Soedirman: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(148 revisi perantara oleh 75 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{redirect|Sudirman|tokoh lainnya|Sudirman (disambiguasi)}}
{{Infobox
| honorific_prefix = {{ubl|[[Jenderal Besar (Indonesia)|Jenderal Besar]]|[[Raden]]}}
|
|
|
| office = Panglima Tentara Nasional Indonesia{{!}}Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat
| term_start = 12 November 1945
|
|
| predecessor = {{ubl|[[Soeprijadi]] (tidak pernah menjabat)|[[Oerip Soemohardjo]] (pelaksana)}}
|
| birth_date = {{birth date|1916|01|24|df=yes}}{{efn|name=A}}
| birth_place = [[Kabupaten Purbalingga|Purbalingga]], [[Jawa Tengah]], [[Hindia Belanda]]
|
| death_place = [[Kabupaten Magelang|Magelang]], [[Jawa Tengah]], [[Indonesia]]
| resting_place = [[Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara]]
| spouse = {{marriage|Siti Alfiah|1936}}
| signature = Signature of Sudirman.svg
| allegiance = {{ubl|{{flag|Kekaisaran Jepang}}|{{flag|Indonesia}}}}
| branch = {{ubl|{{flagicon image|Flag of PETA (Pembela Tanah Air).svg}} [[Pembela Tanah Air]]|{{flagicon image|Flag of the Indonesian Army.svg}} [[Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat|TNI Angkatan Darat]]}}
| serviceyears = 1944–1950
| rank = {{ubl|[[File:21-TNI Army-LG.svg|25px]] [[Letnan Jenderal]] (saat kematian)|[[File:22-TNI Army-GEN.svg|25px]] [[Jenderal (Indonesia)|Jenderal]] (anumerta)|[[File:23-TNI_Army-GA.svg|25px]] [[Jenderal Besar (Indonesia)|Jenderal Besar]] (1997)}}
| commands = {{ubl|Batalyon [[Pembela Tanah Air|PETA]], [[Banyumas]]|[[Tentara Keamanan Rakyat|TKR]] Divisi V, Banyumas|[[Tentara Nasional Indonesia]]}}
| battles = {{tree list}}
* [[Perang Dunia II]]
* [[Revolusi Nasional Indonesia]]
** [[Palagan Ambarawa]]
** [[Agresi Militer Belanda I|Operasi Produk]]
** [[Pemberontakan PKI 1948]]
** [[Agresi Militer Belanda II|Operasi Gagak]]
** [[Serangan Umum 1 Maret 1949]]
* [[Pemberontakan Darul Islam]]{{tree list/end}}
| mawards = [[Pahlawan Nasional Indonesia]] ([[anumerta]], 1964)
}}
[[Jenderal Besar (Indonesia)|Jenderal Besar]] [[Tentara Nasional Indonesia|TNI]] ([[Anumerta]]) [[Raden]] '''Soedirman''' ([[EYD]]: '''Sudirman'''; {{lahirmati|[[Purbalingga]]|24|1|1916|[[Magelang]]|29|1|1950}}{{efn|name=A}}) adalah seorang perwira tinggi [[Indonesia]] pada masa [[Revolusi Nasional Indonesia]]. Sebagai [[Jenderal Besar (Indonesia)|Panglima Besar]] [[Tentara Nasional Indonesia]] pertama, ia adalah sosok yang dihormati di Indonesia. Terlahir dari pasangan [[wong cilik|rakyat biasa]] di [[Purbalingga]], Soedirman diadopsi oleh pamannya yang seorang [[priyayi]]. Setelah keluarganya pindah ke [[Cilacap]] pada 1916, Soedirman tumbuh menjadi seorang siswa rajin; ia aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler, termasuk program kepanduan yang dijalankan [[Muhammadiyah]]. Ia juga menunjukkan kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi. Soedirman sangat dihormati oleh masyarakat karena ketaatannya pada Islam. Setelah berhenti kuliah keguruan, pada 1936 ia mulai bekerja sebagai seorang guru, dan kemudian mengepalai sekolah dasar Muhammadiyah; ia juga aktif dalam kegiatan Muhammadiyah lainnya dan menjadi pemimpin Kelompok [[Pemuda Muhammadiyah]] pada 1937. Setelah [[Pendudukan Jepang di Indonesia|Jepang menduduki Hindia Belanda]] pada 1942, Soedirman tetap mengajar. Pada 1944, ia bergabung dengan tentara [[Pembela Tanah Air]] (PETA) yang disponsori Jepang, menjabat sebagai komandan batalion di [[Banyumas]]. Selama menjabat, Soedirman bersama rekannya sesama prajurit melakukan pemberontakan, hingga kemudian diasingkan ke [[Bogor]].
Setelah [[Proklamasi kemerdekaan Indonesia|Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya]] pada
Pada tanggal 19 Desember 1948, beberapa hari setelah Soedirman keluar dari rumah sakit, Belanda melancarkan [[Agresi Militer II]] untuk menduduki Yogyakarta.
Kematian Soedirman menjadi duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Bendera setengah tiang dikibarkan dan ribuan orang berkumpul untuk menyaksikan prosesi upacara pemakaman. Soedirman terus dihormati oleh rakyat Indonesia. Perlawanan gerilyanya ditetapkan sebagai sarana pengembangan ''[[esprit de corps]]'' bagi tentara Indonesia, dan rute gerilya sepanjang {{convert|100|km|adj=on}} yang ditempuhnya harus diikuti oleh [[taruna]] Indonesia sebelum lulus dari [[Akademi Militer]]. Soedirman ditampilkan dalam uang kertas [[rupiah]] keluaran 1968, dan namanya diabadikan menjadi nama sejumlah jalan, universitas, museum, dan monumen. Pada tanggal 10 Desember 1964, ia ditetapkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]].
