur]]. Mereka juga memiliki ritual kuno yang berkaitan dengan [[pertanian]] dan [[kesuburan]]. Umumnya, jenazah dikuburkan, meskipun ada beberapa kasus di mana tubuh jenazah ditempatkan di [[laut]] atau [[danau]], atau diletakkan di atas [[pohon]]. Praktik pemakaman lainnya termasuk [[pembakaran]], terutama untuk para penguasa.{{sfn|Druce, et al.|2005|p=1}}
 
[[File:Muziek en dans tijdens feestelijkheden Op Zuid-Celebes, KITLV 29760.tiff|thumb|240px|left|Melodi tradisional dan seni pertunjukan di Sulawesi Selatan, 1930-an]]
Meskipun terletak di komunitas yang jarang penduduknya, mereka tidak hidup dalam isolasi mutlak dari dunia luar. Sebaliknya, perdagangan dan komersial dianggap sangat penting dan memiliki peran sentral dalam masyarakat. Temuan arkeologis di dekat [[Kabupaten Bantaeng]] dan [[Kabupaten Bulukumba]] di [[Ara]] mengungkapkan artefak kuno yang berasal dari tahun 300 hingga 100 SM, menunjukkan bahwa bagian selatan Sulawesi memainkan peran integral dalam poros perdagangan maritim Asia Tenggara awal. Terdapat juga jejak keramik dan tembikar [[Cina]] serta kerajinan [[Asia Tenggara daratan]] yang diimpor ditemukan di pemakaman pra-Islam.{{sfn|Druce, et al.|2005|p=2}}
 
Namun, berbeda dengan sebagian besar Asia Tenggara, indikasi bahan-bahan Hindu dan Buddha cukup jarang ditemukan dalam budaya Sulawesi Selatan. Sistem tulisan [[Lontara]], beberapa nama dan kata, serta beberapa patung [[Buddha]] dari perunggu yang ditemukan di Mandar dan Bantaeng hanya menunjukkan adanya hubungan perdagangan dengan [[Kepulauan Asia Tenggara]] barat dan kehadiran [[orang asing]]. Meskipun mereka memperoleh manfaat dari hubungan perdagangan tersebut, kemungkinan besar mereka menolak [[asimilasi budaya]] eksternal. Dengan demikian, elemen-elemen luar hampir tidak mempengaruhi perkembangan [[Agama etnik|agama asli]] dan kerajaan-kerajaan adat di wilayah tersebut{{sfn|Pelras|1996|p=5}}{{sfn|Pelras|1996|p=54}}{{sfn|Pelras|1996|p=95}}.
 
Intensitas perdagangan awal menyebabkan perubahan bertahap dalam hal pengembangan ekonomi, struktur sosial dan kepentingan politik di antara masyarakat Sulawesi Selatan, yang secara mendasar menyebabkan kemunculan dan perkembangan [[kerajaan]], [[dinasti]] dan politi Bugis.{{sfn|Pelras|1996|p=50}}
 
===Pertumbuhan Kerajaan Bugis===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Paleis van de datu van Palopo TMnr 60028783.jpg|thumb|250px|Sebuah istana milik seorang bangsawan di kota pelabuhan Palopo, Luwu (sekitar 1900–1930)]]
Kemajuan [[Perdagangan internasional|aktivitas perdagangan antar-pulau]] dan meningkatnya interaksi dengan [[Jalur Sutra Maritim]] kemungkinan merupakan faktor utama yang berkontribusi pada kemakmuran ekonomi bagi beberapa komunitas utama di Sulawesi Selatan.{{sfn|Pelras|1996|p=94}} Periode antara tahun 1200 dan 1600 menyaksikan perubahan radikal dalam lanskap politik [[Semenanjung Selatan, Sulawesi]].{{sfn|Druce|2009|p=}}
 
Perdagangan di Sulawesi Selatan didasarkan pada ekspor barang langka, sebuah usaha yang dengan mudah dikuasai oleh [[kelas pemerintahan]] eksklusif. Struktur administratifnya cukup dasar, sebagian besar kerajaan bagian berbentuk kepemimpinan lokal yang kecil.{{sfn|Druce|2009|p=}} Populasi yang kecil sudah memadai untuk membantu elit dengan penyediaan makanan, kerja fisik, dan bantuan militer untuk menjaga kemerdekaan kerajaan mereka.{{sfn|Pelras|1996|p=111}}
 
Namun, pada abad ke-15, terjadi revolusi ekonomi besar, dan [[pertanian]] menjadi dasar ekonomi yang penting.{{sfn|Druce, et al.|2005|p=3}} Untuk melanjutkan kekuasaan mereka dalam [[Pertanian|masyarakat agraris]], para elit penguasa kini diharuskan untuk menangani pertumbuhan yang hampir tanpa preceden di wilayah penghasil [[beras]] guna mengakomodasi [[ledakan populasi]] yang signifikan. Oleh karena itu, untuk menyesuaikan dengan perubahan ekonomi dan sosial, diperlukan sistem dan perantara baru.{{sfn|Pelras|1996|p=111}}
 
Perdagangan dan komersial tetap mempertahankan kepentingan esensialnya bagi ekonomi Sulawesi Selatan. [[Beras]] menjadi sumber utama ekspor, dan pada saat yang sama, ekonomi didorong oleh impor barang-barang prestisius dari bagian lain kepulauan.{{sfn|Druce, et al.|2005|p=1}} Wilayah ini kemungkinan mengalami pertumbuhan luar biasa seiring dengan kemunculan [[Kesultanan Melaka|Malaka]] sebagai [[entrepot]] regional. Sebaliknya, kekayaan keluarga elit di Sulawesi Selatan juga meningkat akibat transaksi komersial intensif ini, meskipun perdagangan kini tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber kekayaan mereka.
 
===Kemunculan Kekuatan Politik Baru di Semenanjung===
[[File:South Sulawesi (1590) ID.svg|thumb|Barat daya Sulawesi pada abad ke-16. Bagian dari Kerajaan Luwu (Merah), Mandar & Masyarakat Toraja (Kuning muda), Konfederasi Ajatappareng (Kuning), Konfederasi Tellumpocco'e (Bergaris), Gowa dan Tallo (Oranye)]]
Pada abad ke-1500, [[Luwu]] merupakan kekuatan politik utama di jantung Bugis, dengan wewenangnya diumumkan di seluruh bagian besar semenanjung. Meskipun demikian, pemain geopolitik baru yang akan menentang dominasinya sudah mulai terbentuk pada akhir abad tersebut.{{sfn|Pelras|1996|p=112}}
 
Dampak dari kebangkitan Malaka lebih terlihat di pesisir barat Sulawesi Selatan, wilayah dengan konsentrasi tinggi [[orang Melayu|Melayu]] dan [[pedagang Minangkabau|pedagang Minangkabau]] yang datang dari barat.<ref>Timothy P. Barnard, Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, 2004</ref> Hal ini secara perlahan menarik perhatian kerajaan-kerajaan Soppeng dan Sindereng, yang berusaha memasukkan wilayah tersebut dalam ekspansi teritorial mereka. Kerajaan-kerajaan Bugis ini telah [[Negara terkurung daratan|kehilangan akses]] langsung ke laut di pesisir barat akibat kekuasaan Luwu.{{sfn|Pelras|1996|p=111}}
 
Sidenreng, sebagai wilayah bawahan di bawah kekuasaan Soppeng, perlahan-lahan tumbuh menjadi penting dan tampaknya mulai menolak dominasi Luwu di wilayah tersebut. Bekerja sama dengan beberapa kerajaan Bugis di pesisir barat — Sawitto', Alitta, Suppa', dan Bacukiki'; serta Rappang di pedalaman, mereka membentuk konfederasi longgar yang dikenal sebagai [[Ajatappareng|Aja'tappareng]] ('tanah di barat danau').{{sfn|Druce|2009|p=23}}
 
Sebaliknya, wilayah Bugis tetangga [[Wajoq|Wajo]] juga memiliki aspirasi untuk otonomi terhadap Luwu, dan mulai memperluas pengaruh serta dominasinya di wilayah sekitarnya. Pada tahun 1490, mereka memasuki perjanjian dengan Luwu, yang menyatakan bahwa mereka tidak lagi dianggap sebagai "pelayan" tetapi sebagai "anak Luwu".{{sfn|Pelras|1996|p=112}} Pada tahun 1498, orang Wajo mengangkat Arung Matoa Puang ri Ma'galatung sebagai penguasa mereka, yang kemudian menjadikan wilayah tersebut sebagai salah satu Kerajaan Bugis utama.{{sfn|Pelras|1996|p=113}}
 
Di pesisir barat daya, Kerajaan Bugis [[Kesultanan Bone|Bone]] di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua' (sekitar 1433–83) juga melaksanakan rencana ekspansi untuk menyerap sebagian wilayah Luwu ke dalam kekuasaan vasalnya. Akibatnya, dua abad kemudian, wilayah tersebut menjadi area konfrontasi intens antara kedua kerajaan.{{sfn|Pelras|1996|p=113}}
 
Sementara itu, Makassar, yang secara tradisional mendiami bagian selatan dalam-dalam dan pesisir barat semenanjung, terutama memusatkan kekuasaan politik mereka di [[Kerajaan Siang|Siang]] dan Bantaeng (yang terakhir mungkin masih berada di bawah kontrol nominal Luwu). Namun, kerajaan kembar [[Sejarah awal Gowa dan Tallo|Gowa dan Tallo]] (lebih dikenal oleh orang asing sebagai Kerajaan Makassar) mulai memperoleh pentingnya selama periode ini.{{sfn|Pelras|1996|p=114}}
 
===Masyarakat Bugis-Makassar pada Abad ke-16===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een markt in Zuid- Sulawesi TMnr 5426-6.jpg|thumb|left|Pasar rakyat, Sulawesi Selatan, sekitar abad ke-19]]
Pada abad ke-16, kehidupan Bugis ditandai dengan meningkatnya toleransi terhadap [[Globalisasi|pengaruh asing]]. Produk-produk dari luar negeri tidak lagi terbatas pada kelas penguasa, tetapi juga mulai tersedia di kalangan rakyat biasa. Metode pembangunan rumah tetap tidak berubah. Sketsa dari beberapa sumber Barat pada paruh pertama abad ke-17 menggambarkan rumah-rumah kayu tinggi dan kokoh yang dibangun di atas tiang.{{sfn|Pelras|1996|pp=122-123}}
 
Namun, di dalam rumah-rumah yang lebih kaya, beberapa perabot asing seperti meja dan kursi mulai muncul, dan bukaan dinding dasar kadang-kadang berubah menjadi jendela yang dilengkapi dengan [[pintu geser]]. Nama-nama Bugis untuk benda-benda ini menunjukkan [[Bahasa Portugis|koneksi Portugis]] mereka, seperti ''Jandela'' (jendela) yang berasal dari ''Janela'', ''Kadera'' (kursi) dari ''Cadeira''; dan ''Mejang'' (meja) dari ''Mesa''. Perubahan bertahap juga terlihat dalam [[Peralatan rumah tangga|alat-alat rumah tangga]] dan peralatan, termasuk gelas serta jug dan nampan bergaya Iberia. Selain itu, beberapa permainan Portugis seperti [[dadu]], permainan kartu, dan kelereng juga diadopsi. Orang Portugis dan Spanyol juga memperkenalkan makanan dan hasil produksi baru dalam diet lokal, terutama dari [[Pertukaran Columbus|Tanaman Dunia Baru]]: [[ubi jalar]] dan [[tembakau]], serta barang-barang penting lainnya — [[ubi kayu]], [[jagung]], dan [[cabai]].{{sfn|Pelras|1996|p=123}}
 
Selama periode ini, wanita mengenakan celana panjang longgar; penggunaan [[tunik]] pendek dan lengan juga terlihat pada wanita menikah yang bebas. Untuk pria yang kaya, terdapat kecenderungan terhadap penggunaan [[kemeja]] dan topi bergaya Barat; terkadang dipadukan dengan [[buluh]], dan [[jaket]]. Kelas budak dan pria biasa biasanya mengenakan pakaian tanpa atasan.
 
[[File:Plate 7 of Ethnographische atlas Boeginezen various Bugis weapons, armors, and equipments.jpg|thumb|Katalog berbagai senjata, baju zirah, dan perlengkapan Bugis, 1874]]
[[Perebutan Melaka (1511)|Jatuhnya Malaka]] terasa cukup kuat di Sulawesi Selatan. Seperti dicatat oleh [[Tomé Pires]] dalam Suma Oriental, beberapa pedagang dari 'Kepulauan Makassar', termasuk Bugis dan [[Bajo]], adalah di antara orang-orang yang tiba di Melaka untuk berdagang,{{sfn|Julianti L. Parani|2015|hlm=4-5}} meskipun jumlah mereka kecil. Sebaliknya, para pedagang Muslim-Melayu dari [[Kerajaan Pattani|Patani]], [[Kerajaan Pahang|Pahang]], dan [[Kesultanan Johor|Ujung Tanah]] di [[Semenanjung Melayu]]; serta dari [[Suku Cham|Champa]] di [[Indochina]]; dan [[Minangkabau]] di [[Sumatra]] menetap di kota-kota pelabuhan di pesisir barat, termasuk Suppa’, Pancana-Tanete, Siang, Tallo, Sanrabone, dan Gowa.{{sfn|Muhlis Hadrawi|2020|hlm=8}} Karena hubungan bilateral yang luas ini, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya sangat sadar akan perubahan politik-agama yang terjadi di bagian barat kepulauan tersebut.{{sfn|Pelras|1996|hlm=124}}
 
Dapat disimpulkan bahwa setelah Penaklukan Malaka oleh [[Conquistador|Penakluk Portugis]], hubungan perdagangan antara Sulawesi Selatan dan kekuatan perdagangan lainnya—seperti [[Kesultanan Johor|Johor]] dan [[Kerajaan Pattani|Patani]] di [[Semenanjung Melayu]], [[Kesultanan Aceh|Aceh]] di [[Sumatra]], [[Kesultanan Banjar|Banjarmasin]] di [[Kalimantan]], dan [[Kesultanan Demak|Demak]] di [[Jawa]]—yang semuanya memiliki status sebagai benteng agama Islam, semakin intensif. Namun, hingga pertengahan abad ke-16, Sulawesi Selatan tetap menjadi salah satu dari sedikit domain signifikan dalam jaringan perdagangan regional yang belum sepenuhnya tersentuh oleh [[Islamisasi|Islam]].{{sfn|Pelras|1996|hlm=125}}
 
===Upaya Awal untuk Mengkristenkan kerajaan-kerajaan Bugis===
[[File:Manuel Godinho de Erédia self portrait.jpg|thumb|[[Manuel Godinho de Erédia]], seorang penjelajah [[Melaka Portugis]] keturunan Bugis-Portugis]]
Meskipun kontak awal dengan Islam telah terjadi sejak tahun 1490 melalui hubungan perdagangan antara Siang dan Malaka, sebagian besar masyarakat Bugis masih menganut agama ''patturioloang'' asli. Pada tahun 1540, dua bangsawan dari Makassar telah [[baptis|dibaptis]] di [[Ternate]]. Mereka kemudian melakukan kunjungan lain pada tahun berikutnya dan membeli banyak bahan dari wilayah tersebut, termasuk emas, [[cendana]] dan senjata besi. Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis, melakukan beberapa perjalanan antara Sulawesi dan [[Malaka Portugis|Malaka]] sejak tahun 1542, kemungkinan tertarik oleh potensi kekayaan wilayah tersebut. Selama ekspedisinya ke kerajaan-kerajaan Bugis seperti Suppa' dan Siang, ia terlibat dalam [[teologi|diskusi teologis]] dan diminta untuk membaptis La Putebulu, Datu dari Suppa' dan keluarganya, diikuti oleh raja Siang pada tahun 1544. Baptisan tersebut juga diakhiri dengan aliansi militer dengan kedua kerajaan tersebut.{{sfn|Pelras|1996|hlm=127}}<ref name="Tribun-timur.com 2013">{{cite web | title=Jejak Kristen di Tanah Bugis | website=Tribun-timur.com | date=2013-12-28 | url=https://makassar.tribunnews.com/amp/2013/12/28/jejak-kristen-di-tanah-bugis | language=id | access-date=2021-11-22}}</ref>
 
