Sejarah Malang Raya: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Penambahan tautan antar laman Wikipedia untuk beberapa kata |
|||
(24 revisi perantara oleh 15 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
== Etimologi ==
Asal usul penamaan [[Malang]] sampai sekarang masih diperdebatkan oleh para ahli sejarah. Nama "Malang" muncul pertama kali pada [[Prasasti Pamotoh]]/[[Ukirnegara]] (1120 Saka/1198 Masehi) yang ditemukan pada tanggal 11 Januari 1975 oleh seorang administrator perkebunan Bantaran di [[Wlingi, Blitar|Kecamatan Wlingi]], [[Kabupaten Blitar]]. Dalam prasasti tembaga tersebut, tertulis salah satu bagiannya (dengan terjemahannya sebagai berikut) sebagai berikut.
{| class="wikitable"
|Teks
Baris 18:
persawahan Dyah Limpa yaitu…
|}
Malang di sini merujuk pada sebuah daerah di timur [[Gunung Kawi]]. Meskipun telah diketahui bahwa penggunaan Malang setidaknya telah berlangsung sejak abad ke-12 Masehi, tidak bisa dipastikan asal mula penamaan wilayahnya.
Hipotesis pertama merujuk pada nama sebuah bangunan suci bernama ''Malangkuçeçwara'' (<small>diucapkan</small> [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[malaŋkuʃeʃworo]]]). Bangunan suci tersebut disebut dalam dua prasasti [[Dyah Balitung|Raja Balitung]] dari [[Kerajaan Medang|Mataram Kuno]], yakni [[Prasasti Mantyasih]] tahun 907 Masehi dan Prasasti 908 Masehi.<ref name=":0">M. A. Mihaballo, H. Susanto, & Sriyana (2013). ''The Miracle of Language'', Jakarta: Elex Media Computindo. pp. 201-202</ref> Para ahli masih belum memperoleh kesepakatan di mana bangunan tersebut berada. Di satu sisi, ada sejumlah ahli yang menyebutkan bahwa bangunan ''Malangkuçeçwara'' terletak di daerah Gunung Buring, suatu pegunungan yang membujur di sebelah timur Kota Malang di mana terdapat salah satu puncaknya bernama "Malang".<ref name=":0" /> Pihak yang lain di sisi lain menduga bahwa letak sesungguhnya dari bangunan suci tersebut terdapat di daerah [[Tumpang, Malang|Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]. Di daerah tersebut, terdapat sebuah desa bernama [[Malangsuko, Tumpang, Malang|Malangsuka]], yang menurut para ahli sejarah berasal dari kata ''Malangkuça'' (<small>diucapkan</small> [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[malankuʃoː]]]) yang diucapkan terbalik. Pendapat ini diperkuat oleh keberadaan peninggalan-peninggalan kuno di sekitar Tumpang seperti [[Candi Jago]] dan [[Candi Kidal]] yang merupakan wilayah [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]].<ref name=":0" />
Baris 24:
Nama ''Malangkuçeçwara'' terdiri atas 3 kata, yakni ''mala'' yang berarti kebatilan, kecurangan, kepalsuan, dan kejahatan, ''angkuça'' (diucapkan [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[aŋkuʃo]]]) yang berarti menghancurkan atau membinasakan, dan ''içwara'' (diucapkan [[Wikipedia:IPA untuk bahasa Indonesia|[iʃworo]]]) yang berarti Tuhan. Oleh karena itu, ''Malangkuçeçwara'' berarti "Tuhan telah menghancurkan yang batil".<ref>Makna Lambang - Pemerintah Kota Malang,’ ''Pemerintah Kota Malang'' (daring), https://malangkota.go.id/sekilas-malang/makna-lambang/ diakses pada 21 September 2017</ref>
Hipotesis kedua merujuk sebuah kisah penyerangan pasukan [[Kesultanan Mataram]] ke Malang pada 1614 yang dipimpin oleh Tumenggung Alap-Alap.<ref>A. P. Rianto (2016), ''Perancangan Konsep Art Game Bergenre Fantasi Malangkucecwara The Ruins of War''. Skripsi. Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Institut Seni Indonesia. p. 50</ref> Menurut cerita rakyat, terdapat sebuah percakapan antara Tumenggung Alap-Alap dengan salah satu pembantunya mengenai kondisi wilayah Malang sebelum penyerangan dimulai. Pembantu dari Tumenggung Alap-Alap tersebut menyebut warga dan prajurit dari daerah tersebut sebagai penduduk yang "menghalang-halangi" (''malang'' dalam [[Bahasa Jawa]]) kedatangan dari pasukan [[Kesultanan Mataram|Mataram]]. Setelah penaklukan tersebut, pihak Mataram menamakan daerah itu Malang.<ref>W. Siswanto & S. Noersya (2008). ''Cerita Rakyat dari Malang (Jawa Timur)''. Jakarta: Grasindo. pp. 1-8</ref>
== Masa Pra-Sejarah ==
Baris 30:
Kawasan Malang pada era [[Pleistosen]] masih berupa cekungan dalam yang diapit aktivitas vulkanis dari gunung-gunung seperti Pegunungan Kapur di Selatan, [[Gunung Kawi]] dan [[Gunung Kelud]] di Barat, [[Gunung Anjasmoro|Kompleks Pegunungan Anjasmoro]], [[Gunung Welirang|Welirang]], dan [[Gunung Arjuno|Arjuna]] di Timur Laut dan Utara, dan [[Taman Nasional Bromo Tengger Semeru|Kompleks Pegunungan Tengger]] di Timur.<ref>R. W. van Bemmelen (1949). ''The Geology of Indonesia Vol. I''. Den Haag: Martinus-Nijhoff</ref> Cekungan tersebut belum dihuni manusia akibat kondisinya masih berupa aliran lava dan lahar panas dari gunung-gunung sekitarnya.<ref>S. Santosa & T. Suwarti (1992). ''Peta Geologi Lembar Malang, Jawa Timur, skala 1:100.000''. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi</ref> Menjelang musim hujan, cekungan daerah Malang tersebut terisi air yang mengalir lewat lereng-lereng gunung yang menuju ke sejumlah sungai dan membentuk sebuah rawa-rawa purba. Rawa-rawa tersebut meluas sehingga menciptakan danau purba.
