Ki Gede Sebayu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tambahan Refrensi
Ok
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(11 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{notability|date=Maret 2016}}
{{unreferenced|date=Maret 2016}}
{{Cite book|title=Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal Tahun 1585-1625|last=|first=Soetjiptoni|publisher=Citra Bahari Animal Tegal|year=2007|isbn=|location=Tegal|page=}}Menurut silsilah, '''Ki Gede Sebayu''' keturunan darah bangsawan dari [[Batara Katong]] atau Syech Sekar Delima (Adipati Wengker Ponorogo). Ayahnya bernama [[Pangeran Onje]] (Adipati Purbalingga). Sejak kecil, Ki Gede Sebayu diasuh oleh eyangnya yaitu Ki Ageng Wunut yang selama hidupnya menekuni Agama Islam. Hal ini membawa dampak bagi perkembangan Ki Gede Sebayu yang tumbuh menjadi anak yang berperilaku ramah dan santun. Setelah menginjak dewasa, Ki Gede Sebayu oleh ayahnya disuwitakan di Keraton [[Pajang]] yaitu Sultan Hadiwijaya. sebagai prajurit tamtama sehingga Ki Gede Sebayu memperoleh pendidikan keprajuritan dan ilmu kanuragan. Ketika [[Arya Pangiri]] berkuasa menggantikandi [[Kesultanan Pajang]], Ki Gede Sebayu pergi meninggalkan Pajang menuju Desa Sedayu.
 
== Keturunan ==
Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu Raden Mas Hanggawana, dan Raden Ayu RaraRoro GiyantiGianti SubhaleksanaSubalaksana yang akhirnya menikah dengan Ki Jadug (Pangeran Purbaya) putra Sultandari AgungDanang danSutawijaya Raden(Panembahan MasSenapati) HanggawanaRaja pertama Mataram Islam, Kota Gede Yogyakarta.
 
Salah satu keturunan Ki Gede Sebayu dari jalur Raden Mas Hanggawana yang terkenal di wilayah Kabupaten Tegal adalah KH Mufti Salim atau biasa disebut dengan Mbah Mufti. Seorang ulama yang mendirikan Pondok Pesantren di wilayah Babakan Lebaksiu.
 
Pondok Pesantren Babakan tercatat berdiri tahun 1916 dan sampai saat ini masih eksis dengan santri yang berjumlah ribuan baik bertempat di pesantren utama bernama Pondok Pesantren Mahadut Tholabah atau di pesantren cabang milik keturunan Mbah Mufti seperti [[Pondok Pesantren Al Rizqi Babakan|Pondok Pesantren Al Rizqi]] dan lainnya.
 
== Kisah Hidup ==
Ketokohan Ki Gede Sebayu mulai tampak ketika terjadi perang antara KerajaanKesultanan Pajang dandengan JipangKadipaten Mataram. Ki Gede Sebayu bergabung dengan prajurit Mataram bersama Pangeran Benawa untuk menyingkirkan Aryo Pangiri. Ketika itu Ki Gede Sebayu dengan tombak pendeknya menyerang prajurit Pajang sehingga banyak yang tewas dan akhirnya Aryo Pangiri menyerah dan diusir dari Keraton Pajang. Kemudian Keraton pajang diserahkan kepada [[Pangeran Benawa]].
Setelah selesai pertempuran (1587), Ki Gede Sebayu dan pengikutnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke arah barat dan sampai di Desa Taji (wilayah Bagelan) disambut oleh Demung [[Ki Gede Karang Lo]]. Kemudian melanjutkan perjalanan ke [[Banyumas]] (Kadipaten Purbalingga) untuk ziarah ke makam ayah Ki Gede Sebayu dan akhirnya sampai di Desa Pelawangan kemudian menyusuri pantai utara ke arah barat dan sampailah di Kali Gung (Padepokan Ki Gede Wonokusumo). Kedatangan Ki Gede Sebayu bersama rombongan yang bermaksud “mbabat alas” membangun masyarakat tlatah Tegal disambut gembira oleh Ki Gede Wonokusumo. Ki Gede Sebayu mulai menyusun rencana dan strategi untuk melakukan pembangunan yaitu :
 