Kembalinya De Paiva ke Malaka tidak hanya disertai dengan hadiah resmi untuk [[Kerajaan Portugal]], tetapi juga dengan empat pemuda Bugis yang kemudian akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi Jesuit di [[India Portugis|Goa India]]. Kedua raja Bugis juga meminta para imam dan dukungan militer dari gubernur Portugis Malaka, kemungkinan untuk mengatasi bahaya yang semakin meningkat dari kerajaan-kerajaan Makassar tetangga seperti Gowa-Tallo. Pembaptisan lanjutan dilakukan pada tahun 1545 oleh seorang pastor, Pastor Vicente Viegas, yang terlibat dalam kristenisasi para penguasa Bugis di Alitta dan Bacukiki'. Menurut [[Manuel Godinho de Erédia]], raja-raja Sawitto dan Sidenreng juga ikut serta, semuanya adalah sekutu Suppa' dalam Aliansi [[Ajatappareng]].<ref name="Tribun-timur.com 2013"/>
 
Hubungan dengan Portugis tetap baik hingga sebuah insiden elopement antara seorang perwira Portugis dan putri La Putebulu dari Suppa terungkap, di mana mereka menikah secara diam-diam di Malaka, yang kemudian menghasilkan kelahiran [[Manuel Godinho de Erédia]]. Kapal Portugis harus segera meninggalkan Sulawesi untuk menghindari kekerasan yang parah, dan mereka tidak berani kembali ke pulau itu hingga tahun 1559.{{sfn|Pelras|1996|p=128}} Salah satu anggota perjalanan, Manuel Pinto, memutuskan untuk tetap tinggal di Sulawesi Selatan. Ia mencatat perkembangan politik dan terlibat dalam diskusi dengan beberapa penguasa Bugis-Makassar di wilayah tersebut sebelum kembali ke Malaka (melalui Jawa). Namun, Datu Suppa dan penduduknya, bersama dengan kerajaan-kerajaaan [[Ajatappareng]], tetap sebagian besar beragama Kristen menurut [[Manuel Godinho de Erédia]].<ref name="Tribun-timur.com 2013"/>
 
Setelah pemulihan hubungan ekonomi dengan Malaka Portugis pada tahun 1559, terdapat permintaan berulang dari Sulawesi Selatan, terutama dari kerajaan-kerajaan [[Ajatappareng]], untuk mendatangkan para imam. Namun, tidak banyak yang tersedia dan Portugis tidak menganggap Bugis sebagai perhatian utama mereka. Baru pada tahun 1584, Portugis mengirim empat biarawan [[Fransiskan]] ke daerah tersebut, dan masa tinggal mereka relatif singkat. Nasib dari empat pria Bugis yang dikirim untuk pendidikan di [[India Portugis|Goa, India]] juga tidak diketahui. Selanjutnya, tidak ada upaya baru untuk membaptis Sulawesi yang dilakukan setelah periode tersebut,{{sfn|Pelras|1996|p=130}} maupun dukungan militer Portugis terhadap invasi oleh Raja Gowa-Tallo, Karaeng Lakiyung Tunipalangga, yang menggabungkan dan menundukkan Siang bersama dengan kerajaan-kerajaan [[Ajatappareng]].<ref name="Tribun-timur.com 2013"/>
 
===Pencarian Prestise, Pengaruh dan Kekuasaan di Semenanjung===
[[File:Ternate Bali Bugis soldiers.jpg|thumb|Dari kiri ke kanan: Tentara Ternate, Bali, dan Bugis, ilustrasi Eropa dari abad ke-17]]
Selama pemulihan hubungan Portugis-Sulawesi Selatan pada tahun 1559, dinamika politik di wilayah tersebut mengalami perubahan yang signifikan. Kerajaan Makassar dan Gowa, telah memperluas pengaruhnya ke utara dan menyerap banyak kerajaan Bugis yang sebelumnya memiliki hubungan ramah dengan Portugis.
 
Pada saat yang sama, Kerajaan Bone juga memulai ekspansi ke selatan dan segera berhubungan langsung dengan Makassar. Kedua kerajaan ini bersaing untuk menguasai seluruh Semenanjung bersama dengan jalur perdagangan yang penting.
 
Dengan demikian, kedua kerajaan yang berkembang ini terikat untuk menghadapi konflik besar, dan perang akhirnya pecah pada tahun 1562. Gowa didukung oleh Luwu; dan juga oleh Wajo dan Soppeng, yang keduanya mungkin lebih memilih untuk berada di bawah pengaruh kekuasaan jauh seperti Luwu atau Gowa, karena hal ini akan memberi mereka otonomi yang lebih besar dibandingkan dengan kerajaan tetangga seperti Bone, yang kemungkinan akan mendominasi mereka.{{sfn|Pelras|1996|p=132}}
 
Perang berakhir pada tahun 1565 dan [[perjanjian damai]] diadakan setelahnya. Kedua kerajaan sepakat pada Sungai Tengka sebagai wilayah pengaruh masing-masing di bawah Perjanjian Caleppa. Warga Bone dan Gowa juga diberikan hak yang sama di wilayah masing-masing.
 
Ambisi untuk mendominasi terus berlanjut di Sulawesi Selatan. Antara tahun 1570 dan 1591, beberapa operasi militer dilakukan oleh Gowa, seringkali dengan dukungan dari Luwu. Meskipun kekuasaan yang jauh, Gowa cenderung cukup keras terhadap kerajaan Bugis vassalnya, Wajo dan Soppeng, hal ini membuat kedua kerajaan ini cenderung menerima ajakan Bone untuk memulihkan [[otonomi]] mereka. Pada tahun 1590, ketiga kerajaan (Wajo, Soppeng, dan Bone) membentuk aliansi yang dikenal sebagai ''Tellumpocco'e'', 'Tiga Puncak' atau 'Tiga Besar'.{{sfn|Pelras|1996|p=133}}
 
Pada tahun 1590, Daeng Mammeta memulai kampanye lain untuk menghancurkan Wajo, tetapi ia terbunuh dalam [[amuk]] yang tidak terkendali. Gencatan senjata segera mengikuti pada tahun 1591, dan perundingan damai, di bawah Perjanjian Caleppa, diperbarui.
 
===Islamisasi Bugis-Makassar-Mandar===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Traditionele begrafenis van de autonome bestuurder Maradia van Sawitto Paré-paré Celebes TMnr 10003212.jpg|thumb|Upacara pemakaman untuk penguasa Sawitto, tahun 1930-an]]
 
Pada paruh kedua abad ke-16, persaingan antara Islam dan Kekristenan masih belum sepenuhnya terpecahkan di Semenanjung Sulawesi Selatan. Sebagian besar kerajaan di Sulawesi sudah memeluk Islam di bawah pengaruh [[Kesultanan Ternate|Ternate]]-Gorontalo pada tahun 1525 dan [[Kesultanan Buton|Buton]] pada tahun 1542. Sudah ada individu-individu yang memeluk agama Islam di Sulawesi Selatan.{{sfn|Pelras|1996|p=133}}
 
Pada tahun 1550, komunitas Muslim-Melayu di Makassar diberi hak istimewa oleh penguasa Gowa menurut ''Lontarak Patturiolonga''. Namun, pada tahun 1575, selama kunjungan Abdul Makmur (Dato' ri Bandang), salah satu penyebar Islam dari Minangkabau, ia mencatat bahwa ada beberapa kesulitan untuk mengubah kepercayaan lokal — ketertarikan yang berlebihan terhadap daging babi kering, hati rusa mentah yang dicincang dengan darah (lawa), dan minuman keras dari pohon kelapa. Ia kemudian melanjutkan untuk menyebarkan ajaran Islam di [[Kutai|Kerajaan Kutei]], Borneo timur, di mana ia lebih sukses.{{sfn|Pelras|1996|p=133}} Pada tahun 1580, Sultan Ternate, Babullah, menyarankan penguasa Gowa untuk memeluk ajaran Islam, tetapi sang raja menolak. Namun, sebagai tindakan kebaikan, ia memberi izin kepada komunitas Makassar-Melayu untuk membangun sebuah [[masjid]].{{sfn|Pelras|1996|pp=134}}
 
[[File:Boeginese hadjis te Mekka, KITLV 90701.tiff|thumb|upright|left|Jemaah haji Bugis ke [[Mekkah]], abad ke-19]]
Abdul Makmur kembali ke Makassar bersama Sulaiman (Dato' ri Pa'timang) dan Abdul Jawad (Dato' ri Tiro). Ketiga orang ini berasal dari Minangkabau dan kemungkinan telah mendapat pendidikan di Aceh,{{sfn|Pelras|1996|p=135}} sebelum mereka mengunjungi Johor-Riau untuk mempelajari budaya Sulawesi Selatan dari pelaut Bugis-Makassar, diikuti oleh studi di bawah [[Wali Songo]] di [[Jawa]], dalam misi penyebaran yang difasilitasi oleh Sultan Johor. Setelah upaya mereka untuk memperkenalkan ajaran Islam sekali lagi menemui penolakan, mereka berangkat ke [[Luwu]]. Hal ini karena Luwu merupakan pusat spiritual Sulawesi Selatan dan kepercayaan pribadinya tentang Dewata SewwaE memiliki beberapa kesamaan dengan Islam.<ref name="Mukhaer 2021">{{cite web | last=Mukhaer | first=Afkar Aristoteles | title=Proses Kristenisasi dan Islamisasi Sulawesi Selatan yang Beriringan | website=National Geographic Indonesia | date=2021-11-18 | url=https://nationalgeographic.grid.id/amp/132993907/proses-kristenisasi-dan-islamisasi-sulawesi-selatan-yang-beriringan | language=id | access-date=2021-11-22}}</ref> Mereka berhasil mengkonversi Pattiarase, Datu Luwu, dan pada Februari 1605 ia mengambil nama Sultan Muhammad. Kelompok ini kemudian mengunjungi kembali Makassar dan ketiganya berhasil mempromosikan Islam kepada penguasa Gowa, yang kemudian memeluk Islam dengan nama Sultan Ala’uddin. Pada November 1607, salat publik pertama kali dilakukan di Masjid Tallo' yang baru dibangun.{{sfn|Pelras|1996|p=139}} Konversi dimulai perlahan dan beradaptasi dengan praktik Ammatoa lokal yang berpusat di Bulukumba.<ref name="Mukhaer 2021"/>
 
Kerajaan kembar Gowa dan Tallo mendorong kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan untuk mengikuti langkah mereka dalam memeluk Islam sebagai agama mereka. Ketika undangan ini ditolak, mereka meluncurkan serangkaian tindakan militer yang dikenal sebagai "perang Islam". Pada tahun 1608, kerajaan-kerajaan di pantai barat seperti Bacukiki', Suppa', Sa wino', dan Mandar; serta di pantai timur, Akkotengeng dan Sakkoli', menyerah; diikuti dengan penaklukan Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, dan Wajo pada tahun 1610.
 
Sejalan dengan penyerahan dari kerajaan Bugis Bone pada tahun 1611, sebagian besar Semenanjung Sulawesi Selatan (kecuali dataran tinggi Toraja) telah menerima Islam.<ref>{{cite journal|last=Mohd Sani|first=Mohd Azizuddin |year=2016|title=Transformasi Budaya Islam di Kerajaan Bone pada abad ke-17|journal=Jurnal Adabiyah|publisher= Faculty of Adab and Humanities of Alauddin State Islamic University |language=id|location= Makassar, Indonesia|pages=26–43|url=https://repo.uum.edu.my/id/eprint/19548/|access-date=31 July 2021}}</ref><ref>{{cite journal|last=Patmawati|year=2016|title=Peranan Nilai Philosofi Bugis Terhadap Proses Pengislaman Kerajaan Bugis Makassar di Sulawesi Selatan|journal=Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies|volume=6 |issue=2 |publisher= Pontianak State Institute of Islamic Studies|language=id|location= Pontianak, Indonesia|pages=183–200|url=https://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/khatulistiwa/article/view/651/396|access-date=31 July 2021}}</ref><ref name="Noorduyn">{{cite journal |url=https://www.jstor.org/stable/27863842 |title=Makasar and the Islamization of Bima |last=Noorduyn |first=J. |journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde |year=1987 |volume=143 |issue=2/3 |pages=312–342 |doi=10.1163/22134379-90003330 |jstor=27863842 |quote="The Makasarese king understood the meaning of this and began what is known as the Islamic war, in Makasarese bunduq kasallannganga, by which he succeeded in the next four years in forcing the major Buginese kingdoms to accept Islam one by one, Bone as the last in 1611."}}</ref>{{sfn|Pelras|1996|p=137}} Bone, kemudian akan terus menyebarkan Islam ke dua kerajaan vasalnya yang terletak di tepi kerajaan Toraja — yaitu Enrekang dan Duri.{{sfn|Bigalke|2005|p=4}}
 
Islamisasi di sebagian besar Sulawesi Selatan telah menyediakan platform untuk revolusi keyakinan dan ideologi. Hukum dan prinsip Islam diterapkan dan diserap ke dalam budaya Makassar, Bugis, dan Mandar.{{sfn|Pelras|1996|p=138}}
 
Dato' ri Bandang mengarahkan pertama-tama pada pendirian [[Sharia|prinsip Syariah]] di wilayah tersebut, dengan penekanan pada pentingnya pelayanan agama pada upacara [[sunat]], [[Pernikahan dalam Islam|pernikahan]], dan [[Pemakaman dalam Islam|pemakaman]]. Namun, dengan pengecualian upacara pemakaman yang sepenuhnya di-Islamkan; upacara lainnya yang berbasis pemahaman Islam hanya diintegrasikan dengan praktik, norma, dan adat tradisional yang sudah ada. Adapun pelanggaran, juga ada penegakan hukum yang kuat terhadap [[Zina#Perzinahan dan perbuatan cabul|perzinahan]] dan [[Hewan dalam Islam#Al-Qur'an|konsumsi daging babi]]; perilaku lainnya termasuk mengonsumsi alkohol dan opium, persembahan di tempat suci, penyembahan pada barang-barang kerajaan, peminjaman uang dengan bunga ([[Riba]]) dan [[Maisir|perjudian]] juga dikutuk.
 
Seiring dengan perlunya Islamisasi yang perlahan mengambil akar di masyarakat di semenanjung, masjid dibangun di setiap wilayah. Dengan demikian, posisi-posisi baru dari [[qadi]], [[imam]], dan [[khatib]] diangkat di seluruh wilayah Bugis-Makassar.
 
Meskipun menjadi Muslim yang taat, proses ini tidak menghalangi Raja Gowa yang Muslim dari Makassar untuk menjaga hubungan baik dengan Portugis dan Kekristenan. Meskipun demikian, wilayah Bugis dan Makassarese menjadi Muslim dan kini dicegah untuk beralih ke Kekristenan oleh penguasa lokal.
 
