Sri Baduga Maharaja: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Agama
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(74 revisi perantara oleh 37 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{kegunaanlain|Siliwangi}}{{Infobox royalty|
| predecessor = * [[Dewa Niskala|Prabu Dewa Niskala]]
{{redirect|Raden Pamanah Rasa|sinetron berjudul sama|Raden Pamanah Rasa (sinetron)}}
* [[Susuk Tunggal|Prabu Susuk Tunggal]]
| name = Sri Baduga Maharaja
| full name =
| regnal name = ''Prabu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata''
| posthumous name = ''Sang Mwakta Ring Rancamaya''
| birth_place = [[Kawali]], [[Kerajaan Galuh]]
| dynasty = Wangsa Siliwangi
| religion = [[Hindu]]
| spouse = * [[Nyai Ambetkasih|Nyai Ambet Kasih]]
* Kentring Manik Mayang Sunda
* Nyai Subang Larang
| title = Prebu Naléndraputra Permana
| father = [[Dewa Niskala|Prabu Dewa Niskala]]
| royal house = [[Siliwangi]]
| image = [[Berkas:Prabu Siliwangi Portrait.jpg|200px]]
| death_place = Sunda
| death_date = 1521
| successor = [[Surawisesa]]
| coronation = ''Tumpek'' (Sabtu) ''Wage'' 1404 [[Saka]]<br>(3 Juni 1482)
| reign = [[Kerajaan Sunda|Sunda]] (1482–1521)
| succession = Raja [[Kerajaan Sunda|Sunda]] ke-40<br>Raja [[Kerajaan Sunda-Galuh|Sunda-Galuh (Pajajaran)]] ke-1<!--- Mohon untuk tidak diganti, ini sudah sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia --->
| caption = Lukisan Prabu Siliwangi yang selalu dikaitkan dengan Sri Baduga Maharaja di Keraton Kasepuhan, Cirebon
| spouse 2 =
| birth_name = Jayadewata<br>Pamanah Rasa
| honorific-prefix = Prabu Guru Dewataprana
}}
'''Sri Baduga Maharaja''' atau [['''Prabu Siliwangi]] III''' ([[Aksara Sunda Baku|Sunda]]: {{sundLang-su|ᮞᮢᮤᮞᮢᮤᮘᮓᮥᮌᮙᮠᮛᮏ|Sri ᮘᮓᮥᮌBaduga ᮙᮠᮛᮏMaharaja}} atau ({{sundLang-su|ᮕᮨᮻᮘᮥᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ|ᮕᮢᮘᮥPerebu ᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤSiliwangi}}) (juga dikenal sebagai '''Ratu Jayadewata''' (1401–1521) putra [[Dewa Niskala|Prabu Dewa Niskala]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] lahir [[1401]] M di [[Kawali]] [[Ciamis]], mengawali pemerintahan zaman [[Pakuan Pajajaran]] [[Pasundan]], yang memerintah [[Kerajaan Sunda Galuh]] selama 39 tahun ([[1482]]-[[1521]]1482–1521). Pada masa inilah [[Pakuan Pajajaran]] yang sekarang terletak di [[Kota Bogor]] mencapai puncak perkembangannya.
 
Dalam [[prasasti Batutulis]] diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta [[Kerajaan Galuh]] di [[Kawali]] [[Ciamis]] dari ayahnya [[Dewa Niskala|Prabu Dewa Niskala]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Permaisuri Mayangsari]] putri [[Bunisora|Prabu Bunisora]], yang kemudian bergelar '''Prabu Guru Dewataprana'''. Yang kedua ketika ia menerima tahta [[Kerajaan Sunda]] di Pakuan [[Bogor]] dari mertua dan uwanya, [[Susuk Tunggal|Prabu Susuktunggal]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Permaisuri Ratna Sarkati]] putri [[Resi Susuk Lampung]]. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa [[Kerajaan Sunda]] - [[Kerajaan Galuh]] dan dinobatkan dengan gelar '''Sri Baduga Maharaja Ratu Haji '''di [[Pakuan Pajajaran]] Sri Sang Ratu Dewata'''. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada [[Pindahnya Ratu Pajajaran]].{{fact}}.
[[Berkas:Prabu Siliwangi Portrait.jpg|jmpl|250px|Gambar lukisan Prabu Siliwangi di [[Keraton Kasepuhan]], [[Cirebon]]]]
 
