Suku Donggo: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:Suku bangsa di Nusa Tenggara Barat menggunakan HotCat |
k Etnik |
||
(20 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Suku Donggo''' atau disebut juga dengan Dou Donggo adalah suku bangsa di [[Nusa Tenggara Barat|Provinsi Nusa Tenggara Barat]]. Suku ini merupakan kelompok penduduk asli, masyarakat Donggo yang bermukim di pegunungan dan dataran tinggi di sebelah barat dan tenggara teluk Bima yang dikenal dengan Dou (Orang) Donggo Ipa dan Donggo Ele. Orang (Dou) Donggo Ipa bermukim di sebelah barat teluk Bima yaitu di gugusan pegunungan [[Soromandi, Bima|Soromandi]]. Sedangkan Dou Donggo Ele bermukim di sekitar pegunungan [[Lambitu, Bima|Lambitu]]. Dengan demikian, Dou Donggo Ele diartikan sebagai orang dataran tinggi sebelah timur. Sedangkan Dou Donggo Ipa berarti juga orang dataran tinggi sebelah barat teluk Bima.<ref>{{Cite journal|last=Inayati|first=Nurul|year=2016|title=ISLAMISASI DI DONGGO|url=http://repositori.uin-alauddin.ac.id/925/1/Nurul%20inayati.pdf|journal=Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar|volume=|issue=|pages=|doi=}}</ref>
Masyarakat Donggo Barat atau Donggo Ipa merupakan masyarakat Bima ([[Mbojo]]) yang mendiami wilayah pegunungan Soromandi. Masyarakat ini sering diidentikkan dengan
== Bahasa ==
Terdapat sedikit perbedaan bahasa yang digunakan pada masyarakat Donggo Ipa dan Donggo Ele. Bahasa dan budaya yang berkembang
==
Laki-laki tua dan dewasa pada masyarakat dewasa Donggo Ipa mengenakan ''sambolo'' (ikat kepala) yang terbuat dari kain kapas bercorak kotak-kotak tanpa disngket dengan baju berkerah warna hitam atau biru tua, tetapi terdapat juga orang yang memakai baju putih berlengan pendek. ''Salongo'' (ikat pinggang) terbuat dari kain kapas yang ditenun sendiri. Umumnya ''salongo'' terbuat dari benang kapas yang dipintal sendiri kemudian dicelupkan pada ramuan tumbuhan perdu
▲Masyarakat Donggo Barat atau Donggo Ipa merupakan masyarakat Bima ([[Mbojo]]) yang mendiami wilayah pegunungan Soromandi. Masyarakat ini sering diidentikkan dengan kekerasan, kesaktian dan keteguhan pada pendirian sebagai akibat dari sejarah hidup mereka yang tegas melawan penjajah Belanda (misalnya, dalam Perang Mbawa tahun 1910 dan Perang Kala tahun 1909).<ref name=":0" />
Perempuan tua dan dewasa menggunakan ''kababu'' (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dengan warna hitam yang dibuat menyerupai ''baju poro'' (baju pendek) dengan bentuk yang sederhana. Lalu, bawahan menggunakan ''deko'' (celana panjang) dibawah lutut atau lebih yang berwarna hitam. Sarung menggunakan ''tambe me'e kala'' (kain hitam atau biru tua yang cukup panjang tanpa dijahit). Sarung dipakai dengan dililitkan secara lepas di luar ''deko'' dan ujungnya diselempangkan atau diikat satu kali. Perhiasan yang biasanya dipakai adalah kalung dari manik-manik giwang, seperti ''karabu'', ''jima'' (gelang) ''gilo'', j''ima bula'', dan ''jima edi''.
▲Laki-laki tua dan dewasa pada masyarakat dewasa Donggo Ipa mengenakan ''sambolo'' (ikat kepala) yang terbuat dari kain kapas bercorak kotak-kotak tanpa disngket dengan baju berkerah warna hitam atau biru tua, tetapi terdapat juga orang yang memakai baju putih berlengan pendek. ''Salongo'' (ikat pinggang) terbuat dari kain kapas yang ditenun sendiri. Umumnya ''salongo'' terbuat dari benang kapas yang dipintal sendiri kemudian dicelupkan pada ramuan tumbuhan perdu dari kain pohon tarum. Pisau kecil atau ''pisau mone'' digunakan sebagai perlengkapan yang berfungsi untuk meraut daun lontar.
