'''Tarekat Wetu Telu''' ([[bahasa Indonesia]]: ''Tiga Waktu'') adalah sebuah [[tarekat]] [[Sufisme]] unik sebagian [[masyarakat]] [[suku Sasak]] yang mendiami [[pulau Lombok]] khususnya Lombok Utara dalam menjalankan agama [[Islam]]. Para pengikut tarekat ini juga percaya tentang adanya [[roh]] para [[nenek moyang]] dan kekuatan [[gaib]] pada benda-benda.<ref name=":5">https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/6054/5469</ref> Disinyalir bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada [[masa]] lampau, yakni para wali yang diutus oleh Giri Kedaton <ref>{{Cite web|last=Prinada|first=Yuda|title=Sejarah Giri Kedaton: Kerajaan Ulama Merdeka dari Majapahit|url=https://tirto.id/sejarah-giri-kedaton-kerajaan-ulama-merdeka-dari-majapahit-gclk|website=tirto.id|language=id|access-date=2023-06-06}}</ref>dari [[pulau Jawa]] yang berusaha mengenalkan [[Islam]] ke masyarakat Sasak secara bertahap.
{{Sedang ditulis}}
{{Aliran kepercayaan di Indonesia}} ▼
[[File:Bayan_Beleq_Mosque,_Lombok,_Indonesia.jpg|thumb|right|Penampakan [[Masjid Bayan Beleq]], salah satu masjid tarekat Wetu Telu]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De Poera Zinsar TMnr 60012475.jpg|jmpl|300px|Pura [[Lingsar, Lombok Barat]] di sekitar tahun 1920]]
'''Wetu Telu''' ([[bahasa Indonesia]]:''Waktu Tiga'') adalah praktik unik sebagian masyarakat [[suku Sasak]] yang mendiami [[pulau Lombok]] dalam menjalankan agama [[Islam]] yang hanya menjalankan tiga rukun Islam, yaitu: membaca dua kalimah syahadat, salat dan puasa. Ketiga rukun Islam tersebut, cukup dijalankan oleh kiai selakupemimpin agama yang menghubungkan mereka dengan Tuhan Allah. Mereka juga berkepercayaan tentang adanya roh sucipara nenek moyang dan kekuatan gaib pada benda-benda.<ref>https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/6054/5469</ref> Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak secara bertahap.<ref>{{Cite web|url=http://lombok.arjuna.web.id/id3/2431-2325/Islam-Wetu-Telu_26752_lombok-arjuna.html|title=Wetu Telu {{!}} BUKU ENSIKLOPEDIA DUNIA {{!}} Lombok - Arjuna|website=lombok.arjuna.web.id|access-date=2019-03-21}}</ref> Di pulau Lombok terdapat dua varian Islam yang dipisahkan secara diametral, yakni antara Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima. Islam Wetu Telu dapat dikatagorikan sebagai agama tradisional, sementara Islam Waktu Lima dikatagorikan agama samawi. Identifikasi Wetu Telu yang lebih mendekati agama tradisional ini, dan Waktu Lima yang lebih mendekati agama samawi bukanlah merupakan pemisahan total. Ada muatan-muatan nilai yang dipunyai Waktu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan do‘a-do‘a berbahasa Arab yang diambil dari al-Qur‘an, para kiai yang menjalankan peran sebagai imam, dan masjid merupakan bagian penting keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam universal.<ref>{{Cite journal|last=Zuhdi|first=Muhammad Harfin|date=2012-10-24|title=ISLAM WETU TELU DI BAYAN LOMBOK|url=http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/akademika/article/view/164|journal=AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam|language=en|volume=17|issue=2|pages=197–218|issn=2356-2420}}</ref>
