Abu Yazid al-Busthami: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Riznaldo (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(19 revisi perantara oleh 13 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{naratif}}
 
{{Infobox Ulama Muslim
|notability = Abu Yazid Al-BusthamiHerman Bustan
|native_name= أبو يزيد طيفورالبِسطامِي
|honorific_prefix =
Baris 17:
|bln_lahir_m =
|thn_lahir_h =
|thn_lahir_m = 804 Masehi
|tempat_lahir = BistamiPalembang, Persia Jakarta
|negara_dilahirkan = [[Iran]]
|nama_ayah =
Baris 26:
<!-- --------- -->
|glr_islam_dpn =
|gelar_aka_dpn = agama islam
|glr_tengah =
|gelar_aka_akhir =
Baris 52:
<!-- --------- -->
|jalur_ayah = Isa
|jalur_ibu =
 
|status_hidup_wafat = WAFAT
Baris 62:
|bln_wafat_h =
|bln_wafat_m =
|thn_wafat_h = 261 Hijriyah
|thn_wafat_m = 875 Masehi
|tempat_makam = Bistami, Persia
|hari_dimakamkan =
Baris 71:
<!-- ---dakwah ketokohan- -->
|judul1 = [[Mursyid]] ke-6
|sub1 = [[Naqsyabandiyah]], [[Tarekat_ShiddiqiyyahTarekat Shiddiqiyyah]]
|pendahulu1 = [[Ja'far ash-Shadiq]]
|pengganti1 = [[Abu al-Hassan al-Kharaqani]]
|relative =
 
}}
 
 
'''Abu Yazid Al-BustamiBusthami''' ({{lang-ar|أبو يزيد البسطامي}}) adalah [[sufi]] [[abad]] [[III]] [[Hijriyah]] berke[[bangsa]]an [[Persia]], lahir tahun [[804]] M/ [[188]]H .<ref name=a>Azyumardi Azra, Ilyas Ismail, dkk (2008).''Ensiklopedi Tasawuf''.Bandung:Penerbit Angkasa.Hal 152-159. Cet 1</ref><ref>Walbridge, John. "Suhrawardi and Illumination" in "The Cambridge Companion to Arabic Philosophy
" edited by Peter Adamson, Richard C. Taylor, Cambridge University Press, 2005.Hal 206.</ref><ref name=bb>Tim Penulis UIN Syarif Hidayatullah (1992). ''Ensiklopedia Islam Indonesia''. Jakarta:Penerbit Djambatan. Hal 47-48</ref> [[Nama]] kecilnya adalah ''Tayfur'', sedang lengkapnya ''Abu Yazid Tayfur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami''.<ref name=a/> Dalam [[literatur]]-literatur [[tasawuf]], [[nama]]nya sering ditulis dengan '''Bayazid Bastami''' ('''بايزيد بسطامى''').<ref name=n>Abdul Fatah, dkk (1993).''Ensiklopedi Islam''.Jakarta:Departemen Agama Republik Indonesia. Hal 53-61</ref> Setelah dikaruniai seorang [[putra]] bernama Yazid, ia kemudian lebih dikenal dengan nama Abu Yazid (arti:[[Ayah]] Yazid).<ref name=a/> Al-Busthami sendiri adalah [[nisbah]] (ditujukan) pada [[daerah]] kelahirannya Bistami, Qumis, di [[daerah]] [[tenggara]] [[Laut Kaspia]], [[Iran]].<ref name=a/><ref name=n/> Ayahnya bernama Isa, sedangkan [[kakek]]nya bernama Surusyan, yang mana keduanya ber[[agama]] [[Majusi]] ([[agama]] bangsa Persia yang mengajarkan penyembahan kepada [[api]] dan [[berhala]]), namuntetapi kemudian masuk [[Islam]].<ref name=a/><ref name=k>Hadhiri, Choiruddin (2005) .''Klasifikasi Kandungan Al-Qur'an''.Jakarta:Gema Insani.Jilid 2. Hal 113</ref> Kedua orangtuanya Abu Yazid adalah muslim yang taat, shaleh, ''wara'' (sederhana dan mementingkan kehalalan rizki yang dicari dan diterima), serta zuhud (berperilaku seperti yang dilakukan para pendahulu yang suka berbuat baik, meningkatkan hubungan dengan Allah untuk mencapai [[derajat]] yang mulia dan tinggi).<ref name=a/><ref name=n/><ref name=o>.Ash-Shufiy, Mahir Ahmad (2007).''Surga:Kenikmatan yang Kekal''.Solo:Tiga Serangkai.Terj. Tim Love Pustaka.Hal 114</ref><ref name=p_2>Jazuli, Ahzami Samiun (2006).''Kehidupan dalam Pandangan Al-Qur'an''.Jakarta:Gema Insani. Terj. Sari Narulita. Hal 73</ref> Sedang, kakaknya bernama [[Adam]] dan adiknya bernama [[Ali]] yang juga sufi.<ref name=a/><ref name=n/> Ada sufi yang memiliki [[nama]] hampir mirip dengannya, yakni Abu Yazid dan Taifur Al Bistami Al-Asghar.<ref name=n/> [[Data]] hidup yang dimilikinya sangatlah terbatas.<ref name=a/> Info-info mengenai dirinya di dapat dari Tayfur (cucu dari Adam).<ref name=a/> Selain itu, [[biografi]] Abu Yazid juga diketahui melalui [[tokoh]]-tokoh lain yang pernah berjumpa serta mencatat ucapan-ucapannya, seperti Abu Musa al-Dabili, Abu Ishaq al-Harawi, dan lain-lain.<ref name=a/> Sejarah mencatat bahwa ia tidak meninggalkan suatu [[tulisan]], barang satupun.<ref name=a/>
 