===Akhir Kekuasaan===
[[File:AMH-6157-NA The conquest of Macassar by Speelman from 1666 to 1669.jpg|thumb|Penaklukan Makassar, salah satu peristiwa klimaks dalam sejarah Sulawesi Selatan]]
Dimulai dari akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-19, [[Keseimbangan kekuasaan (hubungan internasional)|keseimbangan kekuasaan]] di Sulawesi Selatan mengalami penurunan drastis akibat serangkaian perubahan radikal dalam pemerintahan lokal, termasuk perselisihan dinasti internal, ketegangan geopolitik, pengaruh sekunder yang berkembang dari [[konsumerisme]] Barat dan Kejatuhan Makassar.{{sfn|Pelras|1996|pp=138-139}}
 
Setelah lebih dari satu abad pasca perjuangan monumental antara Gowa dan Bone untuk penguasaan semenanjung, perang lain perlahan-lahan mulai muncul kembali antara dua kekuatan yang bersaing. Konflik ini bermula dari masalah domestik di Kerajaan Bone, yang diperintah dari 1631 hingga 1634 oleh La Ma'daremmeng. Raja menerapkan aturan berdasarkan prinsip Islam yang kuat, termasuk menghapus bissu pagan dan melarang konsumsi bir kelapa serta praktik-praktik superstitious lainnya. Titik puncaknya adalah pelarangan perbudakan, yang mengakibatkan pemberontakan oleh [[Ibu suri]]. Ia kemudian meminta bantuan Gowa dan operasi militer besar-besaran pun dilakukan. Pasukan Makassar berhasil meraih kemenangan dan menangkap 30.000 tawanan Bugis, termasuk La’daremmeng dan mengangkat seorang gubernur Makassar. Setelah pemberontakan berikutnya, Bone diubah menjadi koloni penuh. Ini menyebabkan kemarahan di kalangan rakyat dan bangsawan Bone.{{sfn|Pelras|1996|pp=142-143}}
 
Pada saat yang sama, [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|Belanda]] juga mulai mengalihkan perhatian mereka ke kota pelabuhan [[Makassar]] — sebuah ibu kota penting dalam hal perdagangan, kekayaan, basis politik, dan militer di kepulauan timur. Sebaliknya, baik Kerajaan Makassar Gowa maupun Belanda menganggap satu sama lain sebagai ancaman besar terhadap dominasi mereka dalam [[perdagangan rempah]] yang sangat menguntungkan.
 
[[File:Radja Palacca (AMH-6157-NA).jpg|thumb|left|upright|Arung Palakka, ilustrasi dari abad ke-17]]
Kesempatan bagi Bone datang setelah serangan Belanda yang sukses pada Makassar pada tahun 1660. Diperlukan untuk menandatangani gencatan senjata yang tidak menguntungkan, orang-orang Gowa meminta 10.000 orang Bone untuk menggali parit secara paksa sebagai pertahanan terhadap kemungkinan serangan dari darat. Beberapa bangsawan Bone, termasuk Arung Pallaka, berlindung di Buton dan mengusulkan aliansi Bugis-Belanda melawan Makassar.{{sfn|Hall|1981|p=346}} Aliansi militer ini juga bergabung dengan kerajaan Soppeng, yang, mirip dengan Bone, menganggap serangan ini sebagai tindakan pembalasan terhadap tindakan Gowa yang memperbudak ribuan orang mereka untuk membangun fasilitas di Makassar.
 
Perang meletus pada tahun 1666, dengan aliansi Bugis-Belanda dibantu oleh pasukan dari Ternate, [[Ambon]] dan Buton. Sekutu utama Makassar selama perang adalah kerajaan Bugis utara, Wajo. Meskipun menjadi mitra Bone berdasarkan perjanjian di masa lalu, pemimpin Wajo memutuskan untuk memasuki aliansi dengan Gowa untuk melawan pengaruh Belanda.
 
Jatuhnya Makassar terbukti fatal. [[Sultan Hasanuddin]] terpaksa menandatangani [[Perjanjian Bungaya]] pada 18 November 1667. Ini mengharuskan Makassar untuk menghapus sebagian besar bentengnya, melepaskan perdagangan rempah-rempah, mengakhiri impor barang-barang asing kecuali [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|Belanda]], mengusir Portugis dan Eropa non-Belanda lainnya, serta menolak segala bentuk kekuasaan suzerain, baik di tanah Bugis maupun bagian lain di kepulauan.{{sfn|Hall|1981|p=346}} Pada tahun 1669, Sultan Hasanuddin turun dari takhta.
 
Belanda berhasil mencapai tujuannya setelah jatuhnya Makassar, tetapi mereka bukan satu-satunya pemenang; yang lain adalah Kerajaan Bone, meskipun dengan beberapa pembatasan mengikuti perjanjian yang juga ditandatanganinya, kerajaan ini akan secara efektif mempertahankan kedaulatannya hingga abad ke-19. Oleh karena itu, dalam narasi Bone, Arung Palakka dianggap sebagai pejuang kemerdekaan; sementara dalam warisan Makassar, Sultan Hasanuddin yang bersaing dianggap sebagai pahlawan bagi orang Makassar.{{sfn|Pelras|1996|p=143}}
 
Setelah dibebaskan dari Makassar, [[kekosongan kekuasaan]] kemungkinan telah membuka jalan bagi Bone untuk mempertahankan kedaulatan yang tidak tertandingi di seluruh semenanjung. Namun, prospek [[Uni politik|menyatukan]] semua tanah Bugis di bawah seorang penguasa tunggal terhenti oleh keberadaan Belanda di wilayah tersebut. Semenanjung kemudian terus bertahan di bawah mosaik berbagai [[konfederasi]] kecil dan besar.
 
===Transformasi Perdagangan dan Emigrasi===
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Boeginese prauw aan de kust van West-Celebes TMnr 10010875.jpg|thumb|Sebuah [[Palari (perahu)|Palari]] di [[Sulawesi Barat]] pada awal abad ke-20]]
Salah satu dampak besar setelah penaklukan Makassar adalah perubahan dalam desain navigasi dan [[emigrasi|rute emigrasi]] di antara masyarakat Sulawesi Selatan. Pelabuhan kosmopolitan Makassar menjadi titik awal maritim yang krusial, tidak hanya bagi orang Makassar, tetapi juga bagi orang Bugis yang mencari kekayaan dan ketenaran di kepulauan barat, karena Belanda memberlakukan pembatasan berat untuk akses mereka ke [[Kepulauan Maluku|Kepulauan Rempah-rempah]] di timur.{{sfn|Pelras|1996|pp=144-145}}
 
Secara bersamaan, selama akhir abad ke-17 dan abad ke-18, muncul periode transformasi yang ditandai dengan pendirian jaringan perdagangan laut yang penting. Migran yang ambisius terlibat dalam usaha luar negeri yang berani, berkontribusi pada kebangkitan bertahap kelas menengah pedagang yang kemudian memegang posisi penting dalam masyarakat Bugis. Pembangunan [[Jalur perdagangan|jaringan perdagangan laut]] ini meninggalkan dampak yang bertahan lama, membentuk kegiatan ekonomi dan mendorong konektivitas baik di dalam Sulawesi Selatan mereka maupun di wilayah asing.{{sfn|Pelras|1996|p=337}} Namun, selama periode ini, mereka juga mengalami renaisans seni dan budaya yang berkembang pesat di tanah air mereka. Banyak karya sastra penting mereka, termasuk sebagian besar produksi pasca-[[La Galigo]], berasal dari masa-masa ini.{{sfn|Pelras|1996|p=139}}
 
Pada awal abad ke-18, orang Bugis secara strategis beraliansi dengan [[Kesultanan Johor]], awalnya bertindak sebagai tentara bayaran selama perjuangan kekuasaan penting melawan [[Minangkabau]] yang dipimpin oleh [[Raja Kecil]]. Langkah strategis ini menandai titik balik penting, memperkuat posisi mereka dalam inti politik Melayu dan membentuk jalur politik mereka di kepulauan barat.<ref name=":Andaya"/>
 
Selanjutnya, banyak orang Bugis menetap di [[Kepulauan Riau]], dekat dengan istana [[Johor]], menambah kehadiran mereka di wilayah tersebut. Sebagai titik pertemuan krusial antara rute perdagangan regional dan global, mereka meluncurkan pengaruh angkatan laut mereka ke berbagai arah dalam perdagangan dan politik, termasuk Semenanjung Melayu, [[Singapura]], Sumatra, dan pantai barat Kalimantan.{{sfn|Ricklefs|2005|p=159}}{{sfn|Julianti L. Parani|2015|pp=4-5}} Di sini mereka menantang Belanda untuk dominasi dalam ekspor penambangan timah. Mereka juga terlibat secara mendalam dalam perselisihan dinasti di antara para raja; dan melalui tindakan bersenjata, tradisi berbasis militer, dan pernikahan politik, mereka menavigasi menjadi salah satu pemain tangguh dalam lingkup politik Melayu. Di daerah ini, keturunan mereka dikenal sebagai Melayu-Bugis.
 
[[Zaman Layar]] juga ditandai dengan gelombang migrasi dan perdagangan yang saling terhubung ke [[Batavia]], pantai utara [[Java]], [[Bali]], [[Madura]], [[Alor]], [[Kepulauan Nusa Tenggara]], Kalimantan tenggara, [[Kepulauan Sulu]] dan bagian lain dari Sulawesi dalam pencarian kekayaan, prestise dan pengaruh politik.{{sfn|Husain, B., et al.|2020|pp=83}}{{sfn|Ho|2013}}
 
== Budaya ==
[[File:Bugis script example.jpg|thumb|center|800px|[[Aksara Lontara|Lontara]], aksara tradisional Bugis-Makassar]]
=== Bahasa dan dialek ===
[[File:Bugis-speaking area.svg|thumb|upright|Kawasan dengan konsentrasi tinggi penutur Bugis di Sulawesi; dengan inti pusatnya terletak di dataran rendah provinsi Sulawesi Selatan]]
Bahasa [[Bugis]] merupakan bagian dari keluarga bahasa [[Austronesia]].{{sfn|Friberg|1984|p=1}} Bahasa ini termasuk dalam kelompok bahasa utama di belahan barat daya Sulawesi, bersama dengan [[bahasa Makassar|Makassar]], [[bahasa Toraja|Toraja]], [[Rumpun bahasa Sulawesi Selatan Utara|Massenrempulu]], dan [[bahasa Mandar|Mandar]]. Bahasa-bahasa ini secara kolektif termasuk dalam [[bahasa Sulawesi Selatan]].
 
Penutur bahasa Bugis dominan di sebagian besar [[Kabupaten|kabupaten]] di Sulawesi Selatan — yaitu [[Kabupaten Bone|Bone]], [[Kabupaten Soppeng|Soppeng]], [[Kabupaten Wajo|Wajo]], [[Kabupaten Sidenreng Rappang|Sidrap]], [[Kabupaten Pinrang|Pinrang]], [[Kabupaten Barru|Barru]], [[Kabupaten Sinjai|Sinjai]], dan [[Kota Parepare|Parepare]].{{sfn|Murni Mahmud|2010|pp=86}} Di [[Kabupaten Bulukumba|Bulukumba]], [[Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan|Pangkep]], dan [[Kabupaten Maros|Maros]], populasi penduduk terbagi antara desa-desa penutur Bugis dan Makassar, masing-masing desa mempertahankan identitas bahasa mereka sendiri. Batasan bahasa yang serupa juga terlihat di kota-kota pesisir barat laut [[Kabupaten Pinrang|Pinrang]] (di Provinsi Sulawesi Selatan) dan [[Kabupaten Polewali Mandar|Polmas]] (di [[Sulawesi Barat]]), yang merupakan area transisi antara wilayah budaya Bugis dan Mandar.{{sfn|Umrahwati|2018|p=4}}
 
Berada di pinggiran dunia Bugis-Toraja, orang Massenrempulu (yang mencakup kelompok Duri, Enrekang, Maiwa, dan Malimpung) dari [[Kabupaten Enrekang|Enrekang]] dan utara [[Kabupaten Pinrang|Pinrang]] serta penutur [[bahasa Tae’|Tae']] dari Luwu juga kadang-kadang dianggap dan diterima sebagai subkelompok dari keluarga Bugis karena tradisi dan afiliasi agama yang sama.{{sfn|Nur Azizah|2017|p=43}} Secara budaya, mereka membentuk kontinum antara orang Bugis dan Toraja; secara linguistik, bahasa ibu Massenrempulu dan Tae’ umumnya lebih dekat dengan bahasa Toraja.
 
[[File:KITLV and Buginese poem.jpg|thumb|left|Puisi Bugis dengan font berwarna biru di latar belakang putih, terletak di tepi [[kanal]] [[Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde|KITLV]], [[Leiden]], [[Belanda]]]]
 
Meskipun terdapat beberapa perbedaan dalam ekspresi lokal dan dialek, varian-varian bahasa Bugis (kecuali Massenrempulu dan Tae’, jika dipertimbangkan) umumnya tetap memiliki tingkat [[kesalingpahaman]] yang tinggi satu sama lain. Namun, dalam masyarakat Bugis utama, adalah praktik yang diterima untuk membedakan diri mereka secara regional dan budaya berdasarkan lokasi kerajaan tradisional dan leluhur mereka.{{sfn|Pelras|1996|p=12}}
 
Ada perbedaan halus dalam bahasa yang digunakan di area-area ini, dan ahli bahasa mengidentifikasi varian-varian ini sebagai dialek yang terpisah (bukan bahasa yang berbeda). Saat ini, terdapat sepuluh cabang utama dialek Bugis{{sfn|Friberg|1984|p=1}} — Bone, Camba, Pangkep, Sidrap, [[Kabupaten Pasangkayu|Pasangkayu]], Sinjai, Soppeng, Wajo, Barru, dan [[Kabupaten Luwu|Luwu]],{{sfn|Frawley|2003|p=137}} serta puluhan subdialek kecil yang berasal dari cabang utama. Namun, beberapa peneliti masih berselisih apakah Sawitto — sebuah varian Bugis yang berbeda yang dituturkan di pusat Pinrang{{sfn|Druce|2009|p=140}} — tetap berada dalam kelompok bahasa yang sama atau cukup berbeda untuk dianggap sebagai bahasa yang terpisah.{{sfn|Tryon|1995|p=549}}
 
[[File:Wikipedia-logo-v2-bug.svg|thumb|125px|Wikipedia Bugis (''Wikipedia basa Ugi'') adalah [[:bug:|edisi bahasa Bugis]] dari [[Wikipedia]], ensiklopedia [[online]] yang bebas]]
 
Orang Bugis masa kini umumnya [[Multilingualisme|bilingual]]. Di Sulawesi Selatan, mereka menggunakan dua bahasa utama, yaitu Bugis atau [[bahasa Indonesia|Bahasa Indonesia]], disesuaikan dengan lingkungan, lingkaran sosial, dan kegiatan. Bahasa Indonesia umumnya digunakan dalam situasi resmi, sebagai bahasa pendidikan formal, [[administrasi]], [[media massa]], dan sastra modern; Bahasa Indonesia juga umum digunakan saat berkomunikasi dengan penutur non-Bugis.{{sfn|Murni Mahmud|2010|p=87}} Dalam setting informal dan santai di sekitar lingkaran penutur Bugis, [[alih kode]] adalah hal yang umum, atau mencampurkan elemen dari kedua bahasa dalam berbagai derajat, seperti berbicara Bahasa Indonesia dengan elemen yang kuat dari bahasa Bugis dan sebaliknya.{{sfn|Murni Mahmud|2010|pp=86-87}}
 
Di provinsi Sulawesi Selatan, [[afiks]] seperti -ki’, -ko, na-, -ji, -mi, dll. digunakan dalam [[bahasa campuran|campuran bahasa]] Indonesia-Bugis-Makassar. Aksen Bugis-Makassar, yang dikenal sebagai ''Okkots'', juga terlihat dalam penggunaan pengucapan -ng yang lebih kuat dalam beberapa bagian ucapannya. Pola ini tidak terbatas hanya di wilayah Sulawesi Selatan, tetapi juga dapat terdengar di bagian lain Indonesia dengan populasi Bugis yang terlihat. Di luar provinsi, campuran bahasa ini tidak hanya dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, tetapi juga oleh jejak bahasa lokal dan dialek lain yang terintegrasi dengan bahasa Bugis diaspora. Demikian pula, di luar Indonesia, campuran bahasa ini juga dapat terlihat di Malaysia dan Singapura, yang memiliki komunitas Bugis yang cukup besar. Selain dipengaruhi oleh Bahasa Indonesia, komunitas Bugis di negara-negara ini juga dipengaruhi oleh [[bahasa Melayu]] dan dialek lokalnya.
 