Ketika danau purba belum mengering, peradaban manusia purba masih pada tahap Berburu dan Mengumpulkan Makanan tingkat awal hingga lanjut. Permukimannya masih berada di lereng-lereng gunung dan pegunungan yang mengelilingi Malang dalam bentuk gua-gua alam. Oleh karena itu bisa dimengerti bila penemuan artefak-artefak pada masa paleolitik dan mesolitik ini banyak ditemukan di daerah pegunungan, seperti di lereng [[Gunung Kawi]], [[Gunung Arjuno|Arjuno]], [[Gunung Welirang|Welirang]], Tengger, [[Gunung Semeru|Semeru]] dan Pegunungan Kapur Selatan.<ref name=":1">Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang (2013). ''Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang''. Malang
Danau purba Malang berangsur mengering pada era [[Holosen]] dan menyebabkan wilayah Malang menjadi dataran tinggi Malang. Ketika mulai memasuki masa Bercocok Tanam, secara berangsur-angsur manusia purba mulai turun gunung dan membuat sejumlah permukiman dan daerah-daerah pertanian. Ditemukannya sejumlah artefak berupa dua buah beliung persegi, alat pahat dari batu kalsedon serta kapak genggam dari batu andesit di sebelah timur [[Gunung Kawi]] tepatnya di daerah Kacuk di sekitar aliran [[Kali Metro|sungai Metro]] dan [[Sungai Brantas|Brantas]] menguatkan anggapan tersebut.<ref name=":1" /> Selain itu, penelitian memperkirakan bahwa bentuk-bentuk hunian pada masa peralihan ini berbentuk rumah panggung, di mana badan rumah disangga oleh kaki-kaki rumah dan berada beberapa meter dari permukaan tanah. Hal ini diperkuat dengan penemuan artefak berupa “Watu Gong” atau “Watu Kenong” di [[Dinoyo, Lowokwaru, Malang]], yang wujudnya mirip dengan alat musik tradisional, yakni gong, yang sebenarnya ialah umpak atau fondasi dari rumah panggung.<ref name=":1" /> Tumbuhnya permukiman di sekitar sungai yang mengalir di Malang menjadi cikal bakal peradaban-peradaban kuno para ''[[Manusia|Homo sapien]]''.<ref>Pemerintah Kotamadya Malang (1964). ''Kotapradja Malang 50 Tahun''. Malang
== Masa Kerajaan Hindu
=== [[Kerajaan Kanjuruhan]] ===
=== Rakryan Kanuruhan ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) ===
Kekuasaan Kerajaan Kanjuruhan diperkirakan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan ''Medang i Bhumi Mataram'' ([[Kerajaan Medang|Kerajaan Mataram Kuno]]) semasa kepemimpinan [[Dyah Balitung|Raja Dyah Balitung]] (899-911 Masehi). Dalam [[Prasasti Balingawan]] (813 Saka/891 Masehi), disebutkan Pu Huntu sebagai ''Rakryan Kanuruhan'' (penguasa ''watak'' Kanuruhan)
[[Berkas:054 View from North, Candi Songgoriti (26546059548).jpg|jmpl|Candi Songgoriti, ditemukan oleh Van Isseldijk pada 1799,<ref>Verslag van W. I. I. van Isseldijk omtrent de gesteldheid van Java's Oesthoek, 15 Junij 1799, dalam J. K. J. de Jonge (1933), ''De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indie. Verzameling van Onuitgegeven Stukken uit het Oud-Koloniaal Archief. Uitgegeven en Bewerkt Door...'' Vol. XII. Den Haag: Martinus Nijhoff. pp. 464-556</ref> direnovasi oleh Jonathan Rigg pada 1849, merupakan peninggalan kekuasaan [[Mpu Sindok]] ketika ia meminta salah satu bawahannya, Mpu Supo, untuk mendirikan tempat peristirahatan keluarga kerajaan di wilayah pegunungan yang memiliki sumber mata air.<ref>'Candi Songgoriti,' ''Ngalam.id'' (daring), 2 Januari 2013, http://ngalam.id/read/921/candi-songgoriti/, diakses pada 18 Januari 2019</ref>]]
Ketika pusat pemerintahan Mataram Kuno dipindah ke daerah Tamwlang dan [[Watugaluh, Diwek, Jombang|Watugaluh]] ([[Kabupaten Jombang|Jombang]]) pada masa kekuasaan [[Mpu Sindok|Raja Mpu Sindok]] (929-948 Masehi),
# Dinoyo (sekarang Kelurahan [[Dinoyo, Lowokwaru, Malang|Dinoyo]], [[Lowokwaru, Malang|Kecamatan Lowokwaru]], [[Kota Malang|Malang]]),
Baris 58 ⟶ 55:
=== Pasca [[Kerajaan Kahuripan]]: Dari [[Kerajaan Janggala|Kerajaan Jenggala]] hingga [[Kerajaan Kadiri|Kerajaan Panjalu/Kadiri]] ===
Tidak ada catatan yang menjelaskan secara detail status dan peran daerah sekitar Malang pada masa kepemimpinan [[Airlangga|Raja Airlangga]] selain kenyataan bahwa Malang masuk ke dalam wilayah [[Kerajaan Kahuripan]]. Pasalnya, daerah Malang tidak lagi menjadi pusat pemerintahan dari Kerajaan yang berpusat di sekitar Gunung Penanggungan dan Sidoarjo dengan