== Istilah ==
Wetu Telu sendiri memiliki beberapa [[makna]].<ref name=":8" /> Pertama, Wetu Telu berarti tiga cara [[reproduksi]] [[makhluk]] hidup.<ref name=":8" /> Kedua, Wetu Telu berarti tiga sumber [[hukum]] dalam Islam.<ref name=":8" /> Ketiga, Wetu Telu berarti tiga masa perkembangan yang dilewati [[manusia]]. Wetu Telu yang merujuk pada tiga cara reproduksi makhluk hidup, yaitu ''menganak'' atau melahirkan, ''menteloq'' atau bertelur, dan ''mentioq'' atau bertunas.<ref name=":8" /><ref name=":8" /> Wetu Telu yang berkaitan dengan tiga sumber hukum memiliki kemiripan dengan Islam pada umumnya, yaitu [[Al-Qurán]], [[Al-Hadits]] dan [[Ijma]].<ref name=":8">{{Cite web|url=https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:olsRSFdPhOQJ:https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/5230/4669+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id|title=ISLAM SASAK: POLA KEBERAGAMAAN KOMUNITAS ISLAM LOKAL DI LOMBOK|website=webcache.googleusercontent.com|access-date=2019-03-21}}</ref> Makna ketiga dari Wetu Telu berkaitan dengan tiga tahap yang pasti dilalui oleh manusia, yaitu [[lahir]], [[hidup]] dan [[mati]].<ref name=":12"/> Hal ini menjadi dasar bagi orang-orang yang menganut kepercayaan Wetu Telu dalam melaksanakan berbagai [[upacara]] [[adat]].<ref name=":12"/> Secara umum, upacara adat Islam Wetu Telu dapat dibagi menjadi dua, yaitu ''Gawe Urip'' dan ''Gawe Pati''.<ref name=":12"/> ''Gawe Urip'' merupakan upacara yang berkenaan dengan kehidupan manusia, seperti upacara kelahiran ''ngurisang''<ref>{{Cite web|last=Kompasiana.com|date=2016-04-27|title=Budaya “Ngurisan”Masyarakat Suku Sasak|url=https://www.kompasiana.com/yandi12/57201b3e2f7a615405b2e66b/budaya-ngurisanmasyarakat-suku-sasak|website=KOMPASIANA|language=id|access-date=2023-06-06}}</ref> dan acara menikah. Serta ''Gawe Pati'' sendiri merupakan upacara yang berkenaan dengan kematian.<ref name=":12"/>
== Sejarah ==
Istilah ''Wetu Telu'' dikenal luas oleh publik melalui buku Dr. J. Van Ball yang ditulis pada [[tahun]] 1940 dengan judul ''Pesta Alip di Bayan'' (penerjemah:Koentjaraningrat).<ref Pestaname=":12">Budiwanti, Erni, 2000, ''AlipIslam Sasak: Wetu Telu Versus Waktu Lima'', LkiS,Jakarta</ref> Pesta Alip adalah [[acara]] adat yang dilaksanakan [[delapan]] tahun sekali yang bertujuan untuk memelihara keberadaan [[makam]] para leluhur [[Bayan]] di kompleks makam Masjid kuno Bayan.<ref name=":12"/> ''Wetu Telu'' juga sering disebut ''Sesepen'' berasal dari [[kata]] ''sesep'' atau ''meresap'' yang berarti [[pengetahuan]] atau ajaran yang diajarkan sampai tuntas.<ref name=":12"/> ''Sesepen'' sering disebut [[rahasia]] karena memang tidak banyak yang dapat memahaminya secara [[utuh]].<ref name=":12"/> Mereka yang siap dan mempunyai daya pikir yang baik saja yang diajarkan dan diberikan pemahaman lebih awal, sehingga mereka dapat memberikan pemahaman tuntas selanjutnya kepada generasi mendatang.<ref>Budiwanti, Erni, 2000, ''Islam Sasakname=": Wetu Telu Versus Waktu Lima'', LkiS,Jakarta<12"/ref> Pada masa awal kemunculannya, Islam Wetu Telu [[lahir]] di tengah masyarakat [[tradisional]] (Suku Sasak), kemudian berkembang di tengah hiruk pikuk masyarakat [[global]].