Di luar tanah leluhur mereka di dataran rendah Sulawesi Selatan, bahasa Bugis, dialek, dan campurannya ditemukan di seluruh jaringan diaspora dan enklave etnis di Sulawesi dan seluruh [[Asia Tenggara Maritim]]. Namun, saat ini ada kecenderungan [[pergeseran bahasa]] yang nyata di antara diaspora di luar Sulawesi Selatan, sehingga pemahaman dan penguasaan bahasa Bugis dapat bervariasi berdasarkan latar belakang pribadi, paparan, minat, dan kontak dengan bahasa leluhur mereka.
 
=== Filsafat ===
{{blockquote|text= ''Siri’ na Pacce'' (Rasa Malu, Belas Kasih) |author= Kode Etik Bugis-Makassar-Mandar-Toraja |title= }}
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Buginese kris met houten schede TMnr 1322-117.jpg|thumb|Salah satu keris bergaya Bugis]]
Bugis-Makassar memiliki warisan yang kaya, filsafat, struktur agama dan sosial. Adat mereka didasarkan pada konsep ''Pangadereng'' — yang awalnya terdiri dari ''[[Adat|Ade]]'' (adat), ''Rapang'' ([[Hukum]]), ''Bicara'' ([[Pengadilan]]) dan ''Warik'' ([[Sistem sosial]]); setelah Islamisasi Bugis-Makassar, ''Syara''' ([[Syariah]]) dimasukkan ke dalam nilai-nilai inti mereka.{{sfn|Nurnaningsih|2015|pp=340}}
 
Kearifan lokal lainnya termasuk ''Siri' na pacce''.{{sfn|Abdul Azis, et al.|2020|pp=83}} Ini berfungsi sebagai panduan, konvensi sosial, dan perilaku moral. ''Siri'' menandakan penggabungan sikap malu dan harga diri, yang berfungsi sebagai pilar yang mendukung pentingnya martabat, kebajikan, penghargaan, solidaritas, dan tanggung jawab. ''Siri'' adalah elemen penting agar seseorang dianggap sebagai ''tau'' (manusia). ''Pacce'' memanifestasikan kehadiran belas kasih dan solidaritas. Ini melibatkan kemampuan seseorang dalam [[kecerdasan emosional]], termasuk cinta, kesedihan, rasa sakit, dan solidaritas. Interpretasi lain dari ''Pacce'' berkisar pada pengorbanan diri, kerja keras, dan pengekangan diri. Selain Bugis dan Makassar, etos tradisional ini juga dibagikan oleh kerabat utara mereka — [[Suku Toraja|Toraja]] dan [[Suku Mandar|Mandar]].
 
Diterjemahkan sebagai "empat sudut" — ''Sulappa Eppa'' mewakili filsafat kuno, ide, dan teori Bugis-Makassar tentang gagasan bahwa alam semesta dibangun dalam bentuk [[belah ketupat]] raksasa, yang diciptakan oleh empat dasar utama — [[angin]], [[api]], [[air]], dan [[tanah]]. Dengan demikian, estetika, ungkapan, dan nuansa klasik Bugis-Makassar sebagian besar dibuat dan dibayangkan dalam komposisi empat [[sudut]] yang dominan; termasuk dalam skrip tulisan tradisional mereka (''lontara''), tata letak arsitektur, hidangan upacara (''songko'' dan ''songkolo''), desain seni, motif [[sarung]] dan nilai-nilai filosofis. Keempat elemen ini juga secara sinonim dikaitkan dengan empat warna berbeda — angin (kuning), api (merah), air (putih), dan tanah (hitam).{{sfn|Hasbi, et al.|2021}} Selain itu, ''Lipa' Sabbe'' atau ''sarung sutra'' (sarung kain yang terbuat dari [[sutra]]) melambangkan penghormatan terhadap paradigma budaya Bugis-Makassar yang paling murni.{{sfn|Murni Mahmud|2010|pp=1}}
 
=== Skrip Tradisional ===
[[File:Sureq bawang.jpg|thumb|100px|Bentuk awal sastra Bugis yang tercatat terutama didokumentasikan dalam gulungan daun ''[[Borassus|Lontar]]'', seperti yang terlihat pada ''Sure' Bawang'']]
 
[[Aksara Lontara]] berasal dari [[Aksara Kawi]]; meskipun demikian, skrip ini mengalami perkembangan dan modifikasi lokal untuk menyesuaikan penulisan dalam bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar. Skrip ini secara tradisional digunakan untuk dokumen formal dan resmi seperti [[kontrak]], hukum perdagangan, [[perjanjian]], [[peta]], dan [[buku harian]], baik dalam format buku Barat maupun dalam [[Lontar]] tradisional.{{sfn|Atlas of Endangered Languages}} Dengan meningkatnya kekuatan angkatan laut Sulawesi Selatan di kepulauan timur, skrip ini menyebar pengaruhnya, diperkenalkan dan diadopsi sebagai Lonta Ende di [[Flores]], Mbojo di timur [[Sumbawa]], dan Satera Jontal di barat Sumbawa, meskipun dengan perubahan untuk bahasa-bahasa tersebut.{{sfn|Valls|2014|p=06}}
 
Nama "Lontara" diperoleh dari istilah ''Lontar'', yang daunnya sering digunakan untuk menulis naskah. Dalam Bahasa Bugis, sistem penulisannya disebut ''"urupu sulapa eppa"'', yang digambarkan sebagai "huruf kotak" atau "empat sudut", yang merupakan ilustrasi jelas tentang interpretasi awal Bugis-Makassar terhadap empat unsur yang membentuk alam semesta — api, air, tanah, dan udara.{{sfn|Valls|2014|p=06}}
 
Selama kolonisasi Belanda di [[Hindia Belanda|Hindia Belanda]], sistem penulisan ini sebagian besar digantikan dengan pengenalan [[Abjad Latin]]. Meskipun demikian, skrip ini masih mempertahankan pentingnya budaya yang mendalam di kalangan masyarakat Bugis-Makassar di tanah air mereka dan digunakan untuk upacara tradisional, kalender, dan sastra; serta dalam dokumen pribadi dan barang-barang tulisan tangan, misalnya dalam surat dan catatan. Skrip ini juga diajarkan di banyak sekolah di Sulawesi Selatan dan penggunaannya terlihat di beberapa [[rambu lalu lintas]] di seluruh provinsi. Saat ini, ada juga upaya signifikan oleh desainer tipografi dan grafis Indonesia untuk memperkenalkan skrip ini kepada audiens yang lebih luas di luar batas tradisionalnya.{{sfn|Atlas of Endangered Languages}}
 
Selain Lontara, ada juga bentuk penulisan tradisional Bugis-Makassar lainnya yang didasarkan pada skrip Arab, dikenal sebagai Alfabet Serang. Secara relatif, dengan modul yang hampir serupa dengan skrip saudara perempuannya, [[abjad Jawi]] dan [[abjad Pegon|Pegon]] untuk Melayu dan Jawa, sistem penulisan Serang mengintegrasikan penggunaan unsur-unsur [[abjad Arab]] dengan beberapa karakter tambahan untuk berintegrasi dengan bahasa lokal.<ref>{{Cite book |author=Matlob |title=Pandai Jawi |publisher=Cerdik Publications |year=2007 |isbn=978-983-70-1054-3 |pages=237–238}}</ref>
 
=== Folklor dan Tradisi Sastra ===
[[File:Kutika manuscript 1.jpg|thumb|upright|''Kutika'', sebuah almanak sejarah Bugis dengan penggunaan yang terlihat dari alfabet Lontara dan Arab pada halaman tersebut.]]
 
Sastra Bugis merujuk pada bentuk-bentuk sastra yang diekspresikan dalam bahasa Bugis — yang meliputi baik [[Sastra|sastra tulisan]] maupun [[tradisi lisan]]. Karya sastra Bugis yang paling awal disampaikan secara lisan, dengan sastra tulisan mulai muncul dan secara bertahap dikodifikasi dengan perkembangan skrip [[Lontara]]. Dasarnya banyak bertepatan dan beririsan dengan sastra Makassar— yang memiliki perkembangan yang erat dengan Bugis. Tradisi sastra Bugis terutama fokus pada [[Hikmat|kearifan]], [[moral]], kehidupan sosial, dan lingkungan budaya identitas Bugis.
 
Sastra rakyat Bugis adalah komposisi lisan yang sangat mendalam berakar pada pemahaman dan persepsi hidup Bugis — dalam bentuk [[prosa]], [[puisi]], dan [[Lirik (lagu)|lirik]]. Klasifikasinya mencakup berbagai puisi pendek, ''élong''; puisi naratif panjang, ''tolo''; ucapan ceria, seperti [[teka-teki]], ''atteppungeng'' dan [[lagu anak-anak]]; mantra magis, ''jappi, baca-baca''; ungkapan ritual pra-Islam, ''sabo, sessukeng, lawolo''; petuah, ''pappaseng''; dan [[Sumpah|sumpah setia]], ''aru''. Warisan lisan penting lainnya termasuk — cerita, ''curita''; [[khotbah]], ''katoba''; dan [[pidato]]. Meskipun pada dasarnya bersifat verbal, banyak karya tersebut juga kemudian ditulis dalam bahasa tersebut.{{sfn|Pelras|2016|p=27}}
 
[[File:Galigo.jpg|thumb|left|Petikan dari [[La Galigo]], ditulis dalam skrip Lontara]]
Penulisan dalam Skrip Lontara kemungkinan muncul pertama kali sekitar tahun 1400. Teks-teks awal diukir pada daun palma, diikuti dengan volume komposisi [[tulisan tangan]] pada naskah kertas, kemungkinan dari tahun 1500-an atau bahkan lebih awal.{{sfn|Macknight|2016|p=60}} Karya-karya sastra umumnya dipesan oleh spesialis penulis yang dikenal sebagai ''palôntara''. Tugas ''palôntara'' adalah sebagai peneliti dalam menciptakan dan menyusun naskah-naskah Bugis.{{sfn|Pelras|2016|p=23}} Naskah-naskah ini cenderung kaya dan bervariasi, dengan banyak [[tema]] dan subjek — termasuk [[sejarah]], puisi, [[hukum|karya hukum]], teks ritual, manual, etika, dan lain-lain. Bahan-bahan [[cetak]] dalam bahasa Bugis diperkenalkan pada paruh kedua abad ke-19, meskipun dengan sirkulasi yang lebih kecil, seperti dalam [[kamus]], [[Tata bahasa|buku tata bahasa]], chrestomathy, dan [[terjemahan]].{{sfn|Pelras|2016|p=20}}
 
Terdiri dari lebih dari 6.000 halaman, [[La Galigo]] dianggap sebagai [[magnum opus]] dalam warisan sastra Bugis. Disusun dalam bahasa Bugis kuno, [[saga]] ini berasal dari tradisi lisan awal. Teks puitis ini berfungsi sebagai [[almanak]] yang dihormati dan memberikan narasi tentang pemahaman kuno mengenai kemanusiaan dan kerajaan. Dalam budaya Bugis, episode-episode dari La Galigo biasanya dipentaskan melalui [[nyanyian]] dan [[puisi]] yang dipimpin oleh seorang spesialis La Galigo, yang dikenal sebagai ''passure''. Pertunjukan ini kadang-kadang diadakan selama [[festival]], [[pernikahan]], atau selama acara rumah baru.{{sfn|Pelras|2016|p=24}} Pada tahun 2012, dua naskah La Galigo termasuk dalam [[UNESCO|Program Memori Dunia UNESCO]].
 
Namun, koleksi terbesar sastra Bugis adalah dalam bentuk [[Genealogi|genealogi keluarga]]. Ini dianggap sebagai [[warisan]] keluarga yang penting, terutama di kalangan anggota keluarga bangsawan dan aristokrat. Beberapa yang bertanggal awal tahun 1400 — sekitar dua ratus tahun sebelum Islamisasi mereka, genealogi Bugis awal memberikan pandangan langka tentang budaya dan ideologi masyarakat Austronesia awal dan melek huruf.{{sfn|Druce|2016|pp=3-4}}
 
=== Pakaian, Tekstil, dan Tradisi Menenun ===
[[File:Girls with traditional dress.jpg|thumb|Sekelompok gadis berpakaian dalam [[Baju Bodo]], [[sarung]], dan aksesori rambut tradisional di [[Fort Rotterdam]], Makassar, Indonesia]]
 
Dalam budaya tradisional Bugis-Makassar, [[tekstil]] dan [[pakaian]] dihormati dan memiliki tempat khusus dalam masyarakat. Secara historis, warna dan motif yang dikenakan oleh pemakainya memiliki indikator penting dan berfungsi sebagai simbol penentu identitas, usia, dan status seseorang.{{sfn|Sejarah Baju Bodo|2019}}
 
Istilah [[Baju Bodo]] berasal dari bahasa Makassar, yang diterjemahkan sebagai "pakaian pendek".{{sfn|Sejarah Baju Bodo|2019}} Sebaliknya, dalam bahasa Bugis, pakaian ini juga dikenal sebagai ''Waju Tokko'' dan ''Waju Ponco''. Sebagai [[tunik]] dengan lengan pendek, pakaian ini biasanya dipadukan dengan [[sutra]] atau [[sarung]] tenunan. Pakaian ini berasal dari awal abad ke-9, mengikuti pengenalan kain ''muslin'' oleh para pedagang asing ke pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan.{{sfn|Resti|2021}} Kain ini, yang tipis dan ringan, sangat sesuai dengan cuaca tropis lokal di wilayah tersebut. Selain kain muslin, Baju Bodo juga umumnya dibuat dari kain serat [[nanas]] dan kapas.
 
