Sejarah Malang Raya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Azza Bimantara (bicara | kontrib)
k Azza Bimantara memindahkan halaman Sejarah Kota Malang ke Sejarah Malang Raya: Ingin memperluas cakupan artikel menjadi seluruh sejarah tentang wilayah di Malang Raya yang tidak cocok dengan judul saat ini
Matabulanhari (bicara | kontrib)
 
(27 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
 
== Etimologi ==
Asal usul penamaan [[Malang]] sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah. Nama "Malang" muncul pertama kali pada [[Prasasti Pamotoh]]/[[Ukirnegara]] (1120 Saka/1198 Masehi) yang ditemukan pada tanggal 11 Januari 1975 oleh seorang administrator perkebunan Bantaran di [[Wlingi, Blitar|Kecamatan Wlingi]], [[Kabupaten Blitar]]. Dalam prasasti tembaga tersebut, tertulis salah satu bagiannya (dengan terjemahannya sebagai berikut) sebagai berikut.
{| class="wikitable"
|Teks
Baris 18:
persawahan Dyah Limpa yaitu…
|}
Malang di sini merujuk pada sebuah daerah di timur [[Gunung Kawi]]. Meskipun telah diketahui bahwa penggunaan Malang setidaknya telah berlangsung sejak abad ke-12 Masehi, tidak bisa dipastikan asal mula penamaan wilayahnya.
 
Hipotesis pertama merujuk pada nama sebuah bangunan suci bernama ''Malangkuçeçwara'' (<small>diucapkan</small> [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[malaŋkuʃeʃworo]]]). Bangunan suci tersebut disebut dalam dua prasasti [[Dyah Balitung|Raja Balitung]] dari [[Kerajaan Medang|Mataram Kuno]], yakni [[Prasasti Mantyasih]] tahun 907 Masehi dan Prasasti 908 Masehi.<ref name=":0">M. A. Mihaballo, H. Susanto, & Sriyana (2013). ''The Miracle of Language'', Jakarta: Elex Media Computindo. pp. 201-202</ref> Para ahli masih belum memperoleh kesepakatan di mana bangunan tersebut berada. Di satu sisi, ada sejumlah ahli yang menyebutkan bahwa bangunan ''Malangkuçeçwara'' terletak di daerah Gunung Buring, suatu pegunungan yang membujur di sebelah timur Kota Malang di mana terdapat salah satu puncaknya bernama "Malang".<ref name=":0" /> Pihak yang lain di sisi lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci tersebut terdapat di daerah [[Tumpang, Malang|Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]. Di daerah tersebut, terdapat sebuah desa bernama [[Malangsuko, Tumpang, Malang|Malangsuka]], yang menurut para ahli sejarah berasal dari kata ''Malangkuça'' (<small>diucapkan</small> [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[malankuʃoː]]]) yang diucapkan terbalik. Pendapat ini diperkuat oleh keberadaan peninggalan-peninggalan kuno di sekitar Tumpang seperti [[Candi Jago]] dan [[Candi Kidal]] yang merupakan wilayah [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]].<ref name=":0" />
Baris 24:
Nama ''Malangkuçeçwara'' terdiri atas 3 kata, yakni ''mala'' yang berarti kebatilan, kecurangan, kepalsuan, dan kejahatan, ''angkuça'' (diucapkan [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[aŋkuʃo]]]) yang berarti menghancurkan atau membinasakan, dan ''içwara'' (diucapkan [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[iʃworo]]]) yang berarti Tuhan. Oleh karena itu, ''Malangkuçeçwara'' berarti "Tuhan telah menghancurkan yang batil".<ref>Makna Lambang - Pemerintah Kota Malang,’ ''Pemerintah Kota Malang'' (daring), https://malangkota.go.id/sekilas-malang/makna-lambang/ diakses pada 21 September 2017</ref>
 
Hipotesis kedua merujuk sebuah kisah penyerangan pasukan [[Kesultanan Mataram]] ke Malang pada 1614 yang dipimpin oleh Tumenggung Alap-Alap.<ref>A. P. Rianto (2016), ''Perancangan Konsep Art Game Bergenre Fantasi Malangkucecwara The Ruins of War''. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. p. 50</ref> Menurut cerita rakyat, terdapat sebuah percakapan antara Tumenggung Alap-Alap dengan salah satu pembantunya mengenai kondisi wilayah Malang sebelum penyerangan dimulai. Pembantu dari Tumenggung Alap-Alap tersebut menyebut warga dan prajurit dari daerah tersebut sebagai penduduk yang "menghalang-halangi" (''malang'' dalam [[Bahasa Jawa]]) kedatangan dari pasukan [[Kesultanan Mataram|Mataram]]. Setelah penaklukan tersebut, pihak Mataram menamakan daerah itu Malang.<ref>W. Siswanto & S. Noersya (2008). ''Cerita Rakyat dari Malang (Jawa Timur)''. Jakarta: Grasindo. pp. 1-8</ref>
 
== Masa Pra-Sejarah ==
Baris 30:
Kawasan Malang pada era [[Pleistosen]] masih berupa cekungan dalam yang diapit aktivitas vulkanis dari gunung-gunung seperti Pegunungan Kapur di Selatan, [[Gunung Kawi]] dan [[Gunung Kelud]] di Barat, [[Gunung Anjasmoro|Kompleks Pegunungan Anjasmoro]], [[Gunung Welirang|Welirang]], dan [[Gunung Arjuno|Arjuna]] di Timur Laut dan Utara, dan [[Taman Nasional Bromo Tengger Semeru|Kompleks Pegunungan Tengger]] di Timur.<ref>R. W. van Bemmelen (1949). ''The Geology of Indonesia Vol. I''. Den Haag: Martinus-Nijhoff</ref> Cekungan tersebut belum dihuni manusia akibat kondisinya masih berupa aliran lava dan lahar panas dari gunung-gunung sekitarnya.<ref>S. Santosa & T. Suwarti (1992). ''Peta Geologi Lembar Malang, Jawa Timur, skala 1:100.000''. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi</ref> Menjelang musim hujan, cekungan daerah Malang tersebut terisi air yang mengalir lewat lereng-lereng gunung yang menuju ke sejumlah sungai dan membentuk sebuah rawa-rawa purba. Rawa-rawa tersebut meluas sehingga menciptakan danau purba.
 
Ketika danau purba belum mengering, peradaban manusia purba masih pada tahap Berburu dan Mengumpulkan Makanan tingkat awal hingga lanjut. Permukimannya masih berada di lereng-lereng gunung dan pegunungan yang mengelilingi Malang dalam bentuk gua-gua alam. Oleh karena itu bisa dimengerti bila penemuan artefak-artefak pada masa paleolitik dan mesolitik ini banyak ditemukan di daerah pegunungan, seperti di lereng [[Gunung Kawi]], [[Gunung Arjuno|Arjuno]], [[Gunung Welirang|Welirang]], Tengger, [[Gunung Semeru|Semeru]] dan Pegunungan Kapur Selatan.<ref name=":1">Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang (2013). ''Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang''. Malang : Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. pp. 34-36</ref>
 
