Sejarah Sumatera Barat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis)
OrophinBot (bicara | kontrib)
 
(28 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
Dari zaman [[prasejarah]] sampai kedatangan orangbangsa Baratasing, '''sejarah Suma­tera[[Sumatera Barat''']] dapat dikatakan identik dengan sejarah [[Suku Minangkabau|Minangkabau]]. Walau­punWalaupun masyarakat [[Mentawai]] diduga te­lahtelah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sa­ngatsangat sedikit.
 
== Masa Prasejarah ==
[[Berkas:Menhir_di_Sumatra_Barat.jpg|jmpl|270x270px|[[Menhir Mahat]]]]
Di pelosok desa[[Maek, MahatBukit Barisan, SulikiLima GunungPuluh MasKota|Maek]], [[Kabupaten Lima Puluh Kota]] banyak ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang dite­mukanditemukan di atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini ber­alasanberalasan, karena daridi [[luhak]] Lima Puluh Kotadaerah ini mengalir beberapa sungai besar yang bermuara di pantai timur pu­laupulau [[SumateraSumatra]]. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
 
Nenek moyang orang Minang­kabauMinangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka berlayar dari daratan Asia (In­dochina) mengarungi [[Laut Cina Sela­tanSelatan]], menyeberangi [[Selat Malaka]] dan kemudian melayari [[sungai Kamparkampar]], [[sungai Siaksiak]], dan [[Batang Kuantan|sungai Inderagiriinderagiri]]. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan mengembangkan kebudayaan serta per­adaban di wilayah ''[[Luhak|Luhak Nan Tigo]]'' (daerah [[Kabupaten Lima Puluh Kota|Lima Puluh Kota]], [[Kabupaten Agam|Agam]], dan [[Kabupaten Tanah Datar|Tanah Datar]]) sekarang.
 
Percampuran dengan para penda­tangpendatang pada masa-masa berikutnya me­nyebabkan tingkat kebudayaan mere­kamereka jadi berubah dan jumlah mereka ja­dijadi bertambah. Lokasi pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka [[merantau]] ke berba­gaiberbagai bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju [[Lubuk Sikaping]], [[Rao, Pasaman|Rao]], dan [[''Ophir]]''. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju [[Kabupaten Solok|Solok]], [[Kabupaten Sijunjung|Sijunjung]] dan [[Kabupaten Dharmasraya|Dharmasraya]]. Banyak pula di antara me­rekamereka yang menyebar ke bagian barat, teruta­materutama ke daerah pesisir, seperti [[Tanjung Mutiara, Agam|Tiku]], [[Kota Pariaman|Pariaman]], dan Painan[[Kabupaten Pesisir Selatan|Pesisir Selatan]].
 
== Kerajaan-kerajaan Minangkabau ==
{{utama|Tambo Minangkabau}}
Menurut [[tambo Minangkabau]], pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan itu antara lain [[Kesultanan Kuntu]], [[Kerajaan Kandis]], [[Kerajaan Siguntur]], [[Kerajaan Pasumayan Koto Batu]], [[Kerajaan Bukit Batu Patah|Bukit Batu Patah]], [[Kerajaan Sungai Pagu]], [[Kerajaan Inderapura]], [[Kerajaan Jambu Lipo]], [[Kerajaan Taraguang]], [[Kerajaan Dusun Tuo]], [[Kerajaan Bungo Setangkai]], [[Kerajaan Talu]], [[Kerajaan Kinali]], [[Kerajaan Parit Batu]], [[Kerajaan Pulau Punjung]] dan [[Kerajaan Pagaruyung]]. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.
 
[[Berkas:Flag of Minang.svg|jmpl|[[Marawa|Bendera Minangkabau]].]]
=== Kerajaan Malayu ===
Menurut [[tamboTambo Minangkabau]], padamenyebut periodebeberapa abadnama ke-1kerajaan hinggayang abad ke-16, banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecilada di selingkaran [[Sumatera Barat]]. Kerajaan-kerajaan itu antara lain, [[Kesultanan Kuntu]], [[Kerajaan KandisKoto Alang]], [[Kerajaan Siguntur]], [[Kerajaan Pasumayan Koto Batu]], [[Kerajaan Bukit Batu Patah|Bukit Batu Patah]], [[Kerajaan Sungai Pagu]], [[Kerajaan Inderapura]], [[Kerajaan Jambu Lipo]], [[Kerajaan Taraguang]], [[Kerajaan Dusun Tuo]], [[Kerajaan Bungo Setangkai]], [[Kerajaan Talu]], [[Kerajaan Kinali]], [[Kerajaan Parit Batu]], [[Kerajaan Pulau Punjung]] dan [[Kerajaan Pagaruyung]]. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang, dan biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.
{{utama|Kerajaan Dharmasraya}}
 