[[Berkas:Kediri Kingdom id.svg|kiri|jmpl|Pembagian Wilayah Kerajaan Panjalu (jingga gelap) dan Kerajaan Jenggala (jingga terang) sebelum 1135 Masehi. Batas kedua wilayah tersebut merupakan Gunung Kawi]]
Wilayah [[Malang]] kembali menjadi aktor penting dalam sejarah Panjalu/Jenggala ketika [[Jayabaya|Raja Jayabhaya]] dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] menaklukkan [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Dalam [[Prasasti Hantang]] (1057 Saka/1135 Masehi), tertulis ''Panjalu Jayati'' (“Panjalu Menang”), menandakan kemenangan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] atas [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Prasasti tersebut juga memuat pemberian hak-hak istimewa terhadap beberapa desa di Hantang ([[Ngantang, Malang|Ngantang]], [[Kabupaten Malang]]) dan sekitarnya atas jasa mereka dalam memihak [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]] saat perang.<ref>‘Prasasti Hantang, Hadiah Raja Jayabhaya untuk Warga Ngantang,’ ''Ngalam.co'' (daring), 16 April 2017, https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/ {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200803155651/https://ngalam.co/2017/04/16/prasasti-hantang-hadiah-raja-jayabhaya-warga-ngantang/ |date=2020-08-03 }}, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Prasasti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa wilayah [[Malang]] berada dalam kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
[[Prasasti Kamulan]] (1116 Saka/1194 Masehi) mencatat peristiwa penyerangan sebuah wilayah dari timur Daha (Kadiri) terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] (dalam ''[[Pararaton]]'' disebut Dandang Gendhis) yang berdiam di Kedaton Katang-Katang.<ref>‘Prasasti Kamulan Kabupaten Trenggalek,’ ''Situs Budaya'' (daring), https://situsbudaya.id/prasasti-kamulan-trengalek/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Tidak ada penelitian lebih lanjut mengenai apakah penyerangan tersebut merupakan pemberontakan atau percobaan penaklukan. Namun, keberadaan [[Prasasti Kamulan]] menunjukkan bahwa terdapat sebuah kekuatan politik baru yang muncul untuk menentang kekuasaan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]]. Argumen ini diperkuat oleh keberadaan [[Prasasti Sukun]] (1083 Saka/1161 Masehi) yang menyebut seorang raja bernama [[Sri Jayamerta]] yang memberikan hak-hak istimewa terhadap Desa Sukun (diduga di [[Sukun, Sukun, Malang|Kelurahan Sukun]], [[Sukun, Malang|Kecamatan Sukun]], [[Kota Malang|Malang]]) karena telah memerangi musuh.<ref>Suwardono, S. Rosmiayah, dan Maskur (1997), ''Monografi Sejarah Kota Malang'', Malang: Sigma Media</ref> Jayamerta tidak pernah tercantum secara eksplisit maupun implisit dalam berbagai catatan yang merujuk informasi baik mengenai daftar penguasa [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]] maupun [[Kerajaan Janggala|Jenggala]]. Beberapa ahli sejarah seperti Agus Sunyoto menyebut bahwa daerah asal perlawanan tersebut bernama Purwa atau Purwwa. Ini didukung oleh argumen Sunyoto ketika merujuk bahwa semua penguasa [[Majapahit]] merupakan keturunan dari [[Ken Arok]] yang “[...] mengalirkan benihnya ke dunia lewat cahaya (''teja'') yang memancar dari “rahasia” [[Ken Dedes]], ''naraiswari'' [...] Kerajaan Purwa.”<ref>A. Sunyoto (2004), ''Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar''. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. p. 32</ref> ''Naraiswari'' (atau ''nareswari/ardanareswari'') sendiri dalam [[bahasa Sanskerta]] berarti “perempuan utama” dan [[Ken Dedes]] sendiri merupakan putri dari [[Mpu Purwa]], brahmana dari Panawijyan ([[Polowijen, Blimbing, Malang|Kelurahan Polowijen]], [[Blimbing, Malang|Kecamatan Blimbing]], [[Kota Malang|Malang]]). Pada akhirnya upaya perlawanan dari wilayah yang konon bernama Purwa/Purwwa tersebut berhasil ditumpas oleh [[Kerajaan Kadiri|Panjalu]].