Danau purba Malang berangsur mengering pada era [[Holosen]] dan menyebabkan wilayah Malang menjadi dataran tinggi Malang. Ketika mulai memasuki masa Bercocok Tanam, secara berangsur-angsur manusia purba mulai turun gunung dan membuat sejumlah permukiman dan daerah-daerah pertanian. Ditemukannya sejumlah artefak berupa dua buah beliung persegi, alat pahat dari batu kalsedon serta kapak genggam dari batu andesit di sebelah timur [[Gunung Kawi]] tepatnya di daerah Kacuk di sekitar aliran [[Kali Metro|sungai Metro]] dan [[Sungai Brantas|Brantas]] menguatkan anggapan tersebut.<ref name=":1" /> Selain itu, penelitian memperkirakan bahwa bentuk-bentuk hunian pada masa peralihan ini berbentuk rumah panggung, di mana badan rumah disangga oleh kaki-kaki rumah dan berada beberapa meter dari permukaan tanah. Hal ini diperkuat dengan penemuan artefak berupa “Watu Gong” atau “Watu Kenong” di [[Dinoyo, Lowokwaru, Malang]], yang wujudnya mirip dengan alat musik tradisional, yakni gong, yang sebenarnya ialah umpak atau fondasi dari rumah panggung.<ref name=":1" /> Tumbuhnya permukiman di sekitar sungai yang mengalir di Malang menjadi cikal bakal peradaban-peradaban kuno para ''[[Manusia|Homo sapien]]''.<ref>Pemerintah Kotamadya Malang (1964). ''Kotapradja Malang 50 Tahun''. Malang : Seksi penerbitan 50 Tahun Kotapradja Malang.</ref>
 
== Masa Kerajaan Hindu dan Islam-Buddha ==
 
=== [[Kerajaan Kanjuruhan]] ===
=== Rakryan Kanuruhan ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) ===
[[Berkas:Candi_Badut_2.jpg|jmpl|300x300px|[[Candi Badut]], salah satu peninggalan [[Kerajaan Kanjuruhan]]<ref>{{Cite web|url=http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/candi-badut.html|title=Candi Badut|website=Sejarah dan Budaya Nusantara|access-date=2017-10-22}}</ref> yang menjadi bukti bahwa Kerajaan Kanjuruhan adalah tonggak perkembangan Kota Malang]]Entitas politik pertama dan tertua yang muncul dari permukiman kuno di Malang, yang tercatat dalam sejarah, ialah [[Kerajaan Kanjuruhan]]. Berdasarkan informasi yang dituturkan [[Prasasti Dinoyo|Prasasti Kanjuruhan/Dinoyo]] (682 Saka/760 Masehi), kerajaan ini sempat dipimpin oleh Dewa Simha. Setelah wafat, ia digantikan oleh putranya yang bernama Liswa atau Limwa dengan gelar [[Gajayana]] pada 760 Masehi. Pada masa kekuasaannya, ia telah menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya,<ref>W. J. van der Meulen (1976). The Puri Putikesvarapavita and the Pura Kanjuruhan. ''Bijdragen Tot De Taal – En Volkenkunde, 132(4)''. 445-462</ref> membangun tempat-tempat suci sebagai simbol restorasi kekuasaan, mendermakan sejumlah hewan ternak kepada masyarakat dan pendeta, serta membangun sejumlah fasilitas publik yang diperuntukkan bagi kegiatan keagamaan dan aktivitas sehari-hari.<ref>D. I. Widodo (2015), ''Malang Tempo Doeloe''. Surabaya: Dukut Publishing. p. 15</ref> Peninggalan dari [[Kerajaan Kanjuruhan]] yang masih tersisa hingga kini selain [[Prasasti Dinoyo]] termasuk ''[[yoni]]'' Candi Wurung,<ref>B. Indo, ‘Situs Purbakala Diduga Bagian Candi Ditemukan di Merjosari Kota Malang, Kerajaan Kanjuruhan?’ ''SuryaMalang.com'' (daring), 16 Juni 2017, http://suryamalang.tribunnews.com/2017/06/16/situs-purbakala-diduga-bagian-candi-ditemukan-di-merjosari-kota-malang-kerajaan-kanjuruhan, diakses pada 8 Januari 2019</ref> yang terletak di [[Merjosari, Lowokwaru, Malang]], dan [[Candi Badut]] yang terletak di [[Karangwidoro, Dau, Malang|Karangwidoro, Dau, Kabupaten Malang]].
Kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan ''Medang i Bhumi Mataram'' ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) semasa kepemimpinan [[Dyah Balitung|Raja Dyah Balitung]] (899-911 Masehi). Dalam [[Prasasti Balingawan]] (813 Saka/891 Masehi), disebutkan Pu Huntu sebagai ''Rakryan Kanuruhan'' (penguasa ''watak'' Kanuruhan) dipada masa kekuasaan [[Mpu Daksa|Raja Mpu Daksa]] (911-919 Masehi).<ref>J. L. A. Brandes (1913). ''Oud-Javaansche Oorkonden: Nagelaten transcripties van willen Dr. JLA Brandes Uitgegeven door Dr. NJ Krom''. Den Haag: Martinus Nijhoff</ref> Artinya, wilayah yang dulu menjadi kerajaan otonom telah turun satu tingkat menjadi ''watak'' (wilayah) yang setingkat dengan kadipaten atau kabupaten (satu tingkat di bawah kekuasaan raja). Watak Kanuruhan yang mencakup pusat Kota Malang saat ini adalah entitas yang berdiri berdampingan dengan Watak Hujung (di sekitarDusun Ngujung, [[SingosariToyomarto, Malang|Singosari]], [[Lawang, Malang|LawangDesa Toyomarto]], dan [[JabungSingosari, Malang|JabungKecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]) dan Watak Tugaran (di Tegaron, [[Lesanpuro, Kedungkandang, Malang|Lesanpuro]], [[Kedungkandang, Malang|Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]) yang masing-masing membawahi beberapa ''wanua'' (setingkat desa).<ref>I. Lutfi (2003). Desa-Desa Kuno di Malang Periode Abad ke-9-10 Masehi: Tinjauan Singkat Berbasis Data Tekstual Prasasti dan Toponimi. ''Sejarah, 9(1)''. 28-40</ref>
[[Berkas:Serpihan Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan.jpg|jmpl|Sisa-sisa Peninggalan Kerajaan Kanjuruhan di sekitar [[Tlogomas, Lowokwaru, Malang|Kelurahan Tlogomas]], [[Lowokwaru, Malang|Kecamatan Lowokwaru]], [[Kota Malang|Malang]]]]
 