=== Minanga ===
[[Kerajaan Melayu|Kerajaan Malayu]] diperkirakan pernah muncul pada tahun [[645]] yang diperkirakan terletak di hulu sungai [[Batang Hari]]. Berdasarkan [[Prasasti Kedukan Bukit]], kerajaan ini ditaklukan oleh [[Kerajaan Sriwijaya|Sriwijaya]] pada tahun [[682]]. Dan kemudian tahun [[1183]] muncul lagi berdasarkan [[Prasasti Grahi]] di [[Kamboja]], dan kemudian [[Negarakertagama]] dan [[Pararaton]] mencatat adanya Kerajaan Malayu yang beribukota di [[Dharmasraya]]. Sehingga muncullah [[Ekspedisi Pamalayu]] pada tahun 1275-1293 di bawah pimpinan [[Kebo Anabrang]] dari [[Kerajaan Singasari]]. Dan setelah penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di [[Prasasti Padang Roco]], tim Ekpedisi Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya yaitu [[Dara Petak]] dan [[Dara Jingga]]. Dara Petak dinikahkan oleh [[Raden Wijaya]] raja [[Majapahit]] pewaris kerajaan Singasari, sedangkan [[Dara Jingga]] dengan [[Adwaya Brahman]]. Dari kedua putri ini lahirlah [[Jayanagara]], yang menjadi raja kedua Majapahit dan [[Adityawarman]] kemudian hari menjadi raja [[Pagaruyung]].
{{utama|Minanga}}
 
Berita tentang keberadaan kerajaan ini didapat dari buku T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961 masa Dinasti Tang, Minanga mengirimkan utusan ke Tiongkok pada tahun 645 untuk pertama kalinya.<ref>Slamet Muljana, 2006, ''Sriwijaya'', Yogyakarta: LKIS.</ref> Selain itu nama Minanga juga muncul pada [[Prasasti Kedukan Bukit]] yang bertarikh 682. Berdasarkan prasasti, pada tahun 682 Dapunta Hyang bertolak dari Minanga dengan membawa 20.000 tentara lalu mendirikan Kerajaan Sriwijaya.<ref>Poesponegoro, Marwati Djoened, Nugroho Notosusanto; Sejarah Nasional Indonesia II; 2008, Jakarta: Balai Pustaka</ref><ref>N.J. Krom, Hindoe-Javaansche geschiedenis, 1931</ref> Ekspedisi ini juga bertujuan untuk memindahkan pusat kerajaan dari Minanga di pedalaman ke daerah yang strategis di tepi laut.<ref>R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 1973, Jakarta: Kanisius</ref><ref>Dr. Boechari, An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung). In Pra Seminar Penelitian Sriwijaya, 1979, Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional</ref>
=== Kerajaan Pagaruyung ===
 
=== Malayapura ===
{{utama|Kerajaan Pagaruyung}}
 
[[Berkas:Amoghapasa Padang Roco Inscription Back.JPG|jmpl|Prastasti Amoghapasa.]]
Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan Adityawarman. Ra­ja ini cukup banyak meninggalkan [[prasasti]] mengenai dirinya, walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya­warman memang pernah memerintah di [[Kerajaan Pagaruyung|Pagaruyung]], suatu negeri yang di­percayai warga Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Secara historis, keberadaan kerajaan ini didapat dari salah satu dari dua prasasti kuno yang ditemukan di [[Kabupaten Dharmasraya|Dharmasraya]]:
{{cquote|"...''demi kemenangan tertinggi untuk Malayapura''..."
— [[Prasasti Amoghapasa]]}}
 