[[File:Songkok Recca.jpg|thumb|left|''Songkok Recca'', dijual di ''[[pasar malam]]'' di [[Tawau]], Malaysia]]
Dengan meningkatnya [[Islamisasi]] di kalangan Bugis-Makassar, bentuk Baju Bodo yang terkait muncul. Memiliki lengan lebih panjang, ''Baju La’bu'' (dari bahasa Makassar {{lang|mak|la'bu}} 'panjang'), juga dikenal sebagai ''Bodo Panjang'' (keduanya berarti "kain panjang") disesuaikan dengan interpretasi Islam mengenai ''[[Aurat]]'' dan kesopanan. Baju La’bu juga tradisionalnya terbuat dari sutra, berbeda dari kain semi-transparan dan tembus pandang dari pendahulunya.{{sfn|Ros Mahwati Ahmad Zakaria|2019}}
 
Industri [[tenun]] Bugis-Makassar kemungkinan dimulai pada abad ke-15. Motif [[sarung]] buatan lokal awalnya sederhana, dengan garis-garis vertikal, horizontal, atau pola kotak-kotak yang sederhana,{{sfn|Aristy Claudia|2021}} kemungkinan terinspirasi oleh dasar ''Sulappa Eppa'' (empat unsur). Pada abad ke-17, desain menjadi semakin terornamen, dengan penambahan berbagai bentuk geometris, kontur, dan urutan. Hampir sejalan dengan fungsi Baju Bodo di masa lalu, motif dan desain sarung juga digunakan untuk menunjukkan status pemakainya.{{sfn|Eva Yanuarti, S.Pd}} Bahan sarung biasanya terbuat dari sutra dan kapas.
 
Mode yang sesuai untuk pria Bugis dikenal sebagai ''Jas Tutu'' atau ''Jas Tutup'' (pakaian "terbungkus"), berupa jas berlengan panjang dengan kerah. Jas Tutu juga identik dipadukan dengan ''Songkok recca/Pabiring/Songkok To Bone'' (songkok Bugis), ''Lipa’ Sabbe'' ([[sarung]]), dan kancing berwarna emas atau perak. Songkok bergaya Bugis terbuat dari anyaman rotan dan benang emas.{{sfn|Museum Daerah Maros|2020}} Selama upacara pernikahan tradisional, pengantin pria juga biasanya mengenakan aksesori yang sangat rumit, termasuk ''Tataroppeng'' ([[Keris]]), ''Pabekkeng'' ([[sabuk]]),{{sfn|Surya Karmila Sari|2015}} ''Rope'' ([[Songket]]), ''Sigara'' ([[penutup kepala]]), ''Salempang'' ([[sabuk]]), ''Gelang'' ([[gelang]]), dan ''Sapu tangan''.
 
Saat ini, Baju Bodo dan Jas Tutu umumnya digunakan sebagai pakaian formal, sering terlihat selama pernikahan, serta dalam fungsi ceremonial dan budaya lainnya.
 
=== Tradisi Kuliner ===
[[File:Sanggar Pappek.jpg|thumb|upright|''Sanggara Peppe'', pisang yang diratakan dan digoreng dua kali, adalah camilan tradisional yang renyah dan biasanya disajikan dengan sambel]]
Masakan Bugis merupakan bagian penting dari warisan mereka, meliputi berbagai gaya kuliner dan resep yang sering diasosiasikan dengan masyarakat Bugis. Masakan ini memiliki banyak kesamaan dengan tradisi gastronomi yang ada di sekitar Makassar, Mandar, dan Toraja. Banyak hidangan yang berkembang secara lokal di pulau Sulawesi, dengan fokus pada bahan-bahan asli; sementara yang lainnya menunjukkan pengaruh [[Hidangan campuran|luar]] yang lebih kuat dan disesuaikan dengan selera lokal.
 
Teknik memasak asing dalam masakan Sulawesi Selatan dapat dilihat dari adopsi ''[[Jalangkote]]'', pai kecil yang digoreng yang diadopsi dari Portugis ''[[papeda]]''. Isian ''Jalangkote'' biasanya terdiri dari [[bihun]] (menunjukkan [[Hidangan Tionghoa|pengaruh Tiongkok]]) dikombinasikan dengan irisan [[sayuran]], [[telur rebus]] dan [[daging cincang]]. Sementara itu, elemen [[Hidangan India|India]] terlihat dan ditunjukkan dalam hidangan lokal, seperti ''Gagape'' yang creamy, ''Toppa Lada'' dan ''Juku Palumara''.{{sfn|Nabila Qibtiya|2019|p=2}}
 
Ada juga berbagai jenis hidangan yang menandakan asal usul lokal: [[Kue beras]] sangat populer dengan hidangan seperti ''[[Burasa]]''' dan ''Tumbu/Lapa-lapa/Langka''.{{sfn|Umrahwati|2018|p=6}}{{sfn|Uli Wahyuliana|2017|p=2}} Kue beras ini dikukus dan dibungkus dalam wadah daun dengan [[santan]], memberikan rasa yang kaya dan creamy. Biasanya disajikan sebagai pengganti [[nasi putih]] dan dimakan bersama sup atau hidangan sampingan lainnya.{{sfn|Umrahwati|2018|p=9}} Bentuk kue beras yang menonjol di komunitas Bugis-Makassar termasuk ''Gogos'' — [[beras ketan]] yang dipanggang dengan isian ikan, dibungkus dalam [[daun pisang]]. Ini umumnya dimakan sebagai camilan.{{sfn|Nabila Qibtiya|2019|p=7}}
 
[[File:Burasa.jpg|thumb|left|Beberapa hidangan klasik Bugis yang dimasak di rumah selama perayaan ''[[Eid al-Fitr|Hari Raya]]''. ''[[Burasa]]''' (di tengah); searah jarum jam dari atas: ''Goré-Goré Daging'', ''Ayam Saus Merah'', ''[[Chicken curry|Nasu Kari]]'' dan ''Nasu Likku' ''.]]
 
Panjang garis pantai di semenanjung telah berkontribusi pada [[industri perikanan]] yang besar di wilayah tersebut, menjadikan [[Seafood|produk laut]] sebagai bagian penting dari makanan.{{sfn|Umrahwati|2018|p=5}} Hidangan seperti ''Pa’Deme'' (sambal ikan teri), ''Bajabu'' (''[[serundeng]]''), ''Lawa Bale'' (ikan mentah yang dimarinasi) dan sup kaldu jernih dari ''Nasu Bale'' dan ''Nassu Meti'' mencerminkan koneksi maritim yang luas.
 
Selain makanan laut, terdapat juga tradisi kuliner yang beragam dengan penekanan pada daging, yang terlihat pada hidangan yang dimasak dengan metode masak lambat, yaitu ''Nasu Likku''',{{sfn|Uli Wahyuliana|2017|p=1}} ''Nasu Palekko''{{sfn|Nabila Qibtiya|2019|p=9}} dan ''Goré-Goré''. Hidangan ini biasanya disajikan sebagai hidangan sampingan untuk melengkapi ''Nasi Putih'' (nasi putih biasa), atau dalam beberapa kasus, kue beras.
 
[[Pisang]] memiliki pentingnya besar setelah nasi dalam [[makanan pokok]] Bugis, karena ditanam secara luas di Sulawesi Selatan.{{sfn|Nabila Qibtiya|2019|p=5}} Selain dimakan segar setelah makan, hidangan berbahan dasar pisang sangat luas dalam bentuk camilan dan pencuci mulut — mulai dari ''Berongko'' (puding pisang kukus), ''Sanggara Balanda'' yang karamel,{{sfn|Uli Wahyuliana|2017|p=2}} hingga camilan renyah dan gurih seperti ''Sanggara Pappek'' (pisang yang dihancurkan).
 
Hidangan populer lainnya yang terkait dengan Bugis termasuk hidangan [[bubur]] — ''Barobbo'' (bubur nasi dan [[maize|jagung]]) dan ''Kapurung'' yang berbasis [[sagu]]; serta ''[[Kue]]'' tradisional, terutama ''[[Kue bugis]]'', ''Kue Dange'', ''Kue Sikaporo'' dan ''Bolu Peca''.{{sfn|Uli Wahyuliana|2017|p=2}} Karena interaksi yang ramah dan pernikahan antar-etnis yang umum dengan masyarakat Makassar yang sejenis, banyak hidangan unik Makassar juga dinikmati secara luas oleh Bugis, termasuk ''[[Coto Makassar]]'', ''Sop Sodara'', ''Pallubasa'', ''Pallu Kacci'', ''Pallumara'' dan ''Konro'', atau pencuci mulut seperti ''Cucuru' Te'ne'' dan ''Es Palu Butong''.{{sfn|Uli Wahyuliana|2017|p=1}}
 
Di luar tanah asalnya, Burasa' dan hidangan tradisional Bugis-Makassar lainnya juga umum disajikan sebagai hidangan upacara oleh komunitas diaspora mereka.
 
=== Senjata dan Tradisi Militer ===
[[File:Zirah Bugis.jpg|thumb|upright|''Baju Lamina'' Bugis dari abad ke-18 di [[Museum Negara Malaysia]]; salah satu [[lapis baja]] yang mendukung ekspansi politik mereka di Asia Tenggara insular.]]
{{blockquote|text= ''Taniya ugi narekko de'na punnai kawali''<br>(Seseorang tidak dianggap sebagai Bugis tanpa Kawali) |author= Ungkapan tradisional Bugis{{sfn|Muslimin|2018|p=2}} |title= }}
Senjata tradisional Bugis-Makassar meliputi berbagai jenis [[blade]], [[pisau]], dan [[senjata api]]. Namun, [[Badik]], juga dikenal sebagai ''Kawali'', dianggap sebagai senjata tradisional yang sangat terkait dengan identitas mereka dan memiliki status yang dihormati dalam struktur sosial masyarakat Bugis-Makassar. Senjata ini tidak hanya dipandang sebagai [[senjata]], tetapi juga sebagai lambang yang mewakili karakter pribadi pemiliknya. Secara historis, Badik digunakan sebagai alat vital untuk [[perburuan]] hewan dan mekanisme [[pertahanan diri]].{{sfn|Muslimin|2018|p=2}}
 
Dalam pemahaman tradisional Bugis-Makassar, hierarki Badik dianggap berada di bawah [[Keris]]. Berbeda dengan Badik yang digunakan hampir di seluruh lapisan masyarakat, ''Keris Pusaka'' (Keris Dinasti) adalah regalia keluarga penting di kalangan elite kerajaan di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, secara historis, Badik memperoleh identitas sebagai pendamping bagi pria Bugis-Makassar.{{sfn|Muslimin|2018|p=2}}
 
Di masa lalu, Badik digunakan sebagai alat pertahanan untuk melindungi individu dan kehormatan keluarga. Doktrin ini sebagian besar didasarkan pada interpretasi filosofis dari ''Siri'', yang merupakan dasar dari budaya Bugis-Makassar. Siri melambangkan tanggung jawab untuk menjaga martabat dalam masyarakat. Konsep ini secara historis terpatri dalam jiwa kognitif masyarakat dan secara tradisional menjadi kekuatan pengikat pada nilai-nilai moral dan sistem sosial. Badik juga sering diwariskan dari generasi ke generasi, berfungsi sebagai pusaka keluarga yang penting.{{sfn|Muslimin|2018|p=2}}
 
[[File:Sigajang Laleng Lipa.jpg|thumb|left|Pertarungan pedang kuno ''|''Sigajang Laleng Lipa'', biasanya dilakukan dalam satu sarung. Kedua kontestan memegang [[Badik]]]]
 
Pedang penting lainnya milik Bugis adalah Keris, juga dikenal sebagai ''Tappi''. Meskipun memiliki beberapa perbedaan kecil dibandingkan dengan Keris Jawa, Keris Bugis dicatat memiliki kemiripan anatomi yang lebih dekat dengan versi Melayu dari belati tersebut, yang mungkin diperkenalkan oleh orang Melayu kepada masyarakat Sulawesi Selatan. Hampir setara dengan Badik, Keris juga membawa simbol yang dihormati di kalangan banyak orang Bugis-Makassar.{{sfn|Representasi Badik sebagai simbol kearifan lokal Bugis-Makassar|2020}}{{sfn|Pelras|1996|p=80}}{{sfn|Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ini 8 Alat Khas Suku Bugis|2021}}
 
Selain Badik dan Keris, mereka dikenal memiliki berbagai jenis senjata klasik. Sebagian besar barang-barang ini secara kolektif diklasifikasikan dalam kategori ''parewa bessi'' (senjata besi) yang dibuat oleh pandai besi Bugis-Makassar. Beberapa koleksi notable lainnya termasuk ''[[Alamang]]'' dan ''[[Kalis|Sundang]]'', pedang panjang; ''Bessing'', [[tombak]]; ''Kanna'', [[perisai]]; Pantu’, tongkat bertarung tradisional; ''Baju Rantai'' (armor); dan ''Tado'', tali perangkap.{{sfn|Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ini 8 Alat Khas Suku Bugis|2021}}
 
Seni senjata di kalangan Bugis-Makassar terus berkembang sepanjang milenium. Orang-orang kuno Sulawesi Selatan tercatat menggunakan [[Sumpit (senjata)|sumpit]] dengan [[panah lempar]] beracun, tombak, pedang pendek, keris, dan [[helm]] dari rotan.{{sfn|Pelras|1996|p=46}} Pada era modern awal, Bugis-Makassar mendapatkan pengetahuan lebih lanjut tentang [[artileri]] dengan pengenalan berbagai senjata api: [[musket]], [[culverin]], dan [[meriam]] yang meningkatkan keterampilan perang dan tempur mereka. [[Zirah rantai dan lempeng]] (''baju lamina'') diperkirakan mulai digunakan pada era ini, dan masih dikenakan hingga abad ke-19.{{sfn|Pelras|1996|p=122}}
 
Hubungan kuat antara pengembangan senjata dan budaya militer menciptakan momentum yang menguntungkan yang mendorong pencapaian politik dan pengaruh mereka di luar tanah air Bugis-Makassar yang tradisional. Ini menjadi salah satu alat yang mengukuhkan figur sejarah mereka serta status sebagai tentara, [[Mercenary|tentara bayaran]], pejuang, dan petarung di seluruh wilayah maritim.
 
=== Arsitektur Tradisional ===
[[File:TMII Bugis Makassar House.jpg|thumb|Rumah Bugis-Makassar di [[Taman Mini Indonesia Indah]], [[Jakarta]]]]
Dalam masyarakat Bugis, arsitektur dianggap sebagai lambang dari filosofi, dirancang untuk mendukung keyakinan, kepercayaan, dan pemahaman penghuni tentang kosmos dan alam semesta. Ini sangat berakar dalam sejarah panjang dan kaya mereka, menggabungkan elemen interpretasi [[kosmologi]] asli dengan budaya, keyakinan, [[mitologi]], [[estetika]], dan fungsionalitas. Gaya arsitektur Bugis secara luas digolongkan bersama dengan Makassarese, yang memiliki fitur arsitektural dan identitas yang kuat.
 
Berdasarkan pemahaman filosofis Bugis, sebuah rumah dianggap sebagai ekspresi sah dari [[ritus peralihan]] sebagai manusia: tempat untuk dilahirkan, dibesarkan dan dirawat sebagai anak, menjadi suami atau istri, dan akhirnya tempat peristirahatan terakhir. Oleh karena itu, hunian dirancang untuk menjadi sakral, suci, dan sangat dihormati. Ini memberikan tempat bagi kesendirian, energi, pemeliharaan, kesejahteraan, dan kehormatan bagi penghuninya.{{sfn|Syarif , et al.|2017}} Kehadiran rumah dalam masyarakat Bugis merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan, sehingga kepemilikan rumah dianggap sangat penting — untuk memperingati kehidupan dan menjadi simbol kehidupan.
 