Saat remaja, Abu Yazid mempelajari dan mendalami [[Al-Qur'an]] serta [[hadits]]-hadits [[Nabi Muhammad]] saw.<ref name=a/> Ia kemudian mempelajari [[fikih]] [[Mazhab Hanafi]] (salah satu aliran [[metodologi]] fikih yang didirikan oleh [[Imam Hanafi]], dan merupakan salah satu mazhab yang dianut oleh kamu [[Sunni]]), sebelum akhirnya menempuh [[jalan]] tasawuf.<ref name=a/> Karena ia menganut [[mazhab]] Hanafi, maka ia termasuk dalam golongan ''Ashaburra'yi'', yakni suatu aliran yang memberikan peranan besar kepada [[akal]] /pemikiran ([[Arab]]:Al-Ra'yu) untuk memahami hukum Islam.<ref name=n/>
 
Sebagai [[orang]] yang mengerti [[hukum]]-hukum yang dikaji melalui fikih bermazhab Hanafi, kepatuhannya pada [[syariat]] [[Islam]] sangatlah kuat.<ref name=a/> Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah pernyataan yang pernah diucapkannya.<ref name=a/> Ia pernah berkata demikian, ''"Kalau engkau melihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat , seperti duduk bersila di udara, maka janganlah engkau terperdaya olehnya. Perhatikanlah apakah ia melaksanakan perintah [[Tuhan]], mejauhi larangan (Tuhan), dan menjaga dirinya dalam batas-batas syariat."''<ref name=a/> Selain itu, Abu Yazid juga pernah mengajak [[keponakan]]nya, Isa bin Adam, untuk memperhatikan seseorang yang dikenal oleh [[masyarakat]] sebagai zahid (orang yang menolak [[dunia]], berpikir tentang [[kematian]], yang memandang bahwa apa yang dimilikinya tidaklah punya [[nilai]] dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Allah swt).<ref name=a/><ref name=z>Sirodj, Said Aqil (2006).''Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi''.Jakarta:Mizan Pustaka. Hal 94</ref><ref name=y>Al-Birgawi, Muhammad Ali (2008).''Tarekat Muhammad''.Jakarta:Penerbit Serambi. Terj. Syamsu Rizal Hal 242</ref><ref name=x>Rakhmat, Jalaluddin(2008).''Membuka Tirai Kegaiban: Rahasia-Rahasia Sufistik''.Jakarta:Mizan Pustaka.</ref> Waktu itu [[orang]] tersebut sedang berada di dalam [[masjid]] dan terlihat [[batuk]] lalu me[[ludah]] ke depan, ke arah [[kiblat]] di dalam [[masjid]]).<ref name=a/> Karena menyaksikan kejadian tersebut, yang mana hal ini tidak sesuai dengan [[adab]] ([[akhlak]]) yang diajarkan oleh [[Rasulullah]] saw, Abu Yazid pergi dan berkomentar, ''"Orang itu tidak menjaga satu adab dari adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Bila ia begitu, ia tidak dapat dipercaya atas apa-apa yang didakwakannya (omongannya tidak dapat dipercaya)."''<ref name=a/>
 