== Kehidupan awal ==
Soedirman lahir dari pasangan Karsid Kartawiraji dan Siyem saat pasangan ini tinggal di rumah saudari Siyem yang bernama Tarsem di [[
Soedirman dibesarkan dengan cerita-cerita kepahlawanan, juga diajarkan etika dan tata krama [[priyayi]],{{sfn|Adi|2011|p=3}} serta etos kerja dan kesederhanaan
Pada tahun kelimanya bersekolah, Soedirman diminta untuk berhenti sekolah sehubungan dengan ejekan yang diterimanya di sekolah milik pemerintah;{{efn|{{harvtxt|Adi|2011|p=3}} Soedirman mungkin diejek karena latar belakangnya, sebagian besar teman-teman sekelasnya pasti berasal dari keluarga bangsawan tua atau orang-orang yang memiliki hubungan yang kuat dengan Belanda.}} permintaan ini awalnya ditolak, namun Soedirman dipindahkan ke sekolah menengah milik [[Taman Siswa]] pada tahun ketujuh sekolah.{{sfn|Adi|2011|p=3}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=16–17}}{{sfn|Imran|1980|p=10}} Pada tahun kedelapan, Soedirman pindah ke Sekolah Menengah Wirotomo{{efn|Wirotomo secara harfiah berarti "gerbang utama" {{harv|Sardiman|2008|p=19}}.}} setelah sekolah Taman Siswa ditutup oleh [[Ordonansi Sekolah Liar]] karena diketahui tidak terdaftar.{{sfn|Imran|1980|p=10}}{{sfn|Adi|2011|p=4}}{{sfn|Sardiman|2008|p=18}} Kebanyakan guru Soedirman di Wirotomo adalah [[Kebangkitan Nasional Indonesia|nasionalis Indonesia]], yang turut mempengaruhi pandangannya terhadap penjajah Belanda.{{sfn|Adi|2011|p=4}} Soedirman belajar dengan tekun di sekolah; gurunya Suwarjo Tirtosupono menyatakan bahwa Soedirman sudah mempelajari pelajaran tingkat dua
Saat bersekolah di Wirotomo, Soedirman adalah anggota Perkumpulan Siswa Wirotomo, klub drama, dan kelompok musik.{{sfn|Sardiman|2008|p=22}} Ia membantu mendirikan cabang Hizboel Wathan, sebuah organisasi [[Organisasi Kepanduan Sedunia|Kepanduan Putra]] milik [[Muhammadiyah]]. Soedirman menjadi pemimpin Hizboel Wathan cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo;{{sfn|Adi|2011|pp=7–9}}{{sfn|Sardiman|2008|p=39}} tugasnya adalah menentukan dan merencanakan kegiatan kelompoknya. Soedirman menekankan perlunya pendidikan agama, bersikeras bahwa kontingen dari Cilacap harus menghadiri konferensi Muhammadiyah di seluruh Jawa.{{sfn|Sardiman|2008|p=46}} Ia mengajari para anggota muda Hizboel Wathan{{efn|Hizboel Wathan terbuka bagi anak-anak yang berusia tujuh tahun. {{harv|Sardiman|2008|p=37}}.}} tentang sejarah Islam dan pentingnya moralitas, sedangkan pada anggota yang lebih tua ia berlakukan disiplin militer.{{sfn|Sardiman|2008|pp=48–49}}
Baris 76 ⟶ 61:
[[Berkas:Capture of Governor-General Stachouwer.JPG|jmpl|250px|alt=Two Dutch men enter an internment camp, one in a white suit and the other in a military uniform|Gubernur Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan Jenderal [[Hein ter Poorten]] dibawa ke sebuah kamp penahanan, keduanya menyerah setelah tentara Jepang menyerang pada tanggal 9 Maret 1942, yang berlanjut ke [[Sejarah Nusantara (1942-1945)|pendudukan selama tiga setengah tahun]].]]
Ketika [[Perang Dunia II]] pecah di Eropa, diperkirakan bahwa Jepang, yang telah bergerak mendekati
[[Sejarah Nusantara (1942-1945)|Jepang mulai menduduki Hindia]] pada awal 1942 setelah memenangkan beberapa pertempuran melawan pasukan Belanda dan tentara ''[[Koninklijk Nederlands-Indische Leger]]'' (KNIL) yang dilatih oleh Belanda. Pada 9 Maret 1942, Gubernur Jenderal [[Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer|Tjarda van Starkenborgh Stachouwer]] dan Jenderal KNIL [[Hein ter Poorten]] menyerah. Peristiwa ini menimbulkan perubahan drastis dalam pemerintahan
Pada awal 1944, setelah menjabat selama satu tahun sebagai perwakilan di dewan karesidenan yang dijalankan oleh Jepang (''Syu Sangikai''),{{sfn|Imran|1980|pp=21–22}} Soedirman diminta untuk bergabung dengan tentara [[Pembela Tanah Air]] (PETA). Jepang sendiri mendirikan PETA pada Oktober 1943 untuk membantu menghalau invasi [[Sekutu (Perang Dunia II)|Sekutu]],{{sfn|Imran|1980|pp=21–22}}{{sfn|Adi|2011|pp=28–30}} dan berfokus dalam merekrut para pemuda yang belum "terkontaminasi" oleh pemerintah Belanda.{{sfn|Said|1991|p=6}} Meskipun sempat ragu-ragu, terutama karena cedera lutut yang dialaminya ketika masih remaja, Soedirman akhirnya setuju untuk memulai pelatihan di [[Bogor]], [[Jawa Barat]]. Sehubungan dengan posisinya di masyarakat, Soedirman dijadikan sebagai komandan (''daidanco'') dan dilatih bersama orang lain dengan pangkat yang sama. Di Bogor, ia dilatih oleh para perwira dan tentara Jepang, para taruna dipersenjatai dengan peralatan yang disita dari Belanda. Setelah empat bulan pelatihan, Soedirman ditempatkan di batalion Kroya, Banyumas, Jawa Tengah, tidak jauh dari Cilacap.{{efn|Pangkat seorang perwira didasarkan pada kedudukannya dalam masyarakat. Perwira tingkat terendah, pemimpin peleton yang disebut ''shodanco'', adalah para lulusan baru. Komandan, yang disebut ''cudanco'', diambil dari warga masyarakat. Komandan batalion diambil dari tokoh-tokoh yang dihormati dalam masyarakat {{harv|Sardiman|2008|p=109}}. {{harvtxt|Said|1991|p=56}} menulis bahwa ''daidanco'' berfungsi sebagai figur pemimpin dan motivator, dan pelatihan militer yang diterimanya lebih sedikit. Soedirman terus menjabat sebagai ''daidanco'' pada masa revolusi.}}{{sfn|Imran|1980|pp=21–22}}{{sfn|Adi|2011|pp=28–30}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=109–112}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=36}}
Baris 88 ⟶ 73:
[[Berkas:Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman.jpg|250px|jmpl|alt=A photograph of a low building with a flagpole in front; its walls are painted green.|Rumah dinas Soedirman di Yogyakarta; saat ini menjadi [[Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman|Museum Sasmitaloka]].]]
