Sangkuriang (legenda): Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Dikembalikan ke revisi 14656064 oleh Bagas Chrisara (bicara).
Tag: Pembatalan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(39 revisi perantara oleh 22 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{nofootnotes}}
[[Berkas:Sangkuriang1-300x197.jpg|jmpl|ka|Ilustrasi cerita sangkuriang]]
'''SangkuriangSayangkuriang '''({{Lang-su|{{Sund|ᮞᮀᮊᮥᮛᮤᮃᮀ}}|Sang Kuriang}}) adalah legendacerita yangrakyat berasalserta darilegenda [[JawaSuku Sunda|masyarakat BaratSunda]]. Legenda tersebut berkisah tentang terciptanya danau [[Bandung]], Gunung [[Tangkuban Parahu]], Gunung [[Burangrang]], dan Gunung [[Bukit Tunggul]].
 
DariLegenda legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yangini didukung dengan fakta [[geologi]], diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran initinggi tersebut sejak beribu tahun sebelum [[Masehi]].
 
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah [[Bujangga Manik]] yang ditulis pada daun [[lontar]] yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran [[Bujangga Manik]] atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di [[pulau Jawa]] dan [[pulau Bali]] pada akhir abad ke-15.
 
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi [[Kota Bandung]]. Dia menjadi sasterawansastrawan yang pertama kali menuliskan nama tempat legendanya. Laporannya adalah sebagai berikut:
 
::''Leumpang aing ka baratkeun'' (Aku berjalan ke arah barat)
::''Datang ka Bukit Patenggeng'' (tiba ke Gunung Patenggeng)
::''Sakakala Sang Kuriang'' (tempat legenda Sang Kuriang)
::''Masa dekdék nyitu Ci tarum'' (semasa akan membendung Citarum)
::''Burung tembey kasiangan'' (tetapi gagal karena kesiangantersiangi)
 
== Ringkasan cerita ==
Baris 20:
Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja membuang air seni yang tertampung dalam daun ''caring'' ([[keladi]] hutan), dalam versi lain disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan betina bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia kemudian tanpasengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia adalah seorang dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja yang tidak menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
 
Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemanikarena seekorterkena anjingpenyakit jantan yaitu Si Tumangkelamin. Ketika sedang asyik menenun kain, ''torompong'' (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah balai-balai. Karena merasa malas, terlontar ucapan Dayang Sumbi tanpa dipikir dulu, dia berjanji bahwa siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh, bila laki-laki akan dijadikan suaminya, dan jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat perkataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh sumpah dan janjinya, maka ia pun mengawini si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
 
Suatu ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan ([[rusa]]), maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan. Setelah sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak tampak hewan buruan seekorpun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung Hyang, yang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri, maka si Tumang tidak mau menuruti perintah itu. Saking kesalnya Sangkuriang kemudian menakut-nakuti si Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panahnya terlepas dan si Tumang terbunuh tertusuk oleh anak panah. Sangkuriang menjadi bingung; dan lalu karena tidak memperoleh hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Oleh Sangkuriang, hati si Tumang itu diberikannya kepada Dayang Sumbi, yang kemudian dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya sendiri, maka kemarahannya pun meledak; dengan serta-merta kepala Sangkuriang dipukul dengan ''centong'' (sendok nasi) yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga terluka.
Baris 37:
Telah terjadi dua letusan [[Gunung Sunda]] purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing sekitar 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, [[Gunung Burangrang]] (disebut juga Gunung Sunda), dan [[Gunung Bukit Tunggul]].
 
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat [[Ci Tarum]] (utara dan barat laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya ''[[Homo sapiens]]''; mereka telah teridentifikasi hidup di [[Australia]] selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia JawaWajak (''[[ManusiaHomo Wajak|Wajakwajakensis]]'') sekitar 50.000 tahun yang lalu.
 
== Sangkuriang dan falsafahFalsafah Sunda ==
 
Menurut [[Hidayat Suryalaga]], legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan ''cariang'') yang masih bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiaannya (Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (''torompong''), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula yang memengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
 
Walau demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang, interdependencyinterdependensi (kebergantungan sosial)—[[Silih|silih asih-asah silih asih dan silih asuh]] yang humanis harmonis, yaitu satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
 
Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung Tangkubanparahu).
Baris 49:
Walau demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
 
Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (''Sanghyang Tikoro'' atau tenggorokan; bahasa[[Bahasa Sunda|Sd]]: ''Hade ku omong goreng ku omong, [[Indonesia|Id]]: Baik Karena Ucapan Buruk juga Karena Ucapan''). Dan dengan cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan bermanfaat.
 
== Referensi ==
Baris 57:
 
== Pranala luar ==
* {{id}} [http://budaya-indonesia.org/iaci/Legenda_Sangkuriang Legenda Sangkuriang di situs web Budaya Indonesia] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20101024084622/http://www.budaya-indonesia.org/iaci/Legenda_Sangkuriang |date=2010-10-24 }}
* {{id}} [http://www.beritabudaya.com/2010/07/eksotika-wisata-legenda-sangkuriang/ Eksotika wisata legenda Sangkuring di situs web Berita Budaya] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20110511015715/http://www.beritabudaya.com/2010/07/eksotika-wisata-legenda-sangkuriang/ |date=2011-05-11 }}
{{Dongeng}}
{{Indonesia|navbar=plain|prefix=:Kategori:Cerita rakyat dari|title=Daftar cerita rakyat di Indonesia menurut provinsi (kategori)|image=}}