Abu Yazid al-Busthami: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k hanya menambahkan nama arabic, tolong direvisi untuk box info person,, padahal hanya menambahkan nama saja. |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(24 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{naratif}}
{{Infobox Ulama Muslim
|name = Abu Yazid Al-Busthami▼
|
|honorific_prefix =
|above_end_special =
<!-- --------- -->
|image_size = 250px
<!-- --------- -->
▲|alt =
|tgl_lahir_h =
|tgl_lahir_m =
|bln_lahir_h =
|birth_date = 804 Masehi di Bistami, Persia▼
|bln_lahir_m =
|
|
|
|negara_dilahirkan = [[Iran]]
|
|
|
|
<!-- --------- -->
|glr_islam_dpn =
|gelar_aka_dpn = agama islam
|
|gelar_aka_akhir =
|gelar_bangsawan =
|
|judul_gelarlain1 =
▲|notable works =
|
|judul_gelarlain2 =
|years_active = ▼
|gelar_lainnya2 =
|judul_gelarlain3 = [[Mursyid]] [[Tarekat Shiddiqiyyah]], [[Naqsyabandiyah]]
|
<!-- --------- -->
|
|
|nama_arabic = أبو يزيد طيفورالبِسطامِي
|
|
<!-- --------- -->
|
|
|
|
|
|
<!-- --------- -->
|
|
|status_hidup_wafat = WAFAT
|
|
|
|
|
|
|
|
|thn_wafat_m = 875
▲|native_name=أبو يزيد طيفورالبِسطامِي}}
|hari_dimakamkan =
|negara_makam =
|known_for = [[Baqa]], [[Fana]], [[Sufi]], [[Imam]], [[Mursyid]], [[Sunni]]
<!-- ---dakwah ketokohan- -->
|judul1 = [[Mursyid]] ke-6
|sub1 = [[Naqsyabandiyah]], [[Tarekat Shiddiqiyyah]]
|pendahulu1 = [[Ja'far ash-Shadiq]]
|pengganti1 = [[Abu al-Hassan al-Kharaqani]]
}}
'''Abu Yazid Al-
" edited by Peter Adamson, Richard C. Taylor, Cambridge University Press, 2005.Hal 206.</ref><ref name=bb>Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah (1992). ''Ensiklopedia Islam Indonesia''. Jakarta:Penerbit Djambatan. Hal 47-48</ref> [[Nama]] kecilnya adalah ''Tayfur'', sedang lengkapnya ''Abu Yazid Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami''.<ref name=a/> Dalam [[literatur]]-literatur [[tasawuf]], [[nama]]nya sering ditulis dengan '''Bayazid Bastami''' (
Saat remaja, Abu Yazid mempelajari dan mendalami [[Al-Qur'an]] serta [[hadits]]-hadits [[Nabi Muhammad]] saw.<ref name=a/> Ia kemudian mempelajari [[fikih]] [[Mazhab Hanafi]] (salah satu aliran [[metodologi]] fikih yang didirikan oleh [[Imam Hanafi]], dan merupakan salah satu mazhab yang dianut oleh kamu [[Sunni]]), sebelum akhirnya menempuh [[jalan]] tasawuf.<ref name=a/> Karena ia menganut [[mazhab]] Hanafi, maka ia termasuk dalam golongan ''Ashaburra'yi'', yakni suatu aliran yang memberikan peranan besar kepada [[akal]] /pemikiran ([[Arab]]:Al-Ra'yu) untuk memahami hukum Islam.<ref name=n/>
Sebagai [[orang]] yang mengerti [[hukum]]-hukum yang dikaji melalui fikih bermazhab Hanafi, kepatuhannya pada [[syariat]] [[Islam]] sangatlah kuat.<ref name=a/> Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah pernyataan yang pernah diucapkannya.<ref name=a/> Ia pernah berkata demikian, ''"Kalau engkau melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat
Ia juga mengungkapkan bahwa pernah terbesit di [[hati]]nya untuk memohon kepada Allah agar dia diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap [[makanan]] dan [[wanita]] sama sekali, tetapi hatinya kemudian berkata, ''"Pantaskah aku meminta kepada [[Allah]] sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah saw?"''<ref name=a/> Bahkan karena begitu taatnya pada ajaran [[agama]], dia meng[[hukum]] dirinya sendiri jika melanggar.<ref name=a/> Katanya, ''"Aku ajak diriku untuk mengerjakan sesuatu yang termasuk dalam perbuatan taat,