<ref name=":12"/> Pada satu sisi, [[globalisasi]] membentuk [[paradigma]] tentang hidup yang lebih [[modern,]] dan akibatnya ajaran-ajaran leluhur melalui [[tradisi]] mulai luntur.<ref name=":12"/> Pandangan tentang “ketinggalan''ketinggalan jaman”zaman'' lebih mendominasi ketimbang keyakinan atas majunya kebudayaan karena menghargai apa yang telah dicapai oleh leluhur di masa lampau danyang wajib dilestarikan.<ref name=":12"/> Islam Wetu Telu, namunmemiliki demikian,[[filosofi]] melaluihidup filosofiyaitu hidupnya: “Pantang''Pantang Melupakan Leluhur”Leluhur'', tetap bertahan di tengah derasnya arus modernitas tersebut.<ref Berdasarkan latar belakang di atas, maka artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan memaparkan sejarah awal kemunculan Islam Wetu Telu hingga saat ini dan menganalisis strategi kebudayaan melalui kesadaran historis pemeluk Islam Wetu Telu pada falsafah hidup “Pantang Melupakan Leluhur”.name=":12"/>
=== Awal mula ===
Pada abad ke-7, [[kerajaan]] [[Majapahit]] dari [[Jawa Timur]] masuk ke [[Lombok]] dan memperkenalkan Hindhu[[Agama Hindu|Hindu]]-Budhisme[[Budha]].<ref name=":9" /> Setelah dinasti Majapahit jatuhruntuh, Islam masuk pada abad ke-13 dari [[Barat laut]] melalui [[raja]]-raja [[Muslim Jawa]].<ref name=":9" /> Orang-orang [[Makasar]] pada abad ke-16 tiba di Lombok Timur dan mendakwahkan [[Sunni|Islam Sunni]].<ref name=":9" /> Mereka berhasil mengonversikanmengubah hampir seluruh [[orang Sasak]] keuntuk masuk dalam Islam, meski kebanyakan mereka masih mencampurkan Islam dengan kepercayaan [[lokal]] yang non-Islami.<ref name=":9" /> [[Kerajaan Bali]] menduduki [[Lombok Barat]] sekitar abad ke-17 dan pada tahun 1740 berhasil mengalahkan [[kerajaan Makasar]].<ref name=":9" /> [[Pemerintahan]] [[Bali]] memperlihatkan kearifan dan toleransi yang besar terhadap orang Sasak dengan membiarkan mereka mengikuti agama mereka sendiri.<ref name=":9" /> [[Tuan Guru]], merasa tertekan dan bergabung bersama-sama untuk memimpin banyak pemberontakan kecil melawan Bali,.<ref name=":9" /> kendatiKendati tidak berhasil. Kekalahan ini mendorong [[bangsawan]] Sasak meminta campur tangan [[militer]] [[Belanda]] untuk masuk ke Lombok dalam rangka memerangi Kerajaan Bali.<ref name=":9" /> Ketika Belanda berhasil menaklukkan dan mengusir Kerajaan Bali dari Lombok, alih-alih mengembalikan kembali kekuasaan [[bangsawan Sasak]] terhadap Lombok, mereka justru menjadi [[penjajah]] baru terhadap Sasak.<ref name=":9" /> Para pemimpin Islam, Tuan Guru, yang sebelum kedatangan Belanda telah melakukan [[dakwah]] untuk mensyiarkan ajaran-ajaran Islam ortodoks di kalangan Wetu Telu,.<ref name=":9" /> akhirnyaAkhirnya menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan [[ideologis]] untuk melawan penjajah Belanda yang dianggap [[kafir]].<ref name=":9" /> Sepanjang pemerintahan [[Kolonial]] Belanda, Tuan Guru mengalihkan gerakan dakwah mereka menjadi pemberontakan-pemberontakan lokal yang bernuansa ideologis Islam untuk mengalahkan Belanda.<ref name=":9" /> Selama era kolonialisasi Belanda, gerakan dakwah pimpinan Tuan Guru makin meningkatkan polarisasi antara Wetu Telu dan Waktu Lima.