'''Sri Baduga Maharaja''' atau [[Prabu Siliwangi]] ([[Aksara Sunda Baku|Sunda]]: {{sund|ᮞᮢᮤ ᮘᮓᮥᮌ ᮙᮠᮛᮏ}} atau {{sund|ᮕᮢᮘᮥ ᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ}}) (Ratu Jayadewata) putra [[Prabu Dewa Niskala]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] lahir [[1401]] M di [[Kawali]] [[Ciamis]], mengawali pemerintahan zaman [[Pakuan Pajajaran]] [[Pasundan]], yang memerintah [[Kerajaan Sunda Galuh]] selama 39 tahun ([[1482]]-[[1521]]). Pada masa inilah [[Pakuan Pajajaran]] di [[Bogor]] mencapai puncak perkembangannya.
 
Dalam [[prasasti Batutulis]] diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta [[Kerajaan Galuh]] di [[Kawali]] [[Ciamis]] dari ayahnya [[Prabu Dewa Niskala]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Permaisuri Mayangsari]] putri [[Prabu Bunisora]], yang kemudian bergelar '''Prabu Guru Dewataprana'''. Yang kedua ketika ia menerima tahta [[Kerajaan Sunda]] di Pakuan [[Bogor]] dari mertua dan uwanya, [[Prabu Susuktunggal]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Permaisuri Ratna Sarkati]] putri [[Resi Susuk Lampung]]. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa [[Kerajaan Sunda]] - [[Kerajaan Galuh]] dan dinobatkan dengan gelar '''Sri Baduga Maharaja Ratu Haji '''di [[Pakuan Pajajaran]] Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada [[Pindahnya Ratu Pajajaran]]{{fact}}.
 
== Prabu Siliwangi ==
[[Berkas:Pura Parahyangan Agung Jagatkartta, Candi Siliwangi Shrine.jpg|jmpl|ka|300px|Sebuah candi yang dibangun untuk menghormati Prabu Siliwangi di [[Pura Parahyangan Agung Jagatkarta]], [[Bogor]], [[Jawa Barat]].]]
Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama '''Prabu Siliwangi'''. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam ''[[KropakSanghyang 630Siksa Kandang Karesian]]'' sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun [[1518]] ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan [[Niskala Wastu Kancana]] (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. [[Wangsakerta]] pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
 
:"''Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira''".
:[[Bahasa Indonesia|Indonesia]]: ''Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.''
 
=== Arti nama Siliwangi ===
Baris 20 ⟶ 40:
:"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
 
:Ia berani menghadapi pasukan besar [[Majapahit]] yang dipimpin oleh sang Patih [[Gajah Mada]] yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia (raja siliwangi) bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa (dibawah kekuasaan Majapahit).
 
:Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Beschreven steen in Batoetoelis de batu tulis TMnr 60016460.jpg|jmpl|ka|385x385px|[[Prasasti Batutulis]] di Bogor menyebutkan keagungan [[Kerajaan Sunda|Sri Baduga Maharaja]] dalam sejarah.]]
Baris 29 ⟶ 49:
Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. [[Pangeran Wangsakerta]], penanggung jawab penyusunan [[Sejarah Nusantara]], menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan [[Niskala Wastu Kancana]] (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
 
Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] itu adalah "''seuweu''" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan [[Dewa Niskala|Prabu Dewa Niskala]] hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar ''Prabu'', sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya [[Niskala Wastu Kancana]] sebagai penguasa Sunda-Galuh).
 
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran [[Wangsakerta]] disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]].
 
=== Masa muda dan Silsilah ===
Waktu mudanya Sri Baduga atau [[Prabu Siliwangi|Prabu Jayadewata]] terkenal sebagai pengembara ksatria pemberani dan tangkas. Istri pertamanya, [[NyiNyai Ambetkasih]] putri pamannya, [[Ki Gedeng Sindangkasih]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] dari [[Kerajaan Surantaka]] ibu kotanya Desa [[Kedaton]] sekarang di [[Kecamatan]] [[Kapetakan]] [[Cirebon]], penguasa di Pelabuhan Muarajati [[Cirebon]] berbatasan langsung dengan [[Kerajaan Sing Apura]]. Saat Wafat digantikan menantunya, [[Prabu Jayadewata]]. Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di [[Bubat]] yang digelari Prabu Wangi.
 