Ia juga mengungkapkan bahwa pernah terbesit di [[hati]]nya untuk memohon kepada Allah agar dia diberikan sifat ketidakpeduliaan terhadap [[makanan]] dan [[wanita]] sama sekali, tetapi hatinya kemudian berkata, ''"Pantaskah aku meminta kepada [[Allah]] sesuatu yang tidak pernah diminta oleh Rasulullah saw?"''<ref name=a/> Bahkan karena begitu taatnya pada ajaran [[agama]], dia meng[[hukum]] dirinya sendiri jika melanggar.<ref name=a/> Katanya, ''"Aku ajak diriku untuk mengerjakan sesuatu yang termasuk dalam perbuatan taat, namuntetapi kemudian diriku tidak mematuhinya. Oleh karena itu, selama setahun diriku tidak kuberi [[air]] (minum)."'''<ref name=a/> Kisah lain juga pernah ia alami.<ref name=a/> Sebuah riwayat (cerita turun-temurun) memberitahukan bahwa suatu ketika ia ber[[malam]] di [[padang pasir]] dan menutup [[kepala]]nya dengan [[pakaian]] lalu tertidur.<ref name=a/><ref name=dd>Departemen Pendidikan Nasional (2008).''Kamus Besar Bahasa Indonesia''.Jakarta:Gramedia.Cet. 1 Edisi IV. Hal 1178</ref> Tak disangka, dia mengalamai hadats besar (suatu kondisi yang dapat menghalangi seseorang melakukan [[shalat]], seperti [[haid]], keluarnya [[mani]], dan lain-lain), sehingga diwajibkan [[mandi]] jinabat /mandi [[wajib]](mengalirkan air dan mengusap seluruh angota tubuh dengan melafalkan niat tertentu).<ref name=a/><ref name=p>Alim, Zezen Zainal(2012).''Panduan Lengkap Shalat Sunnah Rekomendasi Rasulullah''.Jakarta:PT Agromedia Pustaka.Hal 17-19</ref><ref name=q>Hasbiyallah (2006).''Fikih''.Jakarta:Grafindo MediaPratama. Hal 15</ref> Akan tetapi malam itu terlalu dingin dan ketika terbangun, dirinya merasa enggan untuk mandi dengan air yang juga terlalu dingin.<ref name=a/> Abu Yazid berniat untuk mandi saat [[matahari]] sudah tinggi, namuntetapi setelah menyadari betapa ia tidak mempedulikan [[kewajiban]] agama, akhirnya dia bangkit dan melumerkan salju pada jubahnya.<ref name=a/> Setelah itu Abu Yazid mandi dengan menggunakan [[jubah]] yang basah dan dingin tersebut lalu dia dipakainya kembali.<ref name=a/> [[Tubuh]]nya kedinginan, lalu ia jatuh [[pingsan]].<ref name=a/>
Banyak [[literatur]] menyebutkan bahwa ia [[wafat]] pada tahun [[261]] [[Hijriyah]] /[[875]] [[Masehi]].<ref name=a/><ref name=ff>Siradj, Said Aqil (2003).''Ma’rifatullah:Pandangan Agama-Agama dan Tradisi Filsafat.''Jakarta:Elsas Jakarta. Hal 43-60</ref> Namun pendapat lain menyebutkan bahwa ia wafat pada [[tahun]] [[264]] Hijriyah / [[878]] Masehi.<ref name=a/> Abu Yazid menghabiskan seluruh hidupnya di [[kota]] kelahirannya, Bistami.<ref name=a/> Pernah ada yang berkata padanya bahwa [[orang]] yang mencari hakikat (hidup) biasanya selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lain.<ref name=a/> Kemudian ia hanya menjawab, ''"Temanku (maksudnya, Tuhan) tidak pernah berpergian, dan karena itu aku pun tidak berhijrah (berpindah)dari sini."''<ref name=a/>
Baris 104 ⟶ 102:
Artinya:''Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang ber[[iman]] ketika Allah mengutus di antara mereka seorang [[Rasul]] dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan [[jiwa]] mereka, serta mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al [[Hikmah]]. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan [[Nabi]]), mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.''<ref name=j>Ibrahim, Muhammad Zaki (2003). ''Tasawuf Hitam Putih''.Solo:Tiga Serangkai.Ter. Umar Ibrahim. Hal 107</ref>
 