Setelah berita tentang [[pengeboman Hiroshima dan Nagasaki]] mencapai Hindia pada awal Agustus 1945, yang kemudian diikuti oleh [[proklamasi kemerdekaan Indonesia]] pada tanggal 17 Agustus,{{sfn|Adi|2011|p=32}} kontrol Jepang sudah mulai melemah. Soedirman memimpin pelarian dari pusat penahanan di Bogor. Meskipun rekannya sesama tahanan ingin menyerang tentara Jepang, Soedirman menentang hal itu. Setelah memerintahkan yang lainnya untuk kembali ke kampung halamannya, Soedirman berangkat menuju [[Jakarta]] dan bertemu dengan Presiden [[Soekarno]], yang memintanya untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan Jepang di kota. Karena tidak terbiasa dengan lingkungan Jakarta, Soedirman menolaknya, ia malah menawarkan diri untuk memimpin pasukan di Kroya. Soedirman bergabung dengan pasukannya pada tanggal 19 Agustus 1945.{{sfn|Adi|2011|pp=33–34}}{{sfn|Sardiman|2008|pp=121–122}}
Pada tanggal 22 Agustus 1945, [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia]] (PPKI) dalam sidangnya memutuskan untuk membentuk tiga badan sebagai wadah untuk menyalurkan potensi perjuangan rakyat. Badan tersebut adalah [[Komite Nasional Indonesia Pusat|Komite Nasional Indonesia]] (KNI), [[Partai Nasional Indonesia]] (PNI), dan [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR).{{sfn|TNI|2000|p=1}} BKR merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang semula bernama Badan Pembantu Prajurit, dan kemudian menjadi Badan Pembantu Pembelaan (BPP). BPP sudah ada sejak zaman Jepang dan bertugas memelihara kesejahteraan anggota-anggota tentara PETA dan [[Heiho|Heihō]].{{sfn|TNI|2000|p=1}} Pada tanggal 18 Agustus 1945, Jepang membubarkan PETA dan Heihō. Tugas untuk menampung mantan anggota PETA dan Heihō ditangani oleh BPKKP.{{sfn|Nasution|1963|p=106}} Pembentukan BKR merupakan perubahan dari hasil sidang PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 yang telah memutuskan untuk membentuk Tentara Kebangsaan, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.{{sfn|TNI|2000|p=1}} BKR ini berfungsi sebagai organisasi kepolisian,{{sfn|Anderson|2005|pp=103–106}} terutama karena pemimpin politik saat itu yang berniat memanfaatkan diplomasi sebagai sarana penggalangan bantuan internasional terhadap negara baru, dan juga untuk memungkinan tentara Jepang melihatnya sebagai sebuah ancaman bersenjata sehingga mencegah kemunculan tentara Jepang yang masih ada di nusantara.{{sfn|Said|1991|p=11}}
Baris 94 ⟶ 79:
Soedirman dan beberapa rekannya sesama tentara PETA mendirikan cabang BKR di Banyumas pada akhir Agustus, setelah sebelumnya singgah di Kroya dan mengetahui bahwa batalion di sana telah dibubarkan. Dalam pertemuannya dengan komandan wilayah Jepang, Saburo Tamura, dan [[karesidenan|Residen]] Banyumas, Iwashige, Soedirman dan Iskak Cokroadisuryo memaksa Jepang untuk menyerahkan diri dan memberikan senjata mereka, sementara kerumunan warga Indonesia bersenjata mengepung kamp Jepang. Sebagian besar senjata ini kemudian digunakan oleh unit BKR Soedirman, menjadikan unitnya sebagai salah satu unit dengan senjata terbaik di Indonesia; sisa senjata juga dibagikan kepada batalion lain.{{sfn|Adi|2011|pp=42–43}}{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}}{{sfn|Sardiman|2008|p=123}}{{sfn|Said|1991|p=13}}
Sebagai negara yang baru merdeka dan belum memiliki militer yang
Pada tanggal 12 November 1945, dalam pertemuan pertama TKR, Soedirman terpilih sebagai pemimpin TKR setelah melalui pemungutan suara buntu dua tahap. Pada tahap ketiga, Oerip mengumpulkan 21 suara, sedangkan Soedirman unggul dengan 22 suara; para komandan divisi [[
[[Berkas:Dharma Wiratama Museum 04.jpg|250px|jmpl|alt=A photograph of a low building with a flagpole in front; its walls are painted green.|Markas TKR pertama, terletak di Gondokusuman, Yogyakarta; saat ini menjadi [[Museum Dharma Wiratama]].]]
Baris 104 ⟶ 89:
Pertempuran Ambarawa membuat Soedirman lebih diperhatikan di tingkat nasional,{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} dan membungkam bisik-bisik yang menyatakan bahwa ia tidak layak menjadi pemimpin TKR karena kurangnya pengalaman militer dan pekerjaannya sebelumnya adalah guru sekolah.{{sfn|Sardiman|2008|p=216}} Pada akhirnya, Soedirman dipilih karena kesetiaannya yang tidak diragukan, sementara kesetiaan Oerip kepada Belanda dipandang dengan penuh kecurigaan. Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR pada tanggal 18 Desember 1945.{{sfn|Adi|2011|p=50}} Posisinya sebagai kepala Divisi V digantikan oleh Kolonel Sutiro,{{sfn|Sardiman|2008|pp=126–127}} dan mulai berfokus pada masalah-masalah strategis.{{sfn|Sardiman|2008|p=142}} Hal yang dilakukannya antara lain dengan membentuk dewan penasihat, yang bertugas memberikan saran mengenai masalah-masalah politik dan militer.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|pp=59–61}} mencatat bahwa setelah perang, banyak pemimpin militer dan politik Indonesia yang menyatakan bahwa mereka pernah bertugas di dewan ini}} Oerip sendiri menangani masalah-masalah militer.{{sfn|Said|1991|pp=59–61}}