[[Berkas:Penculikan ken dedes.jpg|jmpl|Diorama penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]] di Museum Mpu Purwa, [[Kota Malang|Malang]]]]
Beberapa ahli sejarah mengaitkan rangkaian peristiwa perlawanan dan penumpasan tersebut sebagai konteks sosial politik dari dua konflik yang melibatkan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] dengan kelas brahmana. Yang pertama ialah kebijakan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] yang berusaha untuk mengurangi sejumlah hak dari kelas [[Brahmana]]. Beberapa cerita rakyat menunjukkan bahwa [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] ingin “disembah” oleh para [[Brahmana]] sehingga bertentangan dengan ajaran agama dari kalangan brahmana. Yang kedua ialah peristiwa penculikan [[Ken Dedes]] oleh [[Tunggul Ametung]], ''akuwu'' (setara camat) untuk wilayah [[Tumapel]].<ref>‘Kerajaan Purwwa,’ ''Ngalam.id'' (daring), 29 Oktober 2012, http://ngalam.id/read/98/kerajaan-purwwa/, diakses pada 9 Januari 2019</ref> Menurut Blasius Suprapto dalam disertasinya, letak [[Tumapel]] sendiri berada di wilayah yang dulu bernama Kutobedah (sekarang bernama [[Kotalama, Kedungkandang, Malang|Kelurahan Kotalama]], [[Kedungkandang, Malang|Kecamatan Kedungkandang]], [[Kota Malang|Malang]]).<ref>B. Suprapta (2015), ''Makna Gubahan Ruang Situs-Situs Hindhu-Buddha Masa Sinhasari Abad XII Sampain XIII Masehi di Saujana Dataran Tinggi Malang dan Sekitarnya''. Disertasi. Tidak Dipublikasikan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada</ref> Implikasi dari kedua konflik tersebut ialah penarikan dukungan politik dari kelas [[Brahmana]] terhadap [[Kertajaya|Raja Kertajaya]].
Baris 68 ⟶ 65:
=== [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] ===
[[Berkas:Candi Jago C.JPG|kiri|jmpl|[[Candi Jago]], tempat pen-''dharma''-an [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]], di [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]|al=]]
Keruntuhan [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]] dan lahirnya Kerajaan Tumapel di [[Kota Malang|Malang]] berawal dari kelas Brahmana dari Panjalu yang berusaha menyelamatkan diri dari persekusi politik yang dilakukan [[Kertajaya|Raja Kertajaya]]. Mereka melarikan diri ke arah timur dan bergabung dengan kekuatan politik di Tumapel yang dipimpin oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia kemudian memberontak terhadap ''akuwu'' [[Tunggul Ametung]] dan menguasai Tumapel. Kemenangan [[Ken Arok|Ken Angrok]] tersebut sekaligus pernyataan perang untuk memisahkan diri dari [[Kerajaan Kadiri|Panjalu/Kadiri]]. Perebutan kekuasaan antara [[Kertajaya]] dan [[Ken Arok|Ken Angrok]] terhadap wilayah Malang dan sekitarnya berujung pada Pertempuran Ganter di [[Ngantang, Malang|Ngantang]] (sekarang kecamatan di [[Kabupaten Malang]]) (1144 Saka/1222 Masehi) yang dimenangkan oleh [[Ken Arok|Ken Angrok]]. Ia pun menahbiskan dirinya sebagai raja pertama [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Tumapel]] dengan gelar Rajasa Sang Amurwabhumi.
[[Berkas:Candi Kidal Java 423.jpg|jmpl|[[Candi Kidal]], tempat pen-''dharma-''an [[Anusapati|Raja Anusapati]], di [[Kidal, Tumpang, Malang|Desa Kidal]], [[Tumpang, Malang|Kecamatan Tumpang]], [[Kabupaten Malang]]]]
Hingga periode perpindahan
Pada masa kepemimpinan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] menghadapi pemberontakan oleh [[Jayakatwang]] dari daerah Gelang-Gelang (sekitar [[Kota Madiun|Madiun]]).<ref>A. C. Irapta & C. D. Duka (2005). ''Introduction to Asia: History, Culture, and Civilization''. Quezon: Rex Bookstore, Inc.</ref> [[Jayakatwang]] sendiri adalah cicit dari [[Kertajaya|Raja Kertajaya]] menurut ''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' dan keponakan dari [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]] (dari garis keturunan perempuan) menurut [[Prasasti Mula Malurung]].<ref>S. Muljana (1979). ''Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya''. Jakarta: Bhratara</ref> Pemberontakan tersebut menewaskan [[Kertanagara|Raja Kertanegara]], raja [[Kerajaan Singasari|Singhasari]] yang terakhir, akibat wilayahnya yang tidak memiliki pertahanan ketika sebagian besar militernya dikirim untuk [[Ekspedisi Pamalayu]].<ref>M. Rossabi (1989). ''Khubilai Khan: His Life and Times''. Berkeley: University of California Press.</ref> [[Jayakatwang]] dengan mudah menduduki
=== [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] ===
Baris 114 ⟶ 111:
|Putra dari Bhre Tumapel III dan Raja ke-7 Majapahit, [[Kertawijaya]]
|}
[[Berkas:Candi Sumberawan A.JPG|jmpl|Candi Sumberawan (Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang) merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit
''[[Kakawin Nagarakretagama|Negarakertagama]]'' juga mencatat lawatan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] ke beberapa tempat di wilayah Malang pada 1359 Masehi.<ref>H. Sidomulyo (2007). ''Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca''. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.</ref> Menurut Yudi Anugrah Nugroho, lawatan tersebut merupakan bagian dari rangkaian perjalanan [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] untuk meninjau pembangunan di sekitar [[Kabupaten Lumajang|Lumajang]]. Lawatan ini biasa dilakukan ketika selesainya masa panen.<ref>Y. A. Nugraha, ‘Perjalanan Ziarah Raja Majapahit,’ ''Historia'' (daring). 4 Juli 2014, https://historia.id/kuno/articles/perjalanan-ziarah-raja-majapahit-Pe59P, diakses pada 22 Januari 2019</ref> Terdapat setidaknya dua konteks lawatan tersebut, yakni rekreasi dan ziarah.<ref>T. G. T. Pigeaud (1963). ''Java in the 14th Century
[[Berkas:Candi Singosari B.JPG|kiri|jmpl|Sebagai salah satu simbol kebesaran leluhurnya, Raja Hayam Wuruk juga mengunjungi Candi Singosari di Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang]]
Untuk konteks ziarah, [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]] mengunjungi beberapa candi peninggalan Kerajaan Singhasari yang bertujuan untuk men-''dharma''-kan leluhurnya (Wangsa Rajasa). Beberapa candi yang dikunjungi mencakup [[Candi Kidal]] (untuk menghormati [[Anusapati|Raja Anusapati]]), [[Candi Jago]] (untuk menghormati [[Wisnuwardhana|Raja Wisnuwardhana]]), dan [[Candi Singhasari|Candi Singasari]] (untuk menghormati [[Kertanagara|Raja Kertanegara]]). Khusus untuk [[Candi Singhasari|Candi Singasari]], terdapat perdebatan mengenai apakah ia dibangun pada masa pemerintahan [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singhasari]] atau [[Majapahit]]. Pasalnya, menurut [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
[[Berkas:Majapahit 1405.jpg|jmpl|Majapahit pada Era Perang Paregreg (1404-1406)]]
Wilayah Malang (Tumapel) menjadi salah satu objek konflik politik ketika [[Perang Paregreg]] meletus (1404-1406). Wilayah ini diklaim oleh Aji Rajanata, Bhre Wirabhumi II ([[Blambangan, Muncar, Banyuwangi|Blambangan]], [[Kabupaten Banyuwangi|Banyuwangi]]). Akan tetapi, klaim tersebut ditentang oleh Manggalawardhana, Bhre Tumapel II yang masih merupakan putra [[Hayam Wuruk|Raja Hayam Wuruk]]. Oleh karena itu, wilayah ini dianggap sebagai garis depan pertempuran yang melibatkan Majapahit (Barat) dan Blambangan (‘Majapahit’ Timur). Namun, karena [[Perang Paregreg]] dimenangkan oleh [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]], Tumapel pun kembali ke tangan [[Majapahit]].
[[Berkas:Laksamana Cheng Ho.jpg|kiri|jmpl|Patung Laksamana Cheng Ho di Kuil Sam Poo Kong, Semarang, Jawa Tengah. Ia sempat mengunjungi Tumapel dalam rangka menjalin hubungan diplomasi dengan Raja Wikramawardhana]]
Ketika [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]] kedatangan [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] dari Cina ([[Dinasti Ming]]) pada 1421 Masehi, ia bersepakat dengan [[Wikramawardhana|Raja Wikramawardhana]] (1389-1429 Masehi) untuk menempatkan Ma Hong Fu dan Ma Yung Long sebagai duta besar [[Dinasti Ming]] di Tumapel.<ref name=":4">D. Mashad (2014). ''Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang''. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar</ref> Hal ini dapat dikaitkan dengan upaya diplomasi [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] untuk menjamin keamanan bagi warga [[Tionghoa|etnis Cina]] yang berada di wilayah [[Majapahit]]. Pada masa [[Perang Paregreg]] (1406), sekitar 170 utusan [[Dinasti Ming]] dikirim [[Cheng Ho|Laksamana Cheng Ho]] untuk menjalin kembali hubungan diplomasi [[Dinasti Ming|Cina]] dan [[Majapahit]] pasca konflik [[Jayakatwang]]-[[Raden Wijaya]]-[[Kubilai Khan|Kublai Khan]]