Adapun cara memahami sesuatu dalam tasawuf sangatlah berbeda dengan yang lain.<ref name=c>Kartanegara, Mulyadhi (2006).''Menyelami Lubuk Tasawuf''.Jakarta:Penerbit Erlangga Hal 124</ref> Oleh karena itu, para sufi menciptakan [[metode]] yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam [[pengetahuan]] biasa, termasuk dalam [[filsafat]].<ref name=c/> Jika pengetahuan biasa menggunakan metode ''bahtsi'' (pemikiran), sedang adalam tasawuf menggunakan metode ''dzauqi'', yakni rasa.<ref name=c/> Orang yang masuk ke dalamnya bukan sekadar memahami, namuntetapi juga mengalami, karena hanya dengan mengalami, maka kita akan memahami.<ref name=c/> [[Jalaluddin Rumi]] mengatakan, ''"Jika engkau ingin mempunyai pengetahuan yang sebenarnya tentang [[air]], maka ceburkanlah dirimu ke dalamnya, maka engkau akan memperoleh pengetahuan sejati tentangnya."''<ref name=c/> Inilah yang dimaksud sebagai ''dzauqi'', merasakan atau mengalami [[objek]] tersebut dan bukan hanya mengetahuinya lewat [[tulisan]] maupun [[analisis]].<ref name=c/>
 
Adapun pengertian [[sufi]] As Syibli, sufi adalah penunjuk dari Allah, sedang [[makhluk]] lain adalah penujuk kepada Allah.<ref name=l>.Kabbani, Muhammad Hisyam (2007).''Tasawuf dan Ihsan''.Jakarta:Penerbit Serambi. Trj.Zaimul Am. Hal 97-98</ref> Ditambah dengan keterangan dari Dzun Al-Mishri, sufi adalah orang yang menyukai Allah lebih dari segala sesuatu dan disukai oleh Allah dari segala sesuatu.<ref name=l/> Al Nuri menyebutkan di antara sifat seorang sufi adalah diam ketika tidak memiliki sesuatu dan mendahulukan orang lain ketika memiliki sesuatu.<ref name=l/>
Baris 114 ⟶ 112:
Semua pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa Abu Yazid bukanlah [[sufi]] yang menggampangkan [[kewajiban]]-kewajiban syariat.<ref name=a/> Sikap demikian masih dapat dilihat dalam dirinya saat ia mencapai ''sakr'' (mabuk [[cinta]] pada Allah).<ref name=a/>
 