Keberadaan kerajaan ini juga disebut di dalam [[Naskah Tanjung Tanah]] yang diperkirakan dibuat pada zaman Adityawarman di [[Saruaso, Tanjung Emas, Tanah Datar|Suruaso]], [[Kabupaten Tanah Datar|Tanah Datar]], antara 1345 hingga 1377. Naskah tersebut menyebutkan bahwa Malayapura beribukota di Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah [[Kabupaten Kerinci|Kerinci]] yang dipimpin Raja.<ref>{{Cite web|last=Arman|first=Dedi|date=23 Oktober 2017|title=Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu Tertua di Dunia|url=https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/undang-undang-tanjung-tanah-naskah-melayu-tertua-di-dunia/|website=Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau|access-date=25 September 2022}}</ref> Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi ''taman Nandana Sri Surawasa'' yang senantiasa kaya akan padi<ref>{{cite journal|last=Casparis|first= J.G.|authorlink=Johannes Gijsbertus de Casparis|title=An ancient garden in West Sumatra|journal=Kalpataru|year=1990|issue=9|pages= 40-49}}</ref> yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu [[Akarendrawarman]] yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan [[adat Minangkabau]], pewarisan dari ''mamak'' (paman) kepada ''kamanakan'' (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.<ref>{{Cite book|last=Kozok|first=U.|authorlink=Uli Kozok|title=Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua|location=Jakarta|publisher=Yayasan Obor Indonesia|year=2006|id= ISBN 979-461-603-6}}</ref>
Adityawarman adalah tokoh pen­ting dalam sejarah Minangkabau. Di samping memperkenalkan sistem pe­merintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kon­tribusinya yang cukup penting itu adalah penyebaran agama [[Buddha]]. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di Minangkabau. Ter­bukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang berbau Budaya atau [[Jawa]] seperti [[Saruaso]], [[Pa­riangan]], [[Padang Barhalo]], [[Candi, Sumatera Barat|Candi]], [[Bia­ro]], [[Sumpur]], dan [[Selo]].
 
=== Kerajaan Pagaruyung ===
Sejarah Sumatera Barat sepe­ninggal Adityawarman hingga perte­ngahan abad ke-17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Su­matera Barat dengan dunia luar, ter­utama Aceh semakin intensif. Sumate­ra Barat waktu itu berada dalam dominasi politik [[Aceh]] yang juga memo­nopoli kegiatan perekonomian di dae­rah ini. Seiring dengan semakin inten­sifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah [[agama Islam]].
[[Berkas:Minangkabau royal seal.jpg|jmpl|Mohor Pagaruyung.]]
Munculnya nama Pagaruyung sebagai nama sebuah kerajaan tidak dapat diketahui dengan pasti, dari [[Tambo Minangkabau|Tambo]] yang diterima oleh masyarakat [[Orang Minangkabau|Minangkabau]] tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pada masa kerajaan ini, pengaruh [[Islam]] di Minangkabau mulai berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh [[Abdurrauf Singkil]] (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh [[Burhanuddin Ulakan]], adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama ''[[Sultan Alif]]''.
 
=== Dharmasraya ===
[[Syekh Burhanuddin]] dianggap sebagai pe­nyebar pertama Islam di Sumatera Barat. Sebelum mengembangkan aga­ma Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut ilmu di Aceh.
{{utama|Kerajaan Dharmasraya}}
 
[[Berkas:Amoghapasa Padang Roco Inscription Front.JPG|jmpl|Prastasti Padang Roco.]]
=== Kerajaan Inderapura ===
Keberadaan kerajaan ini didapat dari prasasti kuno lainnya yang juga ditemukan di [[Kabupaten Dharmasraya|Dharmasraya]]:
{{cquote|"...''supaya ditegakkan di Dharmasraya''..."
— [[Prasasti Padang Roco]]}}
Prasasti ini menceritakan bahwa pada tahun 1286, atas perintah [[Kertanegara]] raja dari [[Kerajaan Singasari|Singhasari]], sebuah Arca Amoghapasa dipindahkan dari Bhumijawa ke Swarnabhumi untuk ditegakkan di Dharmasraya. Dengan hadiah ini diharapkan agar rakyat Swarnabhumi bergirang hati dan bersuka cita, terutama rajanya, [[Tribhuwanaraja]].
 