Akan tetapi, terjadi peristiwa genosida terhadap kaum Atas Angin (istilah yang merujuk [[Tionghoa|etnis Cina]] beragama Muslim) di beberapa wilayah di [[Majapahit]] seperti Tumapel dan [[Kabupaten Tuban|Tuban]]. Pembantaian ini diprakarsai oleh Arya Tembeng, Bhre Paguhan II (sekarang wilayah [[Tegal]], [[Kabupaten Pemalang|Pemalang]], [[Kabupaten Banjarnegara|Banjarnegara]], [[Kabupaten Wonosobo|Wonosobo]], [[Kabupaten Pekalongan|Pekalongan]], [[Kabupaten Kebumen|Kebumen]], [[Kabupaten Purworejo|Purworejo]] dan [[Kabupaten Purbalingga|Purbalingga]], Jawa Tengah) di mana Gan Eng Wan turut menjadi korban.<ref name=":5">D. Shashangka (2013). ''Sabda Palon II: Roh Nusantara Dan Orang-Orang Atas Angin''. Tangerang: Penerbit Dolphin</ref> Kuat dugaan alasan operasi militer rahasia itu karena kecemburuan terhadap kaum Atas Angin yang sebenarnya berkontribusi bagi kemajuan perekonomian pesisir Utara [[Jawa]], khususnya [[Kabupaten Tuban|Tuban]] sebagai pusat permukiman etnis Cina Muslim.<ref name=":5" />
Baris 127 ⟶ 124:
=== Kerajaan Sengguruh ===
[[Berkas:Situs Kerajaan Sengguruh.jpg|jmpl|Situs Makam Arya Terung, Adipati Sengguruh di Dukuh Sumedang, Desa Jenggala, [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]]]]
Kerajaan [[Agama Hindu|Hindu]] bernama Sengguruh ialah basis pertahanan terakhir dari simpatisan [[Majapahit]] di wilayah Malang (Tumapel). Ia merupakan kerajaan independen pasca runtuhnya [[Majapahit]].<ref>A. Van Schaik (1996). ''Malang: Beeld van een Stad''. Purmerend: Asia Major</ref> Hermanus Johannes de Graff berargumen bahwa putra dari [[Patih Udara|Patih Udara/Brawijaya VII]], Raden Pramana, melarikan diri ke wilayah pegunungan terpencil di selatan<ref>T. B. T. Pigeaud (1976). ''Islamic States in Java 1500–1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr H.J. de Graaf''. Leiden: KITLV</ref> akibat pendudukan Daha/Kadiri (
Menurut ''Babad ing Gresik'', kerajaan ini sempat berusaha menyerang daerah [[Kabupaten Lamongan|Lamongan]] dan Giri ([[Kabupaten Gresik|Gresik]]) pada 1535 Masehi. Namun, usaha Arya Terung tidak berhasil, jika bukan gagal mempertahankan pendudukan mereka atas kedua wilayah tersebut.<ref name=":7">‘Kerajaan Sengguruh,’ ''Ngalam.id'' (daring), 20 November 2012, http://ngalam.id/read/152/kerajaan-sengguruh/ diakses pada 23 Januari 2019</ref> Justru menurut catatan dalam ''Tedhak Dermayudan'', pasca-kegagalan penaklukan tersebut, Arya Terung memeluk [[Islam]] dan menyebarkan ajaran Islam di penjuru Sengguruh.<ref name=":7" /> Akibatnya, simpatisan [[Majapahit]] yang dipimpin Raden Pramana memberontak dan membuat Arya Terung mengungsi agak ke utara di sekitar hilir [[Sungai Brantas]]. Dengan bantuan [[Trenggana|Sultan Trenggana]] yang telah menaklukkan bekas
== Masa Kesultanan Islam ==
=== Dari [[Kesultanan Demak]] hingga [[Kesultanan Mataram]] ===
Hanya sedikit informasi mengenai sejarah wilayah Malang di bawah kekuasaan [[Kesultanan Demak]] dan [[Kesultanan Pajang|Pajang]]. Pasalnya, ketika [[Trenggana|Sultan Trenggana]] meninggal pada 1546 Masehi, politik [[Kesultanan Demak|Demak]] didominasi oleh isu suksesi antara [[Sunan Prawoto]] (Sultan Demak ke-4), [[Arya Penangsang]] (Bupati Jipang; Sultan Demak ke-5), dan [[Joko Tingkir|Jaka Tingkir]] (Bupati Pajang). Kontrol politik terhadap wilayah-wilayah di Jawa Timur, termasuk wilayah Malang, mulai berkurang sehingga Jawa Timur saat itu mengalami kekosongan kekuasaan. Setelah memenangkan suksesi, Jaka Tingkir memindahkan ibukota ke Pajang (sekarang sekitar [[Pajang, Laweyan, Surakarta|Kelurahan Pajang]], [[Laweyan, Surakarta|Kecamatan Laweyan]], [[Kota Surakarta]] dan [[Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo|Desa Makamhaji]], [[Kartasura, Sukoharjo|Kecamatan Kartasura]], [[Kabupaten Sukoharjo]]) dan mengambil gelar Hadiwijaya sebagai penguasa kerajaan yang baru.
Hadiwijaya berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke Jawa Timur berkat bantuan [[Sunan Prapen]] dari [[Giri Kedaton]]. Ia membantu mempertemukan Hadiwijaya dan seluruh adipati/bupati di Jawa Timur pada 1568 Masehi. Dalam pertemuan tersebut, para bupati/adipati Jawa Timur sepakat untuk mengakui kekuasaan Pajang sebagai kelanjutan Demak.<ref>M. Yusuf (2006). ''Sejarah Peradaban Islam di Indonesia''. Yogyakarta: Pustaka</ref> Dengan demikian, wilayah Malang berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Pajang|Pajang]]. Namun, kekuasaan [[Kesultanan Pajang|Pajang]] di Malang tidak bertahan lama. Pasca wafatnya Hadiwijaya pada 1582, terjadi perebutan kekuasaan antara [[Pangeran Benawa]] (putra), [[Arya Pangiri]] (menantu), dan [[Sutawijaya]] (penguasa wilayah Mataram yang saat itu berada di bawah kekuasaan [[Kesultanan Pajang|Pajang]]). Politik suksesi tersebut membuat pemerintahan di Malang terbengkalai.
