Sitiarjo, Sumbermanjing Wetan, Malang: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
L.A Bold20 (bicara | kontrib)
Tag: Pengalihan baru [ * ] Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Wagino Bot (bicara | kontrib)
k top: Bot: Menambah referensi, removed stub tag
 
(7 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Tone|date=Desember 2021}}
#ALIH[[Sitiarjo, Sumbermanjing Wetan, Malang]] {{A kapital}}
{{rapikan}}
 
{{Desa
|peta =
Baris 19 ⟶ 21:
Desa Sitiarjo juga memiliki sarana dan prasarana penunjang kehidupan yang memadai untuk sebuah desa berupa pasar desa yang besar dan lengkap, sarana peribadatan Kristen dan Islam, Puskesmas desa, lembaga Pembiayaan non-pemerintah dan bank serta beberapa jenis koperasi yang bisa dimanfaatkan oleh warga desa, juga tersedianya layanan pendidikan dari TK sampai SMA.
 
SEJARAH DESA
 
Sejarah pembukaan lahan (bedah krawang) Desa Sitiarjo tidak lepas dari perkembangan umat Kristiani di wilayah Jawa Timur khususnya Kabupaten Malang.
Baris 27 ⟶ 29:
Tersebutlah seorang tua bernama Kyai Truna Semita yang tinggal di Wonorejo – Bantur Kabupaten Malang. Ia adalah putra kedua dari tokoh “bedhah krawang” komunitas Wonorejo yaitu Ki Ibrahim Tunggul Wulung asal Juwana – pesisir Utara Jawa Tengah yang sempat bertapa di lereng Gunung Kelud, dan memeluk agama Kristen sejak dibaptiskan pada tanggal 6 Juli 1857 di bawah asuhan Pdt J.E Jellesma (pasamuwan Mojowarno – Jombang).
 
Kyai Truna Semita berperan penting dalam meramaikan pembukaan lahan Swaru – Gondanglegi. Di situ ia bersahabat dg para pendatang, antara lain dengan para keturunan Raden Mas Sandiya Suramenggala, yaitu kakak beradik Sarna Krama Setja, Garta Ngastawa, Kasminah (istri Sarub), Astama, Kasiman & Sarta (suami Tramisih) yang tadinya boyong dari desa Karungan – Sidoarjo, Pasamuwan Sidokare. Suatu ketika Beliauia melontarkan ide kepada para sahabatnya untuk membuka sebuah dataran di Lembah Sungai Panguluran yang masih berupa “alas gung liwang-liwung jalma mara jalma mati”. Setelah beberapa kali rembugan, BeliauIa dan guru Krama Setja sepakat meminta Garta Ngastawa melakukan survey ke tempat tersebut. Untuk itu mereka juga mohon doa restu kepada Pdt D. Louwerier selaku pemimpin Pasamuwan Swaru.
 
Survey ke dataran di hutan Panguluran dilakukan dua kali. Survey pertama dilaksanakan Garta Ngastawa bersama dua orang sahabatnya, yaitu Tapa dan Mangun. Mereka tiba di perbukitan sisi Utara dan mendirikan sebuah pondok sederhana. Dari situ mereka memandang ke seluruh lembah subur yang tampak seperti pinggan (Jawa: Dulang), sehingga menyebut tempat mereka saat itu sebagai “Pondok Dulang”. Selanjutnya, pondok itu dijadikan pos tinggal selama pelaksanaan survey ke seantero ngarai. Hasil survey berminggu-minggu itu kemudian dilaporkan kepada Pdt. D. Louwerier.
Baris 65 ⟶ 67:
{{Sumbermanjing Wetan, Malang}}
 
{{Authority control}}
{{kelurahan-stub}}