Selain Abu Yazid, juga ada banyak sufi yang lain seperti Abu Hasan Sarri Al-Mugallis As-Siqthi, seorang sufi yang berpengetahuan luas dan banyak dihormati [[penduduk]] [[Irak]] dan para [[ulama]] yang lain.<ref name=f>Mujieb, Abdul (2009).''Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali''.Jakarta:Mizan Publika.Hal 413</ref> Kemudian ada juga tokoh-[[tokoh]] sufi asal [[Iran]], antara lain adalah Ruzbihan Al-Baqli Asy Syirazi, Haidar Amuli, Ali Isfahan ([[wafat]] [[tahun]] [[1427]]), dan A'la Ad-Daulah As-Samani ([[1261]]-[[1336]]).<ref name=g>Badawi, Abdurrahman (2003).''Ensiklopedi Tokoh Orientalis''.Yogyakarta:LKiS.Hal 34</ref> Juga tidak luput tokoh-tokoh sufi yang muncul pada abad-abad pertama hingga abad ke-9 Hijriyah saat di mana tasawuf mulai menunjukkan kemajuannya, di antara tokoh-tokoh tersebut ialah Abu al-Haris Al-Muhasibi ([[165]]-[[243]] H /[[781]]-[[857]] M), Dzun Al-Mishri (w. [[248]] H/[[861]] M), Al Hakim At-Tirmidzi (w. [[898]] M), Abul Mughits bin Manshur Al-Hallaj (w. [[309]] H, terkenal dengan ''Al-Hallaj'' yang merupakah tokoh sufi paling kontroversi dalam [[sejarah]] karena konsep ''wahdatul wujud''(penyatuan diri dengan [[Tuhan]]) miliknya dan terkenal dengan kata-katanya ''Ana Al-Haqq'' (saya adalah Yang Maha Benar), sehingga harus dihukum [[mati]] pada [[tanggal]] [[28]] [[Maret]] [[913]] M karena didakwa menyebarkan ajaran sesat), Sahl Ibn Abdillah Al-Tustari (w. 896), Al-Kharaz (w. 899 M).<ref name=h>Sholikhin, Muhammad (2010).''Menyatu Diri dengan Ilahi''.Yogyakarta:Penerbit Narasi. Hal 92</ref><ref name=i>Susetya, Wawan (2006) ''Kisah Para Sufi''.Solo:Tiga Serangkai. Hal 35</ref>
Sedang kedatangan para ahli [[tasawuf]] (sufi) di [[Indonesia]] sendiri diperkirakan pada [[abad]] ke [[13]], yakni masa penyebaran ahli-ahli tasawuf dari Persia dan [[India]], namuntetapi baru tampak nyata sekitar abad [[16]] dan [[17]] terutama di [[Jawa]] dan [[Sumatra]].<ref name=d/> Contohnya para sufi dari Sumatra adalah [[Hamzah Fansuri]], Syamsuddin as-samatrani, Ar-Ranisri, dan Abdurrauf dari Singkel.<ref name=d/> Kemudian jika di [[Jawa]] ada [[walisanga]], [[Syekh Siti Jenar]] (Syekh Lemah Abang), Sunan Panggung, dan lain-lain.<ref name=d/>
 
== Ajaran ==
Baris 175 ⟶ 173:
 
Seseorang pernah menyampaikan kepada Syekh Junaid mengenai ''syatahat'' yang diucapkan oleh Abu Yazid (''"Maha Suci Aku! Maha Suci Aku! Aku inilah Tuhanku Yang Maha Luhur"''),namun hal itu justru mendapatkan respon yang positif.<ref name=a/><ref name=t/><ref name=hh>Tebba, Sudirman (2006).''Merengkuh Makrifat Menuju Ekstase Spiritual.Ciputat:Pustaka Irvan. Cet.1 Hal 139</ref> Dia berkata, ''"Abu Yazid begitu terpesona ketika melihat keagungan Allah, sehingga dia mengucapkan apa yang telah membuatnya terpesona."''<ref name=a/> Allah yang Maha Besar telah membuatnya lalai dan ia tidak menyaksikan kecuali Tuhan, maka Abu Yazid berbicara tentang-Nya.”<ref name=a/>
Abu Yazid adalah seorang sufi pertama yang melahirkan kata-kata syatahat, namuntetapi belum memiliki ''maqam'' (kedudukan) yang tinggi menurut Syekh Junaid.<ref name=a/> Sedang Syeikh [[Abdul Qadir Jaelani]] menanggapi dengan perkataannya, ''"Tidaklah hal itu divonis kecuali saat berkata itu, sufi sedang dalam keadaan sadar. Namun jika ia dalam keadaan sadar, maka hukuman akan diberlakukan atasnya."''<ref name=a/> Pendapat lain datang dari [[Ibnu Taimiyah]] dan Imam [[Al-Ghazali]] yang mempunyai pemikiran sama, yakni bahwa kata-kata seperti “Maha Suci aku, tidak ada dalam jubahku kecuali Allah”, dan perkataan lainnya ketika sedang mabukk cinta pada Tuhan, sebaiknya disimpan dan tidak perlu diriwayatkan.<ref name=a/><ref name=aa/>
 