<ref name=":9" /> Jika [[kelompok]] pertama memberikan loyalitas mereka kepada para bangsawan Sasak sebagai pemimpin tradisional dan terus memuja [[adat]] lokal, kelompok kedua mengikuti Tuan Guru sebagai pemimpin keagamaan kharismatikkarismatik mereka.<ref name=":9">{{Cite journal|last=Khair|first=Muhammad Rodinal|last2=Junaedi|first2=Rusli Akhmad|last3=Ikhsan|first3=Muhammad Faisal Nur|last4=Yusrifa|first4=Fitria|date=2016-08-27|title=MENEROPONG STRATEGI KEBUDAYAAN MELALUI KESADARAN HISTORIS “PANTANG MELUPAKAN LELUHUR” ISLAM WETU TELU|url=https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/view/12785|journal=Jurnal Filsafat|language=id|volume=26|issue=2|pages=249–271|doi=10.22146/jf.12785|issn=2528-6811}}</ref>
=== Setelah penjajahan ===
Lombok merdeka pada tahun 1946 sebagai bagian dari [[Indonesia]].<ref danname=":0" segera/> sesudahStelah itu, pada tahun 1959 [[Tuan Guru]] [[Zainuddin Abdul Madjid]] yang juga pemimpin [[nasionalis]] mendirikan pesantrennya[[pesantren]]nya, [[Nahdatul Wathan]], yang sekarang merupakan salah satu pesantren tertua di Lombok.<ref name=":0" /> Kharisma dan status Tuan Guru makin berkembang seiring meningkatnya jumlah [[santri]] yang mulai mengikuti [[pengajian]].<ref name=":0" /> Demikianlah [[alumni]] pesantren menjadi unsur penting dalam menyebarkan dan menyiarkan ajaran ortodoks Tuan Guru ke daerah-daerah Lombok lainnya.<ref name=":0" /> [[Komunitas]] [[etnis]] Sasak pemeluk agama [[Islam]] adalahIslamadalah Islam Wetu Telu.<ref name=":0" /> Pemeluk Islam Wetu Telu [[mayoritas]] tinggal di Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.<ref name=":0" /> Pemeluk Islam Wetu Telu, dalam kehidupan sehari-hari, masih ada yang tinggal di [[rumah]]-rumah [[tradisonal]] Lombok.<ref name=":0" /> Meskipun sekilas terlihat bentuknya sama, tapi rumah-rumah tradisional tersebut memiliki beberapa perbedaan yang kemungkinan ada kaitannya dengan agama yang dianut oleh masing-masing [[warga]].<ref name=":0" /> Umumnya, rumah adat yang dihuni [[Sasak Islam]] lebih kompleks dari segi bentuk dan bervariasi strukturnya serta diperkirakan memiliki fungsi yang lebih beragam.<ref name=":0">Wijono, Radjiman Sastro, 2009, ''Rumah Adat dan Minoritas MasyarakatBuda di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat dalamHak Minoritas: Ethnos, Demos dan Batas-Batas Multikulturalisme'', Editor: Hikmat Budiman, The Interseksi Foundation, Jakarta.</ref> Secara umum, masyarakat Sasak, khususnya yang beragama Islam, sangat memperhatikan [[waktu]], [[hari]], [[tanggal]], dan [[bulan]] untuk mengawali pembangunan rumah maupun segala kebutuhannya.<ref name=":0" /> Dalam penentuan tersebut, mereka menggunakan ''[[papan warige,]]]'' yang bersumber dari [[primbon]] [[Tapel Adam]] dan [[Tajul Muluq,]] sebagai pedomannya.<ref name=":0" />
== Lokasi ==