Bersama-sama, Soedirman dan Oerip mampu mengurangi perbedaan dan rasa ketidakpercayaan yang tumbuh di antara mantan tentara KNIL dan PETA, meskipun beberapa tentara tidak bersedia tunduk kepada militer pusat, dan lebih memilih untuk mengikuti komandan batalion pilihan mereka. Pemerintah mengganti nama Angkatan Perang sebanyak dua kali pada Januari 1946, yang pertama adalah Tentara Keselamatan Rakjat, kemudian diganti lagi menjadi Tentara Repoeblik Indonesia (TRI).{{sfn|Anderson|2005|pp=372–373}}{{sfn|Adi|2011|p=51}}{{sfn|Said|1991|p=44}} Pergantian nama ini diakhiri dengan membentuk secara resmi [[TNI AL|angkatan laut]] dan [[TNI AU|angkatan udara]] pada awal 1946.{{sfn|Adi|2011|p=51}} Sementara itu, pemerintah Indonesia memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta – sekarang di bawah kontrol Belanda – ke Yogyakarta pada bulan Januari; delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri [[Sutan Sjahrir]] melakukan negosiasi dengan Belanda pada bulan April dan Mei terkait dengan pengakuan kedaulatan Indonesia, namun tidak berhasil.{{sfn|Adi|2011|p=53}} Pada tanggal 25 Mei, Soedirman dikukuhkan kembali sebagai panglima besar setelah reorganisasi dan perluasan militer.{{sfn|Adi|2011|p=51}}{{sfn|Anderson|2005|pp=372–373}}{{sfn|Imran|1983|pp=80–81}} Dalam upacara pengangkatannya, Soedirman bersumpah untuk melindungi republik "sampai titik darah penghabisan."{{efn|Asli: "''... sampai titi' darah jang penghabisan.''"}}{{sfn|Imran|1980|p=35}} Menteri Pertahanan yang berhaluan kiri, [[Amir
=== Negosiasi dengan Belanda ===
Baris 111 ⟶ 96:
Sementara itu, Sjahrir terus berusaha bernegosiasi dengan pasukan Sekutu. Pada tanggal 7 Oktober 1946, Sjahrir dan mantan Perdana Menteri Belanda, [[Wim Schermerhorn]], sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Perundingan ini dimoderatori oleh diplomat Inggris [[Miles Lampson|Lord Killearn]], dan juga melibatkan Soedirman. Ia berangkat ke Jakarta dengan menggunakan kereta khusus pada tanggal 20 Oktober. Namun, ia diperintahkan untuk kembali ke Yogyakarta setelah tentara Belanda tidak mengizinkan dirinya dan anak buahnya memasuki Jakarta dengan bersenjata. Soedirman merasa bahwa perintah tersebut melanggar harga dirinya; Belanda kemudian meminta maaf, menyatakan bahwa peristiwa ini hanyalah kesalahpahaman. Soedirman berangkat dengan kereta lainnya pada akhir Oktober, dan tiba di [[Stasiun Gambir]] pada tanggal 1 November. Di Jakarta, ia disambut oleh kerumunan besar.{{sfn|Adi|2011|pp=60–61}}{{sfn|Sardiman|2008|p=151}} Perundingan di Jakarta berakhir dengan perumusan [[Perjanjian Linggarjati]] pada tanggal 15 November; perjanjian ini disahkan pada 25 Maret 1947, meskipun ditentang oleh para nasionalis Indonesia.{{sfn|Britannica, Linggadjati Agreement}}{{sfn|Adi|2011|p=66}} Soedirman secara lantang juga menentang perjanjian tersebut karena ia tahu bahwa perjanjian itu akan merugikan kepentingan Indonesia,{{sfn|Imran|1980|pp=38–40}} namun menganggap dirinya juga wajib mengikuti perintah.{{sfn|Sardiman|2008|p=155}}
Pada awal 1947, kondisi sudah relatif damai setelah Perjanjian Linggarjati. Soedirman mulai berupaya untuk mengonsolidasikan TKR dengan berbagai laskar. Dalam upayanya ini, Soedirman mulai melaksanakan reorganisasi militer; kesepakatan baru bisa tercapai pada Mei 1947, dan pada 3 Juni 1947, [[Tentara Nasional Indonesia]] (TNI) diresmikan. TNI terdiri dari TKR dan tentara dari berbagai kelompok laskar,{{sfn|Imran|1980|pp=38–40}} yang berhasil dirangkul Soedirman setelah mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan oleh partai-partai politik.{{sfn|Said|1991|p=67}} Namun, gencatan senjata yang berlangsung pasca Perjanjian Linggarjati tidak bertahan lama. Pada tanggal 21 Juli 1947, tentara Belanda –yang telah menduduki wilayah peninggalan Inggris selama penarikan mereka – melancarkan [[Agresi Militer Belanda I|Agresi Militer]], dan dengan cepat berhasil menguasai sebagian besar Jawa dan
[[Berkas:Van Mook.png|jmpl|250px|alt=A map of Java; parts of the map are highlighted red.|[[Garis Van Mook]], wilayah yang dikendalikan oleh Indonesia ditandai dengan warna merah;{{sfn|Kahin|1952|p=223}} pada 1947 Soedirman terpaksa menarik kembali lebih dari 35.000 tentara dari wilayah taklukan Belanda.]]
Setelah ditekan oleh [[PBB]], yang memandang situasi di bekas Hindia dengan remeh, pada 29 Agustus 1947 Belanda menciptakan [[Garis Van Mook]]. Garis ini membagi wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Belanda dan Indonesia. Di sepanjang garis ini, gencatan senjata diberlakukan.{{sfn|Kahin|1952|pp=218–221}} Soedirman memanggil para gerilyawan Indonesia yang bersembunyi di wilayah taklukan Belanda, memerintahkan mereka agar kembali ke wilayah yang dikuasai Indonesia. Untuk tetap mengobarkan semangat mereka, ia menyebut penarikan ini dengan [[hijrah]], merujuk pada perjalanan nabi [[Muhammad]] ke [[Madinah]] pada tahun 622 M, dan meyakinkan bahwa mereka akan kembali.{{sfn|Adi|2011|pp=77–78}} Lebih dari 35.000 tentara meninggalkan Jawa bagian barat dan berangkat menuju Yogyakarta dengan menggunakan kereta dan kapal laut.{{sfn|Adi|2011|pp=79–80}} Perbatasan ini diresmikan melalui [[Perjanjian Renville]] pada 17 Januari 1948; penandatangan perjanjian ini di antaranya adalah Amir Sjarifuddin, yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri.{{sfn|Kahin|1952|pp=218–221}}
Dengan adanya program ini, pada tanggal 2 Januari 1948 Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No.1 Tahun 1948, yang memecah pucuk pimpinan TNI menjadi Staf Umum Angkatan Perang dan Markas Besar Pertempuran. Staf Umum dimasukkan ke dalam Kementerian Pertahanan di bawah seorang Kepala Staf Angkatan Perang (KASAP). Sementara itu, Markas Besar Pertempuran dipimpin oleh seorang Panglima Besar Angkatan Perang Mobil. Pucuk pimpinan TNI dan Staf Gabungan Angkatan Perang beserta seluruh perwira militer dihapus, dan pangkatnya diturunkan satu tingkat. Presiden kemudian mengangkat [[Soerjadi Soerjadarma]] sebagai Kepala Staf Angkatan Perang dengan [[Kolonel]] [[T.B. Simatupang]] sebagai wakilnya. Sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil diangkat Soedirman. Staf Umum Angkatan Perang bertugas sebagai perencana taktik dan siasat serta berkoordinasi dengan Kementerian Pertahanan, sedangkan Staf Markas Besar Angkatan Perang Mobil adalah pelaksana taktis operasional.{{sfn|Nasution|1963|pp=130-132}}
[[Berkas:Sudirman sworn in 29 June 1947 KR.jpg|kiri|jmpl|250px|Pelantikan Soedirman di [[Istana Negara]].]]
