Perang Pacirebonan: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi 'Perang Pacirebonan atau Perang Pagrage Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama ''perang Pagrage'' adalah sebuah peristiwa pengiriman p...'
Tag: tanpa kategori [ * ]
 
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(186 revisi perantara oleh 30 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Orphan|date=Desember 2022}}
Perang Pacirebonan atau Perang Pagrage Perang Pacirebonan atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama ''perang Pagrage'' adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan kesultanan Cirebon ke wilayah [[kesultanan Banten]] dimana didalamnya terdapat insiden kesalahan komunikasi antara prajurit [[kesultanan Cirebon]] dengan prajurit [[kesultanan Banten]] di muara sungai di Banten.
 
'''Perang Pacirebonan''' atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama '''Perang Pagrage''' adalah sebuah peristiwa pengiriman pasukan [[Kesultanan Cirebon]] ke wilayah [[Kesultanan Banten]] pada 25 September 1650 atau 30 Ramadan 1060 H. Dalam peristiwa ini, terdapat insiden kesalahan komunikasi antara kesatuan prajurit [[kesultanan Cirebon]] di muara Pasiliyan dari sungai Ci Rumpak di [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]]. Pasukan Banten berhasil menyergap pasukan Cirebon dan menyita banyak kapal perang Cirebon.<ref>{{Cite web|date=2019-06-11|title=Perang Banten-Cirebon di Akhir Ramadan|url=https://historia.id/militer/articles/perang-banten-cirebon-di-akhir-ramadan-vXjb5|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2023-10-03}}</ref>
{{Infobox military conflict
| date = 25 September 1650
| place = [[Cirebon]], [[Banten]]
| result = {{ublist|Kemenangan Banten}}
*[[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] berhenti melakukan penyerangan terhadap [[Kesultanan Banten|Banten]]
| combatants_header =
| combatant1 = {{flagicon|Kesultanan_Mataram|size=22px}} [[Kesultanan Mataram]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} [[Kesultanan Cirebon]]
| combatant2 = {{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Kesultanan Banten]]
| commander1 = {{flagicon|Kesultanan_Mataram|size=22px}} [[Amangkurat I]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} [[Pangeran Martasari]]<br/ >{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} panembahan girilaya <br/>{{flagicon image|COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Katoenen_banier_met_Arabische_kalligrafie_TMnr_5663-1.svg}} ngabei panjangjiwa{{surrender}}
| commander2 = {{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Abu al-Mafakhir dari Banten]]<br/ >{{flagicon|Kesultanan_Banten|size=22px}} [[Sultan Ageng Tirtayasa]]
}}
 
== Latar belakang ==
 
Pada tahun 1588 ketika [[kesultanan Mataram]] muncul setelah meninggalnya Sultan [[Adiwijaya dari Pajang|Hadiwijaya]] dari [[kerajaan Pajang]], pendirinya [[Senapati dari Mataram|Danang Sutawijaya]] kemudianlalu mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinyaeksistensi Kesultanan baru ini sementara kesultanan Cirebon yang pada masa itu diperintah oleh [[Panembahan Ratu I]] atau Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalahhanya sebuah ''Kadipaten'' dari [[kerajaan Pajang]] kiniyang berubah menjadi kesultanan yang mandiri,. namun demikian,Namun [[kesultananKesultanan Banten]] pada masa itu belum mengakui eksistensi [[kesultanan Mataram]], Sultan [[Maulana Muhammad, sultandari Banten|Maulana yangMuhammad]], bertahtapenguasa Banten saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (beliau naik tahta pada 1585<ref>Darmawan, Joko. 2017. Sejarah Nasional “Ketika Nusantara Berbicara” : [[Yogyakarta]] : Deepublish</ref> pada usia 9 tahun).<ref name=Mukarrom>Mukarrom, Ahwan. 2014. Sejarah Islam Indonesia I : Dari Awal Islamisasi
sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. [[Surabaya]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel</ref>
 
