Tudang Sipulung: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(17 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{italictitle}}
'''''Tudang
== Istilah ==
Istilah ''Tudang'' dalam [[Bahasa Bugis]] berarti duduk, sedangkan ''Sipulung'' berarti berkumpul. Dengan demikian secara etimilogi ''Tudang Sipulung'' berarti duduk berkumpul kemudian diartikan sebagai musyawarah. Secara harfiah hal ini berarti berkumpul dengan maksud memusyawarahkan hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat setempat.<ref>Dollah, B., Bikuwata, (1994), Tudang Sipulung, sebagai Arena Komunikasi Top-Down dan Bottom-Up. Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan No. 34, Badan Litbang Penerangan Departemen Penerangan RI</ref> ''Tudang sipulung'' juga bisa diartikan sebagai wadah yang memediasi antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah, secara bersama bermusyawarah untuk mufakat dalam mencari solusi atas persoalan yang tengah dihadapi masyarakat. Dalam masyarakat Makassar lebih dikenal dengan istilah ''Empo Sipitangarri'', yang apabila dijabarkan kata perkata, ''empo'' bermakna “duduk” dan ''tangarak'' berarti “usul, saran, pertimbangan” dengan afiksasi ''si-'' dan ''-i'' yang menandakan resiprokal/saling. Apabila digabung, maka ''Empo Sipitangarri'' berarti duduk berkumpul saling memberi usul dan saran.
== Sejarah ==
Pelaksanaan upacara ''Tudang Sipulung'' atau ''Empo Sipitangarri'' sudah dikenal sejak abad ke 13-14 Masehi sebelum Islam
Dalam ''Lontara’
Para tetua duduk dan berkumpul bersama untuk membicarakan suatu masalah dan mencari solusinya khususnya permasalahan kehidupan masyarakat yang dilandasi pada pemahaman bahwa hidup bermasyarakat memiliki aturan yang bermasyarakat pula. Artinya, segala sesuatu, baik pemecahan masalah maupun pengambilan suatu keputusan harus dikerjakan dengan cara berembuk atau bermusyawarah sehingga tidak ada satu pihak yang dirugikan dan diselesaikan dengan ''Tudang Sipulung'', budaya bermajelis. Hasil keputusan melalui ''Tudang Sipulung'' tidak dapat diganggu gugat.<ref>Mattulada. H.A. 1998. Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.</ref>
Di bidang pertanian, ''Tudang Sipulung'' dilakukan pada setiap musim tanam, mulanya dipelopori oleh tokoh-tokoh tani dan tokoh adat seperti ''Pallontara'', yaitu orang-orang yang membaca dan mendalami masalah kuno orang [[Suku Bugis|Bugis]] dan [[Makassar]]. ''Papananrang'', yaitu orang-orang yang ahli perbintangan tradisional yang melakukan musyawarah dengan maksud agar timbul kesepakatan bersama dalam mengolah, memelihara, dan memetik hasil pertanian. Hasil kesepakatan tersebut bersifat mengikat, sehingga siapa pun yang melanggar dikenakan sanksi ''makcerak'', yaitu memotong hewan piaraan sepeti ayam, kambing, sapi atau kerbau.<ref>Dollah, B. Tudang Sipulung sebagai Komunikasi Kelompok dalam Berbagi Informasi. jurnal Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Komunikasi dan Informatika (BBPPKI) Makassar</ref><ref>https://makassar.sindonews.com/read/4549/4/tudang-sipulung-tradisi-tahunan-tangguhkan-petani-sidrap-1517284919</ref>
== Prosesi ==
''Tudang Sipulung'' mempertemukan antara Pimpinan dan masyarakat, komunikasi yang terjadi yaitu komunikasi vertikal, komunikasi dari atasan kepada bawahan dan sebaliknya komunikasi dari bawahan kepada atasan. Pelaksanaannya dapat bersifat resmi maupun tidak resmi. Mulai dari tingkat paling kecil dalam keluarga, antar keluarga, dalam kampung, antar kampung, dalam kerajaan hingga antara kerajaan. ''Tudang sipulung'' yang sifatnya tidak resmi biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga atau antar keluarga membicarakan persoalan-persoalan keluarga, seperti perkawinan, lamaran dan sebagainya. Sedangkan
Abdul. 2014.Jurnal Sosial Budaya diterbilkan oleh program Studi pendidikan Antropologi,Volume '1, Nomor 2, Oktober 2014,tssN 2339-2312Volume</ref>
Pelaksanaan ''Tudang Sipulung'' bersifat tidak resmi umumnya
Proses musyawarah untuk mencapai mufakat berlangsung secara demokratis dimana pimpinan ''Tudang Sipulung'' berkewajiban meminta pendapat kepada peserta tudang sipulung. Peserta yang dimintai pendapat berkewajiban mengemukakan pendapatnya walaupun pendapat yang diberikannya sama dengan peserta lain atau telah dikemukakan terlebih dahulu oleh peserta sebelumnya. Apabila seorang peserta tidak setuju atas suatu hal, maka ia harus mengungkapkan secara langsung dalam musyawarah tersebut, apa yang menjadi alasannya sehingga tidak setuju.<ref>Nuh,Muhammad Syarif 2016, Tudang Sipulung: A Conict Resolution Wisdom of Bugis-Makassar Community,HALREV. Faculty of Law, Hasanuddin University, Makassar, South Sulawesi, Indonesia. ISSN: 2442-9880 | e-ISSN: 2442-9899.Open Access at: http://pasca.unhas.ac.id/ojs/index.php/halrev</ref>
Komunikasi yang terlihat pada tudang sipulung ini adalah interaksi baik secara verbal ataupun non verbal antara pemerintah dan masyarakat dengan suasana keakraban dan penuh kekeluargaan.
== Warisan budaya tak benda ==
Baris 27 ⟶ 29:
<references />
[[Kategori:Tradisi Indonesia]]
[[Kategori:Warisan budaya takbenda Indonesia]]
[[Kategori:Budaya Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Budaya Bugis]]
[[Kategori:Budaya Indonesia]]
[[Kategori:Upacara adat]]
[[Kategori:Upacara adat di Indonesia]]
|