▲Perempuan tua dan dewasa menggunakan ''kababu'' (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dengan warna hitam yang dibuat menyerupai ''baju poro'' (baju pendek) dengan bentuk yang sederhana. Lalu, bawahan menggunakan ''deko'' (celana panjang) dibawah lutut atau lebih yang berwarna hitam. Sarung menggunakan ''tambe me'e kala'' (kain hitam atau biru tua yang cukup panjang tanpa dijahit). Sarung dipakai dengan dililitkan secara lepas di luar ''deko'' dan ujungnya diselempangkan atau diikat satu kali. Perhiasan yang biasanya dipakai adalah kalung dari manik-manik giwang, seperti ''karabu'', ''jima'' (gelang) ''gilo'', j''ima bula'', dan ''jima edi''.
Laki-laki remaja mengenakan ''baju'' ''mbolo wo'o'' (baju leher bundar) yang umumnya seperti kaos. Baju tersebut terbuat dari benang kapas berwarna hitam dan bergaris-garis putih. ''Salongo'' yang digunakan berwarna merah atau kuning yang mempunyai fungsi sebagai tempat untuk merapatkan ''pisau mone'' (pisau laki-laki). Kemudian aksesoris yang digunakan adalah ''pisau mone'' berhulu panjang berbentuk agak menjorok.
Perempuan remaja memakai pakaian yang disebut dengan ''kani dou sampela''. Mereka memakai ''kababu'' (baju hitam khas Donggo) yang terbuat dari benang katun dan dibentuk menjadi baju berlengan pendek. Lalu, celana yang dikenakan adalah ''deko'' dengan bentuk segitiga yang panjangnya sampai dengan lutut. Sarungnya adalah ''tembe'' Donggo berwarna hitam dengan kotak-kotak putih dipakai dengan mengikatkan dibagian perut. Perhiasan yang dipakai adalah kalung dari manik-maik merah yang dililitkan dan dibiarkan berkali-kali terjuntai dari leher ke dada.
Untuk pakaian bepergian, laki-laki menggunakan ''sambolo'' (ikat kepala) sari katun berwarna hitam atau biru tua. ''Tembe me'e'' Donggo berwarna hitam dengan garis-garis kecil dan ''salampe'' dari kain yang digunakan sebagai ikat pinggang. Alas kaki yang dipakai adalah ''sapoda'', yang merupakan hasil buatan sendiri dari kulit binatang. Perempuan dewasa menggunakan perhiasan kalung manik-manik berwarna merah untuk bepergian dan memakai alas kaki. Untuk pakaian sehari-hari, laki-laki Donggo menggunakan ''sambolo'' seperti masyarakat Bima pada umumnya, ''kababu'' berwarna hitam atau biru tua, ''tembe me'e'' Donggo yang berwarna senada dengan ''kababu'', lalu menggunakan ''salongo'', dan tanpa alas kaki.<ref>{{Cite web|url=http://www.bimasumbawa.com/2016/06/busana-donggo-yang-anggun.html|title=Hitam Yang Menawan - BIMASUMBAWA.COM {{!}} Budaya dan Pariwisata|website=www.bimasumbawa.com|access-date=2019-04-10}}{{Pranala mati|date=Mei 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
==
=== Londo Dou ===
Londo Dou merupakan simbolik
Menurut Johanes Elbert, seorang antropolog dari Jerman, terdapat lima Londo Dou, yaitu
''Londo Dou Deke'' adalah keluarga orang Nggeko (tempat asal usul Dou Donggo bermukim) yang paling tua dan paling dihormati dari keluarga ''parafu''. ''Londo Dou Dona'' yang berasal dari Waro merupakan kelompok Londo Dou yang dahulunya hidup terpisah-pisah, namun sekarang sudah membaur dan melakukan perkawinan dengan klan lain. ''Londo Dou Gande'', keluarga besarnya terpusat di Desa Kananta. ''Londo Dou Oi'', bermukim di wilayah Tuntu. ''Londo Dou Winte'', mayoritas mendiami Desa Sai.