=== Masa Sultan Maulana Muhammad dan Penyerangan Mataram Pertama ===
 
[[Kesultanan Banten]] pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukan dengan klaim tahtatakhta oleh [[Pangeran Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf]], ayahpaman dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh [[Ratu Kalinyamat]], (putri Sultan [[Trenggana dari Demak]] sekaligus istri dari pangeranPangeran Hadiri seorang Adipatiadipati Jepara) ). Pangeran Arya Jepara mengajukan usul kepada [[kesultananKesultanan Banten]] agar dirinya dijadikan wali penguasa [[kesultanan Banten]] sampai pangeran Maulana Muhammad cukup umur untuk memegang pemerintahan, namun usul tersebut ditolak oleh para pejabatpembesar [[kesultananKesultanan Banten]] yang menganggap bahwa pangeran Arya Jepara adalah orang luar Banten,. paraPara pejabatpembesar dengan dukungan ''Qadi'' [[kesultananKesultanan Banten]] padadi masatahun itu1585 mengangkat Maulana Muhammad sebagai Sultansultan Banten, sementara menunggu usia Sultan Bantenusianya cukup untuk memegang pemerintahan, maka para ''Qadi'' dibantu denganmengangkat empat pejabat lainnyatokoh menjadi wakilwali Sultansultan Banten dalam memerintah [[kesultanan Banten]],<ref name=Graafkerajaan>de Graaf, Hermanus Johannes. Theodore Gauthier Th. Pigeaud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa : Peralihan dari Majapahit ke Mataram. [[Jakarta]] : Grafitipers</ref> mereka diantaranya adalah ''Patih'' (bahasa Indonesia : Perdana Menteri) Jayanegara<ref name=Mukarrom/>, ''Senapati'' (bahasa Indonesia : Panglima) Pontang, ''Ki'' Waduaji dan ''Ki'' Wijamanggala.<ref name="Mukarrom" />
 
Penolakan ''para Qadi'' dan para pejabat [[kesultananpembesar Banten]] membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang [[kesultananKesultanan Banten]]. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan ''Demang Laksamana'' (bahasa Indonesia : Laksamana)dari Jepara pergiberangkat menuju [[kesultanan Banten]] melalui jalur laut, dalam peperanganpertempuran tersebut ''Demang Laksamana'' Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.<ref name=Graafkerajaan/>
 
Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta RajaKutaraja di Cirebon, sejarawan Husein Djajadiningrat dalam penelitiannya berkaitan dengan [[Banten]] menemukan bahwa pada tahun yang sama yakni 1596, Mataram pernah mengirimkan 15.000 pasukannya untuk menyerang Banten dari laut namun gagal.<ref name=djajadiningrat>Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten: sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]]: Djambatan</ref> Sultan Maulana Muhammad padayang masamasih itumuda disibukandisibukkan dengan kegiatan dakwah [[Islam]] dan baru pada tahun 1596 (tahun yang sama dengan penyerangan [[Mataram]] ke [[kesultanan Banten]]) atas masukan dari Pangeran Mas (puteraputra [[Arya Penggiripangiri|Arya Pangiri]], cucu Sunan Prawoto dari [[kesultananKesultanan Demak]]) yang berambisi menjadi penguasa [[Kerajaan Palembang|Palembang]] maka Sultan Maulana Muhammad memutuskan untuk melakukan penyerangan ke wilayah Palembang, dalam penyerangan tersebut Sultan Maulana Muhammad yang baru berusia 19 tahun wafatgugur terkena peluru meriam dan meninggalkan putra mahkota [[kesultanan Banten]] yang baru berusia 5 bulan<ref name=Mukarrom/> yang kemudian dikenal dengan nama AbdulSultan mufakhir[[Abu mahmud abdul kadir. Peristiwaal-peristiwaMafakhir inilahdari yangBanten|Abul menjadi latar belakang tidak terlibatnya [[kesultanan BantenMafakhir]].<ref>{{Cite padabook|last=Hatmadji|first=Drs masa Sultan MaulanaH. Tri|date=2007|url=https://books.google.com/books?id=yqCHCgAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA116&dq=%22Maulana+Muhammad%22+Palembang+meriam&hl=id|title=Ragam terhadapPusaka permasalahanBudaya eksistensiBanten|publisher=Direktorat danJenderal penaklukan wilayah yang dilakukan oleh [[kesultanan Mataram]]Kebudayaan|isbn=978-979-99324-0-2|language=id}}</ref>
 
=== Masa Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir ===
 
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan ''Patih''mangkubumi Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. ''Patih'' Jayanegara dikenal sebagai pejabat [[kesultanan Banten]] yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali [[kesultanan Banten]], kesultanan berada dalam kondisi yang tentramtenteram.<ref name=Mukarrom/>
 
Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_Corneliszoon_van_Neck [Jacob Corneliszoon van Neck]] ditemani oleh wakil laksamana Wybrand van Warwyck dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu yaitu [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk[Jacob van Heemskerck|Jacob van Heemskerk]], van Heemskerk pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi perang Delapan puluh tahun antara Belanda dengan Spanyol, Belanda yang selama ini mengambil rempah dari [[Lisbon]] (Portugal) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, namun usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena statusnya pada masa itu berada dibawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika ''Itineratio'' sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya Huygen van Linschoten terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal, [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk] yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut. Dari laporan [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk] Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati Tanjung Harapan (Afrika), misi itu dipimpin oleh [[Cornelis de Houtman]], namun [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Jacob_van_Heemskerk Jacob van Heemskerk] tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah beliau ikut serta kedalamnya, mereka kemudian berlayar dengan mengikuti arahan dari seorang ahli astronomi dan kartografer (pembuat peta) kelahiran Flander (sekarang bagian dari [[Belgia]]) yang bernama [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Petrus_Plancius Pieter Platevoet]. Jacob van Neck sebenarnya bukanlah orang yang ahli di bidang navigasi pelayaran, latar belakang keahliannya adalah bidang perdagangan, oleh karenanya dia memutuskan untuk mengambil kelas di bidang navigasi guna mendalaminya.<ref name=Masselman>Masselman, George. 1963. The Cradle of Colonialism. [[New Haven, Connecticut|New Haven]] : Yale University Press</ref>. Kedatangan para pedagang Belanda kali ini disambut baik oleh [[kesultanan Banten]], tidak seperti pendahulunya yakni [[Cornelis de Houtman]] yang tercatat sempat berbuat tidak baik di Banten dengan menggerebek kapal -kapal pembawa rempah dari Sumatra dan Kalimantan yang datang ke Banten,<ref name=Masselman/>, walaupun sebenarnya sikap [[Cornelis de Houtman]] dilatar belakangi kejadian buruk yang menimpanya ketika dia mencapai Banten pada tahun 1596, ketika dia berusaha membeli rempah, pihak Portugis membujuk orang Banten agar memberikan harga yang sangat tinggi hingga tidak masuk diakal kepada rombongan [[Cornelis de Houtman]] bahkan rombongan inipun tidak diberi akses untuk memenuhi kebutuhan air bersih, akhirnya rombongan [[Cornelis de Houtman]] pergi ke Sumatra untuk mendapatkan logistik dan lebih banyak rempah namun ia dan rombongannya ditangkap dan kemudian dibebaskan setelah tebusan dibayar,<ref name=Masselman/>, kejadian itu membuat [[Cornelis de Houtman]] kesal hingga melakukan penggerebekan kepada kapal-kapal pembawa rempah yang menuju Banten.
 
Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan AbdulAbul MufakhirMafakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.
 
Pada tahun 1602, ''Patih'' Jayanegara meninggal dunia, posisi ini kemudian digantikan oleh adiknya, namun dia dipecat pada 17 Nobermber 1602 dengan alasan berkelakuan tidak baik, ibunda sultan yaitu Nyi Gede Wanogiri kemudian menikah dengan seorang bangsawanpatih keraton yang bernama Pangeran Camara, dia mendesak agar suami barunya itu diperkenankan menjadi wali bagi Sultan AbdulAbul MufakhirMafakhir,<ref name=Djajadiningrat1>Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten: Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa. [[Jakarta]] : Djambatan<djajadiningrat/ref>, setelah suami barunya ini menjadi wali Sultan, dia membuat berbagai perjanjian dagang dengan para pedagang asing, wali Sultan yang baru ini juga dituduh menerima suap sehingga perjanjian dagang yang dibuatnya cenderung menguntungkan beberapa pihak saja ketimbang kesultanan pada umumnya, banyak rakyat Banten dan para pejabat tidak puas dengan keadaan ini ditambah banyak keributan di wilayah [[kesultanan Banten]] yang diprakarsai oleh para pedagang asing yang berpihak pada para pedagang Belanda atau Portugis.
 