[[File:Bugis house.JPG|thumb|left|Hunian tradisional Bugis di Sulawesi Selatan]]
Dalam budaya Bugis, arsitektur tidak hanya dipandang sebagai praktik, tetapi juga sebagai subjek [[teologi]]. Formula ''Sulapa Eppa'' (empat elemen) diinterpretasikan dan dibangun dengan maksud tersebut.{{sfn|Syarif , et al.|2017}} Rencana tata letak bangunan Bugis umumnya memiliki konsistensi berbentuk persegi panjang dan simetris, dengan tujuan mengintegrasikan pemahaman awal Bugis bahwa alam semesta berbentuk [[belah ketupat]] raksasa dan empat unsur yang menciptakan alam semesta (angin, air, api, dan bumi); bersama dengan empat arah angin (utara, selatan, timur, dan barat). Dengan demikian, rumah Bugis tradisional biasanya menghadap utara, sebagai sumber energi positif; atau ke timur, fajar cahaya.{{sfn|Mustamin Rahim, et al.|2017}}
 
[[File:Jl. Jend. Sudirman, Makassar.jpg|thumb|upright|Prinsip arsitektur Bugis-Makassar tradisional juga banyak diadopsi dalam banyak bangunan kontemporer di Sulawesi Selatan]]
Rumah-rumah dirancang dengan tiga tingkat terpisah, melambangkan tiga posisi alam semesta berdasarkan interpretasi Bugis pra-Islam. ''Rakeang'' (dunia atas) — penghormatan kepada [[langit]], loteng dirancang sebagai puncak rumah dan dianggap sebagai tempat suci untuk menyimpan beras, [[tanaman]], dan pusaka penting. ''Ale Bola'' (dunia tengah), menunjukkan penghormatan kepada dunia manusia, diwakili oleh ruang hidup dan ruang umum rumah. ''Awa Bola'' (dunia bawah), tempat gelap dan ganas, konsep ini diilustrasikan oleh [[jambar]] dan tempat penyimpanan [[ternak]] di bawah tempat tinggal manusia.{{sfn|Mustamin Rahim, et al.|2017}}
 
Konsep ''rupa-tau'' ('kemiripan dengan manusia') juga dieksplorasi dan diterapkan secara luas dalam prinsip arsitektur Bugis. Hal ini mengarah pada struktur bangunan sebagai manifestasi besar dari hubungan anatomis. Kerangka rumah secara monumental dicirikan oleh komponen-komponen berdasarkan fisik manusia: ''Aje-bola'' ([[kaki]]), ditunjukkan oleh tiang-tiang rumah; ''ale-bola'' (torso), ruang hidup umum; ''ulu-bola'' ([[kepala]]), atap; dan ''posi-bola'' ([[pusar]]) oleh area tengah rumah.{{sfn|Syarif , et al.|2017}}
 
Perkembangan arsitektur Bugis berasal dari keyakinan bahwa sebuah rumah dibangun dengan keyakinan optimis untuk masa depan yang lebih baik. Berdasarkan mitos klasik Bugis dan pemahaman, bintang, langit, dan konstelasi memiliki makna ilahi yang besar; sebagai tanggapan, manusia dipercayakan untuk menjaga tata ruang alam semesta — untuk memiliki kehidupan yang lebih aman dan tenang, serta menghindari bencana alam (terutama banjir, longsor, tornado, dan gempa bumi). Oleh karena itu, etos dan esensi tersebut sangat diadaptasi, diserap, dan secara jelas dipancarkan dalam perwujudan arsitektur tradisional Bugis.{{sfn|Syarif , et al.|2017}}
 
=== Tradisi Maritim, Perdagangan, dan Migrasi ===
[[File:Kapal Nur Al Marege, koleksi pribadi Muhammad Ridwan Alimudin, 2019.jpg|thumb|imudin, 2019.jpg|thumb|[[Padewakang]], yang secara historis digunakan oleh Bugis-Makassar-Mandar sebagai kapal perdagangan utama sebelum digantikan oleh [[Palari (perahu)|palari]].]]
 
Di Indonesia, Bugis-Makassar dikenal sebagai [[pelaut]], [[navigator]], dan pedagang maritim. Fondasi angkatan laut mereka sebagian besar berkaitan dengan tradisi [[pembuatan kapal]] yang luas, keterampilan navigasi, dan kehadiran dominan dalam jalur perdagangan antar pulau.
 
Sebaliknya, mereka juga mendapatkan julukan sebagai "Viking Asia Tenggara".{{sfn|Lamima|2020}} Ekspedisi maritim dan perdagangan mereka yang luas secara historis menjadikan mereka sebagai salah satu pemain regional penting dalam perjalanan transoceanic ke Indochina, Makau, Manila, Papua, dan Australia utara, bersama dengan pulau-pulau Asia Tenggara yang terletak di antara wilayah-wilayah tersebut. Kapal-kapal mereka umumnya digunakan untuk membawa dan mengangkut rempah-rempah eksotis, kayu [[cendana]], tekstil, beras, produk laut mewah, [[porselen]], [[mutiara]], dan barang-barang penting lainnya di sepanjang jalur perdagangan rempah-rempah kuno.{{sfn|Lamima|2020}}{{sfn|Munsi Lampe|2014|p=6}}
 
Selama [[Zaman Penjelajahan]], odisei pelayaran mereka sangat dibantu oleh padewakang, salah satu jenis kapal Bugis-Makassar awal, yang kemudian berkembang menjadi palari. Bersejarah, kapal air pertama dari jenis ini lahir berdasarkan tradisi legendaris Sulawesi.{{sfn|Lamima|2020}}
 
Hingga abad kesembilan belas, Padekawang klasik umumnya dipimpin oleh seorang [[kapten]], dikenal sebagai ''nakoda'' atau ''anakoda''; diikuti oleh bawahan, ''juragang''. Biasanya, kapal juga memiliki dua juru kemudi, ''jurumudi'' — yang bertugas mengarahkan kursus kapal; dua ''jurubatu'' — pematang, bertanggung jawab mengukur kedalaman saat mendekati pantai, terumbu karang, atau batu karang; dan seorang [[sekretaris]] — dikenal sebagai ''jurutulisi'', yang bertindak sebagai agen atas nama pemilik kapal. Nama-nama ini sebagian besar diadopsi dari bahasa Melayu, dengan pengaruh dari [[bahasa Persia|Persia]], seperti istilah ''[[nakhoda]]''.{{sfn|Pelras|1996|p=263}}
[[File:Bengkel Pinisi.jpg|thumb|left|Fasilitas konstruksi pinisi di Bulukumba, salah satu tempat utama industri pembuatan kapal di Sulawesi Selatan.]]
 
Untuk menentukan jalur pelayaran mereka, para pelaut biasanya menggunakan berbagai praktik nautikal konvergen, mulai dari menentukan [[matahari]] terbit dan [[matahari]] terbenam; lokasi [[cakrawala]], [[bintang]], dan [[konstelasi]]; lingkungan laut — aliran [[ombak]], bentuk [[gelombang]] dan penampilan air; fauna — tindakan ikan dan pola terbang burung; arah angin; dan landmark [[Geografi|geografis]] tertentu.{{sfn|Pelras|1996|p=264}}
 
Kapal pinisi asli (palari) memiliki panjang sekitar {{convert|50|to|70|ft|m|2}}, dengan garis air yang ringan sepanjang {{convert|34|to|43|ft|m|2}}.<ref name=":1">{{Cite journal |last=Gibson-Hill |first=C.A. |date=February 1950 |title=The Indonesian Trading Boats reaching Singapore |journal=Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society |volume=23 |pages=112–113|via=JSTOR}}}</ref> Palari yang lebih kecil hanya sekitar 10 m panjangnya.<ref name=":02">{{Cite journal |last=Liebner |first=Horst H. |date=November 2016 |title=Perahu Nusantara - sebuah presentase bagi Menko Maritim |url=https://www.academia.edu/35282364 |access-date=13 August 2019 |website=Academia}}</ref> Sebuah kapal berlayar dengan dua [[Tiang kapal|tiang layar]], nama "pinisi" berasal dari jenis [[pebahu layar]], yang digunakan untuk konfigurasinya. Ciri khasnya adalah [[layar agung]] dan tiang tripod yang miring, memberikan desain yang unik dan berbeda dari kapal barat lainnya. Di era kontemporer, palari juga dilengkapi dengan [[mesin]] untuk pelayaran mereka.{{sfn|Mellefont|2018}}
 
Ada banyak pusat pembuatan kapal yang dihormati di wilayah tersebut, termasuk Ara, Tanah Lemo, dan Bira. Namun, Konjo, salah satu subkelompok Makassar, dikenal sebagai salah satu pembuat kapal pinisi terhormat, dengan tradisi panjang dalam pembuatan kapal dan perahu, sebuah pengetahuan yang umumnya diwariskan dari ayah ke anak selama berabad-abad.{{sfn|Lamima|2020}}
 
[[File:Buginese chart of the East Indian Archipelago - ca. 1820 - UB Utrecht (cropped).jpg|thumb|thumb|Peta [[Asia Tenggara Maritim]] yang dicatat dalam sistem penulisan Bugis-Makassar (c.1820)]]
Bagi Konjo di Bulukumba, identitas pembuatan perahu sangat tertanam dalam kehidupan mereka sebagai manifestasi seni, budaya, dan ritual yang berharga. Sebagai komunitas [[pembuat kapal]] yang sangat berdedikasi, orang Konjo secara tradisional dilarang berlayar ke laut, karena para tetua mereka takut bahwa klan mereka tidak akan kembali ke tanah air mereka, menciptakan risiko besar kehilangan pengetahuan pembuatan kapal yang berharga di antara kerabat mereka.{{sfn|Lamima|2020}} Dengan demikian, di Sulawesi Selatan, tanggung jawab pelayaran transoceanic sebagian besar dijalankan oleh saudara-saudara mereka yang terkait erat — Bugis dan Makassar.
 
Kekayaan budaya nautika Bugis-Makassar juga tercermin dan diperkuat oleh berbagai jenis kapal — mulai dari ''[[penjajap]]'', kapal perang; [[Pajala (perahu)|pajala]], kapal kecil yang juga digunakan untuk memancing; palari, keturunan lain dari padewakang;{{sfn|Mellefont|2018}} [[Lambo (perahu)|Lambo]], kapal perdagangan; dan kapal-kapal awal ''Somba Lete'' dan [[Layar tanja|''sompe tanja'']]. Kapal-kapal ini secara kolektif meninggalkan dampak signifikan pada perkembangan lokal dan regional.
 
Saat identitas pelayaran mulai mengakar dalam masyarakat pesisir Sulawesi Selatan, hal itu secara bertahap menjadi ikon mendalam yang menavigasi pengaruh dan kehadiran mereka di wilayah tersebut. Mengikuti tradisi migrasi Bugis-Makassar yang dikenal sebagai ''{{lang|bug|sompe}}'' (untuk [[berlayar]]) dan ''{{lang|bug|malleke' dapureng}}''; dari kapal-kapal historis inilah banyak orang Bugis dan Makassar, baik pria, wanita, dan anak-anak, berani meninggalkan tanah leluhur mereka untuk mencari pursuit ekonomi, kemakmuran, dan peluang, sementara yang lainnya berangkat untuk pengalaman pendidikan, petualangan, martabat pribadi, pencarian militer, atau ambisi politik yang bergengsi.{{sfn|Tradisi rantau masyarakat Bugis Makassar|2010}} Dengan demikian, sebagian besar, jika tidak semua Bugis di [[diaspora]] dapat melacak asal-usul leluhur mereka ke salah satu ''{{lang|bug|Pasompe}}''' (sebutan untuk orang-orang yang berlayar/berpetualang di luar tanah asli mereka).{{sfn|Lineton|1975|p=173-199}} Kisah dan jejak dari gelombang pelayaran dan pemukiman masa lalu masih dapat disaksikan hingga hari ini, secara jelas diilustrasikan oleh komunitas etnis dan diaspora yang luas yang telah didirikan di seluruh pulau-pulau dan wilayah pesisir Asia Tenggara maritim.
 
=== Tradisi Padi dan Pertanian ===
{{blockquote|text= ''Padi adalah kehidupan bagi orang Bugis'' |author= [[Leonard Andaya]], Antropolog{{sfn|Rahmatia, et al.|2020}} |title= }}
[[File:Hamparan Sawah Penerima Dampak Longsonran Bawakaraeng 2014 dekat Manimbahoi di Kec Parigi.jpg|thumb|Sawah terasering yang tersebar di lanskap pertanian di wilayah Bugis-Makassar]]
Sebagai pergeseran nyata dari budaya [[maritim]] dan [[navigasi]] yang didominasi oleh kerabat pesisir mereka, masyarakat Bugis-Makassar yang berada di pedalaman menunjukkan warisan [[pertanian]]nya yang kuat.{{sfn|Rahmatia, et al.|2020}} Padi dianggap sebagai salah satu hasil [[tanaman]] terpenting dalam masyarakat mereka, dan telah dibudidayakan di semenanjung selama berabad-abad. Biji-bijian ini telah tertanam dalam cara hidup pertanian mereka selama beberapa generasi. Padi tidak hanya dihargai sebagai sumber [[makanan]] utama dalam [[diet]], tetapi juga terjalin dalam jalinan sosial, legenda, teori, ekonomi, [[politik]], dan [[ideologi]]. Dalam arti tertentu, identitas tradisional mereka juga didampingi oleh budaya pertanian.
 
Biji-bijian sederhana ini dianggap sebagai inti dari tradisi mereka, dan memang memiliki hubungan kompleks dan panjang dengan Bugis-Makassar. Jejak awal padi di Asia Tenggara maritim ditemukan di Gua Ulu Leang, di Maros, Sulawesi Selatan. Diperkirakan berasal antara 4000 SM hingga 2000 SM, biji-bijian ini kemungkinan terkait dengan kedatangan leluhur Austronesia mereka ke wilayah tersebut, atau di antara masyarakat pemburu-pengumpul Toalean yang lebih awal.{{sfn|Pelras|1996|p=23}}{{sfn|Pelras|1996|p=39}}
 
Padi memberikan nutrisi, yang tertanam dalam perkembangan historis mereka. Pada abad ke-14, transformasi radikal mereka dari penguasa lokal menjadi kerajaan besar sebagian besar bertepatan dengan lonjakan [[populasi]] yang belum pernah terjadi sebelumnya di semenanjung, yang pada gilirannya merupakan hasil terkait dari perbaikan praktik pertanian sebelumnya.{{sfn|Pelras|1996|p=111}}{{sfn|Druce|2009}} Darah, keringat, dan air mata telah ditumpahkan di tanah dalam upaya untuk mendapatkan hasil panen yang baik, misalnya pada abad ke-16, konfederasi [[Ajatappareng]] (yang mencakup kerajaan-kerajaan Bugis seperti Sidenreng, Rappang, Suppa', Bacukiki, Alitta', dan Sawitto) diperluas oleh ambisi Gowa untuk menguasai hasil pertanian lokal yang melimpah di wilayah tersebut.{{sfn|Nani Somba, et al.|2019}}
 
Dalam kepercayaan dan pemahaman kuno mereka, padi dipersepsikan sebagai simbol yang terkait dengan rezeki dan penciptaan, serta berkah dan [[kebahagiaan]] yang menghubungkan adat-istiadat kuno, [[mitologi]], dan masyarakat. Pembudidayaan biji-bijian ini telah menyebabkan perkembangan siklus kehidupan ekonomi yang berpusat terutama pada inti pertanian. Berakar pada sistem kepercayaan pra-Islam, ''mappalili'' (musim tanam padi) diorganisir di antara orang Bugis untuk berdoa agar musim panen melimpah, sementara festival panen besar diadakan oleh masyarakat agraris sebagai kesyukuran setelah panen yang sukses. Padi juga sangat dihormati, berdasarkan almanak manual Bugis yang dikenal sebagai ''Kutika'', hanya pada jadwal, hari, dan waktu tertentu yang diperbolehkan untuk kegiatan pertanian;{{sfn|Rahmatia, et al.|2020}} di rumah, padi secara tradisional disimpan di loteng rumah, menandakan posisinya yang tinggi dalam tatanan sosial;{{sfn|Mustamin Rahim, et al.|2017}} sementara selama perang, penghancuran ladang padi dipersepsikan sebagai [[tabu]] yang sangat dilarang.{{sfn|Rahmatia, et al.|2020}}
 
Kepercayaan asli Bugis-Makassar dibangun di atas [[hortikultura]] sebagai pilar utamanya. [[Beras|Pertanian padi]] juga mempengaruhi banyak aspek lain dari kegiatan ekonomi kuno mereka. Selama era pertengahan, padi menjadi salah satu komoditas utama [[ekspor]] dari wilayah inti Sulawesi Selatan ke seluruh Asia Tenggara insular.{{sfn|Pelras|1996|p=118}}{{sfn|Druce|2009}}{{sfn|Nani Somba, et al.|2019}} Komoditas ini mungkin juga berfungsi sebagai panduan awal untuk keterampilan perdagangan dan kewirausahaan mereka yang mendasar, sebelum cepat berkembang menjadi salah satu alat utama perdagangan mereka selama keterlibatan maritim mereka dalam jalur perdagangan regional.
 