=== Kerajaan Inderapura ===
{{utama|Kerajaan Inderapura}}
 
[[Kerajaan Inderapura|Inderapura]] merupakan sebuah kerajaan yang berada di wilayah [[Pesisir Selatan]], [[Sumatera Barat]] sekarang, berbatasan dengan Provinsi [[Bengkulu]] dan [[Jambi]]. Secara resmi, kerajaan ini pernah menjadi bawahan [[Kerajaan Pagaruyung]] walau pada praktiknya kerajaan ini berdiri sendiri serta bebas mengatur urusan dalam dan luar negerinya. Kerajaan ini pada masa jayanya meliputi wilayah pantai barat [[Sumatra]] mulai dari [[Kota Padang|Padang]] di utara sampai Sungai Hurai di selatan. Produk terpenting Inderapura adalah [[lada]] dan [[emas]]. Pengaruh kekuasaan Inderapura sampai ke Banten di Pulau Jawa. Berdasarkan ''[[Sajarah Banten]],'' [[Kesultanan Banten]] telah melakukan kontak dagang dengan Inderapura yang ditandai dengan pemberian keris dari [[Sultan Munawar Syah]] kepada [[Maulana Hasanuddin dari Banten|Sultan Hasanuddin]]. Menurut [[Hamka]], Sultan Munawar Syah menikahkan putrinya dengan Hasanuddin dan menghadiahkan [[Selebar, Bengkulu|Silebar]] (daerah penghasil lada di Bengkulu) kepada Kesultanan Banten.
Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan [[Pancung Soal, Pesisir Selatan]] sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah munculnya Kerajaan Pagaruyung, Inderapura pun bersama [[Kerajaan Sungai Pagu]] akhirnya menjadi vazal kerajan Pagaruyung.
 
== Minangkabau di dalam ''Hikayat Raja-raja Pasai'' ==
{{utama|Hikayat Raja-raja Pasai}}
 
Bagian dari hikayat ini mengisahkan tentang raja [[Majapahit]] yang ingin menaklukan Pulau Percha. Patih [[Gajah Mada]] disebut memimpin langsung ekspedisi ini. Armada berjumlah lima ratus kapal. Komandan yang berlayar dengannya adalah tiga orang yang sama seperti sebelumnya. Komandan bawahannya juga banyak, ''ngabehi'', ''aria'', ''lurah'', ''bekel'', ''patinggi'', dan dua ratus ribu pasukan darat. Bala tentara Majapahit tanpa halangan sampai di [[Jambi]] yang merupakan pintu masuk ke [[Dataran Tinggi Minangkabau]] melalui sungai besar dan berair dalam yang ada di dataran rendah bagian timur Sumatra.
 
Alkisah, Majapahit memperoleh kekalahannya disini, pertempuran terjadi di Padang Sibusuk. Orang-orang yang melarikan diri kembali ke Majapahit dalam penderitaan dan tekanan. Berhasil melarikan diri dari Jambi mereka berlayar ke tanah air mereka. Setelah berhari-hari di laut, mereka akhirnya sampai di Majapahit. Mereka pergi ke darat dan menuju ke hadapan raja, dan kepadanya mereka menceritakan keseluruhan cerita dari awal sampai akhir.<ref>Hadler, Jeffrey (2010). [http://sseas.berkeley.edu/sites/default/files/faculty/files/hadlersengketa.pdf "Sengketa Tiada Putus"]{{Pranala mati|date=Maret 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}} ''Freedom Institute''. hlm. 16–21. ISBN 978-979-19466-5-0.</ref>
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan kedalam bagian wilayah provinsi Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.
 
== Masuknya bangsa Eropa ==
Pengaruh politik dan ekonomi A­ceh yang demikian dominan membuat warga Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidak­puasan ini akhirnya diungkapkan de­ngan menerima kedatangan orang [[Belanda]]. Namun kehadiran Belanda ini juga membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini menjadikan SumateraSumatra Ba­rat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
 
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelan­cong berkebangsaan [[Prancis]] yang ber­nama [[Jean Parmentier]] yang datang sekitar tahun [[1529]]. Namun bangsa Ba­rat yang pertama datang dengan tu­juan ekonomis dan politis adalah bang­sa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pan­tai barat Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belan­da, bangsa Eropa lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu ju­ga terdiri dari bangsa [[Portugis]] dan [[Inggris]].
Baris 42 ⟶ 63:
{{utama|Perang Padri}}
 
Perang Padri merupakan peristiwa kekerasan yang panjang yang bermula dari tahun 1803. Mulanya perang ini adalah konflik antara suatu kelompok kaum [[ulama]] dan pengikutnya, yang disebut [[kaum Padri]], dengan masyarakat yang tidak taat pada ajaran Islam. Kaum ulama ingin menerapkan ajaran Islam sebagaimana mestinya pada [[Orang Minang|masyarakat Minangkabau]] yang pada masa itu banyak yang menyukai [[judi]], [[sabung ayam]], serta [[minuman keras]]. Tidak hanya itu, kaum ulama juga ingin menerapkan [[Syariah|hukum Islam]] dalam masyarakat sebagai pengganti [[Adat Minangkabau|hukum adat]] yang sudah berlangsung lama. Keinginan kaum ulama ini kemudian mendapatkan tentangan dari kaum [[adat]] yang didukung pihak kerajaan Pagaruyung.
Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837. Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
 