=== Rakryan Kanuruhan ([[Kerajaan Medang|Mataram Kuno]]) ===
Kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan ''Medang i Bhumi Mataram'' ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) semasa kepemimpinan [[Dyah Balitung|Raja Dyah Balitung]] (899-911 Masehi). Dalam [[Prasasti Balingawan]] (813 Saka/891 Masehi), disebutkan Pu Huntu sebagai ''Rakryan Kanuruhan'' (penguasa ''watak'' Kanuruhan) di masa kekuasaan [[Mpu Daksa|Raja Mpu Daksa]] (911-919 Masehi).<ref>J. L. A. Brandes (1913). ''Oud-Javaansche Oorkonden: Nagelaten transcripties van willen Dr. JLA Brandes Uitgegeven door Dr. NJ Krom''. Den Haag: Martinus Nijhoff</ref> Artinya, wilayah yang dulu menjadi kerajaan otonom telah turun satu tingkat menjadi ''watak'' (wilayah) yang setingkat dengan kadipaten atau kabupaten (satu tingkat di bawah kekuasaan raja). Watak Kanuruhan yang mencakup pusat Kota Malang saat ini adalah entitas yang berdiri berdampingan dengan Watak Hujung (di sekitar [[Singosari, Malang|Singosari]], [[Lawang, Malang|Lawang]], dan [[Jabung, Malang|Jabung]], [[Kabupaten Malang]]) dan Watak Tugaran (di Tegaron, [[Lesanpuro, Kedungkandang, Malang|Lesanpuro]], [[Kedungkandang, Malang|Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]) yang masing-masing membawahi beberapa ''wanua'' (setingkat desa).<ref>I. Lutfi (2003). Desa-Desa Kuno di Malang Periode Abad ke-9-10 Masehi: Tinjauan Singkat Berbasis Data Tekstual Prasasti dan Toponimi. ''Sejarah, 9(1)''. 28-40</ref>
[[Berkas:054 View from North, Candi Songgoriti (26546059548).jpg|jmpl|Candi Songgoriti, ditemukan oleh Van Isseldijk pada 1799,<ref>Verslag van W. I. I. van Isseldijk omtrent de gesteldheid van Java's Oesthoek, 15 Junij 1799, dalam J. K. J. de Jonge (1933), ''De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie. Verzameling van Onuitgegeven Stukken uit het Oud-Koloniaal Archief. Uitgegeven en Bewerkt Door...'' Vol. XII. Den Haag: Martinus Nijhoff. pp. 464-556</ref> direnovasi oleh Jonathan Rigg pada 1849, merupakan peninggalan kekuasaan [[Mpu Sindok]] ketika ia meminta salah satu bawahannya, Mpu Supo, untuk mendirikan tempat peristirahatan keluarga kerajaan di wilayah pegunungan yang memiliki sumber mata air.<ref>'Candi Songgoriti,' ''Ngalam.id'' (daring), 2 Januari 2013, http://ngalam.id/read/921/candi-songgoriti/, diakses pada 18 Januari 2019</ref>]]
Ketika pusat pemerintahan Mataram Kuno dipindah ke daerah Tamwlang dan [[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]] ([[Kabupaten Jombang|Jombang]]) pada masa kekuasaan [[Mpu Sindok|Raja Mpu Sindok]] (929-948 Masehi), beberapadiketahui bahwa Dyah Mungpang telah menjadi penguasa Watak Kanuruhan.<ref>{{Cite web|url=https://ngalam.co/2016/12/22/dyah-mungpang-penguasa-malang-abad-10/|title=Dyah Mungpang, Penguasa Dari Malang Abad 10|last=Ishaq|first=Hasan|date=22 Desember 2016|website=Ngalam.co|access-date=29 Juli 2019|archive-date=2021-11-18|archive-url=https://web.archive.org/web/20211118195429/https://ngalam.co/2016/12/22/dyah-mungpang-penguasa-malang-abad-10/|dead-url=yes}}</ref> Beberapa prasasti seperti Sangguran, Turyyan, Gulung-Gulung, Linggasutan, Jeru-Jeru, Tija, Kanuruhan, Muncang, dan Wurandungan menggambarkan sejumlah kebijakan kewajiban pajak terhadap desa-desa perdikan (''sima'') di Malang dan sejumlah proses wakaf sejumlah bidang tanah untuk didirikan bangunan suci.<ref name=":2">‘Daftar Tahun Sejarah Malang I,’ ''Ngalam.id'' (daring), 21 Januari 2014, http://ngalam.id/read/122/daftar-tahun-sejarah-malang-i/, diakses pada 8 Januari 2019</ref> Oleh karena itu, beberapa ''wanua'' kuno yang diperkirakan “terwariskan” (berdasarkan nama-nama prasasti maupun nama tokoh setempat dipada masa lalu) hingga menjadi beberapa daerah di Malang sampai saat ini mencakup sebagai berikut:<ref name=":2" />
 
# Dinoyo (sekarang Kelurahan [[Dinoyo, Lowokwaru, Malang|Dinoyo]], [[Lowokwaru, Malang|Kecamatan Lowokwaru]], [[Kota Malang|Malang]]),
Baris 57 ⟶ 54:
# Jeru-Jeru (sekarang [[Jeru, Tumpang, Malang|Desa Jeru]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]).
 
=== Pasca [[Kerajaan Kahuripan]]: Dari [[Kerajaan Janggala|Kerajaan Jenggala]] hingga [[Kerajaan Kadiri|Kerajaan Panjalu/Kadiri]] ===
Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail status dan peran daerah sekitar Malang pada masa kepemimpinan [[Airlangga|Raja Airlangga]] selain kenyataan bahwa Malang masuk ke dalam wilayah [[Kerajaan Kahuripan]]. Pasalnya, daerah Malang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan yang berpusat di sekitar Gunung Penanggungan dan Sidoarjo dengan ibukotanyaibu kotanya Kahuripan. Bahkan ketika [[Airlangga|Raja Airlangga]] membagi [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menjadi [[Panjalu]] yang terpusat di Daha ([[Kerajaan Kadiri|Kadiri]]) dan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]] yang tetap berpusat di [[Kahuripan]], wilayah Malang termasuk periferi dari kekuasaan kedua kerajaan ini. Namun, dapat dipastikan bahwa wilayah [[Malang]] masuk ke dalam wilayah [[Jenggala]] pada saat pembagian ini. Pembagian [[Kerajaan Kahuripan|Kahuripan]] menunjukkan bahwa [[Gunung Kawi]] digunakan sebagai batas dua kerajaan baru tersebut dengan sisi timur diperoleh [[Kerajaan Janggala|Jenggala]].
[[Berkas:Kediri Kingdom id.svg|kiri|jmpl|Pembagian Wilayah Kerajaan Panjalu (jingga gelap) dan Kerajaan Jenggala (jingga terang) sebelum 1135 Masehi. Batas kedua wilayah tersebut merupakan Gunung Kawi]]
Wilayah [[Malang]] kembali menjadi aktor penting dalam sejarah Panjalu/Jenggala ketika [[Jayabaya|Raja Jayabhaya]] dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] menaklukkan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Dalam [[Prasasti Hantang]] (1057 Saka/1135 Masehi), tertulis ''Panjalu Jayati'' (“Panjalu Menang”), menandakan kemenangan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] atas [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Prasasti tersebut juga memuat pemberian hak-hak istimewa terhadap beberapa desa di Hantang ([[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]]) dan sekitarnya atas jasa mereka dalam memihak [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] saat perang.<ref>‘Prasasti Hantang, Hadiah Raja Jayabhaya untuk Warga Ngantang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 16 April 2017, https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/ {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200803155651/https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/ |date=2020-08-03 }}, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Prasasti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa wilayah [[Malang]] berada dalam kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
 