Banyak [[literatur]] menyebutkan bahwa ia [[wafat]] pada tahun [[261]] [[Hijriyah]] /[[875]] [[Masehi]].<ref name=a/><ref name=ff>Siradj, Said Aqil (2003).''Ma’rifatullah:Pandangan Agama-Agama dan Tradisi Filsafat.''Jakarta:Elsas Jakarta. Hal 43-60</ref> Namun pendapat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada [[tahun]] [[264]] Hijriyah / [[878]] Masehi.<ref name=a/> Abu Yazid menghabiskan seluruh hidupnya di [[kota]] kelahirannya, Bistami.<ref name=a/> Pernah ada yang berkata padanya bahwa [[orang]] yang mencari hakikat (hidup) biasanya selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain.<ref name=a/> Kemudian ia hanya menjawab, ''"Temanku (maksudnya, Tuhan) tidak pernah berpergian, dan karena itu aku pun tidak berhijrah (berpindah)dari sini."''<ref name=a/>
Baris 82 ⟶ 102:
Artinya:''Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang ber[[iman]] ketika Allah mengutus di antara mereka seorang [[Rasul]] dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan [[jiwa]] mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al [[Hikmah]]. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan [[Nabi]]), mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.''<ref name=j>Ibrahim, Muhammad Zaki (2003). ''Tasawuf Hitam Putih''.Solo:Tiga Serangkai.Ter. Umar Ibrahim. Hal 107</ref>
Adapun cara memahami sesuatu dalam tasawuf sangatlah berbeda dengan yang lain.<ref name=c>Kartanegara, Mulyadhi (2006).''Menyelami Lubuk Tasawuf''.Jakarta:Penerbit Erlangga Hal 124</ref> Oleh karena itu, para sufi menciptakan [[metode]] yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam [[pengetahuan]] biasa, termasuk dalam [[filsafat]].<ref name=c/> Jika pengetahuan biasa menggunakan metode ''bahtsi'' (pemikiran), sedang adalam tasawuf menggunakan metode ''dzauqi'', yakni rasa.<ref name=c/> Orang yang masuk ke dalamnya bukan sekadar memahami,
Adapun pengertian [[sufi]] As Syibli, sufi adalah penunjuk dari Allah, sedang [[makhluk]] lain adalah penujuk kepada Allah.<ref name=l>.Kabbani, Muhammad Hisyam (2007).''Tasawuf dan Ihsan''.Jakarta:Penerbit Serambi. Trj.Zaimul Am. Hal 97-98</ref> Ditambah dengan keterangan dari Dzun Al-Mishri, sufi adalah orang yang menyukai Allah lebih dari segala sesuatu dan disukai oleh Allah dari segala sesuatu.<ref name=l/> Al Nuri menyebutkan di antara sifat seorang sufi adalah diam ketika tidak memiliki sesuatu dan mendahulukan orang lain ketika memiliki sesuatu.<ref name=l/>
Baris 92 ⟶ 112:
Semua pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa Abu Yazid bukanlah [[sufi]] yang menggampangkan [[kewajiban]]-kewajiban syariat.<ref name=a/> Sikap demikian masih dapat dilihat dalam dirinya saat ia mencapai ''sakr'' (mabuk [[cinta]] pada Allah).<ref name=a/>
Selain Abu Yazid, juga ada banyak sufi yang lain seperti Abu Hasan Sarri Al-Mugallis As-Siqthi, seorang sufi yang berpengetahuan luas dan banyak dihormati [[penduduk]] [[Irak]] dan para [[ulama]] yang lain.<ref name=f>Mujieb, Abdul (2009).''Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali''.Jakarta:Mizan Publika.Hal 413</ref> Kemudian ada juga tokoh-[[tokoh]] sufi asal [[Iran]], antara lain adalah Ruzbihan Al-Baqli Asy Syirazi, Haidar Amuli, Ali Isfahan ([[wafat]] [[tahun]] [[1427]]), dan A'la Ad-Daulah As-Samani ([[1261]]-[[1336]]).