Bahkan satu-satunya saat menyamar dengan nama '''Keukeumbingan Rajasunu''' yang pernah mengalahkan Ratu [[Kerajaan Japura]] Prabu [[Amuk Murugul]] putra [[Susuk Tunggal|Prabu Susuktunggal]] putra Mahaprabu [[Niskala Wastu Kancana]] waktu bersaing memperebutkan [[Subanglarang|Subang Larang]] putri [[Ki Gedeng Tapa]]/ Giridewata atau Ki Gedeng Jumajan Jati, penguasa [[Kerajaan Sing Apura]] putra [[Ki Gedeng Kasmaya]], Penguasa Cirebon Girang putra [[Bunisora|Prabu Bunisora]] (Adik [[Mahaprabu Niskala Wastu Kancana]]), (istri kedua [[Prabu Siliwangi]] yang beragama Islam) dari [[Kerajaan Sing Apura]] berbatasan dengan [[Kerajaan Surantaka]]. Dari pernikahannya dengan [[Permaisuri Subanglarang]], melahirkanprabu RadenSiliwangi [[Walangsungsang]]diangkat atauoleh Cakrabuwana,kigedeng [[Nyimastapa Rara Santang]] danjadi Raden [[Kianpamanah Santang]]rasa. KemudianDan [[Nyimassaat Pakungwati]]menjadi putripasutri Pangeranlahir [[Walangsungsang]]lah menikahanak denganpangeran [[Sunanwalangsungsang, Gunung Jati]] putra [[Nyimasnyimas Rara Santang]]. Pangeran [[Walangsungsang]] sebagai Sultan Cirebon I dan [[Sunanprabu Gunungkian Jati]]Santang(Raden sebagaikian Sultan Cirebon II dalam [[Kesultanan Cirebon]] sejak tahun [[1430]] M.<ref>a b Rosmalia. Dini. 2013. Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Bandung : Institut Teknologi Bandung</ref>.<ref>a b Fajar, Rizky Nur. 2013. Perancangan Komunikasi Visual Publikasi Buku Seri Keraton Cirebon. Jakarta: Universitas Bina Nusantara</ref>santang
 
Setelah terbuka jati diri Sang [[Prabu JayadewataSiliwangi|Prabu pamanah rasa]] masih kerabat, lalu diantarkannya menemui ayah [[Prabu Amuk Murugul]], yaitu [[Susuk Tunggal|Prabu Susuktunggal]] kakak lain Ibu [[Dewa Niskala|Prabu Dewa Niskala]] ayahnya [[Prabu JayadewataSiliwangi|Prabu pamanah rasa]], di [[Kerajaan Sunda]] [[Bogor]] sekarang dan dijodohkan dengan [[Nyai Kentring Manik Mayang Sunda]] putri [[Susuk Tunggal|Prabu Susuktunggal]], yang nanti melahirkan [[Surawisesa|Prabu Sanghyang Surawisesa]] kelak jadi pengganti Sri Baduga Maharaja di [[Pakuan Pajajaran]] dan [[Sang Surasowan]] jadi Adipati di Pesisir [[Banten]] atau [[Banten Girang]]. Sang Surasowan berputra Adipati [[Arya Surajaya]] dan putri [[Nyai Kawung Anten]]. Nyi Kawung Anten kelak menikah dengan [[Syarif Hidayatullah]] atau [[Sunan Gunung Djati]] dan melahirkan [[Pangeran Sabakingkin]] alias [[Maulana Hasanuddin]], pendiri [[Kesultanan Banten]] tahun [[1552]] M.
 