[[Prasasti Kamulan]] (1116 Saka/1194 Masehi) mencatat peristiwa penyerangan sebuah wilayah dari timur Daha (Kadiri) terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] (dalam ''[[Pararaton]]'' disebut Dandang Gendhis) yang berdiam di Kedaton Katang-Katang.<ref>‘Prasasti Kamulan Kabupaten Trenggalek,’ ''Situs Budaya'' (daring), https://situsbudaya.id/prasasti-kamulan-trengalek/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai apakah penyerangan tersebut merupakan pemberontakan atau percobaan penaklukan. Namun, keberadaan [[Prasasti Kamulan]] menunjukkan bahwa terdapat sebuah kekuatan politik baru yang muncul untuk menentang kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Argumen ini diperkuat oleh keberadaan [[Prasasti Sukun]] (1083 Saka/1161 Masehi) yang menyebut seorang raja bernama [[Sri Jayamerta]] yang memberikan hak-hak istimewa terhadap Desa Sukun (diduga di [[Sukun, Sukun, Malang|Kelurahan Sukun]], [[Sukun, Malang|Kecamatan Sukun]], [[Kota Malang|Malang]]) karena telah memerangi musuh.<ref>Suwardono, S. Rosmiayah, dan Maskur (1997), ''Monografi Sejarah Kota Malang'', Malang: Sigma Media</ref> Jayamerta tidak pernah tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai catatan yang merujuk informasi baik mengenai daftar penguasa [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]] maupun [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Beberapa ahli sejarah seperti Agus Sunyoto menyebut bahwa daerah asal perlawanan tersebut bernama Purwa atau Purwwa. Ini didukung oleh argumen Sunyoto ketika merujuk bahwa semua penguasa [[Majapahit]] merupakan keturunan dari [[Ken Arok]] yang “[...] mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (''teja'') yang memancar dari “rahasia” [[Ken Dedes]], ''naraiswari'' [...] Kerajaan Purwa.”<ref>A. Sunyoto (2004), ''Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar''. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. p. 32</ref> ''Naraiswari'' (atau ''nareswari/ardanareswari'') sendiri dalam [[bahasa Sanskerta]] berarti “perempuan utama” dan [[Ken Dedes]] sendiri merupakan putri dari [[Mpu Purwa]], brahmana dari Panawijyan ([[Polowijen, Blimbing, Malang|Kelurahan Polowijen]], [[Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]). Pada akhirnya upaya perlawanan dari wilayah yang konon bernama Purwa/Purwwa tersebut berhasil ditumpas oleh [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
[[Berkas:Penculikan ken dedes.jpg|jmpl|Diorama penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]] di Museum Mpu Purwa, [[Kota Malang|Malang]]]]
Beberapa ahli sejarah mengaitkan rangkaian peristiwa perlawanan dan penumpasan tersebut sebagai konteks sosial politik dari dua konflik yang melibatkan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] dengan kelas brahmana. Yang pertama ialah kebijakan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] yang berusaha untuk mengurangi sejumlah hak dari kelas [[Brahmana]]. Beberapa cerita rakyat menunjukkan bahwa [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] ingin “disembah” oleh para [[Brahmana]] sehingga bertentangan dengan ajaran agama dari kalangan brahmana. Yang kedua ialah peristiwa penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]], ''akuwu'' (setara camat) untuk wilayah [[Tumapel]].<ref>‘Kerajaan Purwwa,’ ''Ngalam.id'' (daring), 29 Oktober 2012, http://ngalam.id/read/98/kerajaan-purwwa/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Menurut Blasius Suprapto dalam disertasinya, letak [[Tumapel]] sendiri berada di wilayah yang dulu bernama Kutobedah (sekarang bernama [[Kotalama, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Kotalama]], [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]).<ref>B. Suprapta (2015), ''Makna Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Masa Sinhasari Abad XII Sampain XIII Masehi di Saujana Dataran Tinggi Malang dan Sekitarnya''. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Implikasi dari kedua konflik tersebut ialah penarikan dukungan politik dari kelas [[Brahmana]] terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]].
Baris 68 ⟶ 65:
=== [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] ===
[[Berkas:Candi Jago C.JPG|kiri|jmpl|[[Candi Jago]], tempat pen-''dharma''-an [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]], di [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]|al=]]
Keruntuhan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]] dan lahirnya Kerajaan Tumapel di [[Kota Malang|Malang]] berawal dari kelas Brahmana dari Panjalu yang berusaha menyelamatkan diri dari persekusi politik yang dilakukan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]]. Mereka melarikan diri ke arah timur dan bergabung dengan kekuatan politik di Tumapel yang dipimpin oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia kemudian memberontak terhadap ''akuwu'' [[Tunggul Ametung]] dan menguasai Tumapel. Kemenangan [[Ken Arok|Ken Angrok]] tersebut sekaligus pernyataan perang untuk memisahkan diri dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]]. Perebutan kekuasaan antara [[Kertajaya]] dan [[Ken Arok|Ken Angrok]] terhadap wilayah Malang dan sekitarnya berujung pada Pertempuran Ganter di [[Ngantang, Malang|Ngantang]] (sekarang kecamatan di [[Kabupaten Malang]]) (1144 Saka/1222 Masehi) yang dimenangkan oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia pun menahbiskan dirinya sebagai raja pertama [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Tumapel]] dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi. IbukotanyaIbu kotanya sendiri tetap berada di Tumapel namun berganti nama menjadi Kutaraja.
[[Berkas:Candi Kidal Java 423.jpg|jmpl|[[Candi Kidal]], tempat pen-''dharma-''an [[Anusapati|Raja Anusapati]], di [[Kidal, Tumpang, Malang|Desa Kidal]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]]]
Hingga periode perpindahan ibukotaibu kota kerajaan pada masa pemerintahan [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] dari Kutaraja ke Singhasari ([[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]) pada 1176 Saka/1254 Masehi, belum ada catatan komprehensif mengenai status strategis wilayah Malang dipada era Tumapel. Tidak dijelaskan alasan perpindahan tersebut namun mulai pada era inilah [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] menjadi nama bagi kerajaan ini. Data selebihnya hanya menunjukkan beberapa tempat bersejarah di Malang seperti daerah Gunung Katu di Genengan ([[Parangargo, Wagir, Malang|Prangargo]], [[Wagir, Malang|Wagir]], [[Kabupaten Malang]]) yang menurut sejarawan Dwi Cahyono merupakan situs pen-''dharma''-an [[Ken Arok|Ken Angrok]],<ref>R. H. Putri, ‘Persembahan Terakhir bagi Rajasa,’ ''Historia'' (daring), 14 Oktober 2017, https://historia.id/kuno/articles/persembahan-terakhir-bagi-rajasa-PKNGQ, diakses pada 11 Januari 2019</ref> daerah Rejo Kidal ([[Kidal, Tumpang, Malang|Desa Kidal]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]), di mana [[Anusapati|Raja Anusapati]] di-''dharma''-kan dalam [[Candi Kidal]], dan daerah Tumpang di mana [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] di-''dharma''-kan dalam [[Candi Jago]]. Peninggalan lainnya ialah mata air Watugede di [[Watugede, Singosari, Malang|Desa Watugede]], [[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]. Menurut Agus Irianto, juru pemandian Watugede, ''Pararaton'' menuliskan bahwa tempat ini sering dijadikan oleh [[Ken Dedes]] dan para calon putri lainnya untuk membersihkan badan.<ref name=":3">D. A. Pitaloka, 'Jejak Singosari dan Majapahit di Malang.' ''Historia'' (daring), 23 Maret 2016 https://historia.id/kuno/articles/jejak-singosari-dan-majapahit-di-malang-vxGOL diakses pada 22 Januari 2019</ref> Para sesepuh desa juga meyakini bahwa di tempat ini pula [[Ken Arok|Ken Angrok]] melihat cahaya yang terpancar dari tubuh [[Ken Dedes]] sebagai sebuah pertanda bahwa ia adalah ''nareswari''.<ref name=":3" />
 
Pada masa kepemimpinan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] menghadapi pemberontakan oleh [[Jayakatwang]] dari daerah Gelang-Gelang (sekitar [[Kota Madiun|Madiun]]).<ref>A. C. Irapta & C. D. Duka (2005). ''Introduction to Asia: History, Culture, and Civilization''. Quezon: Rex Bookstore, Inc.</ref> [[Jayakatwang]] sendiri adalah cicit dari [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] menurut ''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' dan keponakan dari [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] (dari garis keturunan perempuan) menurut [[Prasasti Mula Malurung]].<ref>S. Muljana (1979). ''Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara</ref> Pemberontakan tersebut menewaskan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], raja [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] yang terakhir, akibat wilayahnya yang tidak memiliki pertahanan ketika sebagian besar militernya dikirim untuk [[Ekspedisi Pamalayu]].<ref>M. Rossabi (1989). ''Khubilai Khan: His Life and Times''. Berkeley: University of California Press.</ref> [[Jayakatwang]] dengan mudah menduduki ibukotaibu kota, mengambil alih kekuasaan dan memindahkan pusat pemerintahan ke tanah leluhurnya, [[Kerajaan Kadiri|Kadiri]].<ref>G. Coedès (1968). ''The Indianized states of Southeast Asia''. Honolulu: University of Hawaii Press. p. 199</ref>
 