Keberadaan ''Patih''Pangeran Camara sebagai patih sudah tidak dihiraukan oleh pejabat wilayah [[kesultanan Banten]] sehingga dikatakan bahwa kekuasaan ''Patih''patih yang sekaligus adalah suami dari Nyi Gede Wanogiri hanya terbatas pada keraton dan wilayah sekitarnya saja. Pada tahun 1604 terdapat insiden ditahannya sebuah ''Jung''kapal ([[bahasaDjong Indonesia(kapal)|jung]] : Kapal) dari [[Johor]] oleh Pangeran [[Arya Mandalika]] (anak dari Pangeran[[Maulana Yusuf dari Banten|Maulana Yusuf]]), seruan ''dari Patih'' untuk melepaskan ''Jung''jung tersebut tidak dihiraukan, bahkan Pangeran Arya Mandalika bersekutu dengan para pangeran lain dan orang-orang yang menentang kekuasaan ''Patih'', dimana mereka kemudian membuat benteng pertahanan di luar kota Banten, masalahMasalah ini kemudian dapat diseleseikandiselesaikan dengan penyerangan ke benteng pertahanan Pangeran Arya Mandalika oleh [[Pangeran Jayakarta]] yang dibantu oleh Inggris pada tahun 1605, ketika Pangeran Jayakarta datang ke Banten bersama pasukannya untuk menghadiri acara ''khitanan'' Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir Abdul Kadir pada saat itu ''Patih'' meminta bantuannyabantuan militernya, lalu akhirnya dibuatlah perjanjian damai dilakukan antara [[kesultanankubu Banten]]istana dengan kubu Pangeran Arya Mandalika, dikatakandimana dalam perjanjian disebutkan bahwa mereka diharuskan meninggalkan wilayah [[kesultananKesultanan Banten]] selambatnya 6 hari dan hanya boleh diikuti oleh 30 orang anggota keluarga.<ref name=Djajadiningrat1djajadiningrat/>
 
==== Konflik Pailir ====
Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama ''Pailir'' ([[bahasa Indonesia]] : bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ''ponggawa (pejabat)'', sebenarnya peristiwa ''Pailir'' disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah ''Pangeran Ranamanggala'' dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh ''Patih'' yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan [[kesultanan Banten]] setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa [[kesultanan Banten]] tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di [[kesultanan Banten]] terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608<ref name=Claude1>Guillot, Claude. 2008.
Setelah peristiwa Pangeran Mandalika, pada tahun 1608 terjadi lagi peristiwa yang dikenal dengan nama ''Pailir'' ([[bahasa Indonesia]]: bertempat di hilir), peristiwa peperangan antara para pangeran dari keraton dibawah perintah Pangeran Ranamanggala dengan kubu Pangeran Kulon dan para ''ponggawa (pejabat)'', sebenarnya peristiwa ''Pailir'' disebabkan oleh peristiwa yang terjadi setelah ''Pangeran Ranamanggala'' dan rekan-rekannya bersekutu untuk membunuh ''Patih'' yang juga merupakan suami dari Nyi Gede Wanogiri. Keadaan [[kesultanan Banten]] setelah peristiwa Pangeran Mandalika tidak bisa dikatakan membaik, di daerah, para penguasa sibuk mempersenjatai diri untuk memperkuat kedudukannya masing-masing, tidak jarang untuk memenuhi hal tersebut mereka lakukan dengan jalan merampok kapal-kapal dagang sehingga membuat pedagang beranggapan bahwa [[kesultanan Banten]] tidak aman untuk berdagang, hal ini kemudian yang menyebabkan kondisi perdagangan di [[kesultanan Banten]] terhenti sebagaimana pernyataan pedagang Belanda Jacques l'Hermitre yang menyatakan bahwa perdagangan di kota Banten terhenti pada bulan Juli 1608.<ref name=Claude1>Guillot, Claude. 2008.
Banten - Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII. [[Jakarta]] : Gramedia</ref>. Kacaunya kondisi [[kesultanan Banten]] kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan ''Patih'' dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak [[kesultanan Banten]] hingga lainnya dimana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh ''Patih'' sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh ''Patih'' diserahkan kepada ''Depati'' Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi [[kesultanan Banten]].
Banten - Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII. [[Jakarta]]: Gramedia</ref> Kacaunya kondisi [[kesultanan Banten]] kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan ''Patih'' dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak [[kesultanan Banten]] hingga lainnya di mana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh ''Patih'' sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh ''Patih'' diserahkan kepada ''Depati'' Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi [[kesultanan Banten]].
 
Pada tanggal 23 Oktober 1608, ''Depati'' Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga ''Patih'' keluar tanpa membawa Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir, dikatakan bahwa, walaupun ''Patih'' yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada [[kesultanan Banten]] dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun beliau sebagai ayah sambung dari Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir menjalankan tugasnya dengan sangat baik, beliau mendidik Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir dengan penuh tanggung jawab, mendampingi Sultan dalam setiap pertemuan dengan para pejabat dan lain sebagainya sehingga Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir yang masih remaja pada masa itu sangat dekat dan menyukainya. Setelah ''Patih'' dan Juru tulisnya keluar dari keraton, ''Depati'' Yudanegara kemudian membunuhya.
 
Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (''Patih'') sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 dimanadi mana kebakaran berhasil menghanguskan kediaman ''Patih'' namun pada peristiwa ini ''Patih'' berhasil selamat<ref name=Claude1/>
 
Pasca terbunuhnya Pangeran Camara ''Patih'' [[kesultanan Banten]], keadaan Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir menjadi rentan, beliau yang masih muda diliputi rasa kehilangan yang mendalam karena ditinggal ayah sambungnya, dilatar belakangi hal tersebut Pangeran Ranamanggala membuat sebuah pertemuan yang membahas kematian Pangeran Camara selaku ''Patih'' [[kesultanan Banten]], namun Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kidul yang sebelumnya mengikuti pertemuan untuk membunuh Pangeran Camara tidak bersedia hadir, temasuk Pangeran Prabangsa pun menolak hadir, sehingga yang hadir pada saat itu hanyalah Pangeran Ranamanggala, Pangera Upapatih serta pejabat lainnya, peristiwa pembahasan kematian Pangeran Camara selaku ''Patih'' [[kesultanan Banten]] inilah yang kemudian membuat ''Depati'' Yudanegara selaku orang yang ditugasi membunuh Pangeran Camara khawatir dirinya akan dijadikan penjahat dan dihukum mati, rasa khawatir ini membuat ''Depati'' Yudanegara menemui Pangeran Kulon dan menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya akan mendukung Pangeran Kulon yang merupakan cucu dari Sultan Maulana Yusuf dari anak sulung perempuannya yakni Ratu Winaon yang menikahi Pangeran Gebang dari Cirebon untuk menjadi Sultan Banten, inilah awal dari terjadinya peristiwa Pailir.
 
Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada ''Ki'' Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.<ref name=Claude1/>
 
Peristiwa Pailir berakhir dengan perundingan yang dimediasi oleh Pangeran Jayakarta atas permohonan pihak Pangeran Kulon yang pada saat itu telah terdesak, pihak Pangeran Kulon dalam perang sebenarnya berhasil merebut meriam Banten yang bernama ''Ki'' Jajaka Tua namun hal tersebut tidak begitu merubahmengubah keadaan. Perang yang oleh Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir (masa itu Sultan berusia 13 tahun) sempat disaksikan dari atas benteng berakhir dengan perjanjian bahwa pihak Pangeran Kulon harus mengasingkan diri dari wilayah inti Kesultanan Banten, pada bulan Februari 1609 berangkatlah Tumenggung Anggabaya, Syahbandar dan pihak lainnya yang memihak Pangeran Kulon menuju Jayakarta jumlahnya kira-kira delapan ribu orang, baru pada tahun 1617,<ref>Ijzerman, Jan Willem. 1923. Cornelis Buijsero te Bantam, 1616-1618 : zijn brieven en journaal / met inleiding en bijlagen uitg. door J. W. Ijzerman. Den Haag : Martinus Nijhoof</ref>, para Pangeran, Tumenggung dan Syahbandar diizinkan kembali ke Banten namun mereka tidak diberikan peranan politik apapun, setelah peristiwa Pailir, Pangeran Ranamanggala naik menjadi wali Sultan bagi Sultan AbdulAbul MufakirMafakhir yang masa itu berusia 13 tahun, waktu kejadian peristiwa Pailir diabadikan dalam sengkala ''Tanpa Guna Tataning Prang'' (1530 saka / 1608 m) jika dihitung dari penyebab atau latar belakang munculnya peristiwa Pailir hingga tuntasnya perpindahan delapan ribu orang pengikut Pangeran Kulon maka secara keseluruhan peristiwa ini berlangsung pada tanggal 8 Maret 1608 hingga 26 Maret 1609<ref>Djajadiningrat, Hosein. 1983. Tinjauan kritis tentang sajarah Banten : sumbangan bagi pengenalan sifat-sifat penulisan sejarah Jawa. [[Jakarta]] : Djambatan<name=djajadiningrat/ref> sementara inti peperangan dalam peristiwa ''Pailir'' berlangsung dari sekitar akhir Oktober atau awal November 1608 hingga perundingan damai yang menghasilkan keputusan pengasingan kepada pihak Pangeran Kulon pada bulan Februari 1609.
 