Baris 29 ⟶ 28:
Nama klan Londo Dou diambil dar peristiwa penting yang dialami oleh orang terdahulu. ''Londo Dou Duna'' memiliki asal nama dari seorang anak yang digigit ''duna'' (belut) ketika sedang bermain. Kemudian orang-orang menyebut keturunan anak yang digigit ''duna'' tersebut dengan ''Londo Dou Duna''.<ref>{{Cite web|url=http://www.mbojoklopedia.com/2017/12/genealogi-dou-donggo.html|title=Genealogi Dou Donggo|last=mbojoklopedia|website=Mbojoklopedia|access-date=2019-04-10}}</ref>
== Kesenian ==
=== Arugelu ===
Arugele adalah suatu tarian dan nyanyian yang dilakukan masyarakat saat menanam atau memanen hasil pertanian.Tarian Arugele diperagakan oleh kaum perempuan dewasa maupun para remaja. Jumlah penarinya beragam, ada enam orang kadang juga delapan, bahkan bisa lebih. Mereka berbaris membentuk syaf. Sambil menyanyikan syair Arugele, para gadis ini memegang tongkat kayu yang telah diruncingkan ujungnya dan menancapkannya ke tanah, sehingga membentuk lubang untuk dimasukkan
=== Kalero ===▼
Kalero merupakan jenis upacara untuk menghormati para arwah leluhur mereka yang telah meninggal, dan para keturunannya dijauhkan dari marabencana. <ref name=":1" /> Tarian ini dipercaya tercipta sejak abad ke-7 saat tanag bima masih dikepalai para Ncuhi dan masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Arti dari setiap gerakan Kalero adalah kesedihan, harapan, dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Pakaian yang digunakan serba hitam dengan alunan musik tradisional Bima yang ritmenya mnggambarkan kesedihan kerabat yang sangat mendalam.<ref>{{Cite web|url=http://www.mbojoklopedia.com/2014/04/tarian-spiritual-kalero-donggo.html|title=Tarian Spiritual Kalero Donggo|last=mbojoklopedia|website=Mbojoklopedia|access-date=2019-04-10}}</ref>▼
=== Belaleha ===
Belaleha merupakan lantunan syair yang biasanya digunakan pada saat acara sunatan atau pesta pernikahan. Belaleha hanya boleh diiringi dengan irama mulut tanpa alunan musik apapun serta hanya boleh dilantunkan oleh kaum wanita. Para pelantun Belaleha tidak dibatasi jumlahnya, semakin banyak semakin baik. Syair Belaleha variatif, baik dari syair lama maupun baru yang mencerminkan kegembiraan atau kesedihan, dan berisi petuah kehidupan dari leluhur.<ref>{{Cite web|url=http://www.mbojoklopedia.com/2015/03/lantunan-syair-bingkai-kehidupan-di.html|title=Lantunan Syair Bingkai Kehidupan Di Lembah Sambori|last=mbojoklopedia|website=Mbojoklopedia|access-date=2019-04-10}}</ref
==
Menurut [[sensus]] pada tahun [[1986]], suku Donggo mayoritas beragama [[Islam]] (97%) dan sisanya [[Kekristenan|Kristen]] (3%).<ref>{{Cite web|title=Sejarah Suku Donggo: Agama, Upacara, Pakaian, Senjata dan Rumah|url=https://www.gurupendidikan.co.id/suku-donggo/|website=www.gurupendidikan.co.id|access-date=2021-06-16}}</ref> Walaupun memang setelah melepas Parafu ro Pamboro ( Animisme dan dinamisme) mereka memeluk agama kristen yang dibuktikan dengan berdirinya gereja di tanah donggo ditengah masyarakat Bima yang mayoritasnya muslim saat ini.
<references />▼
==
▲=== Kalero ===
▲Kalero
== Referensi ==
▲<references />
<br />
[[Kategori:Suku bangsa di Nusa Tenggara Barat]]
[[Kategori:Kelompok etnik di Indonesia|Donggo]]
|