=== [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] ===
Malang tidak menjadi pusat dari konflik perebutan kekuasaan antara [[Jayakatwang]], [[Raden Wijaya]], dan tentara [[Kubilai Khan]] dari [[Dinasti Yuan|Cina]]. Setelah memenangkan suksesi kekuasaan, [[Raden Wijaya]] yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana memindahkan pusat kekuasaan ke daerah yang sempat ia bangun di Hutan Tarik (sekarang di sekitar [[Kota Mojokerto|Mojokerto]] dan [[Tarik, Sidoarjo|Kecamatan Tarik]], [[Kabupaten Sidoarjo]]). Akan tetapi, wilayah Malang menjadi saksi sejarah dari nasib [[Jayakatwang]] yang diasingkan ke sumber mata air lainnya di Polaman (sekarang [[Kalirejo, Lawang, Malang|Desa Kalirejo]], [[Lawang, Malang|Kecamatan Lawang]], [[Kabupaten Malang]]). Menurut ''[[Pararaton]]'' dan Kidung ''Harsyawijaya'', di sinilah [[Jayakatwang]] terinspirasi menulis ''Wukir Polaman'', karya sastra terakhirnya sebelum dieksekusi [[Raden Wijaya]].<ref name=":3" />
 
Dalam struktur pemerintahan [[Majapahit]] menurut Prasasti Waringin Pitu (1447 Masehi), wilayah Malang termasuk dalam ''bhumi'' atau wilayah inti kerajaan. Ia merupakan ''nagara'' (setara provinsi) bernama Tumapel yang dipimpin oleh seorang ''rajya'' (gubernur) atau ''natha'' (tuan) atau ''bhre'' (bangsawan/pangeran)—setingkat adipati.<ref>F. F. Wasitaatmadja (2018). ''Spiritualisme Pancasila''. Jakarta: Prenada Media. pp. 44-45</ref> Berikut adalah daftar Bhre Tumapel ada era Kerajaan Majapahit.<ref>S. Sang (2013). ''Girindra: Pararaja Tumapel-Majapahit''. Tulungangung: Pena Ananda Indie Publishing</ref>
{| class="wikitable"
!No.
!Nama
!Awal Menjabat
!Akhir Menjabat
!Keterangan
|-
|1
|Cakradhara
(gelar: Kertawardhana)
|1328
|1386
|Suami [[Tribhuwana Wijayatunggadewi|Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi]];
Ayah [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]]
|-
|2
|Manggalawardhana
|1389
|1427
|Putra [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]];
Cucu [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] dari Ibunya, Ratu Kusumawardhani
|-
|3
|[[Kertawijaya]]
(gelar: Wijaya Parakramawardhana)
|1429
|1447
|Adik dari Bhre Tumapel II, Manggalawardhana
|-
|4
|[[Suraprabhawa]]<ref>Sebagaimana hanya Suraprabhawa yang tercatat di dalam Prasasti Waringin Pitu dalam ‘Sejarah Kerajaan Terbesar di Nusantara; Majapahit-Wilwatikta,’ ''Kekunoan'' (daring), 1 Mei 2018, http://kekunoan.com/sejarah-kerajaan-terbesar-di-nusantara-majapahit-atau-wilwatikta/, diakses pada 23 Januari 2019</ref>
(gelar: Singha Wikramawardhana)
|1447
|1466
|Putra dari Bhre Tumapel III dan Raja ke-7 Majapahit, [[Kertawijaya]]
|}
[[Berkas:Candi Sumberawan A.JPG|jmpl|Candi Sumberawan (Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang) merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit pada era Raja Hayam Wuruk]]
''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' juga mencatat lawatan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] ke beberapa tempat di wilayah Malang pada 1359 Masehi.<ref>H. Sidomulyo (2007). ''Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca''. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.</ref> Menurut Yudi Anugrah Nugroho, lawatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian perjalanan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] untuk meninjau pembangunan di sekitar [[Kabupaten Lumajang|Lumajang]]. Lawatan ini biasa dilakukan ketika selesainya masa panen.<ref>Y. A. Nugraha, ‘Perjalanan Ziarah Raja Majapahit,’ ''Historia'' (daring). 4 Juli 2014, https://historia.id/kuno/articles/perjalanan-ziarah-raja-majapahit-Pe59P, diakses pada 22 Januari 2019</ref> Terdapat setidaknya dua konteks lawatan tersebut, yakni rekreasi dan ziarah.<ref>T. G. T. Pigeaud (1963). ''Java in the 14th Century: A Study in Cultural History: The Nāgara-Kertāgama by Rakawi, Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Vol V: Glossary, general index''. Den Haag: Martinus Nijhoff. Meskipun argumen Pigeaud hanya berfokus pada aspek rekreatif dari lawatan tersebut, tidak dipungkiri bahwa terdapat pula aspek rekreatif.</ref> Untuk konteks rekreasi, tempat pertama ialah Taman Kasuranggan di daerah Sumberawan ([[Toyomarto, Singosari, Malang|Desa Toyomarto]], [[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]). Di sinilah [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] membangun sebuah stupa sebagai tempat ibadah bagi umat [[Budha]] sehingga menjadi [[Candi Sumberawan]] seperti sekarang.<ref>A. J. B. Kempers (1959). ''Ancient Indonesian Art''. Cambridge, MA.: Harvard University Press.</ref> Yang kedua ialah Kedung Biru. Beberapa sejarawan menghubungkan Kedung Biru dengan lokasi yang kini bernama Dusun Biru, [[Gunungrejo, Singosari, Malang|Desa Gunungrejo]], [[Singosari, Malang|Kecamatan Singosari]], [[Kabupaten Malang]]. Disebut ''kedung'' (arti: jurang) karena ia berada di tepi jurang dekat Sungai Klampok. Selain tempat rekreasi [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]], konon tempat ini merupakan tempat penyucian keris yang dibuat oleh [[Mpu Gandring]] dan senjata-senjata kerajaan lainnya. Yang ketiga ialah daerah Bureng yang diidentifikasikan sebagai pemandian alam [[Taman Wisata Wendit|Wendit]] di [[Mangliawan, Pakis, Malang|Desa Mangliawan]], [[Pakis, Malang|Kecamatan Pakis]], [[Kabupaten Malang]].
[[Berkas:Candi Singosari B.JPG|kiri|jmpl|Sebagai salah satu simbol kebesaran leluhurnya, Raja Hayam Wuruk juga mengunjungi Candi Singosari di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang]]
Untuk konteks ziarah, [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] mengunjungi beberapa candi peninggalan Kerajaan Singhasari yang bertujuan untuk men-''dharma''-kan leluhurnya (Wangsa Rajasa). Beberapa candi yang dikunjungi mencakup [[Candi Kidal]] (untuk menghormati [[Anusapati|Raja Anusapati]]), [[Candi Jago]] (untuk menghormati [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]]), dan [[Candi Singhasari|Candi Singasari]] (untuk menghormati [[Kertanagara|Raja Kertanegara]]). Khusus untuk [[Candi Singhasari|Candi Singasari]], terdapat perdebatan mengenai apakah ia dibangun pada masa pemerintahan [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] atau [[Majapahit]]. Pasalnya, menurut [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]], [[Candi Singhasari|Candi Singosari]] dibangun pada sekitar 1300 Masehi (masa pemerintahan Raja Raden Wijaya) sebagai candi penghormatan, jika bukan pen-''dharma''-an, [[Kertanagara|Raja Kertanegara]] bersama dengan [[Candi Jawi]].<ref>Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, ‘Candi Singosari,’ ''Kepustakaan Candi'' (daring), http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_singasari, diakses pada 22 Januari 2019</ref> Akan tetapi, terdapat suatu argumen yang menyatakan bahwa candi ini sedang dibangun pada masa pemerintahan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]] itu sendiri sebagai candi peribadatan umum. Konsekuensi dari argumen yang terakhir ini ialah bahwa pembangunan candi tidak selesai akibat pendudukan [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] oleh [[Jayakatwang]].
[[Berkas:Majapahit 1405.jpg|jmpl|Majapahit pada Era Perang Paregreg (1404-1406)]]
Wilayah Malang (Tumapel) menjadi salah satu objek konflik politik ketika [[Perang Paregreg]] meletus (1404-1406). Wilayah ini diklaim oleh Aji Rajanata, Bhre Wirabhumi II ([[Blambangan, Muncar, Banyuwangi|Blambangan]], [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]]). Akan tetapi, klaim tersebut ditentang oleh Manggalawardhana, Bhre Tumapel II yang masih merupakan putra [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]]. Oleh karena itu, wilayah ini dianggap sebagai garis depan pertempuran yang melibatkan Majapahit (Barat) dan Blambangan (‘Majapahit’ Timur). Namun, karena [[Perang Paregreg]] dimenangkan oleh [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]], Tumapel pun kembali ke tangan [[Majapahit]].
[[Berkas:Laksamana Cheng Ho.jpg|kiri|jmpl|Patung Laksamana Cheng Ho di Kuil Sam Poo Kong, Semarang, Jawa Tengah. Ia sempat mengunjungi Tumapel dalam rangka menjalin hubungan diplomasi dengan Raja Wikramawardhana]]
Ketika [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] kedatangan [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] dari Cina ([[Dinasti Ming]]) pada 1421 Masehi, ia bersepakat dengan [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]] (1389-1429 Masehi) untuk menempatkan Ma Hong Fu dan Ma Yung Long sebagai duta besar [[Dinasti Ming]] di Tumapel.<ref name=":4">D. Mashad (2014). ''Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang''. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar</ref> Hal ini dapat dikaitkan dengan upaya diplomasi [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] untuk menjamin keamanan bagi warga [[Tionghoa|etnis Cina]] yang berada di wilayah [[Majapahit]]. Pada masa [[Perang Paregreg]] (1406), sekitar 170 utusan [[Dinasti Ming]] dikirim [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] untuk menjalin kembali hubungan diplomasi [[Dinasti Ming|Cina]] dan [[Majapahit]] pasca konflik [[Jayakatwang]]-[[Raden Wijaya]]-[[Kubilai Khan|Kublai Khan]] pada era transisi dari [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] ke [[Majapahit]]. Akan tetapi, seluruh utusan tersebut dibantai oleh [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]] yang tidak bisa membedakan status kedatangan mereka sebagai musuh atau bukan. Peran [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] juga signifikan bagi wilayah Malang (Tumapel) pada 1432 ketika ia bersama bawahannya, Gan Eng Cu dan (Bhre/Adipati Arya Teja I dari Tuban) dan adiknya, Gan Eng Wan, membantu [[Suhita|Ratu Maharani Sri Suhita]] (1429-1447 Masehi) untuk menyatukan Daha (Kadiri) dan Tumapel pasca konflik internal.<ref name=":4" /> Atas jasanya, Gan Eng Wan diberi gelar Raden Arya Suganda diangkat menjadi pejabat di Tumapel.
 