Ketika mendirikan [[Kesultanan Mataram]] pada 1587, Sutawijaya bergelar ''Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa''. Gelar tersebut mengindikasikan bahwa [[Sutawijaya]] berambisi menguasai seluruh pulau [[Jawa]], termasuk wilayah timur. Para penguasa lokal di timur Jawa dan Madura menolak status Mataram sebagai penerus [[Kesultanan Pajang]]. Dalam beberapa kesempatan dalam menghadang serangan dari [[Kesultanan Mataram|Mataram]], beberapa wilayah di timur Jawa, termasuk Malang, menggabungkan pasukan mereka. Dalam periode ini, wilayah Malang masih belum tersentuh serangan Kesultanan Mataram baik pada era [[Sutawijaya]] (1587-1601) maupun penerusnya, [[Panembahan Hanyakrawati|Raden Mas Jolang]] (1601-1613) yang bergelar ''Panembahan Hanyakrawati'' (bergelar anumerta ''Panembahan Seda ing Krapyak''). Baru pada masa pemerintahan [[Sultan Agung dari Mataram|Raden Mas Jatmika]] (atau Raden Mas Rangsang) yang bergelar ''Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma'', wilayah Malang dapat dikuasai pada 1614. Adalah Tumenggung Alap-Alap, bawahan Tumenggung Suratani, komandan pasukan Mataram untuk penyerangan ke timur Jawa, yang berhasil menduduki Malang serta menangkap Rangga Tohjiwa, penguasa wilayah Malang saat itu. Wilayah Malang dengan demikian menjadi ''mancanegara'' dari [[Kesultanan Mataram]].
Peristiwa yang juga terkenal dengan sebutan ''Kutho Bedah'' seperti ketika ditaklukkan [[Kesultanan Demak|Demak]] ini diriwayatkan dalam Legenda ''[[Panji Pulangjiwa]]'' versi Mataraman.<ref>Terdapat dua versi Legenda Panji Pulangjiwa. Versi pertama yakni versi Mataraman yang mengaitkan kisah Panji Pulangjiwa dengan peristiwa penaklukan Malang oleh Mataram dari arah barat seperti yang dikutip di atas (Lihat selengkapnya di 'Cerita Kepahlawanan Panji Pulang Jiwo, Asal Usul Kepanjen,' ''Ngalam.co'' (daring), 9 Mei 2016, https://ngalam.co/2016/05/09/cerita-kepahlawanan-panji-pulang-jiwo-asal-usul-kepanjen/, diakses pada 15 Juli 2019). Versi kedua yakni versi Japanan yang justru berkaitan dengan peristiwa peperangan lain yang dihadapi wilayah Malang dari arah timur.</ref> Versi legenda yang pseudo-historis ini turut menambahkan tokoh lainnya, yakni Prabaretna, putri Rangga Tohjiwa, beserta suaminya yang menjadi “tokoh utama”, [[Panji Pulangjiwa]]. Legenda tersebutlah yang kemudian mengilhami cerita asal-usul penamaan wilayah Malang. Selain itu, legenda yang berakhir tragis tersebut (dengan kematian Prabaretna dan [[Panji Pulangjiwa]] serta lokasi pemakaman mereka berdua yang konon berada [[Penarukan, Kepanjen, Malang|Desa Penarukan]], [[Kepanjen, Malang|Kecamatan Kepanjen]], [[Kabupaten Malang]]) juga menjadi dasar dari versi kedua legenda asal-usul penamaan wilayah [[Kepanjen, Malang|Kepanjen]].
== Masa penjajahan ==
=== Belanda ===
[[Berkas:Jalan_Besar_Ijen_Belanda.jpg|jmpl|300x300px|Jalan Besar Ijen pada [[Hindia Belanda|zaman Belanda]] yang digunakan untuk dinikmati oleh keluarga Belanda<ref>{{Cite news|url=http://sahabatwisataindonesia.com/sejarah-malang/|title=Sejarah Malang|date=2014-01-03|newspaper=Sahabat Wisata Indonesia|language=id-ID|access-date=2017-10-21|archive-date=2017-10-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20171021051256/http://sahabatwisataindonesia.com/sejarah-malang/|dead-url=yes}}</ref>]]
Seperti halnya kebanyakan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya, Kota Malang modern tumbuh dan berkembang setelah hadirnya administrasi kolonial [[Hindia Belanda]]. Fasilitas umum direncanakan sedemikian rupa agar memenuhi kebutuhan keluarga Belanda. Kesan diskriminatif masih berbekas hingga sekarang, misalnya [[Jalan Besar Ijen]] dan kawasan sekitarnya. Pada mulanya hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan Bangsa Eropa lainnya, sementara penduduk pribumi harus puas bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang memadai. Kawasan perumahan itu sekarang menjadi monumen hidup dan
Pada masa penjajahan kolonial [[Hindia Belanda]], daerah Malang dijadikan wilayah [[Gemeente|''gemente'']] ([[kota]]).