Selepas peristiwa ''Pailir'' Pangeran Ranamanggala menjabat sebagai wali sultan Banten menggantikan Pangeran Camara ayah sambung sultan yang terbunuh, segera Pangeran Ranamanggala melakukan penertiban dan peninjauan ulang terhadap peraturan yang dibuat oleh wali sultan sebelumnya berkenaan dengan para pedagang eropa. Pajak kemudian ditingkatkan, terutama yang berasal dari wilayah Banten, Pangeran Ranamanggala melakukan hal tersebut dikarenakan berpendapat bahwa para pedagang eropa di wilayah [[kesultanan Banten]] tidak hanya berniat berdagang saja namun juga berniat mencampuri urusan internal [[kesultanan Banten]]<ref name=Mukarrom/>
 
==== Kosongnya kekuasaan Jayakarta dan masuknya Belanda ====
Setelah peristiwa ''Pailir'' yang menyebabkan migrasi besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta pada tahun 1609, setahun kemudian pada tahun 1610, untuk pertama kalinya [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengangkat Gubernur Jenderal untuk pulau Jawa yaitu [[Pieter Both]], [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] bertugas untuk mencari sebuah tempat guna mendirikan kantor dagang [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] sekaligus dapat dijadikan sebagai pusat pelayaran seluruh Hindia.<ref name=hembing>Wijayakusuma, Hembing. 2005. Pembantaian Massal, 1740: tragedi berdarah Angke. [[Jakarta]]: Yayasan Obor Indonesia</ref> [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] kemudian memilih wilayah [[kesultanan Banten]] sebagai calon tempat pendirian kantor dagangnya dikarenakan selama ini (sejak misi dagang [[Jacob Corneliszoon van Neck]]) Belanda sering membeli dan menumpuk barang dagangannya di [[Banten]], namun karena khawatir bahwa suatu saat akan ada gangguan dari penguasa setempat dan juga dikarenakan aturan-aturan baru yang diberlakukan oleh wali sultan yang baru yaitu Pangeran Ranamanggala maka [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] pada tahun yang sama memalingkan orientasinya dari wilayah inti [[kesultanan Banten]] ke wilayah [[Jayakarta]].<ref name=Mukarrom/> [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] melakukan perundingan dengan Pangeran Wijayakrama (penguasa wilayah otonom Jayakarta atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Jayakarta) untuk membahas seputar perumusan naskah perjanjian pembayaran bea, proses-proses hukum serta pembelian sebidang tanah di sisi timur sungai Ciliwung guna mendirikan rumah dari batu dan kayu yang berfungsi sebagai tempat tinggal, kantor dan gudang, perjanjian yang dibagi menjadi dua bagian tersebut (satu bagian berkenaan dengan bea dan masalah hukum, satu lagi berkenaan dengan penjualan tanah) kemudian di tandatangani pada tahun 1611, uang sebesar 1200 real kemudian diberikan kepada Pangeran Jayakarta sebagai pembayaran atas pembelian tanah di sisi timur sungai Ciliwung seluas 50x50 ''vadem'' (depa).<ref name=hembing/>, akan tetapi rumusan kedua naskah awal surat perjanjian tersebut sengaja dibuat berbeda oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dibawah [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]], hal tersebut dilakukan sebagai alasan menyerang pihak [[kesultanan Banten]] karena tidak menepati perjanjian di kemudian hari. Adanya perbedaan antara rumusan naskah awal dengan surat perjanjian tersebut menimbulkan pengertian yang berbeda antara Pangeran Jayakarta dengan [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]], dalam ketentuan perihal penjualan tanah misalnya, dalam ketentuan hukum [[kesultanan Banten]] tentang pertanahan (yang juga berlaku di wilayah Jayakarta) dinyatakan bahwa tanah adalah milik sultan Banten yang hanya boleh dipergunakan untuk waktu tertentu dengan syarat-syarat yang bisa berubah sewaktu-waktu, namun dengan perbedaan yang dibuat oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] maka pembelian tanah tersebut diartikan sebagai perpindahan kepemilikan dari sultan Banten kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie]],<ref name=hembing/> walaupun terjadi ketegangan akibat rumusan naskah yang berbeda dengan naskah pada perundingan awal, namun tanah untuk [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] akhirnya ditentukan.
 