Supremasi padi dan fondasi agraris yang kuat dari masyarakat Sulawesi Selatan tetap bertahan hingga saat ini. Pada tahun 2022, provinsi ini diperkirakan menghasilkan 5,4 juta ton padi, menjadi salah satu lumbung padi terkemuka di Indonesia modern.{{sfn|2022, BPS: Produksi Padi Sulsel Naik Jadi 5.431.021 Ton, Imran Jausi Sebut Dipicu Benih Mandiri|2022}}
 
=== Festival, Perayaan dan Tradisi Keagamaan ===
Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar yang dipelopori oleh Luwu dan Gowa pada abad ke-17 telah mengubah secara signifikan lanskap keagamaan di seluruh semenanjung.{{sfn|Pelras|1996|p=137}} Akibatnya, sebagian besar festival liturgi orang Bugis terutama diatur sesuai dengan kalender Islam, meskipun tetap mempertahankan orientasi budaya lokal yang kuat.
 
Perayaan ''Hari Raya'' (eid) Idul Fitri dan Idul Adha merupakan festival terbesar bagi orang Bugis. Idul Fitri (dikenal sebagai ''Maleppe'', yang berarti "bebas" dalam bahasa Bugis) merupakan ritual kemenangan setelah menyelesaikan sebulan [[puasa]] dan kegiatan keagamaan selama [[Ramadhan]].{{sfn|Hidayat Alsair|2019}} Dalam bahasa Bugis, istilah ''Mallepe'' memegang simbol filosofi sebagai pembebasan dari [[dosa]] dan kebiasaan buruk seseorang.<ref name="Massiara, Tradisi Damai Orang Bugis">{{citation|date=2023-04-23|title=Massiara, Tradisi Damai Orang Bugis|url=https://tuturkata.com/2023/04/23/massiara-tradisi-damai-orang-bugis/|work=Tuturkata.com|access-date=2024-03-21}}</ref> Sementara Idul Adha adalah perayaan keagamaan yang memperingati pengorbanan yang dilakukan oleh [[Ibrahim]].
 
Sehari sebelum eid, banyak keluarga Bugis menyiapkan kue nasi ''Burasa'' dan ''Tumbu'' dalam tradisi yang dikenal sebagai ''Ma’burasa'' dan ''Ma’tumbu''.{{sfn|Ona Mariani|2019}} Tradisi mengunjungi teman, kerabat, dan mengadakan pesta besar untuk pengunjung juga menjadi pusat perhatian — dikenal sebagai [[Lebaran#Halal bi-halal|Massiara]], kunjungan biasanya dimulai setelah shalat eid.<ref name="Massiara, Tradisi Damai Orang Bugis" />
 
[[File:Mattompang.jpg|thumb|left|Para pria dalam pakaian resmi ''Jas Tutup'' di Pengadilan Kerajaan Bone pada upacara ''Mattompang'']]
Tradisi lain yang umum selama eid termasuk ''Mabbaca-baca'', sebuah kumpul doa syukur dan pesta yang dipimpin oleh pemimpin agama komunitas yang dikenal sebagai ''Puang Anre Guru'' atau ''Daeng Imam''.{{sfn|Hidayat Alsair|2019}} Mengunjungi [[Kuburan|tempat peristirahatan terakhir]] orang yang telah meninggal juga merupakan hal yang umum selama musim ini, dalam adat yang dikenal sebagai ''Masiara Kuburu'', kunjungan ke makam dianggap sebagai isyarat kasih sayang, hormat, dan penghargaan.
 
Liburan Islam lainnya yang diamati oleh orang Bugis termasuk [[Ramadhan]] dan ''Maulu/ma maulu’'' ([[Maulid Nabi Muhammad]]), yang menghormati kelahiran [[Muhammad]], di mana makanan ceremonial khusus dan telur berwarna-warni diberikan kepada jamaah masjid; ''Esso Sura'' ([[Hari Asyura]]), peringatan [[Muharram]], di mana bubur khusus (dikenal sebagai ''Bubu Petu'' dan ''Bella Pitunrupa'') disiapkan, hari ini juga ditandai sebagai periode belanja utama bagi orang Bugis-Makassar, karena banyak yang secara tradisional membeli peralatan rumah tangga baru selama Ashura.{{sfn|Mulyadi Ma'ruf|2018}} Selain itu, keluarga Bugis dan Makassar juga mengadakan ''Massuro Baca'', doa ceremonial khusus dan pesta yang diadakan seminggu sebelum Ramadhan untuk mengenang kerabat yang telah meninggal, serta sebagai persiapan untuk membersihkan diri sebelum bulan suci.
 
Elemen Islam juga terwujud selama perayaan pada tingkat individu. Sebagai komunitas Muslim yang mayoritas, tindakan ''Mabbarazanji/Barzanji'' ([[Berzanji]]), doa dan pujian kepada Muhammad dianggap sebagai salah satu titik fokus selama upacara semacam itu. Orang Bugis biasanya mengadakan pesta ''selamatan'' untuk meminta berkah ilahi, perlindungan, syukur, dan rasa terima kasih — termasuk [[pernikahan]], perayaan kelahiran anak, [[aqiqah]], upacara pembangunan rumah, mengirim jamaah untuk [[umrah]] dan [[haji]], serta [[upacara pemakaman]].
 
Pentingnya upacara pribadi dan komunitas ini secara kolektif menjadi bukti karakter etnis utama mereka. Ini berfungsi sebagai ikatan mereka sebagai seorang [[Muslim]] dan manifestasi identitas budaya mereka. Acara ini juga dilakukan sebagai juxtaposisi, saling terkait antara esensi [[agama]] dan adat; bersama dengan rasa tanggung jawab untuk menguatkan nilai-nilai mereka ke era kontemporer.
 
Secara historis, ada juga beberapa acara regional yang mendalam berakar pada kepercayaan kuno mereka, mencerminkan masa pra-Islam, lokasi geografis, demografi lokal, dan pekerjaan. Di beberapa komunitas Bugis agraris, festival panen besar seperti ''Mappangolo Datu Ase'', ''Mappadendang'', ''Manre Sipulung'', ''Maccerak Ase'', dan ''Maccerak Rakkapeng'' bertindak sebagai ungkapan syukur dan perayaan atas hasil panen yang melimpah. Sementara itu, di komunitas [[pesisir]] dan [[danau]] di mana industri perikanan dianggap sangat penting, mereka merayakan dengan ''Maccera Tappareng'' dan ''Maccerak Tasik''.{{sfn|Halilintar Lathief, et al.|1999|p=50}} Namun, dengan munculnya berbagai revolusi sosial-ekonomi dan pendidikan, bersama dengan [[industrialisasi]] dan pengenalan teknik [[pertanian]] dan perikanan modern sepanjang abad ke-19 dan ke-20, dampak kolektif dari festival-festival ini mulai memudar seiring dengan praktik yang lebih sesuai dengan pemahaman Islam di masyarakat Bugis yang mainstream. Meskipun demikian, perayaan regional tersebut menawarkan pandangan singkat tentang masa lalu, pada agama tradisional dari komunitas agraris yang pernah ada.
 
===Tradisi Musik dan Seni Pertunjukan===
[[File:Performing cultural dance.jpg|thumb|Penampilan tarian dari Sulawesi Selatan]]
Musik dan tarian telah lama menjadi bagian integral dari budaya Sulawesi Selatan, mencerminkan tradisi yang kaya dan beragam bentuk pertunjukan. Seni pertunjukan Bugis dapat dikategorikan dalam empat jenis utama: hiburan, pertunjukan ritualistik, tarian istana, dan seni bela diri.
 
Dalam budaya Bugis, tari merupakan medium penting untuk folklore dan hiburan, sering ditampilkan selama acara komunitas dan perayaan-perayaan penting. Tari Bugis yang terkenal termasuk ''Pajaga'' dan [[Pajoge]]k{{sfn|Halilintar Lathief, et al.|1999|p=123}}, yang menggabungkan elemen [[Ronggeng]], [[Jaipongan|Jaipong]], dan diiringi oleh drum yang disebut ''gendeng''. Tarian lainnya yang mencolok adalah [[Zapin|Jeppeng]], yang menggabungkan pengaruh Islam, dan ''Tari Paduppa'', tari penyambutan tradisional.
 
Secara historis, seni pertunjukan memegang peranan penting dalam praktik ritualistik Bugis. Selama upacara magico-religius, teknik tari kuno dilakukan oleh dukun Bugis, atau ''Bissu'', yang bertujuan untuk memanggil energi spiritual dan mencapai keadaan trance. Pertunjukan ini merupakan bagian integral dari rite budaya penting seperti awal musim tanam padi atau acara kerajaan. Tarian ritual yang terkenal termasuk ''Tari Maggiri'', ''Tari Alusu'', dan ''Maddewata''{{sfn|Halilintar Lathief, et al.|1999|pp=53-67}}.
 
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Korthalsluit met twee snaren TMnr 1740-4.jpg|thumb|left|''Kecapi Bugis'', alat musik tradisional yang digunakan untuk lagu dan cerita]]
Seni bela diri mencerminkan nilai-nilai historis militer Bugis, menekankan kualitas seperti keberanian, kekuatan, dan kekuatan. Pertunjukan seni bela diri termasuk ''Manunencak/Mencak Baruga'' (Bugis [[Pencak silat|Pencak Silat]]), ''Mallanca'', dan ''Masempek''. Tari perang seperti ''Penjaga Welado'', ''Pajaga Gilireng'', dan ''Pajaga Mutaro'' memperingati keberanian dan semangat kelas militer{{sfn|Halilintar Lathief, et al.|1999|pp=105-115}}.
 
Balet istana Bugis, yang secara historis didukung oleh kerajaan, menampilkan gerakan cepat dan lambat serta kontras antara fase pasif dan aktif. Ini termasuk tarian seperti ''Pajaga Boneballa Anakdara'', ''Pajaga Lelengbata Tulolo'', dan ''Pajaga Lili''{{sfn|Halilintar Lathief, et al.|1999|pp=80-87}}. Bentuk tari ini menekankan estetika dan kualitas pribadi, mencerminkan pentingnya tata krama dan bahasa sesuai dengan standar dan etiket kerajaan.
 
Instrumen musik Bugis sangat beragam dan mencakup ''Soling'' (seruling), ''Kacapi'' dan ''Talindo'' (alat musik gesek), ''Jalappa/Kancing-Kancing'' (simbal), ''Aloso/Laluso'' (alat musik perkusi), ''Gesok–Gesok/Keso–Keso'' (Rebab), ''Gendrang'' (sejenis drum), dan ''Puik Puik/Pui-Pui'' (trumpet){{sfn|Guru Dafa|2022}}. Gendrang, khususnya, memainkan peranan penting dalam musik Bugis, membentuk dasar untuk banyak pertunjukan. Namun, keunggulan tradisionalnya telah berkurang dengan adanya pengaruh tradisi Ganrang Makassarese.
 
Seni pertunjukan Bugis telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, berfungsi sebagai catatan hidup dari identitas etnik mereka. Tradisi kaya ini menangkap evolusi budaya Bugis dari kepercayaan kuno dan adat istiadat istana hingga pengaruh Islam dan praktik-praktik modern saat ini.
 
== Lihat pula ==
{{Portal|Indonesia}}
*[[Orang Bugis di Malaysia]]
*[[Daftar tokoh Bugis]]
 