[[Berkas:Katedral_Ijen.jpg|jmpl|300x300px|Katedral Ijen (Theresiakerk) sekitar tahun [[1940]]]]
Kota Malang mulai tumbuh dan berkembang pesat terutama ketika mulai dioperasikannya [[Jalur kereta api Malang Kotalama-Dampit|jalur kereta api]] pada tahun [[1879]]. Berbagai kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat terutama kebutuhan ruang gerak untuk melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya, terjadilah perubahan [[tata guna tanah]] yang ditandai dengan daerah terbangun yang bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari tanah berfungsi [[pertanian]] menjadi tanah berfungsi [[perumahan]] dan [[industri]].<ref>{{Cite web|url=http://propertyandthecity.com/main-report/index.php?option=com_content&view=article&id=136&catid=122&Itemid=230|title=Kota Malang CEPAT TUMBUH BERKEMBANG (bag1)|website=propertyandthecity.com|language=en-gb|access-date=2017-10-21|archive-date=2017-10-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20171021163940/http://propertyandthecity.com/main-report/index.php?option=com_content&view=article&id=136&catid=122&Itemid=230|dead-url=yes}}</ref>
=== Jepang ===
Pada [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|masa kependudukan Jepang]] di Indonesia, Kota Malang yang merupakan bagian dari Indonesia pun ikut serta diduduki oleh Jepang. [[Angkatan Darat Kekaisaran Jepang|Bala Tentara Dai Nippon]] mulai menduduki Kota Malang pada [[7 Maret|7]] [[Maret]] [[1942]]. Malang yang saat itu dipimpin oleh Raden Adipati Ario Sam (R.A.A. Sam) menyerah pada Jepang yang saat itu berkuasa di Kota Malang. Pengambilan alih Pemerintah pada prinsipnya meneruskan [[Gemeente|sistem lama]], hanya sebutan-sebutan dalam jabatan diganti dengan [[bahasa Jepang]].<ref name=":9">{{Cite news|url=http://www.jurnalmalang.com/2013/10/sejarah-malang-pra-kemerdekaan-bagian-5.html|title=Sejarah Malang Pra Kemerdekaan dan Kemerdekaan (Bagian 5)|newspaper=JURNALMALANG.COM|access-date=2017-10-22}}</ref>
Pada masa kependudukan Jepang pun terjadilah peralihan fungsi bangunan. Rumah-rumah tempat tinggal [[Bangsa Belanda|orang Belanda]] diallihkan fungsinya. Bangunan [[Belanda]] di Jalan Semeru No. 42 yang dulunya digunakan sebagai [[kantor]] ataupun markas [[Koninklijk Nederlands-Indische Leger|pasukan Belanda]] dialihfungsikan menjadi gedung ''Kentapetai''.<ref name=":10">{{Cite web|url=http://www.geschool.net/cysers/blog/jejak-masa-kolonial-dan-pendudukan-jepang-di-kota-malang|title=JEJAK MASA KOLONIAL DAN PENDUDUKAN JEPANG DI KOTA MALANG|website=www.geschool.net|access-date=2017-10-22|archive-date=2017-10-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20171022141954/http://www.geschool.net/cysers/blog/jejak-masa-kolonial-dan-pendudukan-jepang-di-kota-malang|dead-url=yes}}</ref> Gedung ''Kentapetai'' merupakan salah satu gedung bersejarah di Malang yang kini menjadi gedung [[Sekolah menengah kejuruan|SMK]] [[swasta]] dan menjadi saksi bisu terjadinya pelucutan senjata Jepang oleh [[Badan Keamanan Rakyat|Badan Keamanan Rakyat (BKR)]] guna untuk memperkuat pertahanan Kota Malang.<ref name=":10" />
== Pemerintahan ==
Berikut ini adalah kilasan sejarah pemerintahan Kota Malang.
{| class="wikitable"
!Waktu<ref name=":6">{{Cite news|url=http://malangkota.go.id/sekilas-malang/sejarah-malang/|title=Sejarah Malang - Pemerintah Kota Malang|newspaper=Pemerintah Kota Malang|language=id-ID|access-date=2017-10-01|archive-date=2017-10-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20171001212909/http://malangkota.go.id/sekilas-malang/sejarah-malang/|dead-url=yes}}</ref>
!Peristiwa yang Terjadi<ref name=":6" />
|-
! colspan="2" |
|-
|[[22 November]] [[760]]
|[[Kerajaan Kanjuruhan]] didirikan dan dijadikan hari jadi [[Kabupaten Malang]]
|-
|[[Abad ke 8|Abad ke-8 M]]
|Malang menjadi ibu kota [[Kerajaan Kanjuruhan]] dengan rajanya, yaitu [[Gajayana]]
|-
|[[1222]]
! colspan="2" |Zaman Penjajahan {{Flag|Belanda}}, {{Flag|Perancis}}, {{Flag|Britania Raya}}, dan {{Flag|Jepang}}▼
|[[Kerajaan Singasari]] didirikan dengan ibu kota terletak di daerah [[Singosari, Malang|Singasari]]
|-
▲! colspan="2" |
|-
|[[1767]]
Baris 169 ⟶ 182:
|-
|[[1882]]
|Rumah-rumah didirikan di bagian barat kota dan alun-alun dibangun.
|-
|[[1 April]] [[1914]]
Baris 182 ⟶ 195:
|Malang menjadi bagian dari [[Indonesia|Republik Indonesia]]
|-
|[[
|Malang diduduki kembali oleh [[Belanda]]
|-
Baris 194 ⟶ 207:
== Referensi ==
{{reflist|2}}
{{Topik Kota Malang}}
[[Kategori:Sejarah Jawa Timur]]
[[Kategori:Malang Raya]]
[[Kategori:Kota Malang]]
|