Jika para ulama-ulama tersebut memaklumi perkataan Abu Yazid karena ketidak sadarannya, berbeda dengan [[Ibnu al-Jauzi]], ia mengatakan bahwa barang siapa yang mengucapkan kata-[[kata]] tersebut, siapapun dia, maka tergolong ''zindiq'' (orang yang kufur/ keluar dari Islam) dan harus dibunuh karena sikap yang menyepelekan sebagai akibat dari penentangan.<ref name=ff/> Menurutnya, sebaiknya [[lilin]] didekatkan ke [[wajah]]nya dan jika ia tersulut maka katakan kepadanya, ''"Inilah bara neraka".''<ref name=ff/><ref name=gg>Al Indunisi, Ahmad Nahrawi Abdus Salam (2008)''Ensiklopedia Imam Syafi'i''.Jakarta:Mizan Publika.Terj. Usman Sya'roni.Hal 92</ref> Selanjutnya, ada Abu al-Fadhl al-Falaki yang dalam kitabnya berjudul ''al-Nur min Kalami Thaifur'' menuliskan banyak kekeliruan yang dilakukan oleh Abu Yazid.<ref name=ff/>
 
=== 2. Mi'raj ===
Selain syatahatnya, Abu Yazid juga menuai kontroversi mengenai Mi'raj (naik ke [[langit]], yang mana [[Nabi Muhammad]] pernah melakukan perjalan dari [[Jerusalem]] menuju [[langit]] ketujuh) yang dialaminya.<ref name=bb/><ref name=cc>Misrawi, Zuhairi (2010).''Abu Bakar''.Bandung:Pustaka Oasis.Hal 11</ref> Abu Yazid sangat tertarik pada pengalaman spiritual yang tinggi dari Nabi Muhammad saw tersebut.<ref name=a/> Ia juga memimpikan dan mendapatkannya.<ref name=a/> Kisahnya dimulai saat dia ber[[mimpi]] mengalami mi'raj, naik ke langit dengan membawa kerinduan mencari Allah, ingin bersatu dan tinggal bersama-Nya untuk selamanya.<ref name=a/><ref name=bb/> Saat itu ia mendapatkan ujian, Allah memperlihatkannya berbagai macam karunia, menawarkan kekuasaan atas seluruh langit, namuntetapi ia berpaling karena ia tahu bahwa semua itu hanyalah ujian.<ref name=a/><ref name=bb/> Lalu dia berkata, ''"Wahai kekasihku keinginanku bukanlah itu semua."''<ref name=a/><ref name=bb/> Selanjutnya ia naik ke langit kedua, di sana terlihat para [[malaikat]] bersayap yang terbang ke [[bumi]] seratus ribu kali setiap [[hari]] untuk melihat para [[wali]] (kekasih Allah) yang mana mereka memiliki wajah bersinar seperti [[matahari]].<ref name=a/><ref name=bb/>
 