Terjadilah konflik berdarah antara kaum Padri dengan kaum adat yang tercatat sebagai konflik atau perang saudara yang dahsyat yang pernah terjadi di Minangkabau. Sejarah juga mencatat peristiwa ini sebagai konflik antara kaum Islam penganut ajaran murni dengan kelompok masyarakat lainnya yang pertama di [[Asia Tenggara]] dan merupakan peristiwa satu-satunya di Nusantara.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
 
Rencana besar kaum Padri untuk menerapkan ajaran Islam secara murni tidak hanya terbatas di Minangkabau, tapi juga bergerak ke arah [[timur]] atau wilayah [[Riau]] dan [[utara]] yang mencakup wilayah [[Mandailing]], [[Angkola]], dan [[Batak Toba]] di sekitar [[danau Toba]]. Militer Padri yang dibentuk oleh [[Haji Piobang]], [[Haji Sumanik]], dan [[Haji Miskin]] berkembang dengan pesat. Ketiga ulama tersebut merupakan perwira yang pernah berkarier pada kesatuan [[Yanisari|Janisary Turki]] yang terkenal di [[Timur Tengah]] pada masanya.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
 
Dengan militer yang kuat, Kaum Padri mencapai banyak kemenangan, baik di Minangkabau maupun dalam invasinya ke arah utara. Dalam tempo yang singkat pasukan Padri menguasai wilayah Mandailing, Angkola, dan wilayah sekitaran danau Toba. Di semua wilayah itu kaum Padri menegakkan ajaran Islam yang murni pada masyarakat yang belum taat dan mengislamkan orang-orang yang masih menganut [[pagan]]. Penaklukan ini menimbulkan banyak korban jiwa.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
 
Sementara di Minangkabau kaum Padri berhasil menguasai [[istana]] Pagaruyung pada tahun 1815 dan membakarnya. Dalam peristiwa kekerasan ini banyak [[bangsawan]] Pagaruyung yang terbunuh. [[Sultan Arifin Muningsyah]] yang berhasil selamat karena menyingkir ke wilayah lain kemudian mengajak pihak [[Belanda]] pada tahun 1821 untuk membantunya menghadapi kaum Padri. Ajakan ini disetujui Belanda sehingga mengubah peta peperangan menjadi perang antara Kaum Padri lawan Belanda yang ber''aliansi'' dengan kaum adat.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai, barulah jatuh pada tahun 1838.
 
Setelah perang berlangsung beberapa lama, kaum adat kemudian merasa dirugikan oleh Belanda, lalu menimbulkan suatu kesadaran untuk bersatu dengan kaum Padri melawan Belanda. Sejak tahun 1833 perang ini berubah menjadi perang orang Minangkabau melawan Belanda. Perang ini berlangsung secara sporadis hingga 1838. Perang tiga episode yang cukup panjang ini berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838, dan memakan banyak korban jiwa, baik pemimpin maupun prajurit dari ketiga belah pihak, serta masyarakat biasa. Satu hal monumental yang juga mengiringi ujung peperangan panjang ini adalah runtuh dan hilangnya kerajaan Pagaruyung yang telah berumur hampir 500 tahun sejak pendiriannya pada tahun 1347 oleh Adityawarman.
== Dari Perang Padri sampai Perang Belasting ==
 
== Dari Perang Padri sampai Perang Belasting ==
Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.
 
Belanda memerintah diatur oleh perjanjian [[Plakat Panjang]] ([[1833]]). Di dalamnya Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra bukannya bawahan Belanda.
 
Sebagaimana di daerah lain di [[Hindia Belanda]] pemerintah kolonial memberlakukan [[Tanam Paksa]] (''cultuurstelsel'') di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.
 
Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi. Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah, dan kepemimpinan kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah seorang penghulu menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
 
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di [[Selat Malaka]], dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti [[Pariaman]] dan [[Padang]].
Pada tahun [[1908]] Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak langsung. [[Perang Belasting]] pun meletus.
 