[[Prabu Siliwangi]]pamanah rasa juga menikahi [[Ratu Istri Rajamantri]] putri [[Prabu Gajah Agung]] putra [[Prabu Tajimalela]] atau Prabu Agung Resi Cakrabuana putra [[Prabu Guru Adji Putih|Prabu Aji Putih]] atas perintah Prabu Suryadewata putra untuk mendirikan [[Kerajaan Sumedang larang]] tahun [[900]] M. Nama kerajaannya berubah-ubah, [[Kerajaan Tembong Agung]] saat [[Prabu Aji Putih]], zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata Insun medal Insun madangan. Artinya Aku dilahirkan, Aku menerangi. Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.<ref>https://wiki-indonesia.club/wiki/Kerajaan_Sumedang_Larang</ref>
 
[[Ratu Pucuk Umun Sumedang]] keturunan [[Prabu Gajah Agung]] menikah dengan Pangeran Pangeran Kusumahdinata atau [[Pangeran Santri]] putra [[Pangeran Pamelekaran]] atau Pangeran Muhammad, sahabat [[Sunan Gunung Jati]]. Ibu [[Pangeran Santri]] Ratu Martasari/Nyi Mas Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Dari pernikahan itu lahir [[Prabu Geusan Ulun]] yang memerintah Sumedang Larang (1578-1610) M bersamaan dengan berakhirnya [[Pakuan Pajajaran]] tahun 1579 M, menerima mahkota emas,namun milikitu Rajaditolak Pakuanoleh Pajajaranprabu yangSiliwangi, bernamatetapi [[Binokasih]]kerajaan (Mahkota Binokasih)Sumedang darilarang senapatimasih Pajajaranboleh sebagai tanda bahwa [[Kerajaan Sumedang Larang]]menjadi penerus sah [[Kerajaankerajaan Pajajaran]].
 
== Kebijakan dalam kehidupan sosial ==
Baris 48 ⟶ 68:
Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
 
:Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukotaibu kota di Jayagiri dan ibukotaibu kota di Sunda Sembawa.
 
:Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Baris 54 ⟶ 74:
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
 
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukotaibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
 
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
Baris 60 ⟶ 80:
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
 
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
 
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "[[Preangerstelsel]]" dan "[[Cultuurstelsel|Cultuurstelse]]<nowiki/>l" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Baris 78 ⟶ 98:
=== Carita Parahiyangan ===
 
Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
 
:"''Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa''".
Baris 131 ⟶ 151:
Dalam kompleks [[Pura Parahyangan Agung Jagatkarta]], di lereng utara [[Gunung Salak]], terdapat sebuah [[candi]] yang dibangun untuk memuliakan tokoh Sunda, Prabu Siliwangi. Pura ini terletak di [[Tamansari, Bogor|Kecamatan Taman Sari]], [[Kabupaten Bogor]], [[Jawa Barat]].
 
=== KonghucuBuddha ===
Prabu Siliwangi dipuja dan memiliki altar tersendiri pada [[Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa]], [[Simpenan, Sukabumi]].<ref name=susi>Susi. 10 September 2012. TNOL, Wisata & Griya, Wisata & Kuliner, [http://www.tnol.co.id/wisata-griya/15766-pantai-loji-wisata-vihara-yang-mistis.html?device=desktop Pantai Loji, Wisata Vihara yang Mistis]{{Pranala mati|date=April 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}.</ref>
 
 
Prabu Siliwangi juga dihormati dan memiliki altar pada Vihara Sakyawanaram, Pacet - Cianjur
 
=== Uga Wangsit Siliwangi ===
Baris 142 ⟶ 165:
{{kotak mulai}}
{{s-reg}}
{{S-bef|before=[[Susuk Tunggal]]<br><small>[[Kerajaan Sunda|Raja Sunda]]}}
{{kotak suksesi|jabatan=[[Kerajaan Sunda|Raja Sunda-Galuh]]|pendahulu=Dewa Niskala<br>Susuktunggal|pengganti=[[Surawisesa]]|tahun=[[1482]]–[[1521]]}}
{{S-ttl|rows=4|title=[[Kerajaan Sunda Galuh|Raja Sunda-Galuh<br>(Pajajaran)]]|years=1482–1521}}
{{S-aft|rows=4|after=[[Surawisesa]]}}
{{S-bef|before=[[Dewa Niskala]]<br><small>[[Kerajaan Galuh|Raja Galuh]]}}
{{kotak selesai}}