Pemerintah Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(46 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Kotak info pemerintahan daerah
<!--sesuaikan dengan kebutuhan untuk provinsi, kota atau kabupaten-->
| provinsi 1111042033
Aceh
Biren

= Aceh
| kota = <!--nama kota di wikipedia-->
| kabupaten = <!--nama kabupaten di wikipedia-->
| namamuhamadan
| nama_lain = Pemerintahan Aceh
Jepan
 
 
| nama_lain = Pemerintahan Aceh
<!------------------------------------------->
| logo = Coat of arms of Aceh.svg
| ukuran_logo =175px
| keterangan_logo =Lambang Aceh
| gambar =Safrizal ZA, Pj. Gubernur Bangka Belitung.jpg
| ukuran_gambar =175px
| keterangan_gambar =Pj. Gubernur Aceh
| dasar_hukum = UU Nomor 11 Tahun 2006
<!--sesuaikan dengan kebutuhan untuk gubernur untuk provinsi, wali kota untuk kota atau bupati untuk kabupaten-->
| gubernur = [[NovaSafrizal IriansyahZ.A.|Dr. Drs. Safrizal Z.A., M.Si.]] (Pj.)
| wakil_gubernur = Lowong
<!------------------------------------------->
| DPRD = Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
| ketua_DPRD = [[Sulaiman,SE.Zulfadhli (politikus)|Zulfadhli, MSMA.Md]]
| wakil_ketua_DPRD =[[Dalimi|H. Dalimi, SE.Ak, CA]]<br>[[Teuku Raja Keumangan|Dr. Teuku Raja Keumangan, SH, MH]]<br>[[Safaruddin (politikus)|Dr. Safaruddin S.Sos, M.SP]]
| wakil_ketua_DPRD =
| sekretaris_daerah = [[DermawanAzwardi, (lahirAP, 1959M.Si (Penjabat)|Dermawan]]
| sekretaris_DPRD =Suhaimi, S.H., M.H.
| inspektur =Jamaluddin, SE, M.Si, Ak
| jumlah_dinas =27
| jumlah_badan =12
| jumlah_kecamatan =289 Kecamatan
| jumlah_PNS =9 075
| jumlah_PPPK =
| APBD =(APBA 2021) 16.763.469.972.136-
| website = http://www.acehprov.go.id/
| catatan =
|jumlah_kabupaten=18|jumlah_kota=5|jumlah_desa=6.497 Gampong|wali_kota=5|wakil_wali_kota=5|bupati=18|wakil_bupati=18}}
}}
 
'''Pemerintahan Aceh''' adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem [[Negara Kesatuan Republik Indonesia]] berdasarkan [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945]] yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan [[Dewan Perwakilan Rakyat Aceh|Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh]] sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.<ref>[{{Cite web |url=http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/15194/UU%20NO%2011%20TH%202006.pdf |title=Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh] |access-date=2016-04-07 |archive-date=2013-10-08 |archive-url=https://web.archive.org/web/20131008000223/http://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/15194/UU%20NO%2011%20TH%202006.pdf |dead-url=yes }}</ref> Pemerintahan Aceh setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di [[Indonesia]] dan merupakan kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.
 
Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik [[Indonesia]], yang menurut [[Undang-Undang Dasar]] Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat [[Daerah Khusus|khusus]] atau bersifat [[Daerah Istimewa|istimewa]]. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan [[Aceh]] sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan memiliki kewenangan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
 
Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at [[Islam]] yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan NKRI yang berdasarkan [[Pancasila]] dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah [[NAD|Provinsi Aceh]].
 
Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari [[Kesepakatan Helsinki|Nota Kesepahaman]] (''Memorandum of Understanding)'' antara Pemerintah dan [[Gerakan Aceh Merdeka]] yang ditandatangani pada tanggal [[15 Agustus]] [[2005]] dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.
 
UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Materi UU ini, selain itu materi kekhususan dan keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11/2006, sebagian besar hampir sama dengan UU 32/2004 tentang [[Pemerintahan Daerah]]. Oleh karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah (sepanjang hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh). Karena begitu banyak materi mengenai pemerintahan Aceh maka artikel ini hanya memuat sebagiannya saja. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 11/2006.
 
== Aceh ==
Aceh adalah Daerah [[Provinsi]] yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang [[Gubernur]].
 
Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan [[Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh]] sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
 
Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan [[Bendera Daerah]] Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan.yang bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. Pemerintah Aceh dapat menetapkan Lambang sebagai simbol keistimewaan dan kekhususan. Pemerintah Aceh dapat menetapkan [[Aceh Mulia|Himne Aceh]] sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan.
 
== Wilayah Aceh ==
Wilayah Aceh merupakan sebuah kesatuan dengan batas-batas:

(a). sebelah Utara berbatasan dengan [[Selat Malaka]];

(b). sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi [[Sumatera Utara|Sumatera Utara]];

(c). sebelah Timur berbatasan dengan [[Selat Malaka]]; dan

(d). sebelah Barat berbatasan dengan [[Samudera Indonesia]].
 