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah [[Bayan, Lombok Utara|Bayan]], yang terletak di [[Kabupaten Lombok Utara]].<ref name=":6">{{Cite web|title=Wetu Telu {{!}} BUKU ENSIKLOPEDIA DUNIA {{!}} Lombok - Arjuna|url=http://lombok.arjuna.web.id/id3/2431-2325/Islam-Wetu-Telu_26752_lombok-arjuna.html|website=lombok.arjuna.web.id|access-date=2019-03-21}}</ref> Desa Bayan terletak di bagian utara Pulau Lombok yang berada di wilayah Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara.<ref name=":6" /> [[Desa]] yang bercurah [[hujan]] 1.200-1.500 mm dengan [[suhu]] rata-rata 28 - 300C ini berada di ketinggian 400 - 600 mdl dengan daerah pegununganpe[[gunung]]an.<ref name=":6" /> Desa Bayan membawahi 9 (sembilan) [[dusun]] yaitu Dusun Bayan Barat, Dusun Bayan Timur, Dusun Padamangku, Dusun Tereng Genit, Dusun Dasan Tutul, Dusun Sembulan, Dusun Mendala dan Dusun Lokok Aur.<ref name=":6" /> Adapun batasan-batasan [[wilayah]] Desa Bayan adalah sebelah utara berbatasan dengan Desa Anyar;, sebelah selatan berbatasan dengan [[hutan;]], sebelah [[barat]] berbatasan dengan Desa Senaru;, sebelah [[timur]] berbatasan dengan Desa Sambi` Elen.<ref name=":6" /> Jumlah penduduk Desa Bayan (tahun 2010) adalah 47.705 [[jiwa]] dengan 12.470 [[kepala]] keluarga.<ref name=":6" />
== Pola Ajaran ==
Secara umum masyarakat pemeluk ajaran Wetu Telu adalah [[muslim]].<ref name=":3" /> Dan mereka melakukan kewajiban selayaknya sebagai Muslim. Kewajiban tersebut tidak hanya dibebankan kepada kyai atau [[guru]], namun seluruh masyarakat adat wajib mengikuti segala aturan dan kewajiban beribadah secara penuh dalam Islam. Upacara adat tidak akan bisa berlangsung jika tidak dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai pemangku adat atau pengulu/penghulu adat, dalam hal ini para kiyai juga sekaligus mengambil berperan sebagai pemangku ataupun pengulu. Oleh sebab itu, para kyai pengulu pemeluk Islam Wetu Telu memiliki status sosial yang [[tinggi]], dihormati, dan disegani oleh ᴡarga setempat.<ref name=":3" /> Segala perintah yang diucapkan harus dituruti dan dipatuhi.<ref name=":3" /> Siapa saja yang mencoba membangkang atau menyinggung hati seorang kyai, [[malapetaka]] akan datang pada dirinya dan semua anggota keluarganya.<ref name=":3" /> Kepatuhan ini selaras dengan ajaran Islam yang mengharuskan menghormati para ulama, wali, orang-orang yang dituakan di sebuah kelompok masyarakat. Mereka yang membangkang atau berbuat onar akan diasingkan dalam pertemuan banjar ''sangkep adat'' (musyawarah adat) atau dalam upacara adat.<ref name=":3" /> Hukuman atau sanksi yang telah diberikan ini bisa diampuni sesuai dengan keputusan hukum adat yang berlaku atau setelah membayar ''dedosan'' (denda adat) karena sudah berbuat mengacau. Upacara ini memiliki tujuan sebagai penebus [[dosa]] sekaligus sebagai langkah awal rehabilitasi nama baik di kehidupan bermasyarakat. Dalam kepercayaan ini, membaca Al-Qur’an dilakukan secara simbolis setiap ada upacara adat. Mengingat masyarakat Wetu Telu memiliki banyak sekali prosesi adat di dalam tatanan kehidupan mereka. Mengaji Al-Qur'an biasanya dilakukan saat menjelang maghrib di atas ''berugaq kekelat'' (gazebo) lalu diikuti shalat maghrib berjamaah di masjid.
Setelah itu, [[mushaf]] Al-Qur’an dan [[kitab]] [[Hadits]] akan disimpan di ''bale beleq,'' yakni bangunan kecil yang disucikan atau dikeramatkan untuk menyimpan benda-benda pelengkap upacara. Konsep memuliakan Al-Qur’an dan hadits yakni mengamalkan isinya dalam segala tatanan kehidupan, karena konsep Wetu Telu sendiri bernafaskan Islam.