Keputusan Presiden ini menimbulkan reaksi di kalangan angkatan perang. Pada tanggal 27 Februari 1948, presiden mengeluarkan Ketetapan Presiden No.9 Tahun 1948 yang membatalkan ketetapan yang lama. Dalam ketetapan yang baru ini, Staf Angkatan Perang tetap di bawah Soerjadi Soerjadarma, sedangkan Markas Besar Pertempuran tetap di bawah Soedirman, ditambah wakil panglima yaitu [[
Tak lama setelah itu, Sjafruddin digulingkan dalam [[mosi tidak percaya]] atas keterlibatannya dalam Perjanjian Renville, dan perdana menteri yang baru, [[
Setelah program rasionalisasi mereda, Sjarifuddin mulai mengumpulkan tentara dari [[Partai Sosialis Indonesia|Partai Sosialis]], [[Partai Komunis Indonesia|Partai Komunis]], dan anggota [[Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia]] untuk mengobarkan [[Revolusi komunis|revolusi proletar]] di [[Madiun]], [[Jawa Timur]], yang berlangsung pada tanggal 18 September 1948. Soedirman, yang saat itu sedang sakit, mengirim Nasution untuk memadamkan revolusi;{{sfn|Adi|2011|pp=82–84}} Soedirman juga mengirim dua perwira lainnya sebagai [[antena perdamaian]] sebelum serangan. Meskipun pemimpin revolusi, [[Muso]], telah sepakat untuk berdamai,{{sfn|Said|1991|p=77}} Nasution dan pasukannya berhasil menumpas pemberontakan pada 30 September.{{efn|Terjadi 'pembersihan' terhadap kelompok sayap kiri selama beberapa bulan. Sjarifuddin adalah salah satu di antara mereka yang dieksekusi karena terlibat dalam pemberontakan {{harv|Adi|2011|pp=82–84}}.}}{{sfn|Adi|2011|pp=82–84}} Soedirman mengunjungi Madiun tidak lama setelah pertempuran; ia mengatakan kepada istrinya bahwa ia tidak bisa tidur di sana karena pertumpahan darah yang terjadi.{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=25}}
[[Berkas:Panti Rapih Hospital Yogyakarta, Kota Jogjakarta 200 Tahun, plate before page 97.jpg |jmpl|250px|kiri|[[Rumah Sakit
Pemberontakan di Madiun, dan ketidakstabilan politik yang sedang berlangsung, melemahkan kondisi kesehatan Soedirman. Pada tanggal 5 Oktober 1948, setelah perayaan hari jadi TNI ketiga, Soedirman pingsan. Setelah diperiksa oleh berbagai dokter, ia didiagnosis mengidap [[tuberkulosis]] (TBC). Pada akhir bulan, ia dibawa ke [[Rumah Sakit Umum Panti Rapih]] dan menjalani pengempesan paru-paru kanan, dengan harapan bahwa tindakan ini akan menghentikan penyebaran penyakit tersebut. Selama di rumah sakit, ia melimpahkan sebagian tugas kepada Nasution. Mereka berdua terus mendiskusikan rencana untuk berperang melawan Belanda, dan Soedirman secara rutin menerima laporan. Mereka sepakat bahwa [[perang gerilya]], yang telah diterapkan di wilayah taklukan Belanda sejak bulan Mei, adalah perang yang paling cocok bagi kepentingan mereka; untuk mewujudkan hal ini, Soedirman mengeluarkan perintah umum pada 11 November,{{sfn|Adi|2011|pp=85–87}}{{sfn|Sardiman|2008|p=164}} dan persiapannya ditangani oleh Nasution.{{efn|dalam peristiwa pemerintahan pusat dikuasai, rencana ini memungkinkan pembentukan pemerintahan yang didominasi oleh militer di Jawa dan dipimpin oleh kantor pusat. Rencana ini akhirnya dimulai setelah Agresi Militer Belanda II {{harv|Said|1991|pp=102–105}}.}}{{sfn|Said|1991|p=101}} Soedirman dipulangkan dari rumah sakit pada tanggal 28 November 1948.{{sfn|Adi|2011|pp=85–87}}{{sfn|Sardiman|2008|p=164}}
Baris 163 ⟶ 148:
Serangan Belanda yang berkelanjutan menyebabkan Soedirman harus mengganti pakaiannya dan memberikan pakaian lamanya pada salah seorang prajuritnya, Letnan Heru Kesser –yang memiliki kemiripan dengan Soedirman.{{sfn|Adi|2011|pp=102–105}}{{sfn|Imran|1980|p=64}}{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=28}} Kesser diperintahkan untuk menuju selatan bersama sekompi besar tentara, mengganti pakaiannya, dan diam-diam kembali ke utara, sedangkan Soedirman menunggu di Karangnongko. Pengalihan ini berhasil, dan pada 27 Desember, Soedirman dan anak buahnya bergerak menuju Desa Jambu dan tiba pada 9 Januari 1949. Di sana, Soedirman bertemu dengan beberapa menteri yang tidak berada di Yogyakarta saat penyerangan: Supeno, Susanto Tirtoprojo, dan Susilowati. Bersama para politisi ini, Soedirman berjalan ke Banyutuwo sambil memerintahkan beberapa tentaranya untuk menahan pasukan Belanda. Di Banyutuwo, mereka menetap selama seminggu lebih. Namun, pada 21 Januari, tentara Belanda mendekati desa. Soedirman dan rombongannya terpaksa meninggalkan Banyutuwo, berjuang menembus jalan dalam hujan lebat.{{sfn|Adi|2011|pp=102–105}}
[[Berkas:Lukisan Sudirman Ditandu.jpg|jmpl|400x400px|Lukisan pahlawan Jenderal Soedirman saat [[Agresi Militer Belanda II]] oleh Hardjanto.]]