Baris 73 ⟶ 86:
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan dan perdebatan sengit di ranah Minang.
 
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi berdirilah sekolah [[SumateraSumatra Thawalib]]. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan SumateraSumatra Thawalib yang terutama adalah perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini berhubungan erat.
 
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti [[Ahmad Rasyid Sutan Mansur]], [[Djamaluddin Tamin]], [[Ahmad Khatib Datuk Batuah|H. Dt. Batuah]], [[Rasuna Said|H.R. Rasuna Said]] dan [[Hamka]] merupakan murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.
 
Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa 1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang Panjang: [[komunisme]]. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang saat itu menjadi guru besar SumateraSumatra Thawalib.
 
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun 19301928 ulama tradisional mendirikan '''Perti''' ([[Persatuan Tarbiyah Islamiyah]]) untuk mewadahi sekolah Islam Tradisional.
 
== Gerakan Partai Komunis Indonesia ==
Baris 96 ⟶ 109:
=== Merebaknya partai-partai politik ===
[[Berkas:Rasuna Said.jpg|ka|jmpl|[[Rasuna Said|HR Rasuna Said]], aktivis [[Persatuan Muslim Indonesia|Permi]]]]
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920 berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun [[1924]] berdirilah sekolah Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi daripada SumateraSumatra Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
 
Setelah melawat ke [[Jawa]] tahun [[1925]] dan bertemu pemimpin-pemimpin [[Muhammadiyah]] di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah. Pertama di [[Sungai Batang, Tanjung Raya, Agam|Sungai Batang]] dan kemudian di [[Padang Panjang]]. Organisasi ini dengan cepat menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Baris 123 ⟶ 136:
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian [[Gyu Gun]] untuk membantu pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.
 
== Agresi Militer Belanda I dan II ==
== Rujukan ==
[[Berkas:Bagindo Azizchan.jpg|jmpl|ka|210px|[[Bagindo Aziz Chan]], wali kota Padang yang gugur sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia|pahlawan bangsa]].]]
* {{id}}{{cite book
[[Agresi Militer Belanda I|Agresi militer Belanda pertama]] yang berlangsung dari [[Juli]] hingga [[Agustus]] 1947 juga menimbulkan korban jiwa di Sumatera Barat. Suatu peristiwa kekerasan yang dilancarkan Belanda di [[kota Padang]] akhirnya merenggut nyawa [[Bagindo Aziz Chan]], seorang [[Daftar wali kota Padang|wali kota Padang]] yang kukuh mempertahankan wilayahnya dari pelanggaran yang dilakukan pihak Belanda. Bagindo Aziz Chan kemudian dikukuhkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
 
Agresi militer Belanda yang kedua pada [[Desember]] 1948 ke [[Yogyakarta]] sebagai ibu kota [[Indonesia]] berhasil menguasai pusat pemerintahan dan menangkap [[Soekarno]], [[Hatta]], [[Sjahrir]], dan pemimpin lainnya. Peristiwa ini melumpuhkan pemerintahan Indonesia. [[Sjafruddin Prawiranegara]] kemudian membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat dengan ibu kota [[Kota Bukittinggi|Bukittinggi]]. Ini menjadikan Sumatera Barat sebagai pusat perjuangan melawan Belanda yang berkonsekuensi Sumatera Barat menjadi sasaran utama penyerangan oleh militer Belanda. Terjadilah peperangan dan pengeboman di Sumatera Barat yang dilancarkan pihak Belanda.
 
Dalam masa ini juga banyak berjatuhan korban, baik dari para pejuang maupun dari masyarakat sipil. Dalam suatu penyerangan oleh Belanda yang kemudian disebut sebagai "[[Peristiwa Situjuah]]", para pejuang kehilangan beberapa pemimpin dan puluhan pasukan pengawal, di antaranya [[Khatib Sulaiman]], [[Arisun Sutan Alamsyah]], [[Munir Latief]], dan lainnya.
 
== Referensi ==
{{reflist}}
 
== Bacaan lanjutan ==
* {{id}} {{cite book
|last=Kahin
|first=Audrey
Baris 131 ⟶ 155:
|date=2005
|id=ISBN 979-461-519-6}}
* {{id}} Buku [[Alam Takambang jadi Guru]], [[A.A. Navis]], 1984
* {{id}} [http://www.mail-archive.com/rantau-net@rantaunet.com/msg08463.html Historiografi Minangkabau]