* Mengatur penempatan para pengikutnya sesuai dengan ketrampilan dan keahlian.
Baris 19 ⟶ 23:
 
* Mencoba membudidayakan pertanian basah (persawahan irigasi) dengan membuat bendungan Kali Gung untuk mengairi persawahan penduduk dengan nama Bendungan Wangan Jimat, selain itu membuat Kali Jembangan, Kali Bliruk dan Kali Wadas yang terletak di Dukuh Kemanglen dengan sebutan Grujugan Curug Mas.
* Untuk memenuhi kebutuhan rohani, Ki Gede Sebayu membangun masjid dan pondok pesantren di Dukuh Pesantren desa Kalisoka sebagai tempat kegiatan agama. Di sinilah diajarkan cara membaca Al-Qur’an, pengajian yang mengajarkan kewajiban muslim dalam menjalankan agamanya.
 
* Memberikan penamaan terhadap wilayah sesuai dengan kondisi daerah, seperti : Danawarih yang berarti memberi air, Slawi berarti tempat berkumpulnya para satria yang berjumlah selawe atau dua puluh lima yang dalam perkembangannya menjadi pusat kekuasaan (pangreh praja) di Kabupaten Tegal.
* Untuk memenuhi kebutuhan rohani, Ki Gede Sebayu membangun masjid dan pondok pesantren di Dukuh Pesantren sebagai tempat kegiatan agama. Di sinilah diajarkan cara membaca Al-Qur’an, pengajian yang mengajarkan kewajiban muslim dalam menjalankan agamanya.
 
* Memberikan penamaan terhadap wilayah sesuai dengan kondisi daerah, seperti : Danawarih yang berarti memberi air, Slawi berarti tempat berkumpulnya para satria yang berjumlah selawe atau dua puluh lima yang dalam perkembangannya menjadi pusat kekuasaan (pangreh praja) di Kabupaten Tegal.
 
== Ide dan pemikiran Ki Gede Sebayu memberikan banyak kemajuan bagi masyarakat ==
Para petani dapat memanfaatkan alat-alat pertanian dengan adanya hasil kerajinan pandai besi. Pasar perdagangan semakin ramai karena banyak masyarakat yang memiliki ketrampilan pertukangan kayu, menjahit, pembuatan alat dapur dari tembaga, pertukangan emas dan sebagainya.
Taraf hidup masyarakat meningkat dengan didukung pembuatan jalan desa, pembangunan rumah penduduk yang dilakukan secara gotong royong , mengatur keamanan secara bersama-sama.
Atas keberhasilannya dalam membangun Tegal maka pada tahun 1601 M atau 1523 Caka, Ingkang Sinuwun Kanjeng Panembahan Senopati Mataram mengangkat Ki Gede Sebayu sebagai Juru Demung (Penguasa Lokal di Tlatah Tegal) dengan pangkat Tumenggung setingkat Bupati.
 