Akan tetapi, terjadi peristiwa genosida terhadap kaum Atas Angin (istilah yang merujuk [[Tionghoa|etnis Cina]] beragama Muslim) di beberapa wilayah di [[Majapahit]] seperti Tumapel dan [[Kabupaten Tuban|Tuban]]. Pembantaian ini diprakarsai oleh Arya Tembeng, Bhre Paguhan II (sekarang wilayah [[Tegal]], [[Kabupaten Pemalang|Pemalang]], [[Kabupaten Banjarnegara|Banjarnegara]], [[Kabupaten Wonosobo|Wonosobo]], [[Kabupaten Pekalongan|Pekalongan]], [[Kabupaten Kebumen|Kebumen]], [[Kabupaten Purworejo|Purworejo]] dan [[Kabupaten Purbalingga|Purbalingga]], Jawa Tengah) di mana Gan Eng Wan turut menjadi korban.<ref name=":5">D. Shashangka (2013). ''Sabda Palon II: Roh Nusantara Dan Orang-Orang Atas Angin''. Tangerang: Penerbit Dolphin</ref> Kuat dugaan alasan operasi militer rahasia itu karena kecemburuan terhadap kaum Atas Angin yang sebenarnya berkontribusi bagi kemajuan perekonomian pesisir Utara [[Jawa]], khususnya [[Kabupaten Tuban|Tuban]] sebagai pusat permukiman etnis Cina Muslim.<ref name=":5" />
 
=== Kerajaan Sengguruh ===
[[Berkas:Situs Kerajaan Sengguruh.jpg|jmpl|Situs Makam Arya Terung, Adipati Sengguruh di Dukuh Sumedang, Desa Jenggala, [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]]]]
Kerajaan [[Agama Hindu|Hindu]] bernama Sengguruh ialah basis pertahanan terakhir dari simpatisan [[Majapahit]] di wilayah Malang (Tumapel). Ia merupakan kerajaan independen pasca runtuhnya [[Majapahit]].<ref>A. Van Schaik (1996). ''Malang: Beeld van een Stad''. Purmerend: Asia Major</ref> Hermanus Johannes de Graff berargumen bahwa putra dari [[Patih Udara|Patih Udara/Brawijaya VII]], Raden Pramana, melarikan diri ke wilayah pegunungan terpencil di selatan<ref>T. B. T. Pigeaud (1976). ''Islamic States in Java 1500–1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr H.J. de Graaf''. Leiden: KITLV</ref> akibat pendudukan Daha/Kadiri (ibu kota [[Majapahit]] sejak pemerintahan [[Girindrawardhana|Girindrawardhana/Brawijaya VI]]) oleh [[Trenggana|Sultan Trenggana]] dari [[Kesultanan Demak|Demak]] pada 1527 Masehi. Pemimpin wilayah ini ialah Arya Terung dengan gelar Adipati Sengguruh. Nama Sengguruh konon berkaitan dengan keberadaan pusat pendidikan dan tempat tinggal para ksatria atau ''panji''. Para ''panji'' yang ingin berguru ke tempat tersebut konon akan berkata “Ayo kita ke Sang Guru” yang mengacu pada tempat mereka menimba ilmu. Kata-kata tersebut lama-kelamaan menjadi Sengguruh.<ref>‘Kerajaan Sengguruh, Penerus Tahta Majapahit di Malang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 3 Mei 2017, https://ngalam.co/2017/05/03/kerajaan-sengguruh-penerus-tahta-majapahit-malang/, diakses pada 23 Januari 2019</ref> Ini merupakan versi pertama dari asal usul nama wilayah [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]] di yang basis toponominya ialah [[Sengguruh, Kepanjen, Malang|Desa Sengguruh]], [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]]
 