<ref name=g>Badawi, Abdurrahman (2003).''Ensiklopedi Tokoh Orientalis''.Yogyakarta:LKiS.Hal 34</ref> Juga tidak luput tokoh-tokoh sufi yang muncul pada abad-abad pertama hingga abad ke-9 Hijriyah saat di mana tasawuf mulai menunjukkan kemajuannya, di antara tokoh-tokoh tersebut ialah Abu al-Haris Al-Muhasibi ([[165]]-[[243]] H /[[781]]-[[857]] M), Dzun Al-Mishri (w. [[248]] H/[[861]] M), Al Hakim At-Tirmidzi (w. [[898]] M), Abul Mughits bin Manshur Al-Hallaj (w. [[309]] H, terkenal dengan ''Al-Hallaj'' yang merupakah tokoh sufi paling kontroversi dalam [[sejarah]] karena konsep ''wahdatul wujud''(penyatuan diri dengan [[Tuhan]]) miliknya dan terkenal dengan kata-katanya ''Ana Al-Haqq'' (saya adalah Yang Maha Benar), sehingga harus dihukum [[mati]] pada [[tanggal]] [[28]] [[Maret]] [[913]] M karena didakwa menyebarkan ajaran sesat), Sahl Ibn Abdillah Al-Tustari (w. 896), Al-Kharaz (w. 899 M).<ref name=h>Sholikhin, Muhammad (2010).''Menyatu Diri dengan Ilahi''.Yogyakarta:Penerbit Narasi. Hal 92</ref><ref name=i>Susetya, Wawan (2006) ''Kisah Para Sufi''.Solo:Tiga Serangkai. Hal 35</ref>
Sedang kedatangan para ahli [[tasawuf]] (sufi) di [[Indonesia]] sendiri diperkirakan pada [[abad]] ke [[13]], yakni masa penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan [[India]],
== Ajaran ==
Baris 153 ⟶ 173:
Seseorang pernah menyampaikan kepada Syekh Junaid mengenai ''syatahat'' yang diucapkan oleh Abu Yazid (''"Maha Suci Aku! Maha Suci Aku! Aku inilah Tuhanku Yang Maha Luhur"''),namun hal itu justru mendapatkan respon yang positif.<ref name=a/><ref name=t/><ref name=hh>Tebba, Sudirman (2006).''Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual.Ciputat:Pustaka Irvan. Cet.1 Hal 139</ref> Dia berkata, ''"Abu Yazid begitu terpesona ketika melihat keagungan Allah, sehingga dia mengucapkan apa yang telah membuatnya terpesona."''<ref name=a/> Allah yang Maha Besar telah membuatnya lalai dan ia tidak menyaksikan kecuali Tuhan, maka Abu Yazid berbicara tentang-Nya.”<ref name=a/>
Abu Yazid adalah seorang sufi pertama yang melahirkan kata-kata syatahat,
Jika para ulama-ulama tersebut memaklumi perkataan Abu Yazid karena ketidak sadarannya, berbeda dengan [[Ibnu al-Jauzi]], ia mengatakan bahwa barang siapa yang mengucapkan kata-[[kata]] tersebut, siapapun dia, maka tergolong ''zindiq'' (orang yang kufur/ keluar dari Islam) dan harus dibunuh karena sikap yang menyepelekan sebagai akibat dari penentangan.<ref name=ff/> Menurutnya, sebaiknya [[lilin]] didekatkan ke [[wajah]]nya dan jika ia tersulut maka katakan kepadanya, ''"Inilah bara neraka".''<ref name=ff/><ref name=gg>Al Indunisi, Ahmad Nahrawi Abdus Salam (2008)''Ensiklopedia Imam Syafi'i''.Jakarta:Mizan Publika.Terj. Usman Sya'roni.Hal 92</ref> Selanjutnya, ada Abu al-Fadhl al-Falaki yang dalam kitabnya berjudul ''al-Nur min Kalami Thaifur'' menuliskan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Abu Yazid.<ref name=ff/>
=== 2. Mi'raj ===
Selain syatahatnya, Abu Yazid juga menuai kontroversi mengenai Mi'raj (naik ke [[langit]], yang mana [[Nabi Muhammad]] pernah melakukan perjalan dari [[Jerusalem]] menuju [[langit]] ketujuh) yang dialaminya.<ref name=bb/><ref name=cc>Misrawi, Zuhairi (2010).''Abu Bakar''.Bandung:Pustaka Oasis.Hal 11</ref> Abu Yazid sangat tertarik pada pengalaman spiritual yang tinggi dari Nabi Muhammad saw tersebut.<ref name=a/> Ia juga memimpikan dan mendapatkannya.<ref name=a/> Kisahnya dimulai saat dia ber[[mimpi]] mengalami mi'raj, naik ke langit dengan membawa kerinduan mencari Allah, ingin bersatu dan tinggal bersama-Nya untuk selamanya.<ref name=a/><ref name=bb/> Saat itu ia mendapatkan ujian, Allah memperlihatkannya berbagai macam karunia, menawarkan kekuasaan atas seluruh langit,