Ukuran sucinnya manusia berdasarkan sistem kepercayaan Islam Wetu Telu adalah ketika seseorang telah menjadi kyai atau guru.<ref name=":3" /> Oleh karena itu, para kyai atau guru adalah manusia yang suci (ma’shûm).<ref name=":3" /> Pengangkatan atau penunjukan kyai baru, berdasar pada [[wasiat]] dari kyai sebelumnya, bukan dipilih secara [[demokratis]].<ref name=":3" />
Konsep kepemimpinan dalam kepercayaan ini hampir sama dengan konsep imâmah kaum [[Syi’ah]]. Bagi Syi’ah, imam adalah kepentingan agama.<ref name=":3" /> Tanpa adanya imam, dunia ini akan hancur bahkan dianggap tidak akan pernah ada. Imam juga dipercaya sebagai [[wakil]] Tuhan di [[bumi]].<ref name=":3" /> Jika imam tidak ada maka penyembahan kepada Tuhan di bumi juga tidak akan ada, sebab menyembah Tuhan harus disertai dan [[belajar]] dari seorang Imam.<ref name=":3" /> Hal ini berkaitan dengan filsafat kehidupan Islam Wetu Telu bahᴡa ''tanpa kehadiran seorang imam di bumi, maka dunia ini akan hancur''.<ref name=":3" /> Estafeta kepemimpinan Syi’ah bersandar pada [[teori]] [[hak]] [[legitimasi]] berdasarkan hak suci Tuhan (''the devine right of God'').<ref name=":3" /> Oleh sebab itu, pengangkatan imam harus berdasarkan pada [[nash]] dan [[wasiat]].<ref name=":3">{{Cite web|url=http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/download/27/18|title=ISLAM WETU TELU|website=webcache.googleusercontent.com|access-date=2019-03-21|archive-date=2017-12-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20171211163346/http://ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/download/27/18|dead-url=yes}}</ref>
== Acara ritual ==
=== Rowah Wulan dan Sampet Jum’at ===
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya [[bulan]] [[puasa]] (RamadlanRamadhan).<ref name=":7">{{Cite journal|last=Zuhdi|first=Muhammad Harfin|date=2012-10-24|title=ISLAM WETU TELU DI BAYAN LOMBOK|url=http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/akademika/article/view/164|journal=AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam|language=en|volume=17|issue=2|pages=197–218|issn=2356-2420}}</ref> Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama bulan [[Sya‘ban]], sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan pada [[jum‘at]] terakhir bulan Sya‘ban.<ref name=":7" /> Tujuannya adalah sebagai upacara pembersihan diri menyambutbulanmenyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk menahan diri dari perbuatan yangdilarangyang dilarang guna menjaga kesucian bulan puasa. Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh penganut Waktu Lima.
=== Maleman Qunut dan Maleman Likuran ===
Maleman Qunut merupakanadalah acara peringatan yanguntuk menandai keberhasilansukses melewatimenginjak separuh bulan puasa.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://nusantaranews.co/tradisi-islam-wetu-telu-dari-maleman-qunut-hingga-lebaran-tinggi/|title=Tradisi Islam Wetu Telu: Dari Maleman Qunut Hingga Lebaran Tinggi|last=Sulaiman|first=Achmad|date=2017-06-23|website=NUSANTARANEWS|language=en-US|access-date=2019-04-02}}</ref> Upacara ini dilaksanakandiadakan pada [[malam]] keenamke[[enam belas dari]] bulan puasa.<ref Bilaname=":4" /> Apabila dibandingkan dengan Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan [[rakaat]] terakhir shalatsalat [[witir]] setelah shalat [[tarawih]] harus disisipkan do'a [[qunut]].<ref Barangkaliname=":4" atas/> dasarMungkin ini kemudianmenjadi Wetu Teludasar menyelenggarakan Maleman Qunut.<ref name=":4" /> Sedangkan Maleman Likuran merupakanadalah sebuah upacara yang dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa.<ref name=":4" /> Perayaan tersebutitu memiliki dinamakanistilah maleman selikur, maleman telu likur, maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur.<ref name=":4" /> Pada malam ini masyarakat Wetu Telu secaramelakukan bergiliraninisiatif menghidangkan [[makanan]] secara bergiliran untuk para kyai yangsetelah melaksanakanmelakukan shalatsalat tarawih di masjid kuno.<ref name=":4" /> Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengandilaksanakan makan bersama oleh para kyai.<ref name=":4" /> Perayaan ini disebut juga [[sedekah]] maleman likuran.<ref name=":4" />
=== Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi ===
Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran [[zakat]] fitrah di kalangan pemeluk Waktu Lima.<ref Hanyaname=":4" saja/> dalamDalam tradisi Wetu Telu terdapatmemiliki sejumlahbeberapa perbedaan dalam tata cara pelaksanaannyapelaksanaan dengan Waktu Lima.<ref name=":4" /> Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrahfitrah kepada para kyai yang telah melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di antara para kyai saja.<ref Bentukname=":4" pitrahnya pun berbeda./> Dalam ajaran Waktu Lima, yangzakat jugafitrah mentradisidapat didibayarkan kalangandengan Islam pada umumnya, zakat fitrah hanya berupamenggunakan bahan makanan dengan jumlah tertentu dan hanya dikeluarkan untuk [[orang]]-orang yang masih hidup.<ref name=":4" /> Dalam tradisikebiasaan Wetu Telu, Pitrahnyafitrah tersebut dapat berupa makanan, hasil [[pertanian]], maupun [[uang,]] termasukatau uang [[kuno, dan berlaku]] baik untuk yang masih hidup maupunatau yang sudah [[meninggal]].<ref name=":4" /> Untuk orang yang masih hidup Pitrahfitrah itutersebut disebutdinamakan Pitrah''Fitrah Urip'', sedangkan untuk yang sudahtelah meninggal disebutdinamakan Pitrah''Fitrah Pati''. Sedangkan [[Lebaran]] Tinggi identiksama dengan pelaksanaan hari raya [[Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima]]. Bedanya, dalam upacara Lebaran Tinggi diadakanterdapat acara khusus makan bersama antara pemuka agama dan, pemuka adat, sertadan masyarakat penganutbiasa yang menganut Wetu Telu.<ref name=":4" />
=== Lebaran Topat ===
Lebaran Topat diadakandilaksanakan [[seminggu]] setelah upacara Lebaran Tinggi. DalamSeluruh perayaanKyai ini, seluruh Kyaiyang dipimpin oleh [[Penghulu]] akan melakukan ''[[Sembahyang]] Qulhu Sataq'' atau shalatsalat empat rakaat yang menandaiditandai dengan pembacaan surat [[Al-Ikhlas masing-masing]] seratus kali.<ref name=":4" /> Lebaran Topat berakhirdiakhiri dengan acara makan bersama di antara para kyai.<ref name=":4" /> Dalam perayaanacara ini, [[ketupat]] menjadi santapan primadona dalam [[ritual]] utama.<ref name=":4" />
=== Lebaran Pendek ===
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya [[Idul Adha]] di kalangan Waktu Lima.<ref name=":7" /> Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah lebaran topat.<ref name=":7" /> Dimulai dengan shalat [[berjamaah]] di antara para Kyai disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan pemotongan [[kambing]] berwarna [[hitam]].<ref name=":7" />
=== Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang ===
Upacara Selametan Bubur''bubur puteq'' dan ''bubur abang'' dilaksanakan pada tanggal 10 [[Muharram]] dan 8 [[Safar]] menurut penanggalan Wetu Telu.<ref name=":7" /> Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan beranak pinaknyaber[[reproduksi]] melalui ikatan perkawinan.<ref name=":7" /> ''Bubur puteq'' (bubur putih) dan ''bubur abang'' ([[bubur]] merah) merupakan hidangan ritual utama yang dikonsumsi dalam upacara ini.<ref name=":7" /> Bubur putih melambangkan [[air mani]] yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah melambangkan darah [[haid]] yang merepresentasikan perempuan.<ref name=":7" />
=== Maulud ===
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan upacara peringatan kelahiran [[Nabi]] Muhammad Saw, sebagaimana dilaksanakan oleh Waktu Lima.<ref name=":7" /> Kendati waktu pelaksanaannya sama, yakni pada bulan [[Rabi‘ul Awal]], Wetu Telu merayakannya untuk memperingati perkawinan [[Adam]] dan [[Hawa.]]<ref name=":7" /> Seperti upacara-upacara lainnya, berdo‘a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.<ref name=":7" />
== Aturan perkawinan ==