Menurut ''Babad ing Gresik'', kerajaan ini sempat berusaha menyerang daerah [[Kabupaten Lamongan|Lamongan]] dan Giri ([[Kabupaten Gresik|Gresik]]) pada 1535 Masehi. Namun, usaha Arya Terung tidak berhasil, jika bukan gagal mempertahankan pendudukan mereka atas kedua wilayah tersebut.<ref name=":7">‘Kerajaan Sengguruh,’ ''Ngalam.id'' (daring), 20 November 2012, http://ngalam.id/read/152/kerajaan-sengguruh/ diakses pada 23 Januari 2019</ref> Justru menurut catatan dalam ''Tedhak Dermayudan'', pasca-kegagalan penaklukan tersebut, Arya Terung memeluk [[Islam]] dan menyebarkan ajaran Islam di penjuru Sengguruh.<ref name=":7" /> Akibatnya, simpatisan [[Majapahit]] yang dipimpin Raden Pramana memberontak dan membuat Arya Terung mengungsi agak ke utara di sekitar hilir [[Sungai Brantas]]. Dengan bantuan [[Trenggana|Sultan Trenggana]] yang telah menaklukkan bekas ibu kota [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] pada 1545 Masehi. Sengguruh berhasil memadamkan pemberontakan. Raden Pramana pun melarikan diri ke arah [[Kerajaan Blambangan|Blambangan]]. Dalam ''Serat Kanda'', [[Trenggana|Sultan Trenggana]] kembali mengangkat Arya Terung sebagai Adipati Sengguruh yang berada di bawah [[Kesultanan Demak]]. Sebagai tambahan, wilayah Malang/Tumapel pasca penaklukan oleh [[Trenggana|Sultan Trenggana]] berubah menjadi ''Kutho Bedah'' (“Kota Hancur”).<ref>Amiany (2005). ''Perkembangan Struktur Ruang Kota Malang Tahun 1767-2001''. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Peninggalan Kerajaan Sengguruh berupa reruntuhan yang berada di Dukuh Sumedang, Desa Jenggala (sebelah Barat [[Sengguruh, Kepanjen, Malang|Desa Sengguruh]]).
 
== Masa Kesultanan Islam ==
 
=== Dari [[Kesultanan Demak]] hingga [[Kesultanan Mataram]] ===
Hanya sedikit informasi mengenai sejarah wilayah Malang di bawah kekuasaan [[Kesultanan Demak]] dan [[Kesultanan Pajang|Pajang]]. Pasalnya, ketika [[Trenggana|Sultan Trenggana]] meninggal pada 1546 Masehi, politik [[Kesultanan Demak|Demak]] didominasi oleh isu suksesi antara [[Sunan Prawoto]] (Sultan Demak ke-4), [[Arya Penangsang]] (Bupati Jipang; Sultan Demak ke-5), dan [[Joko Tingkir|Jaka Tingkir]] (Bupati Pajang). Kontrol politik terhadap wilayah-wilayah di Jawa Timur, termasuk wilayah Malang, mulai berkurang sehingga Jawa Timur saat itu mengalami kekosongan kekuasaan. Setelah memenangkan suksesi, Jaka Tingkir memindahkan ibukota ke Pajang (sekarang sekitar [[Pajang, Laweyan, Surakarta|Kelurahan Pajang]], [[Laweyan, Surakarta|Kecamatan Laweyan]], [[Kota Surakarta]] dan [[Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo|Desa Makamhaji]], [[Kartasura, Sukoharjo|Kecamatan Kartasura]], [[Kabupaten Sukoharjo]]) dan mengambil gelar Hadiwijaya sebagai penguasa kerajaan yang baru.
 
Hadiwijaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke Jawa Timur berkat bantuan [[Sunan Prapen]] dari [[Giri Kedaton]]. Ia membantu mempertemukan Hadiwijaya dan seluruh adipati/bupati di Jawa Timur pada 1568 Masehi. Dalam pertemuan tersebut, para bupati/adipati Jawa Timur sepakat untuk mengakui kekuasaan Pajang sebagai kelanjutan Demak.<ref>M. Yusuf (2006). ''Sejarah Peradaban Islam di Indonesia''. Yogyakarta: Pustaka</ref> Dengan demikian, wilayah Malang berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Pajang|Pajang]]. Namun, kekuasaan [[Kesultanan Pajang|Pajang]] di Malang tidak bertahan lama. Pasca wafatnya Hadiwijaya pada 1582, terjadi perebutan kekuasaan antara [[Pangeran Benawa]] (putra), [[Arya Pangiri]] (menantu), dan [[Sutawijaya]] (penguasa wilayah Mataram yang saat itu berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Pajang|Pajang]]). Politik suksesi tersebut membuat pemerintahan di Malang terbengkalai.
Ketika mendirikan [[Kesultanan Mataram]] pada 1587, Sutawijaya bergelar ''Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa''. Gelar tersebut mengindikasikan bahwa [[Sutawijaya]] berambisi menguasai seluruh pulau [[Jawa]], termasuk wilayah timur. Para penguasa lokal di timur Jawa dan Madura menolak status Mataram sebagai penerus [[Kesultanan Pajang]]. Dalam beberapa kesempatan dalam menghadang serangan dari [[Kesultanan Mataram|Mataram]], beberapa wilayah di timur Jawa, termasuk Malang, menggabungkan pasukan mereka. Dalam periode ini, wilayah Malang masih belum tersentuh serangan Kesultanan Mataram baik pada era [[Sutawijaya]] (1587-1601) maupun penerusnya, [[Panembahan Hanyakrawati|Raden Mas Jolang]] (1601-1613) yang bergelar ''Panembahan Hanyakrawati'' (bergelar anumerta ''Panembahan Seda ing Krapyak''). Baru pada masa pemerintahan [[Sultan Agung dari Mataram|Raden Mas Jatmika]] (atau Raden Mas Rangsang) yang bergelar ''Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma'', wilayah Malang dapat dikuasai pada 1614. Adalah Tumenggung Alap-Alap, bawahan Tumenggung Suratani, komandan pasukan Mataram untuk penyerangan ke timur Jawa, yang berhasil menduduki Malang serta menangkap Rangga Tohjiwa, penguasa wilayah Malang saat itu. Wilayah Malang dengan demikian menjadi ''mancanegara'' dari [[Kesultanan Mataram]].
 
Peristiwa yang juga terkenal dengan sebutan ''Kutho Bedah'' seperti ketika ditaklukkan [[Kesultanan Demak|Demak]] ini diriwayatkan dalam Legenda ''[[Panji Pulangjiwa]]'' versi Mataraman.<ref>Terdapat dua versi Legenda Panji Pulangjiwa. Versi pertama yakni versi Mataraman yang mengaitkan kisah Panji Pulangjiwa dengan peristiwa penaklukan Malang oleh Mataram dari arah barat seperti yang dikutip di atas (Lihat selengkapnya di 'Cerita Kepahlawanan Panji Pulang Jiwo, Asal Usul Kepanjen,' ''Ngalam.co'' (daring), 9 Mei 2016, https://ngalam.co/2016/05/09/cerita-kepahlawanan-panji-pulang-jiwo-asal-usul-kepanjen/, diakses pada 15 Juli 2019). Versi kedua yakni versi Japanan yang justru berkaitan dengan peristiwa peperangan lain yang dihadapi wilayah Malang dari arah timur.</ref> Versi legenda yang pseudo-historis ini turut menambahkan tokoh lainnya, yakni Prabaretna, putri Rangga Tohjiwa, beserta suaminya yang menjadi “tokoh utama”, [[Panji Pulangjiwa]]. Legenda tersebutlah yang kemudian mengilhami cerita asal-usul penamaan wilayah Malang. Selain itu, legenda yang berakhir tragis tersebut (dengan kematian Prabaretna dan [[Panji Pulangjiwa]] serta lokasi pemakaman mereka berdua yang konon berada [[Penarukan, Kepanjen, Malang|Desa Penarukan]], [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]]) juga menjadi dasar dari versi kedua legenda asal-usul penamaan wilayah [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]].
 