== Perjalanan Karier ==
Identitas Kabupaten Tegal dijiwai oleh semangat kejayaan Ki Gede Sebayu dalam membangun tlatah tegal. Sebagaimana tertera dalam buku silsilah raja-raja se-Tanah Jawa. Ki Gede Sebayu adalah keturunan bangsawan yang bernama Bathara Katong Adipati Ponorogo dan dia adalah putra ke-22 dari 90 bersaudara, kemudian Ki Gede Sebayu mempunyai 2 orang anak yaitu : Raden Ayu Giyanti Subalaksana itri dari Pangeran Selarong (Pangeran Purboyo), dan Ki Gede Honggowono ayah dari Ki Gede Hanggowono Seco Menggolo Jumeneng Tumenggung Reksonegoro Ke-I yang dimakamkan di Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru.
Ki Gede Sebayu banyak pengabdiannya pada Pemerintah Kanjeng [[Sultan Adiwijaya]], penguasa Pajang. Setelah Sultan Pajang meninggal, keadaan pemerintahan menjadi sangat kisruh dan banyak yang menjadi korban.
Melihat kondisi negeri seperti itu Ki Gede Sebayu beserta keluarganya meninggalkan negeri Pajang ke negeri Mataram, bermaksud sowan kepada Kanjeng [[Panembahan Senopati]] untuk menyampaikan rencana urbanisasi ke tlatah pesisir utara yaitu di tlatah Teggal.
Dengan restu dari Panembahan Senopati, Ki Gede Sebayu pergi ke tlatah Tegal yang diikuti oleh 40 pasangan keluarga terpilih yaitu mereka yang memiliki keahlian di berbagai bidang keterampilan. Setelah menempuh perjalanan yang jauh dan melelahkan akhirnya rombongan Ki Gede Sebayu sampai di tepian Kali Gung dan disambut oleh Ki Gede Wonokusumo, yaitu sesepuh dan penanggung jawab makam Pangeran Drajat (Mbah Panggung).
Mengetahui tujuan mulia dari kedatangan Ki Gede Sebayu ke tlatah Tegal yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, maka Ki Gede Wonokusumo dengan tulus ikhlas membantu menata rombongan Ki Gede Sebayu dengan menitipkan keluarga-keluarga dari rombongan itu ke daerah-daerah sepanjang Kali Gung sesuai bidang-bidang keahlian masing-masing dan berakhir di Dukuh Karangmangu Desa Kalisoka (Kecamatan Dukuhwaru-sekarang) sesuai bidang keahlian yang dimilikinya.
Kedatangan keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu di masing-masing daerah itu dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan daerahnya. Kegiatan yang dilakukan oleh keluarga dari rombongan Ki Gede Sebayu adalah meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat, antara lain : pembudidayaan tanaman pangan, kerajinan emas dan tenun kain selendang. Di bidang kerohanian, didirikan pondok pesantren yang sampai sekarang masih terkenal.
Menyikapi perkembangan peningkatan kesejahteraan rakyatnya yang belum tampak nyata, sedangkan sebagian besar bermata pencaharian tani ladang ( tanah kering ) yang hasilnya kurang menguntungkan.
Ki Gede Sebayu beserta dua orang pengikut setianya, Ki Sura Lawayan dan Ki Jaga Sura berjalan sepanjang tepi Kali Gung ke selatan sampai di suatu igir gunung selapi. Dan muncullah niat membangun bendungan untuk mengalirkan air dari Kali Gung ke persawahan.
Baris 57 ⟶ 59:
Sejak ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Tegal 16 tahun yang lalu melalaui Perda Kab.Tegal no.13/95 dan dikukuhkan dengan SK Gubernur Jawa Tengah no.188.3/101/1996 masyarakat kabupaten Tegal sudah 17 kali menyelenggarakan acara dan upacara yang jatuh pada setiap tanggal 18 Mei.Peringatan serupa juga dilakukan oleh semua wilayah kabupaten/kota bahkan provinsi diseluruh In-donesia.Melalui peringatan semacam itu,diharapkan momentum hari jadi dapat dijadikan sarana sebagai upaya-upaya pembentukan jati diri dan kebanggaan daerah pada masyarakatnya.Kesepakatan yang bersifat politis melalui aspek sejarah dan budaya ini,biasanya menampilkan romantisme masa lalu melalui tokoh (lokal) yang berjasa dan dihormati. Tidak jarang dibumbui dengan menampilkan legenda dan cerita-cerita magis tokoh yang digdaya penuh kesaktian dalam epos-epos peperangan maupun perjuangan melawan musuh dan menegakkan keadilan.
Dalam sebuah diskusi tentang hari jadi sebuah kota beberapa tahun yang lalu terungkap adanya anggapan bahwa semakin tua sebuah wilayah semakin menambah wibawa dan kebesaran sang tokoh. Hal tersebut diharapkan akan berdampak semakin besarnya kebanggaan warga terhadap wilayahnya.
Kota Palembang terkesan sangat tua dan memiliki sejarah kebesaran masa silam , karena berdiri sejak tanggal 20 Juni 683 dan tahun ini merayakan ulang tahunnya yang ke 1328.
Kota Jakarta menetapkan hari jadinya pada tanggal 22 Juni 1527 dan tahun ini genap berusia 484 tahun.Tanggal tersebut ditetapkan sebagai pertanda kemenangan Fatahillah setelah berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa,dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.Bagaimana kedahsyatan tokoh “super hero” ini bertempur melawan Portugis,hampir 5 abad yang lalu,sampai hari ini masih dapat disaksikan melalui tayangan film/tv. Kebesaran nama Fatahillah diabadikan pada beberapa bangunan dan kawasan di Jakarta.bahkan nama kapal perang Angkatan Laut RI.
Kota Cirebon tahun ini berulang tahun yang ke-642. Hari jadi kota Cirebon tidak menggunakan penanggalan Masehi,tetapi mengikuti penanggalan Hijriah, yakni setiap tanggal 1 Muharam (1 Syura). Pada tanggal 1 Muharam 791 H Syekh Datul Kahfi memerintahkan kepada muridnya,Pangeran Cakrabuana pendiri Kerajaan Pakungwati untuk membuka hutan di kawasan pesisir Cirebon untuk dijadikan permukiman penduduk, yang kemudian menjadi Kasultanan Cirebon.Syekh Datul Kahfi adalah kakak dari ibu Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,salah satu dari Sembilan Wali penyebar agama Islam di tanah Jawa. Yang masih dikenang (dan kemudian dianut) warga masyarakat Cirebon sampai saat ini adalah Wasiat Sunan Gunung Jati dalam bahasa Cirebon “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”, yang artinya “Aku menitipkan surau dan fakir miskin”. Sebuah artikulasi yang sangat dalam maknanya dan masih relevan untuk dilaksanakan sampai saat ini.
Baris 63 ⟶ 65:
2.      Ki Gede Sebayu dalam narasi yang datar dan sepi.
 