Soedirman dan pasukannya terus melakukan perjalanan melewati hutan dan rimba, akhirnya tiba di Sobo, di dekat [[Gunung Lawu]], pada tanggal 18 Februari. Selama perjalanannya ini, Soedirman menggunakan sebuah radio untuk memberi perintah pada pasukan TNI setempat jika ia yakin bahwa daerah itu aman. Merasa lemah karena kesulitan fisik yang ia hadapi, termasuk perjuangannya melewati hutan dan kekurangan makanan, Soedirman yakin bahwa Sobo aman dan memutuskan untuk menggunakannya sebagai markas gerilya.{{sfn|Adi|2011|pp=106–107}}{{sfn|Imran|1980|p=65}} Komandan tentara setempat, Letnan Kolonel Wiliater Hutagalung, berperan sebagai perantara antara dirinya dengan pemimpin TNI lain. Mengetahui bahwa opini internasional yang mulai mengutuk tindakan Belanda di Indonesia bisa membuat Indonesia menerima pengakuan yang lebih besar, Soedirman dan Hutagalung mulai membahas kemungkinan untuk melakukan serangan besar-besaran.{{sfn|Adi|2011|pp=108–110}} Sementara itu, Belanda mulai menyebarkan propaganda yang mengklaim bahwa mereka telah menangkap Soedirman; propaganda tersebut bertujuan untuk mematahkan semangat para gerilyawan.{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}}{{sfn|McGregor|2007|p=138}}
Soedirman memerintahkan Hutagalung untuk mulai merencanakan serangan besar-besaran, dengan prajurit TNI berseragam akan menyerang Belanda dan mununjukkan kekuatan mereka di depan wartawan asing dan tim investigasi PBB. Hutagalung, bersama para prajurit dan komandannya, Kolonel Bambang Sugeng, serta pejabat pemerintahan di bawah pimpinan Gubernur [[Wongsonegoro]], menghabiskan waktu beberapa hari dengan membahas cara-cara untuk memastikan agar serangan itu berhasil.{{sfn|Adi|2011|pp=108–110}} Pertemuan ini menghasilkan rencana [[Serangan Umum 1 Maret 1949]]; pasukan TNI akan menyerang pos-pos Belanda di seluruh Jawa Tengah. Pasukan TNI di bawah komando Letnan Kolonel [[Soeharto]] berhasil merebut kembali Yogyakarta dalam waktu enam
[[Berkas:Sudirman consulting after guerrila war 11 July 1949 KR.jpg|jmpl|alt=Four men seated around a small, round table|Soedirman (kiri), berkonsultasi dengan Letnan Kolonel [[Soeharto]] di Sobo]]
Baris 172 ⟶ 157:
Karena semakin meningkatnya tekanan dari PBB, pada 7 Mei 1949 Indonesia dan Belanda menggelar perundingan, yang menghasilkan [[Perjanjian Roem-Royen]]. Perjanjian ini menyatakan bahwa Belanda harus menarik pasukannya dari Yogyakarta, beserta poin-poin lainnya;{{efn|Perjanjian ini pada awalnya ditentang baik oleh militer Indonesia maupun Belanda, namun akhirnya tetap disahkan {{harv|Said|1991|pp=116–118}}.}}{{sfn|Said|1991|pp=116–118}} Belanda mulai menarik pasukannya pada akhir Juni, dan para pemimpin Indonesia di pengasingan kembali ke Yogyakarta pada awal Juli. Soekarno lalu memerintahkan Soedirman untuk kembali ke Yogyakarta, tetapi Soedirman menolak untuk membiarkan Belanda menarik diri tanpa perlawanan; ia menganggap pasukan TNI pada saat itu sudah cukup kuat untuk mengalahkan pasukan Belanda. Meskipun ia dijanjikan akan diberi obat-obatan dan dukungan di Yogyakarta, Soedirman menolak untuk kembali ke kalangan politisi, yang menurutnya telah sepaham dengan Belanda. Soedirman baru setuju untuk kembali ke Yogyakarta setelah menerima sebuah surat, yang pengirimnya masih diperdebatkan.{{efn|{{harvtxt|Said|1991|p=119}} menyatakan bahwa surat itu ditulis oleh Hamengkubuwono IX dan diantarkan oleh Suharto, sedangkan {{harvtxt|Imran|1980|pp=75–80}} berpendapat bahwa surat itu dari bawahan sekaligus teman dekat Soedirman, Kolonel [[Gatot Soebroto]].}} Pada tanggal 10 Juli, Soedirman dan kelompoknya kembali ke Yogyakarta, mereka disambut oleh ribuan warga sipil dan diterima dengan hangat oleh para elit politik di sana.{{sfn|Imran|1980|pp=75–80}}{{sfn|Sardiman|2008|p=199}} Wartawan [[Rosihan Anwar]], yang hadir pada saat itu, menulis pada 1973 bahwa "Soedirman harus kembali ke Yogyakarta untuk menghindari anggapan adanya keretakan antar pemimpin tertinggi republik".{{sfn|Setiadi|Yuliawati|2012|p=47}}
== Pascaperang ==
Pada awal Agustus, Soedirman mendekati [[Soekarno]] dan memintanya untuk melanjutkan perang gerilya; Soedirman tidak percaya bahwa Belanda akan mematuhi [[Perjanjian Roem-Roijen|Perjanjian Roem-Royen]], belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya. Soekarno tidak setuju, yang menjadi pukulan bagi Soedirman. Soedirman menyalahkan
Soedirman terus berjuang melawan TBC dengan melakukan pemeriksaan di Panti Rapih.{{sfn|Imran|1980|pp=82–83}} Ia menginap di Panti Rapih menjelang akhir tahun, dan keluar pada bulan Oktober; ia lalu dipindahkan ke sebuah [[sanatorium]] di dekat Pakem.{{sfn|Sardiman|2008|p=203}} Akibat penyakitnya ini, Soedirman jarang tampil di depan publik.{{sfn|Imran|1980|p=84}}{{sfn|KR 1950, Pak Dirman Istirahat}}{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} Ia dipindahkan ke sebuah rumah di Magelang pada bulan Desember.{{sfn|KR 1950, Magelang Berkabung}}
=== Kematian ===
[[Berkas:Grave of Sudirman.JPG|jmpl|ka|alt=A grave with the text Sudirman on it|Makam Soedirman di [[Taman Makam Pahlawan Kusumanegara|Taman Makam Pahlawan Semaki]] Yogyakarta; makam ini telah menjadi tujuan para peziarah.]]