Kemudian ia terus naik dan sampai pada langit ke tujuh.<ref name=a/> Tiba-tiba terdengar sebuah sahutan, ''"Hai Abu Yazid, berhentilah! Kau sudah sampai pada tujuanmu"''.<ref name=a/><ref name=bb/> Namun dirinya tidak mempedulikan hal tersebut dan terus terbang.<ref name=a/> Tuhan yang melihat ketulusan dan kerinduan mencari-Nya, mengubahnya menjadi seperti seekor [[burung]] yang dapat terbang.<ref name=a/><ref name=bb/> Ia melintasi kerajaan-kerajaan, menembus hijab (penghalang) demi hijab sampai salah satu malaikat menemuinya dan menyerahkan sebuah pilar [[cahaya]] dan berkata, ''"Ambilah!"''.<ref name=a/><ref name=bb/> Ia berkata bahwa saat itu langit dan seluruh isinya berlindung di bawah makrifatnya (pengetahuan), mencari cahaya dalam cahaya kerinduan, dan perhatian yang seluruhnya untuk mencari Allah.<ref name=a/><ref name=bb/> Dia terbang lagi sampai bertemu dengan malaikat-malaikat yang jumlahnya seperti bintang di langit yang memancarkan sinar.<ref name=a/><ref name=bb/> Ketika Tuhan melihat ketulusannya, Dia berkata, ''"Hai orang pilihan-Ku, mendekatlah pada-Ku dan naiklah ke hamparan keindahan-Ku. Kau adalah pilihan dan kekasih-Ku di antara makhlu-Ku."''<ref name=a/><ref name=bb/> Kemudian Abu Yazid meleleh seperti melelehnya [[timah]] dalam panasnya [[api]].<ref name=a/><ref name=bb/><ref name=jj>Hilal, Ibrahim (2002) Tasawuf Antara Agama dan Filsafat.Bandung:Pustaka Hidayatulah. Hal 59</ref> Ia menceritakan bahwa kemudian Allah mengubahnya menjadi bentuk lain yang tidak dapat dijelaskan.<ref name=a/> Tuhan membawa Abu Yazid menjadi sangat dekat dengan-Nya melebihi dekatnya ruh dengan tubuh.<ref name=a/><ref name=bb/>
 
Kisah di atas dapat menunjukkan bahwa Abu Yazid memperoleh satu pengalaman spiritual seperti apa yang didapatakandidapatkan oleh Rasulullah, yakni dimi’rajkan ke langit untuk menghadap Tuhan sekaligus menyaksikan berbagai tanda kebesaran dan kekuasaan yang dimiliki-Nya.<ref name=a/> Kendati memiliki pengalaman spiritual yang sama, namuntetapi Abu Yazid tidak pernah mengatakan memiliki kualitas keruhaniannya yang setaraf dengan Nabi Muhammad yang diyakini umat Islam sebagai Nabi yang paling mulia.<ref name=a/> Namun dia hanya berkata, ''"Tigapuluh ribu [[tahun]] aku terbang di dalam kemuliaan-Nya (Allah), kemudian di dalam keesaan-Nya. Lalu aku juga menjelajahi [[empat]] ribu padang belantara. Ketika sampai ke akhir penjelajahan, ternyata aku masih berada di tahap awal kenabian."''<ref name=a/> Dia juga berkata bahwa karunia ilmu yang dianugerahkan kepadanya dibandingkan dengan apa yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad, layaknya tetesan-tetesan [[madu]] dibanding dengan sekarung besar madu.<ref name=a/>
 
Kisah mi’raj dan ungkapan-ungkapan syatahat Abu Yazid seperti yang juga dilakukan oleh [[Mansur Al-Hallaj]] (dihukum mati karena paham ''wahdatul wujud'' nya (penyatuan [[jiwa]] antar manusia dengan Allah) pada tahun [[922]] M) telah mengundang banyak kontroversi di kalangan para ulama’ pada umumnya dan sufi pada khususnya.<ref name=a/><ref name=aa/> Ada golongan yang menganggap kisah itu hanyalah karangan saja, ada juga yang mengecam ''syatahat''nya sebagai perkataan dari orang yang sudah gila.<ref name=a/> Sebaliknya, ada juga golongan yang dapat memahami sekaligus menghargai [[mimpi]] dan ''syatahat''nya, sehingga dianggap sebagai suatu kewajaran yang muncul pada sufi yang sedang mabuk cinta pada Tuhannya dan sedang tidak dalam kesadaran seperti biasanya.<ref name=a/>
Baris 222 ⟶ 220:
* {{en}} [http://www.britannica.com/EBchecked/topic/67129/Abu-Yazid-al-Bistami Abū Yazīd al-Bisṭāmī]
* {{en}} [http://www.majzooban.org/en/cultural/2851-story-of-hazrat-bayazid-bastami-bayazid-bastami-ra-and-the-rabbi.html Bayazid Bastami]
* {{en}} [http://uwaiysi.org/features_archive/2001_oct.html The Life and Message of Bayazid Bastami] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160305083737/http://uwaiysi.org/features_archive/2001_oct.html |date=2016-03-05 }}
{{Commonscat|Bayazid Bastami Shrine}}