==References==
{{Reflist}}
 
==Kepustakaan==
{{refbegin|25em}}
* {{citation
| last = Pelras
| first = Christian
| title = The Bugis
| publisher = Backwell Publishing
| year = 1996
| location =
| isbn = 978-0-631-17231-4
| url = http://www.blackwellpublishing.com/book.asp?ref=9780631172314
| access-date = 16 September 2023
| archive-date = 18 January 2013
| archive-url = https://archive.today/20130118081848/http://www.blackwellpublishing.com/book.asp?ref=9780631172314
| url-status = bot: unknown
}}
* {{citation
|last = Druce
|first = Stephen
|display-authors = etal
|title = A transitional Islamic Bugis cremation in Bulubangi, South Sulawesi: its historical and archaeological context
|publisher = RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs
|year = 2005
|location =
|isbn =
|url = https://documents.pub/reader/full/druce-et-al-transitional-bugis-cremation
|ref = {{harvid|Druce, et al.|2005}}
}}
* {{citation
| last = Druce
| first = Stephen
| title = The Lands West of the Lakes
| publisher = Brill
| year = 2009
| location =
| isbn = 9789004253827
| url = https://brill.com/view/title/23614
}}
* {{citation
| last = Ricklefs
| first = Merle Calvin
| title = Sejarah Indonesia Modern (1200-2004)
| language = Indonesian
| publisher = PT Serambi Ilmu Semesta
| year = 2005
| location = Jakarta
| isbn = 979-16-0012-0
| url = https://bpsdm.kemendagri.go.id/Assets/Uploads/laporan/bc53b1ff33e1f19a400893214c432bd6.pdf
}}
* {{citation
| last = Julianti L. Parani
| title = Perantauan orang Bugis abad ke-18
| language = Indonesian
| publisher = Arsip Nasional RI
| year = 2015
| location = Jakarta
| isbn =
| url = https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=954341
}}
* {{citation
| last = Hall
| first = D.G.E
| title = History of South East Asia
| publisher = Red Globe Press
| year = 1981
| location = Jakarta
| isbn = 978-0333241646
| url = https://books.google.com/books?id=XD9dDwAAQBAJ
}}
* {{citation
| last = Nurnaningsih
| title = Rekonstruksi Falsafah Bugis dalam Pembinaan Karakter: Kajian Naskah Paaseng Toriolo Tellumpoccoe
| language = Indonesian
| publisher = Jurnal Lektur Keagamaan
| year = 2015
| location = Indonesia
| isbn =
| url = https://www.researchgate.net/publication/327148960
}}
* {{citation
| last = Abdul Azis
| display-authors = etal
| title = Inculcating Siri' Na Pacce Value in Primary School Learning
| publisher = Mimbar Sekolah Dasar
| year = 2020
| location =
| isbn =
| url = https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1264961.pdf
| ref = {{harvid|Abdul Azis, et al.|2020}}
}}
* {{citation
| last = Murni Mahmud
| title = Language Change in Bugis Society: to be polite or to be maju
| publisher = Linguistik Indonesia
| year = 2010
| location =
| isbn =
| url = https://www.linguistik-indonesia.org/images/files/LanguageChangeinBugisSociety.pdf
}}
* {{citation
| last = Friberg
| first = Timothy
| title = A Dialect Geography of Bugis
| publisher =
| year = 1984
| location =
| isbn =
| url = https://www.sil.org/system/files/reapdata/13/58/53/135853647134132315703747172885739208515/Friberg_T_1984_Dialect_geography_of_Bugis__searchable.pdf
}}
* {{citation
| last = Frawley
| first = William J.
| title = International Encyclopedia of Linguistics
| publisher = Oxford University Press
| year = 2003
| location =
| isbn = 9780195051964
| url =
}}
* {{citation
| last = Tryon
| first = Darrell T.
| title = Comparative Austronesian Dictionary: An Introduction to Austronesian Studies
| publisher = Linguistic Society of America
| year = 1995
| location =
| isbn =
| url =
}}
* {{citation
| last = Valls
| first = David
| title = A Grammar sketch of the Bugis Language.
| publisher =
| year = 2014
| location =
| isbn =
| url = https://www.academia.edu/23400897
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Atlas of Endangered Languages
| date = 28 November 2018
| publisher =
| location =
| isbn =
| url = https://www.endangeredalphabets.net/alphabets/lontara/
| ref = {{harvid|Atlas of Endangered Languages}}
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Sejarah Baju Bodo
| language = Indonesian
| publisher =
| year = 2019
| location =
| isbn =
| url = https://www.scribd.com/document/435834419/Sejarah-Baju-Bodo
| ref = {{harvid|Sejarah Baju Bodo|2019}}
}}
* {{citation
| last = Ros Mahwati Ahmad Zakaria
| title = Baju Bodo Akulturasi Budaya, Warisan Bugis
| language = Malay
| publisher = Utusan
| year = 2019
| location =
| isbn =
| url = https://www.ukm.my/pkk/wp-content/uploads/bsk-pdf-manager/050816-BAJU_BODO_AKULTURASI_BUDAYA_,_WARISAN_BUGIS-UTUSAN_1035.pdf
}}
* {{citation
| last = Eva Yanuarti
| title = Kain Sarung Bugis: Sejarah – Motif dan Cara Perawatannya
| date = 3 February 2021
| language = Indonesian
| publisher = haloedukasi.com
| location =
| isbn =
| url = https://haloedukasi.com/kain-sarung-bugis
| ref = {{harvid|Eva Yanuarti, S.Pd}}
}}
* {{citation
| last = Aristy Claudia
| title = Melirik Indahnya Kain Tenun Sutra Bugis
| language = Indonesian
| publisher = farahid.com
| year = 2021
| location =
| isbn =
| url = https://www.farah.id/read/2021/05/21/6354/melirik-indahnya-kain-tenun-sutra-bugis
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Museum Daerah Maros
| publisher =
| year = 2020
| location =
| isbn =
| url = |ref={{harvid|Museum Daerah Maros|2020}}
}}{{better source needed|date=October 2022|reason=This is not a valid reference}}
* {{citation
| last = Surya Karmila Sari
| title = Pakaian Adat Suku Bugis
| language = Indonesian
| publisher =
| year = 2015
| location =
| isbn =
| url =
}}{{better source needed|date=October 2022|reason=This appears to lead to a blog site, I'm guessing the URL couldn't be saved}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Sejarah Sarung Orang Melayu Mingankabau Makasar Bugis
| language = Indonesian
| publisher =
| year = 2017
| location =
| isbn =
| url =
}}{{better source needed|date=October 2022|reason=This appears to lead to a wordpress site, I'm guessing the URL couldn't be saved}}
* {{citation
| last = Muhlis Hadrawi
| title = Intergrasi Melayu di Sulawesi Selatan: Kajian Berdasarkan Lontara
| language = Indonesian
| publisher = Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
| year = 2020
| location =
| isbn = 9786233130530
| url =
}}
* {{citation
| last = Umrahwati
| title = Kebiasaan Makanan Khas Suku Bone di Sulawesi Selatan (Makanan Khas Burasa')
| language = Indonesian
| publisher =
| year = 2018
| location =
| isbn =
| url = https://www.academia.edu/37745105
}}
* {{citation
| last = Husain, B.
| display-authors = etal
| title = Sailing to the Island of the Gods': Bugis Migration in Bali Island
| publisher = Utopía y Praxis Latinoamericana
| year = 2020
| location =
| isbn =
| url = https://www.redalyc.org/journal/279/27964115032/27964115032.pdf
| ref = {{harvid|Husain, B., et al.|2020}}
}}
* {{citation
| last = Ho
| first = Stephanie
| title = Bugis community
| publisher = National Library Singapore
| year = 2013
| location =
| isbn =
| url = https://eresources.nlb.gov.sg/infopedia/articles/SIP_2013-08-12_113516.html
}}
* {{citation
| last = Nabila Qibtiya
| title = Suguhan Kuliner Tradisioinal Bugis
| language = Indonesian
| publisher =
| year = 2019
| location =
| isbn =
| url = http://repository.stp-bandung.ac.id/bitstream/handle/123456789/861/%ef%bf%bcNABILA%20QIBTIYA%20201621523-2019.pdf?sequence=1&isAllowed=y
}}
* {{citation
| last = Uli Wahyuliana
| title = Berburu Kuliner Lebaran di Tanah Bugis
| language = Indonesian
| publisher = Kompasiana
| year = 2017
| location =
| isbn =
| url = https://www.kompasiana.com/ulistrobery7/59ab0ef8dbbea42997427c82/berburu-kuliner-lebaran-di-tanah-bugis?page=1&page_images=1
}}
* {{citation
|last = Syarif
|display-authors = etal
|title = Sulapa Eppa As The Basic or Fundamental Philosophy of Traditional Architecture Buginese
|publisher = SHS Web of Conferences
|year = 2017
|location =
|isbn =
|url = https://www.researchgate.net/publication/322359969
|ref = {{harvid|Syarif , et al.|2017}}
}}
* {{citation
| last=Mustamin Rahim
| display-authors=etal
| title=Characteristics of Buginese Traditional Houses and their Response to Sustainability and Pandemics
| journal=E3S Web of Conferences
| year=2021
| volume=328
| page=10015
| doi=10.1051/e3sconf/202132810015
| bibcode=
| s2cid=244938941
| url=https://www.e3s-conferences.org/articles/e3sconf/pdf/2021/104/e3sconf_icstunkhair2021_10015.pdf
| ref={{harvid|Mustamin Rahim, et al.|2017}}
}}
* {{citation
| last = Pelras
| first = Christian
| title = Orality and writing among the Bugis
| publisher = Penerbit USM
| year = 2016
| location =
| isbn =
| url = https://ijaps.usm.my/wp-content/uploads/2016/09/Art.-3-IJAPS-12Supp.-1-2016-13-51.pdf
}}
* {{citation
| last = Macknight
| first = Campbell
| title = The Media of Bugis Literacy: A Coda to Pelras
| publisher = International Journal of Asia-Pacific Studies
| year = 2016
| location =
| isbn =
| url = https://www.researchgate.net/publication/308102874
}}
* {{citation
| last = Druce
| first = Stephen C.
| title = Orality, writing and history: The literature of the Bugis and Makasar of South Sulawesi
| publisher =
| year = 2016
| location =
| isbn =
| url = https://www.researchgate.net/publication/308645865
}}
* {{citation
|last = Halilintar Lathief
|display-authors = etal
|title = Tari Daerah Bugis
|language = Indonesian
|publisher = Pustaka Wisata Budaya
|year = 1999
|location =
|isbn =
|url = http://repositori.kemdikbud.go.id/8277/1/TARI%20DAERAH%20BUGIS.pdf
|ref = {{harvid|Halilintar Lathief, et al.|1999}}
}}
* {{citation
| last = Hidayat Alsair
| title = Sarat Nilai Lokal, Ini Tiga Tradisi Iduladha di Sulawesi Selatan
| language = Indonesian
| publisher = IDN Times SulSel
| year = 2019
| location =
| isbn =
| url = https://sulsel.idntimes.com/travel/journal/ahmad-hidayat-alsair/sarat-nilai-lokal-ini-tiga-tradisi-iduladha-di-sulawesi-selatan/3
}}
* {{citation
| last = Ona Mariani
| title = Tradisi Ma'burasa dan Ma'tumbu Jelang Hari Raya
| language = Indonesian
| publisher = Read Times
| year = 2021
| location =
| isbn =
| url = https://readtimes.id/tradisi-maburasa-dan-matumbu-jelang-hari-raya/
| ref = {{harvid|Ona Mariani|2019}}
}}
 
* {{citation
| last = Mulyadi Ma'ruf
| title = Filosofi Beli Alat Dapur di 10 Muharram Tradisi Bugis Makassar
| language = Indonesian
| publisher = Pijar News
| year = 2018
| location =
| isbn =
| url = https://www.pijarnews.com/video-filosofi-beli-alat-dapur-di-10-muharram-tradisi-bugis-makassar/
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Representasi Badik sebagai simbol kearifan lokal Bugis-Makassar
| language = Indonesian
| publisher = Kumparan Travel
| year = 2020
| location =
| isbn =
| url = http://repositori.uin-alauddin.ac.id/16938/1/MUSLIMIN_compressed.pdf/
| ref = {{harvid|Representasi Badik sebagai simbol kearifan lokal Bugis-Makassar|2020}}
}}
* {{citation
| last = Muslimin
| title = Sejarah Keris Bugis dan Perjalanan Panjangnya ke Pangkuan Ibu Pertiwi
| language = Indonesian
| publisher = Uin Alauddin Makassar
| year = 2018
| location =
| isbn =
| url = https://kumparan.com/kumparantravel/sejarah-keris-bugis-dan-perjalanan-panjangnya-ke-pangkuan-ibu-pertiwi-1uiOK4DZ77X
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ini 8 Alat Khas Suku Bugis
| language = Indonesian
| publisher = Kumparan
| year = 2021
| location =
| isbn =
| url = https://kumparan.com/viral-food-travel/senjata-tradisional-sulawesi-selatan-ini-8-alat-khas-suku-bugis-1wAzn6JTbWe/full
| ref = {{harvid|Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ini 8 Alat Khas Suku Bugis|2021}}
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Mengenal Senjata Tradisional Sulawesi Selatan, Ada Kawali hingga Tappi
| language = Indonesian
| publisher = Makassar Tribunnews
| year = 2021
| location =
| isbn =
| url = https://makassar.tribunnews.com/2021/05/22/mengenal-senjata-tradisional-sulawesi-selatan-ada-kawali-hingga-tappi
}}
* {{citation
| last = Guru Dafa
| title = Alat Musik Tradisional Bugis
| language = Indonesian
| publisher = RumusSoal.com
| year = 2022
| location =
| isbn =
| url = https://rumussoal.com/alat-musik-tradisional-bugis/
}}
* {{citation
| last = Lamima
| title = Phinisi: A symbol of Indonesia's seafaring traditions
| publisher = Lamima.com
| year = 2020
| location =
| isbn =
| url = https://www.lamima.com/phinisi-a-symbol-of-indonesias-seafaring-tradition/
}}
* {{citation
| last = Munsi Lampe
| title = Tradisi pelayaran pelaut Bugis-Makassar dan reproduksi wawasan geo-sosio-budaya maritim Nusantara dan global
| language = Indonesian
| publisher = Munsi Lampe
| year = 2014
| location =
| isbn =
| url = https://pdfslide.net/documents/makalah-tradisi-pelayaran-pelaut-bugis-makassar-dan-reproduksi-wawasan-geo-sosio-budaya.html
}}
* {{citation
| last = Mellefont
| first = Jeffrey
| title = Pinisi and the art of boatbuilding in Sulawesi recognised by UNESCO
| publisher = Australia National Maritime Museum
| year = 2018
| location =
| isbn =
| url = https://www.sea.museum/2018/01/24/unesco-heritage-lists-indonesian-wooden-boat-building
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = Tradisi rantau masyarakat Bugis Makassar
| language = Indonesian
| publisher = Kompasiana
| year = 2010
| location =
| isbn =
| url = https://www.kompasiana.com/muhlis_lamuru/55001b65a33311a87250fd3a/tradisi-rantau-masyarakat-bugis-makassar
| ref = {{harvid|Tradisi rantau masyarakat Bugis Makassar|2010}}
}}
* {{citation
|last = Rahmatia
|display-authors = etal
|title = Eco-phenomenology in the local concept of Buginese agriculture based on Kutika manuscript
|journal = E3S Web of Conferences
|publisher = Universitas Indonesia
|year = 2020
|volume = 211
|page = 01008
|doi = 10.1051/e3sconf/202021101008
|bibcode =
|s2cid = 229647743
|url = https://www.researchgate.net/publication/347169207
|ref = {{harvid|Rahmatia, et al.|2020}}
|doi-access = free
}}
* {{citation
|last = Nani Somba
|display-authors = etal
|title = Mistifikasi ritual sistem pertanian tradisional masyarakat Ajatappareng, Sulawesi Selatan
|language = Indonesian
|publisher = Jurnal Walennae
|year = 2019
|location =
|isbn =
|url = https://www.researchgate.net/publication/338947302
|ref = {{harvid|Nani Somba, et al.|2019}}
}}
* {{citation
| last =
| first =
| title = 2022, BPS: Produksi Padi Sulsel Naik Jadi 5.431.021 Ton, Imran Jausi Sebut Dipicu Benih Mandiri
| language = Indonesian
| publisher = sulselprov.go.id
| year = 2021
| location =
| isbn =
| url = https://sulselprov.go.id/welcome/post/2022-bps-produksi-padi-sulsel-naik-jadi-5-431-021-ton-imran-jausi-sebut-dipicu-benih-mandiri
| ref = {{harvid| 2022, BPS: Produksi Padi Sulsel Naik Jadi 5.431.021 Ton, Imran Jausi Sebut Dipicu Benih Mandiri|2022}}
}}
* {{citation
| last = Lineton
| first = Jacqueline
| title = Pasompe' Ugi' : Bugis Migrants and Wanderers
| journal = Archipel
| publisher = Archipel10
| year = 1975
| volume = 10
| pages = 173–201
| doi = 10.3406/arch.1975.1248
| url = https://www.persee.fr/doc/arch_0044-8613_1975_num_10_1_1248
}}
* {{citation
| last = Hasbi
| display-authors=etal
| title = Sappo: Sulapa Eppa Walasuji as the Ideas of Creation Three Dimensional Painting
| publisher = Dewa Ruci: Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni
| year = 2021
| location =
| isbn =
| url = |ref={{harvid|Hasbi, et al.|2021}}
}}
* {{citation
| last = Nur Azizah
| title = Realitas Pertukaran Sosial Masyarakat Duri pada Hari Pasar di Baraka Kabupaten Enrekang
| publisher = Universitas Muhammadiyah Makassar
| year = 2017
| location =
| isbn =
| url =
}}
* {{citation
| last = Bigalke
| first = Terance W.
| title = Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People
| publisher = Singapore University Press
| year = 2005
| location = Singapore
| isbn = 9971-69-313-5
| url =
}}
{{refend}}
{{Suku bangsa di Indonesia}}
[[Kategori:Suku bangsa di Asia Tenggara]]
[[Kategori:Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Bugis]]
[[Kategori:Kelompok etnik di Malaysia|Bugis]]
[[Kategori:Suku bangsa di Sulawesi Selatan|Bugis]]
[[Kategori:Bugis]]