Sebagai produk sejarah nama Ki Gede Sebayu tidak se”populer” Fatahillah atau Faletehan dan Sunan Gunung Jati.Dalam beberapa catatan disebutkan bahwa Ki Gede Sebayu adalah putra Adipati Purbalingga (Pangeran Onje). Ia dikirim oleh ayahnya untuk mengabdi kepada Sultan Pajang Hadiwidjoyo (1549-1582) dan menjadi prajurit Kerajaan Pajang.Akibat frustasi menyaksikan kekacauan di Pajang yang disebabkan perebutan kekuasaan antar keluarga yang tidak kunjung reda,Ki Gede Sebayu melepas atribut kebangsawanan dan mengembara mencari hakikat hidup.Dengan diikuti oleh 40 pasangan keluarga,yaitu mereka yang terpilih memiliki berbagai ilmu dan ketrampilan, Ki Gede Sebayu melakukan misi perjalanan ke arah barat.Menurut kisah sampailah rombongan ini di tlatah Tegal, yang konon masih berupa lapangan luas (tegalan).Tujuan misi ini sangat mulia yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengembangkan agama Islam.Masing-masing anggauta rombongan,sesuai dengan keahliannya, dititipkan pada keluarga-keluarga sepanjang Kaligung, dan berakhir di Kalisoka (Kec.Dukuhwaru sekarang).Mereka kemudian menularkan keahliannya dibidang pertanian,pengairan,pertukangan,penenun kain,pandai besi,kemasan,dan guru-guru pengajar agama Islam.Bahkan Ki Gede Sebayu berhasil membangun sebuah masjid dan bendungan irigasi,yang sangat bermanfaat bagi para petani.Atas keberhasilan misi tersebut,maka pada pada hari Rabu Kliwon 12 Robiul Awal 1010 H, atau 18 Mei 1601 M oleh Panembahan Senopati raja Mataram dia dianugerahi gelar Juru Demung (Demang). Titi mangsa itulah yang kemudian dipakai untuk menandai Hari Jadi Kabupaten Tegal.Kisah yang sama juga digunakan oleh Pemerintah Kota Tegal untuk menandai Hari Jadinya ,namun jatuh pada tanggal 12 April 1580, atau 21 tahun lebih tua.
Narasi tokoh Ki Gede Sebayu dalam pengembaraan panjang dan melelahkan memang terasa datar dan sepi. Kita bisa membayangkan,bagaimana iring-iringan puluhan orang yang terdiri dari para prajurit,petani,tukang kayu,tukang besi,ulama,termasuk wanita dan ibu-ibu,berjalan melintasi lembah dan pegunungan,menyeberang sungai dan menyusuri pantai. selama berhari-hari.Dari kacamata literasi,ini adalah sebuah epos yang sangat spektakuler. Namun misi suci Ki Gede Sebayu yang sangat luar biasa tersebut seolah hanya peristiwa biasa.Padahal peristiwa tersebut dari aspek politik dan sosial budaya memiliki nilai yang sangat besar, yakni:
1.      Menguatnya legitimasi kekuasaan Mataram di wilayah barat, terbukti kemudian dengan diangkatnya keturunan Ki Gede Sebayu menjadi Adipati di Tegal dan Brebes.
Baris 69 ⟶ 71:
2.      Sayangnya gagasan futuristik tersebut tidak sempat diartikulasikan dalam sebuah narasi besar yang akan dicacat oleh sejarah dan dikenang oleh generasi yang bakal datang. Ki Gede Sebayu tidak pernah mewariskan kredo seperti halnya Sunan Gunung Jati: “Ingsun titip tajug lan fakir miskin.” Atau Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada: “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa…”
3.      Membangun karakter sambil membangkitkan imajinasi.
Dengan peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal yang diselenggarakan setiap tahun,diharapkan akan terbangun karakter warga yang memiliki ciri dan perilaku sebagaimana yang ingin diteladankan Ki Gede Sebayu.Untuk mengaktualisasikan dan mengomunikasikan teladan luhur tersebut kehadapan khalayak,bukan hal yang mudah,mengingat panjangnya rentang waktu masa silam.Imajinasi khalayak tentang Ki Gede Sebayu yang tidak ditopang oleh referensi dan korelasi profil yang stereotip,khas,dengan “his story” yang unik,dramatik apalagi heroik,kiranya sangat sulit untuk dimunculkan.Acara dan upacara setahun sekali yang lebih bersifat formal dan artifisial,pidato-pidato dan kirab pusaka serta tampilan para pejabat yang feodalistik aristokratif,semakin menjauhkan dengan misi budaya pertanian dan pedesaan ,yang masih tetap relevan dengan problem mayoritas masyarakat Kabupaten Tegal.Diperlukan gagasan yang cerdas untuk bisa sekadar menyentuhkan misi Ki Gede Sebayu 4 abad yang lalu.Sehingga nama Ki Gede Sebayu akan bisa terpateri dalam sanubari setiap warga Kabupaten Tegal.
 