{{multiple image
| align = left
| direction = horizontal
| caption_align = center
|image1 = Indonesia state officials paid tribute to General Sudirman, 29 January 1950.jpg
|image2 = Sudirman's funeral procession 31 January 1950 KR.jpg
|footer = Jenazah Soedirman disemayamkan di rumahnya di Yogyakarta (kiri), dan Peti mati Soedirman dibopong oleh para tentara (kanan).}}
Soedirman meninggal dunia di Magelang pada pukul 18.30 malam pada tanggal 29 Januari 1950; kabar duka ini dilaporkan dalam sebuah siaran khusus di RRI.{{sfn|Imran|1980|p=84}} Setelah berita kematiannya disiarkan, rumah keluarga Soedirman dipadati oleh para pelayat, termasuk semua anggota Brigade IX yang bertugas di lingkungan tersebut. Keesokan harinya, jenazah Soedirman dibawa ke Yogyakarta, diiringi oleh konvoi pemakaman yang dipimpin oleh empat [[tank]] dan delapan puluh kendaraan bermotor,{{sfn|KR 1950, Perdjalanan Terachir}} dan ribuan warga yang berdiri di sisi jalan. Konvoi tersebut diselenggarakan oleh anggota Brigade IX.{{sfn|KR 1950, Magelang Berkabung}}
Jenazah Soedirman disemayamkan di [[Masjid Gedhe Kauman]] pada sore hari, yang dihadiri oleh sejumlah elit militer dan politik Indonesia maupun asing, termasuk Perdana Menteri [[
====
Surat kabar harian Yogyakarta, ''[[Kedaulatan Rakyat|Kedaulatan Rakjat]]'', menulis bahwa Indonesia telah kehilangan seorang "pahlawan yang jujur dan pemberani."{{efn|Asli: "''... seorang pahlawan jang djudjur dan berani''"}}{{sfn|KR 1950, Pak Dirman Istirahat}} Kolonel [[Paku Alam VIII]], yang bertanggung jawab atas wilayah Yogyakarta, mengatakan kepada kantor berita nasional [[ANTARA|Antara]] bahwa seluruh rakyat Indonesia, khususnya angkatan perang, telah "kehilangan seorang bapak yang tidak ternilai jasa-jasanya kepada tanah air".{{efn|Asli: "''... seluruh rakjat Indonesia umumnja dan angkatan perang chususnja, kehilangan seorang bapak jg tidak ternilai djasa2nja kepada tanah air ...''"}}{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} Tokoh Muslim Indonesia, [[Hamka|Haji Abdul Malik Karim Amrullah]], menggambarkan sosok Soedirman sebagai "lambang dari kebangunan jiwa pahlawan Indonesia",{{efn|Asli: "'' ... lambang dari kebangunan djiwa pahlawan Indonesia.''"}}{{sfn|Sardiman|2008|p=218}} sedangkan politisi Muslim [[Muhammad Isa Anshary]] menyatakan bahwa Soedirman adalah "putra revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi".{{efn|Asli: "''Putera revolusi, karena dia lahir dalam revolusi, dan dibesarkan oleh revolusi.}}{{sfn|Sardiman|2008|p=219}} Dalam sebuah pidato radio, Hatta mengungkapkan bahwa Soedirman adalah sosok yang tidak mungkin bisa dikendalikan dan keras kepala, tetapi tetap bertekad untuk melakukan yang benar bagi negara; Hatta berkata meskipun Soedirman tidak menyukai jabatan pemerintahan, ia secara umum tetap mematuhi perintahnya.{{sfn|KR 1950, Djenderal Sudirman Wafat}} Namun, Hamengkubuwono IX mengungkapkan bahwa tentara terlatih seperti [[Abdul Haris Nasution]] dan Tahi Bonar Simatupang kecewa terhadap Soedirman karena latar belakang dan pengetahuan teknik militernya yang buruk.{{sfn|Said|1991|p=55}}
== Warisan ==
[[Berkas:Jenderal Sudirman.jpg|jmpl|200px|Lukisan Soedirman oleh Hardjanto, dari koleksi pribadi milik [[Prabowo Subianto]].]]
[[Berkas:Indonesia 1968 5r o.jpg|jmpl|kiri|alt=A 5 rupiah banknote, with a picture of Sudirman on its left side|Soedirman pada uang kertas 5 [[rupiah]] keluaran 1968.]]
Opini modern yang berkembang di Indonesia mengenai Soedirman cenderung berupa pujian. Sardiman, seorang profesor sejarah di [[Universitas Negeri Yogyakarta]], menulis bahwa Soedirman hidup sebagai pembicara seperti Soekarno, yang dikenal karena pidatonya yang berapi-api,{{sfn|Sardiman|2008|p=93}} dan pemimpin yang berbakti dan tidak bisa disuap.{{sfn|Sardiman|2008|p=174}} Sejarawan Indonesia dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan [[Nugroho Notosusanto]] menggambarkan Soedirman sebagai "satu-satunya idolanya", menyatakan bahwa masa-masa gerilya sang jenderal adalah asal ''[[esprit de corps]]'' TNI.{{sfn|McGregor|2007|p=128}} Kampanye gerilya Soedirman lebih ditekankan dalam biografinya karena pada masa ini, angkatan perang memiliki peran yang lebih besar jika dibandingkan dengan pemimpin politik di pengasingan.{{sfn|McGregor|2007|p=128}} Sejak 1970-an, semua taruna militer harus menelusuri kembali rute gerilya Soedirman sepanjang {{convert|100|km|adj=on}} sebelum lulus dari Akademi Militer, bentuk "ziarah" yang bertujuan untuk menanamkan rasa perjuangan.{{sfn|McGregor|2007|p=130}} Makam Soedirman juga menjadi tujuan [[ziarah]], baik dari kalangan militer ataupun masyarakat umum.{{sfn|McGregor|2007|p=133}} Menurut Katharine McGregor dari [[Universitas Melbourne]], militer Indonesia telah memuliakan status Soedirman menjadi semacam orang suci.{{sfn|McGregor|2007|p=220}}
Soedirman telah menerima berbagai [[Daftar tanda kehormatan di Indonesia|tanda kehormatan dari pemerintah pusat]] secara anumerta, termasuk [[Bintang Sakti]], [[Bintang Gerilya]],{{sfn|Tjokropranolo|1992|p=327}} [[Bintang Mahaputra Adipurna]],{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Mahaputra Adipurna}} [[Bintang Mahaputra Pratama]],{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Mahaputra Pratama}} [[Bintang Republik Indonesia Adipurna]],{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipurna}} dan [[Bintang Republik Indonesia Adipradana]].{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Bintang Republik Indonesia Adipradana}}{{efn|bintang Sakti adalah tanda kehormatan militer tingkat tinggi bagi yang menunjukkan keberanian melampaui panggilan tugas {{harv|UU No. 20/2009|pp=4, 10, 23}}. Bintang Mahaputra adalah tanda kehormatan tingkat tinggi bagi orang-orang yang telah membantu pembangunan Indonesia, menjadi ahli dalam bidang tertentu, atau secara luas diakui atas pengorbanan mereka bagi negara {{harv|UU No. 20/2009|pp=4, 9, 23}}. Bintang Republik Indonesia adalah tanda kehormatan tertinggi yang diberikan bagi warga sipil {{harv|Saragih 2012, SBY bestows honors}}.}} Pada 10 Desember 1964, Soedirman ditetapkan sebagai [[Pahlawan Nasional Indonesia]] melalui Keputusan Presiden No. 314 Tahun 1964. Oerip juga dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh keputusan yang sama.{{sfn|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Daftar Nama Pahlawan}} Soedirman dipromosikan menjadi [[Jenderal Besar]] pada tahun 1997.{{sfn|McGregor|2007|p=139}}