Dalam melaksanakan perkawinan, ada dua [[sistem]] yang pernah berlaku dalam ajaran Islam Wetu Telu yaitu sistem [[lama]] dan sistem [[baru]].<ref name=":2" /> Sistem lama tidak melengkapi [[rukun]] [[nikah]] sehingga ᴡalaupun tanpa [[akad]] nikahpunnikah kedua mempelai sudah dapat melakukan hubungan [[suami]] [[isteri]].<ref name=":2" /> asalkanAsalkan sudah menyelesaikan proses-proses yang lain seperti ''tobat kakas''.<ref name=":2" /> Sejauh berkaitan dengan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem lama, tidak banyak mencerminkan nilai-nilai Islam karena ritualnya lebih didominasi oleh [[budaya]] [[lokal]].<ref name=":2" /> Di samping itu, sistimsistem ini tidak menerapkan rukun nikah secara lengkap dengan ditiadakannya akad nikah.<ref name=":2" /> Ini artinya, sistem lama sudah dikenal sejak [[zaman]] pra Islam.<ref name=":2" /> Sedangkan perkawinan menurut ajaran Wetu Telu sistem baru, telah menerapkan syarat[[syara]]t dan rukun perkawinan sesuai ajaran Islam.<ref name=":2" /> Pada sistem baru, akad nikah dijadikan sebagai proses inti dan harus dilaksanakan sebelum melakukan hubungan suami isteri.<ref name=":2" /> Upacara perkawinan di Desa Bayan langsung dipimpin oleh Kepala [[Kantor Urusan Agama]] dengan mengikuti tata cara Islam yakni pembacaan [[khutbah]] nikah dan ijab kabul yang dilakukan langsung oleh wali dari mempelai [[wanita]] di hadapan calon [[pengantin]] [[laki-laki]].<ref name=":2" /> Khutbah nikah dibacakan dengan menggunakan [[bahasa Arab]], sedangkan ijab dan kabul digunakan [[bahasa]] Sasak setempat.<ref name=":2" /> Kearifan lokal dalam tata cara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Wetu Telu ditampakkan dari [[akulturasi]] ajaran Islam dengan ajaran agama Siwa-Budha sebagai agama asli orang Bayan dan Hindu Bali selaku agama kerajaan Bali yang pernah menjajah daerah Pulau Lombok.<ref termasukname=":2" Bayan./> Hal ituini, ditunjukkanmenunjukan bahwa dalam perkawinan digunakan [[tiga]] cara yaitu perondongan, mepadik lamar, dan selarian dengan diselesaikan melalui prosesi seperti ''menjojak, memulang, sejati, pemuput selabar, akad nikah, sorong serah, nyongkolan dan balik onos nae''.<ref name=":2" /> Ritual yang dilakukan seperti [[bedak]] [[keramas]] dan merariq (kawin lari), adalah bagian dari ritual yang dilaksanakan oleh [[Hindu]] Bali.<ref name=":2" /> Sementara, ajaran Islam menjadi substansi acara-acara inti seperti pada syarat dan rukun nikahnya.<ref name=":2" /> Dengan demikian, prosesi perkawinan menurut ajaran Wetu Telu menunjukkan masuknya [[unsur]] nilai dari tiga agama yaitu [[Siwa-Budha]] sebagai agama asli masyarakat Bayan pra Islam, Hindu-Bali, dan Islam.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Rachmadhani|first=Arnis|date=2011-06-03|title=Perkawinan Islam Wetu Telu Masyarakat Bayan Lombok Utara|url=https://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/article/view/124|journal=Analisa: Journal of Social Science and Religion|language=id|volume=18|issue=1|pages=59–74|doi=10.18784/analisaanalisis.v18i1.124|issn=2621-7120|access-date=2019-03-21|archive-date=2019-03-21|archive-url=https://web.archive.org/web/20190321053928/https://blasemarang.kemenag.go.id/journal/index.php/analisa/article/view/124|dead-url=yes}}</ref>
== Referensi ==
{{refbegin}}
* {{id}} [https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/11/29/piyh6o320-wetu-telu-dan-islamisasi-desa-bayan-oleh-putra-sunan-giri: Islamisasi Bayan]
* {{en}} [http://www.baliblog.com/05-05/wetu-telu-a-very-different-brand-of-islam-in-lombok.html Wetu Telu: A very different brand of Islam in Lombok] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20080907042319/http://www.baliblog.com/05-05/wetu-telu-a-very-different-brand-of-islam-in-lombok.html |date=2008-09-07 }}▼
* {{id}} [http://www.indosiar.com/v2/culture/culture_read.htm?id=33417&tp=teropong Teropong: Gaung Grantung di Barong Bira]
* {{en}} [http://www.abo.fi/comprel/temenos/temeno32/ceder.htm From Ancestor Worship to Monotheism: Politics of Religion in Lombok]
▲* {{en}} [http://www.baliblog.com/05-05/wetu-telu-a-very-different-brand-of-islam-in-lombok.html Wetu Telu: A very different brand of Islam in Lombok]
{{refend}}
▲{{ Aliran kepercayaanAgama di Indonesia}}
{{agama-stub}}
[[Kategori:Budaya Islam]]
[[Kategori:Islam di Indonesia]]
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
|