 
Baris 98 ⟶ 100:
·         Kelompok Studi IdeA, Disajikan pada Malam Renungan Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal Ke-410, Senin 30 Mei 2011 di Gedung Kesenian Slawi.
·         Komunitas Budaya Banyu Bening Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat, 5 Maret 2012. Didedikasikan Untuk Menyambut Hari Jadi Kabupaten Tegal
·         Soetjiptoni, Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal tahun 1585-1625 : Penerbit Citra Bahari Animal Tegal Tahun 2007)
 
== Referensi ==
Kelompok Studi IdeA, Disajikan pada Malam Renungan Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tegal Ke-410, Senin 30 Mei 2011 di Gedung Kesenian Slawi.
 
Komunitas Budaya Banyu Bening Yogyakarta, Ngayogyakarta Hadiningrat, 5 Maret 2012. Didedikasikan Untuk Menyambut Hari Jadi Kabupaten Tegal.
 
Soetjiptoni, Ki Gede Sebayu Pendiri Pemerintahan Tegal tahun 1585-1625: Penerbit Citra Bahari Animal Tegal Tahun 2007
 
[[Kategori:Tokoh Jawa]]
[[Kategori:Tokoh dari Tegal]]
[[Kategori:Tokoh dari Purbalingga]]
[[Kategori:Bupati Tegal]]