Menurut McGregor, militer memanfaatkan sosok Soedirman sebagai simbol kepemimpinan setelah mereka meraih kekuasaan politik.{{sfn|McGregor|2007|p=127}} Gambar Soedirman ditampilkan dalam seri uang kertas [[rupiah]] terbitan 1968.{{efn|Ini termasuk pecahan 1, 2½, 5, 10, 25, 50, 100, 500, dan 1000 rupiah {{harv|Cuhaj|2012|pp=501–502}}.}} Soedirman juga ditampilkan sebagai karakter utama dalam beberapa film perang, termasuk ''[[Janur Kuning]]'' (1979) dan ''[[Serangan Fajar]]'' (1982).{{sfn|McGregor|2007|p=127}}
Baris 197 ⟶ 191:
Terdapat banyak museum yang didedikasikan untuk Soedirman. Rumah masa kecilnya di [[Purbalingga]] saat ini menjadi Museum Soedirman,{{sfn|Sardiman|2008|p=8}} sedangkan rumah dinasnya di Yogyakarta dijadikan [[Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman|Museum Sasmitaloka Jenderal Soedirman]].{{sfn|McGregor|2007|p=127}} Rumah kelahirannya di [[Magelang]] juga dijadikan Museum Soedirman, yang didirikan pada tanggal 18 Mei 1967 dan menyimpan barang-barang milik sang jenderal.{{sfn|Pemerintah Kota Magelang, Museum Sudirman}} Museum lainnya, termasuk [[Monumen Yogya Kembali]] di Yogyakarta dan [[Museum Satria Mandala]] di Jakarta, memiliki ruangan khusus yang didedikasikan untuk dirinya.{{sfn|McGregor|2007|p=127}} Sejumlah jalan juga dinamai sesuai namanya, termasuk sebuah [[Jalan Jenderal Sudirman (Jakarta)|jalan utama di Jakarta]];{{sfn|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}} McGregor menyatakan bahwa hampir setiap kota di Indonesia memiliki jalan bernama Soedirman. Patung dan monumen yang didedikasikan untuk dirinya juga tersebar di seluruh negeri, sebagian besarnya dibangun setelah tahun 1970.{{sfn|McGregor|2007|p=127}} [[Universitas Jenderal Soedirman]] di [[Purwokerto]], [[Banyumas]], didirikan pada 1963 dan dinamai sesuai namanya.{{sfn|Universitas Jenderal Soedirman, Tentang UNSOED}}
== Dalam budaya populer ==
* Dalam film ''[[Janur Kuning]]'' (1979), Soedirman diperankan oleh [[Deddy Sutomo]].
* Dalam film ''[[Jenderal Soedirman (film)|Jenderal Soedirman]]'' (2015), Soedirman diperankan oleh [[Adipati Dolken]].
== Catatan ==
Baris 210 ⟶ 207:
== Referensi ==
{{reflist|3}}
{{refbegin}}
* {{cite book
Baris 245 ⟶ 242:
}}
* {{cite web
|url=
|archiveurl=
|archivedate=
|accessdate=17 Juni 2012
|publisher=Universitas Jenderal Soedirman
|title=Tentang UNSOED
|ref={{sfnRef|Universitas Jenderal Soedirman, About UNSOED}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|title=Soedirman: Bapak Tentara Indonesia
Baris 346 ⟶ 344:
|work=Bintang Republik Indonesia
|publisher=Sekretariat Negara Republik Indonesia
|archiveurl=
|archivedate=
|accessdate=9 Mei 2012
|ref={{sfnRef|Sekretariat Negara Republik Indonesia, Daftar Nama Pahlawan}}
|dead-url=no
}}
* {{cite news
|title=Djenderal Sudirman Wafat
Baris 385 ⟶ 384:
|year=1952
|title=Nationalism and Revolution in Indonesia
|url=https://archive.org/details/nationalismrevol0000kahi
|publisher=Cornell University Press
|isbn=978-0-8014-9108-5
Baris 392:
* {{cite web
|url=http://www.britannica.com/EBchecked/topic/342368/Linggadjati-Agreement
|archiveurl=
|archivedate=
|accessdate=12 Juni 2012
|work=Encyclopedia Britannica
|title=Linggadjati Agreement
|ref={{sfnRef|Britannica, Linggadjati Agreement}}
|dead-url=no
}}
* {{cite news
|title=Magelang Berkabung
Baris 420 ⟶ 421:
|title=Museum Sudirman
|url=http://www.magelangkota.go.id/info-kota/pariwisata/wisata-pendidikan/museum-sudirman
|publisher=Pemerintah Kota Magelang
|accessdate=16 Juni 2012
|archivedate=
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Pemerintah Kota Magelang, Museum Sudirman}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|url=http://books.google.ca/books?id=WrkzPcxBnLMC
Baris 456 ⟶ 458:
|publisher=Pemerintah Kota Jakarta
|accessdate=9 Mei 2012
|archivedate=
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Pemerintah Kota Jakarta, Oerip Soemohardjo}}
|dead-url=yes
}}
* {{cite news
|title=Pa' Dirman Istirahat
Baris 502 ⟶ 505:
|work=The Jakarta Post
|date=13 August 2012
|archivedate=
|accessdate=26 August 2012
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Saragih 2012, SBY bestows honors}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
Baris 537 ⟶ 541:
|publisher=Pemerintah Kota Jakarta
|accessdate=16 Juni 2012
|archivedate=
|archiveurl=
|ref={{sfnRef|Pemerintah Kota Jakarta, Sudirman}}
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|title=Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia: Kisah Seorang Pengawal
Baris 562 ⟶ 567:
{{Pahlawan Nasional Indonesia}}
{{
{{Authority control}}
{{artikel pilihan}}
<!-- Penghargaan -->
Baris 591 ⟶ 597:
}}
{{DEFAULTSORT:Sudirman}}
[[Kategori:
[[Kategori:Artikel mengandung aksara Belanda]]
[[Kategori:
[[Kategori:Pahlawan nasional Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh militer Indonesia]]
[[Kategori:Tokoh TNI]]
[[Kategori:Tokoh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat]]
[[Kategori:Jenderal Indonesia]]
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh
[[Kategori:Tokoh Angkatan 45]]
[[Kategori:Penerima Bintang Republik Indonesia Adipurna]]
[[Kategori:Penerima Bintang Mahaputera Adipurna]]
[[Kategori:Penerima Bintang Gerilya]]
[[Kategori:Penerima Bintang Sakti]]
[[Kategori:Tokoh dari Purbalingga]]
|