== Masa penjajahan ==
 
=== Belanda ===
[[Berkas:Jalan_Besar_Ijen_Belanda.jpg|jmpl|300x300px|Jalan Besar Ijen pada [[Hindia Belanda|zaman Belanda]] yang digunakan untuk dinikmati oleh keluarga Belanda<ref>{{Cite news|url=http://sahabatwisataindonesia.com/sejarah-malang/|title=Sejarah Malang|date=2014-01-03|newspaper=Sahabat Wisata Indonesia|language=id-ID|access-date=2017-10-21|archive-date=2017-10-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20171021051256/http://sahabatwisataindonesia.com/sejarah-malang/|dead-url=yes}}</ref>]]
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial [[Hindia Belanda]]. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang, misalnya [[Jalan Besar Ijen]] dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan seringkalisering kali dikunjungi oleh keturunan keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim di sana.
 
Pada masa penjajahan kolonial [[Hindia Belanda]], daerah Malang dijadikan wilayah [[Gemeente|''gemente'']] ([[kota]]).
[[Berkas:Katedral_Ijen.jpg|jmpl|300x300px|Katedral Ijen (Theresiakerk) sekitar tahun [[1940]]]]
Kota Malang mulai tumbuh dan berkembang pesat terutama ketika mulai dioperasikannya [[Jalur kereta api Malang Kotalama-Dampit|jalur kereta api]] pada tahun [[1879]]. Berbagai kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat terutama kebutuhan ruang gerak untuk melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya, terjadilah perubahan [[tata guna tanah]] yang ditandai dengan daerah terbangun yang bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari tanah berfungsi [[pertanian]] menjadi tanah berfungsi [[perumahan]] dan [[industri]].<ref>{{Cite web|url=http://propertyandthecity.com/main-report/index.php?option=com_content&view=article&id=136&catid=122&Itemid=230|title=Kota Malang CEPAT TUMBUH BERKEMBANG (bag1)|website=propertyandthecity.com|language=en-gb|access-date=2017-10-21|archive-date=2017-10-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20171021163940/http://propertyandthecity.com/main-report/index.php?option=com_content&view=article&id=136&catid=122&Itemid=230|dead-url=yes}}</ref>
 
=== Jepang ===
Pada [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|masa kependudukan Jepang]] di Indonesia, Kota Malang yang merupakan bagian dari Indonesia pun ikut serta diduduki oleh Jepang. [[Angkatan Darat Kekaisaran Jepang|Bala Tentara Dai Nippon]] mulai menduduki Kota Malang pada [[7 Maret|7]] [[Maret]] [[1942]]. Malang yang saat itu dipimpin oleh Raden Adipati Ario Sam (R.A.A. Sam) menyerah pada Jepang yang saat itu berkuasa di Kota Malang. Pengambilan alih Pemerintah pada prinsipnya meneruskan [[Gemeente|sistem lama]], hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan [[bahasa Jepang]].<ref name=":9">{{Cite news|url=http://www.jurnalmalang.com/2013/10/sejarah-malang-pra-kemerdekaan-bagian-5.html|title=Sejarah Malang Pra Kemerdekaan dan Kemerdekaan (Bagian 5)|newspaper=JURNALMALANG.COM|access-date=2017-10-22}}</ref>
 
Pada masa kependudukan Jepang pun terjadilah peralihan fungsi bangunan. Rumah-rumah tempat tinggal [[Bangsa Belanda|orang Belanda]] diallihkan fungsinya. Bangunan [[Belanda]] di Jalan Semeru No. 42 yang dulunya digunakan sebagai [[kantor]] ataupun markas [[Koninklijk Nederlands-Indische Leger|pasukan Belanda]] dialihfungsikan menjadi gedung ''Kentapetai''.<ref name=":10">{{Cite web|url=http://www.geschool.net/cysers/blog/jejak-masa-kolonial-dan-pendudukan-jepang-di-kota-malang|title=JEJAK MASA KOLONIAL DAN PENDUDUKAN JEPANG DI KOTA MALANG|website=www.geschool.net|access-date=2017-10-22|archive-date=2017-10-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20171022141954/http://www.geschool.net/cysers/blog/jejak-masa-kolonial-dan-pendudukan-jepang-di-kota-malang|dead-url=yes}}</ref> Gedung ''Kentapetai'' merupakan salah satu gedung bersejarah di Malang yang kini menjadi gedung [[Sekolah menengah kejuruan|SMK]] [[swasta]] dan menjadi saksi bisu terjadinya pelucutan senjata Jepang oleh [[Badan Keamanan Rakyat|Badan Keamanan Rakyat (BKR)]] guna untuk memperkuat pertahanan Kota Malang.<ref name=":10" />
 
== Pemerintahan ==
Berikut ini adalah kilasan sejarah pemerintahan Kota Malang.
{| class="wikitable"
!Waktu<ref name=":6">{{Cite news|url=http://malangkota.go.id/sekilas-malang/sejarah-malang/|title=Sejarah Malang - Pemerintah Kota Malang|newspaper=Pemerintah Kota Malang|language=id-ID|access-date=2017-10-01|archive-date=2017-10-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20171001212909/http://malangkota.go.id/sekilas-malang/sejarah-malang/|dead-url=yes}}</ref>
!Peristiwa yang Terjadi<ref name=":6" />
|-
! colspan="2" |ZamanMasa PrapenjajahanKerajaan Hindu-Budha
|-
|[[22 November]] [[760]]
|[[Kerajaan Kanjuruhan]] didirikan dan dijadikan hari jadi [[Kabupaten Malang]]
|-
|[[Abad ke 8|Abad ke-8 M]]
|Malang menjadi ibu kota [[Kerajaan Kanjuruhan]] dengan rajanya, yaitu [[Gajayana]]
|-
|[[1222]]
! colspan="2" |Zaman Penjajahan {{Flag|Belanda}}, {{Flag|Perancis}}, {{Flag|Britania Raya}}, dan {{Flag|Jepang}}
|[[Kerajaan Singasari]] didirikan dengan ibu kota terletak di daerah [[Singosari, Malang|Singasari]]
|-
! colspan="2" |ZamanMasa Penjajahan {{Flag|Belanda}}, {{Flag|PerancisPrancis}}, {{Flag|Britania Raya}}, dan {{Flag|Jepang}}
|-
|[[1767]]
Baris 112 ⟶ 182:
|-
|[[1882]]
|Rumah-rumah didirikan di bagian barat kota dan alun-alun dibangun.
|-
|[[1 April]] [[1914]]
Baris 125 ⟶ 195:
|Malang menjadi bagian dari [[Indonesia|Republik Indonesia]]
|-
|[[2231 Juli]] [[1947]]
|Malang diduduki kembali oleh [[Belanda]]
|-
Baris 137 ⟶ 207:
== Referensi ==
{{reflist|2}}
{{Topik Kota Malang}}
[[Kategori:Sejarah Jawa Timur]]
[[Kategori:Malang Raya]]
[[Kategori:Kota Malang]]