=== Susunan wilayah ===
Baris 58 ⟶ 74:
Kabupaten/Kota dibagi atas kecamatan. [[Kecamatan]] adalah suatu wilayah kerja camat sebagai [[Perangkat Daerah|perangkat daerah]] Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan.
 
Kecamatan dibagi atas ''Mukim''. ''[[Mukim (Aceh)|Mukim]]'' adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa ''Gampong'' yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh ''Imeum Mukim'' atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah Camat.
 
''Mukim'' dibagi atas kelurahan dan ''[[Gampong]]''. Kelurahan dibentuk di wilayah kecamatan dengan ''[[Qanun (hukum Indonesia)|Qanun]]'' Kabupaten/Kota yang dipimpin oleh Lurah yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan dari Bupati/Wali kota. Kelurahan di Provinsi Aceh dihapus secara bertahap menjadi ''Gampong'' atau nama lain dalam Kabupaten/Kota. ''Gampong'' atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah ''[[Mukim (Aceh)|Mukim]]'' dan dipimpin oleh ''Keuchik[[Geuchik]]'' atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
 
=== Kawasan khusus dan perkotaan ===
Pemerintah Pusat dapat menetapkan kawasan khusus di Aceh dan/atau Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus. Dalam pembentukannya Pemerintah Pusat wajib mengikutsertakan Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
 
Pemerintah Aceh bersama pemerintah Kabupaten/Kota dapat mengusulkan kawasan khusus setelah mendapat persetujuan DPRA/DPRK. Tata cara penetapan kawasan khusus di Aceh dilakukan sesuai dengan [[peraturan perundang-undangan]].
 
[[Kawasan perkotaan]] dapat berbentuk Kota sebagai daerah otonom, bagian Kabupaten yang memiliki ciri perkotaan, maupun bagian dari dua atau lebih Kabupaten/Kota yang berbatasan langsung dan memiliki ciri perkotaan. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk badan pengelolaan pembangunan di kawasan gampong yang direncanakan dan dibangun menjadi kawasan perkotaan. Ketentuan kawasan perkotaan diatur dengan ''Qanun''.
Baris 74 ⟶ 90:
 
Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain:
# Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan [[Dewan Perwakilan Rakyat Aceh|DPRA]].
# Dalam hal rencana pembentukan Undang-undang oleh [[DPR]] yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
# Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh, yang akan dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh.
Baris 84 ⟶ 100:
Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang diatur dan diurus sendiri oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota
 
Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan, baik pada Pemerintahan di tingkat Aceh maupun pemerintahan di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan di Aceh. Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at [[Syariat Islam|syari’at Islam]] antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diatur dengan ''Qanun'' Aceh.
 
Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan pelaksanaan [[Daerah istimewa|keistimewaan Aceh]]:
# penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama;
# penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
Baris 120 ⟶ 136:
Pemerintah Aceh dipimpin oleh seorang [[Gubernur]] sebagai Kepala Pemerintah Aceh dan dibantu oleh seorang [[Wakil Gubernur]]. Gubernur bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Aceh pada semua sektor pemerintahan termasuk pelayanan masyarakat dan ketenteraman serta ketertiban masyarakat yang diatur dalam ''Qanun'' Aceh. Gubernur karena jabatannya berkedudukan juga sebagai Wakil Pemerintah Pusat dan bertanggung jawab kepada Presiden.
 
Pemerintah Kabupaten/Kota dipimpin oleh seorang [[Bupati]]/[[Wali kota]] sebagai kepala pemerintah Kabupaten/Kota dan dibantu oleh seorang [[Wakil Bupati]]/[[Wakil Wali kota]]. Bupati/Wali kota bertanggung jawab dalam penetapan kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota di semua sektor pelayanan publik termasuk ketenteraman dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam ''Qanun'' Kabupaten/Kota.
 
Gubernur atau Bupati/Wali kota mempunyai tugas dan wewenang antara lain melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh. Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur antara lain dalam pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at Islam. Wakil Bupati/Wakil Wali kota mempunyai tugas membantu Bupati/Wali kota antara lain dalam:
Baris 146 ⟶ 162:
 
=== KIP ===
'''[[Komisi Independen Pemilihan]]''' (KIP) adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari [[Komisi Pemilihan Umum]] (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum [[Presiden]]/[[Wakil Presiden]], anggota [[Dewan Perwakilan Rakyat]], anggota [[Dewan Perwakilan Daerah]], anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali kota/Wakil Wali kota.
 
=== Parpol lokal ===
Baris 158 ⟶ 174:
 
=== Mahkamah Syar’iyah ===
{{Utama|Mahkamah Syar'iyah Aceh}}
 
[[Berkas:Mahkamah Syar'iyyah Aceh.JPG|300px|jmpl|Gedung Mahkamah Syar'iyyah Aceh]]
 
Peradilan [[Syariat Islam]] di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan nasional dalam lingkungan peradilan agama yang dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. [[Mahkamah Syar'iyah Aceh]] merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh.
 
Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh [[Presiden Indonesia|Presiden]] atas usul [[Ketua Mahkamah Agung Indonesia|Ketua Mahkamah Agung]].
 