Kemudian ia terus naik dan sampai pada langit ke tujuh.<ref name=a/> Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan, ''"Hai Abu Yazid, berhentilah! Kau sudah sampai pada tujuanmu"''.<ref name=a/><ref name=bb/> Namun dirinya tidak mempedulikan hal tersebut dan terus terbang.<ref name=a/> Tuhan yang melihat ketulusan dan kerinduan mencari-Nya, mengubahnya menjadi seperti seekor [[burung]] yang dapat terbang.<ref name=a/><ref name=bb/> Ia melintasi kerajaan-kerajaan, menembus hijab (penghalang) demi hijab sampai salah satu malaikat menemuinya dan menyerahkan sebuah pilar [[cahaya]] dan berkata, ''"Ambilah!"''.<ref name=a/><ref name=bb/> Ia berkata bahwa saat itu langit dan seluruh isinya berlindung di bawah makrifatnya (pengetahuan), mencari cahaya dalam cahaya kerinduan, dan perhatian yang seluruhnya untuk mencari Allah.<ref name=a/><ref name=bb/> Dia terbang lagi sampai bertemu dengan malaikat-malaikat yang jumlahnya seperti bintang di langit yang memancarkan sinar.<ref name=a/><ref name=bb/> Ketika Tuhan melihat ketulusannya, Dia berkata, ''"Hai orang pilihan-Ku, mendekatlah pada-Ku dan naiklah ke hamparan keindahan-Ku. Kau adalah pilihan dan kekasih-Ku di antara makhlu-Ku."''<ref name=a/><ref name=bb/> Kemudian Abu Yazid meleleh seperti melelehnya [[timah]] dalam panasnya [[api]].<ref name=a/><ref name=bb/><ref name=jj>Hilal, Ibrahim (2002) Tasawuf Antara Agama dan Filsafat.Bandung:Pustaka Hidayatulah. Hal 59</ref> Ia menceritakan bahwa kemudian Allah mengubahnya menjadi bentuk lain yang tidak dapat dijelaskan.<ref name=a/> Tuhan membawa Abu Yazid menjadi sangat dekat dengan-Nya melebihi dekatnya ruh dengan tubuh.<ref name=a/><ref name=bb/>
Kisah di atas dapat menunjukkan bahwa Abu Yazid memperoleh satu pengalaman spiritual seperti apa yang
Kisah mi’raj dan ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid seperti yang juga dilakukan oleh [[Mansur Al-Hallaj]] (dihukum mati karena paham ''wahdatul wujud'' nya (penyatuan [[jiwa]] antar manusia dengan Allah) pada tahun [[922]] M) telah mengundang banyak kontroversi di kalangan para ulama’ pada umumnya dan sufi pada khususnya.<ref name=a/><ref name=aa/> Ada golongan yang menganggap kisah itu hanyalah karangan saja, ada juga yang mengecam ''syatahat''nya sebagai perkataan dari orang yang sudah gila.<ref name=a/> Sebaliknya, ada juga golongan yang dapat memahami sekaligus menghargai [[mimpi]] dan ''syatahat''nya, sehingga dianggap sebagai suatu kewajaran yang muncul pada sufi yang sedang mabuk cinta pada Tuhannya dan sedang tidak dalam kesadaran seperti biasanya.<ref name=a/>
Baris 200 ⟶ 220:
* {{en}} [http://www.britannica.com/EBchecked/topic/67129/Abu-Yazid-al-Bistami Abū Yazīd al-Bisṭāmī]
* {{en}} [http://www.majzooban.org/en/cultural/2851-story-of-hazrat-bayazid-bastami-bayazid-bastami-ra-and-the-rabbi.html Bayazid Bastami]
* {{en}} [http://uwaiysi.org/features_archive/2001_oct.html The Life and Message of Bayazid Bastami] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160305083737/http://uwaiysi.org/features_archive/2001_oct.html |date=2016-03-05 }}
{{Commonscat|Bayazid Bastami Shrine}}
|