[[Mahkamah Syar'iyah]] berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ''Ahwal Al-Syakhsiyah'' (hukum keluarga), ''Muamalah'' (hukum perdata), dan ''Jinayah'' (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Ketentuan mengenai bidang ''Ahwal Al-Syakhsiyah'' (hukum keluarga), ''Muamalah'' (hukum perdata), dan ''Jinayah'' (hukum pidana) diatur dengan ''[[Qanun]]'' Aceh.
 
Putusan [[Mahkamah Syar'iyah Aceh]] dapat dimintakan kasasi kepada [[Mahkamah Agung Indonesia|Mahkamah Agung]]. Hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah adalah hukum acara yang diatur dalam ''[[Qanun]]'' Aceh serta revisi-revisinya yang diatur oleh Peraturan Gubernur. Sengketa wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang [[Mahkamah Agung]] untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir.
 
Dalam hal terjadi perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya beragama Islam dan beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah.
 
Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau ketentuan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlaku hukum jinayah. Penduduk Aceh yang melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh berlaku [[Kitab Undang-Undang Hukum Pidana]].
 
Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syari’at Islam yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai jinayah dilakukan oleh [[Kepolisian Negara Republik Indonesia]] dan Penyidik [[Pegawai Negeri Sipil]].
 
=== [[Majelis Permusyawaratan Ulama]] ===
MPU dibentuk di Aceh/Kabupaten/Kota yang anggotanya terdiri atas [[Ulama]] dan Cendekiawan Muslim yang memahami ilmu agama Islam dengan memperhatikan keterwakilan perempuan, yang bersifat independen dan kepengurusannya dipilih dalam musyawarah ulama. MPU berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten/Kota, serta DPRA dan DPRK. Ketentuan struktur organisasi, tata kerja, kedudukan protokoler, dan hal lain yang berkaitan dengan MPU diatur dengan ''Qanun'' Aceh.
 
Baris 184 ⟶ 200:
 
== Wali Nanggroe dan lembaga adat ==
=== [[Lembaga Wali Nanggroe]] ===
Lembaga ''Wali Nanggroe'' merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
 
Baris 193 ⟶ 209:
 
Lembaga adat Aceh meliputi:
# [[Majelis Adat Aceh]];
# ''[[Mukim (Aceh)|Imeum Mukim]]'' atau nama lain;
# ''Imeum Chik'' atau nama lain;
# ''Keuchik[[Geuchik]]'' atau nama lain;
# ''Tuha Peut'' atau nama lain;
# ''Tuha Lapan'' atau nama lain;
# ''Imeum Meunasah'' atau nama lain;
# ''Keujreun Blang'' atau nama lain;
# ''[[Panglima La'ôt|Panglima Laot]]'' atau nama lain;
# ''Pawang Glee'' atau nama lain;
# ''Peutua Peuneubok'' atau nama lain;
# ''Haria Peukan'' atau nama lain; dan
# ''[[Syahbandar|Syahbanda]]'' atau nama lain.
 
Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’at Islam dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Penyusunan ketentuan adat yang berlaku umum pada masyarakat Aceh dilakukan oleh Lembaga Adat dengan pertimbangan ''Wali Nanggroe''.
Baris 215 ⟶ 231:
 
== Qanun dan peraturan ==
''Qanun'' dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. ''Qanun'' Aceh disahkan oleh [[Gubernur]] setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA. ''Qanun'' Kabupaten/Kota disahkan oleh [[Bupati/Wali kota]] setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan ''Qanun''. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan ''Qanun'' harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal diperlukan untuk pelaksanaan ''Qanun'', Gubernur dan Bupati/Wali kota dapat menetapkan Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan Bupati/Wali kota.
 
''Qanun'', kecuali ''Qanun'' mengenai ''Jinayah'' (hukum pidana), dapat memuat ketentuan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian, kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah). ''Qanun'' dapat diuji oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-undangan. ''Qanun'' yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh [[Mahkamah Agung]].
Baris 251 ⟶ 267:
 
=== Sabang Free Trade Area (SAFTA) ===
[[Kawasan Perdagangan Bebas Indonesia|Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang]] adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik [[Indonesia]] yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari:
# tata niaga;
# pengenaan bea masuk;
Baris 291 ⟶ 307:
 
==== Dana otsus ====
[[Otonomi Khusus|Dana Otonomi Khusus]] merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Dana Otonomi Khusus berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh. Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur dalam ''Qanun'' Aceh. Dana otonomi khusus untuk tahun pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008.
 
==== Keuangan syariah ====
Baris 309 ⟶ 325:
Pemerintah Pusat, Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi serta menegakkan hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk.
 
Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melindungi, menjaga, memelihara, dan melestarikan Taman Nasional dan kawasan lindung. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban mengelola kawasan lindung untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekologi. Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan [[Kawasan Ekosistem Leuser|kawasan ekosistem [[Leuser]] di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari.
 
== Kependudukan dan ketenagakerjaan ==
Baris 344 ⟶ 360:
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Pranala luar ==
 
* {{Id}} [http://acehprov.go.id Situs resmi Pemerintah Aceh]
{{Provinsi di Indonesia}}
 
[[Kategori:Pemerintahan Aceh]]