Tanah untuk [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan ''Pecinan'' (kampung Cina) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nakhoda) disekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan ''Patih'' Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta), pada tahun yang sama (1611), [[Pieter Both|Gubernur Jenderal Pieter Both]] segera menunjuk Abraham Theunemans untuk mendirikan gudang yang tidak permanen berukuran 31,5 x 11,4 m terbuat dari ''gedek'' (tembok kayu) dan batu. Gudang tersebut kemudian dapat diseleseikan pembangunannya oleh Abraham Theuneumans pada 1613, gudang yang didirikan di sebelah timur terusan kali Besar (bagian dari aliran sungai Ciliwung yang berada di sebelah timur istana Pangeran Jayakarta, di seberang terusan kali Besar terdapat perkampungan yang dipimpin oleh ''Ki'' Aria, patih Pangeran Jayakarta) tersebut kemudian diberi nama ''Nassau''. Pada 7 November 1614 [[Gerard Reynst|Gerard Reijnst]] seorang pedagang dan salah satu pemilik dari ''Nieuwe Compagnie'' (''Brabantsche'') serta anak dari Pieter Reijnst (pembuat sabun) diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda selanjutnya menggantikan [[Pieter Both]] yang habis masa jabatannya pada 6 November 1614. Pada tahun 1615 terdapat kabar bahwa gubernur jenderal sebelumnya yaitu [[Pieter Both]] yang tengah kembali ke Belanda bersama empat kapalnya setelah menyeleseikan jabatannya mendapatkan kecelakaan di laut sekitar [[Mauritius]] tepatnya di sekitar [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Flic-en-Flac kota pantai Flic-en-Flax], dua dari empat kapal dalam rombongan [[Pieter Both]] tenggelam dan [[Pieter Both]] berada di dalamnya. Berkenaan dengan kepemimpinan [[Gerard Reynst|Gerard Reinjst]] dikatakan bahwa [[Gerard Reynst|Gubernur Jenderal Gerard Reijnst]] bersikap tidak lebih baik dari pendahulunya, keadaan malah cenderung lebih buruk.<ref name=hembing/> [[Gerard Reynst|Gubernur Jenderal Gerard Reijnst]] tidak bisa berbuat banyak pada masa jabatannya karena dia terserang disentri dan akhirnya meninggal 7 Desember 1615, setelah meninggalnya [[Gerard Reynst|Gerard Reijnst]] Belanda menunjuk [[Laurens Reael]] sebagai penggantinya, dia menjabat sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda pada 16 Juni 1616, pada masa Gubernur Jenderal Laurens Reael tepatnya pada tahun 1617 dibangunlah ''Mauritius'' sebuah rumah yang berada di sisi kali Ciliwung.<ref name=hembing/> [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] sebenarnya adalah orang yang adil, dia menentang cara yang diambil oleh para petinggi [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dalam memperlakukan orang-orang pribumi dan para pesaing dagangnya (dalam kasus kehadiran para pedagang Inggris di Maluku), bagi [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] dan juga Laksamana [[Steven van der Hagen|Steven van der Haghen]] tujuan dan kesuksesan dari Vereenigde Oostindische Compagnie hanya bisa dicapai melalui jalur perdagangan dan diplomatik saja, tanpa melakukan serbuan dan penaklukan kepada pribumi, baginya penyerangan-penyerangan kepada negara lain hanya bisa dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku, dikarenakan perbedaan prinsip ini [[Laurens Reael|Gubernur Jenderal Laurens Reael]] memutuskan mengundurkan diri pada 31 Oktober 1617, namun dia baru bisa meninggalkan posisinya setelah kedatangan [[Jan Pieterszoon Coen]]. [[Laurens Reael]] kemudian mengulangi kembali pemikirannya melalui laporan yang ia tulis untuk Dewan Perwakilan Rakyat Belanda dan para pemimpin [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] agar dapat diterima dengan jelas pesan dan posisinya.
 
Pada tahun 1618, [[Jan Pieterszoon Coen]] diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal selanjutnya karena dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan pandahulunya [[Laurens Reael]], bangunan tidak permanen yang terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya lantas diperkuat dengan pembangunan ''catte'' yang berfungsi sebagai tempat meriam yang pada masa itu posisinya sengaja diarahkan ke wilayah Pangeran Jayakarta, selain memperkuat bangunan sebelumnya [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] juga membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas pergudangan dan perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar Jayakarta.
 
Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen oleh [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] pada rumah ''Mauritius'' sebenarnya sudah menyalahi kesepakatan awal antara [[Pieter Both]] dan [[Pangeran Wijayakrama]] (Pangeran Jayakarta), dikarenakan walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli tanahnya namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak permanen tidak mengalami perubahan, khawatir bahwa permasalahan di [[Jayakarta]] ini terdengar hingga ke [[Banten]] maka [[Pangeran Wijayakrama]] selaku penguasa [[Jayakarta]] berusaha menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerjasama dengan Inggris yang kantor dagangnya berada tepat di seberang bangunan Belanda, mendengar adanya persekutuan antara pihak Inggris dengan Pangeran Jayakarta maka Belanda segera menyerang markas Inggris yang berada di seberangnya yang langsung di serang balik oleh Inggris, hasilnya Belanda menderita kekalahan dengan korban tewas berjumlah 15 orang dan korban luka-luka sebannyak 10 orang, melihat kondisi tersebut [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] segera melarikan diri ke [[Maluku]] sementara kekuasaan terhadap aset Belanda di [[Jayakarta]] diserahkan kepada Pieter van den Broecke. Pangeran Jayakarta kemudian berhasil menahan Pieter van den Broecke, ketika berita penahanan Pieter van den Broecke sampai ke [[Banten]], wali sultan pada masa itu Pangeran Ranamanggala tidak menyetujui tindakan yang diambil oleh Pangeran Wijayakrama selaku penguasa [[Jayakarta]].<ref name=hembing/> Pangeran Ranamanggala selaku wali Sultan Banten segera menarik Pangeran Wijayakrama kembali ke [[Banten]] dan kekuasaan terhadap wilayah Kepangeranan Jayakarta diambil alih olehnya sementara waktu.<ref name=hembing/><ref name=suhaemi>Suhaemi, Muhammad Hamdan. 2014. Catatan Singkat Tentang Wijayakrama, Arya Ranamanggala Dan VOC Tahun 1618. [[Serang]]: Respek Banten</ref>
 
Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke [[Banten]] oleh wali Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara [[Banten]] tepatnya di [[Tanara, Tanara, Serang|Tanara]], [[Kabupaten Serang|Serang]]. keputusan Pangeran Ranamanggala sebagai wali sultan Banten pada masa itu dianggap bias, di satu sisi setelah peristiwa ''Pailir'' beliau menerapkan peraturan ketat dan menaikan pajak terhadap para pedagang eropa, namun di sisi lain tindakan penegakan hukum yang dilakukan [[Pangeran Wijayakrama]] selaku penguasa [[Jayakarta]] dalam kasus rumah ''Mauritius'' dianggap salah oleh Pangeran Ranamanggala bahkan berimbas pada penarikannya ke [[Banten]], kuat dugaan bahwa Pangeran Ranamanggala dan beberapa pihak di [[kesultanan Banten]] tidak begitu menyukai Pangeran Wijayakrama sejak beliau menjadi mediator konflik-konflik di [[Banten]], sebagian pihak [[kesultanan Banten]] berpendapat bahwa Pangeran Wijayakrama terlalu berpihak kepada para golongan yang menyusahkan [[Banten]], sebut saja dalam kasus terbunuhnya Sultan Maulana Muhammad di [[Palembang]], tindakan Pangeran Mas yang dianggap membuat Sultan Maulana Muhammad terbunuh dalam penyerangan ke [[Palembang]] membuat banyak orang di Banten tidak menyukainya, beliau lantas pergi ke [[Jayakarta]] untuk meminta bantuan agar diperbolehkan menetap di sana, walau kemudian dia dibunuh oleh anaknya sendiri,<ref name=michrob>Michrob, Halwany, A. Mudjahid Chudari. 1989. Catatan masalalu Banten. [[Serang]]: Pengurus Daerah Tingkat II Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kapubaten Serang</ref> serta kasus-kasus lainnya di mana kehadiran Pangeran Wijayakrama sebagai mediator dianggap oleh sebagian pihak di [[kesultanan Banten]] tidak memihak kepada kesultanan sehingga menyebabkan perang dingin diantara Pangeran Wijayakrama dengan sebagian pihak [[kesultanan Banten]] berlangsung cukup lama.<ref name=suhaemi/> Rentetan kejadian inilah yang oleh sebagian peneliti Banten dianggap sebagai hal yang melatarbelakangi alasan ditariknya Pangeran Wijayakrama ke [[Banten]] secara komplek ketimbang hanya berpikir bahwa Pangeran Wijayakrama ditarik karena kasus rumah ''Mauritius''.
 
Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya tentang pembantaian masal 1740, beliau menjelaskan bahwa sebelum jatuhnya kekuasaan [[Pangeran Wijayakrama]] selaku penguasa [[Jayakarta]] yang ditandai dengan penarikan dirinya ke [[Banten]], pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] telah sekali lagi mengubah isi perjanjian yang disepakati antara [[Pangeran Wijayakrama]] dengan [[Pieter Both]], perubahan dalam rumusan perjanjian oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] adalah bahwa pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] diberikan izin untuk membongkar rumah-rumah orang cina di ''Pecinan'' yang dianggap terlalu dekat dengan gudang [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], alasan penambahan klausul tersebut dikarenakan menurut [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] tidak adanya kepastian mengenai bea cukai, menurut pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], Wat Ting yang merupakan pemimpin ''Pecinan'' pada masa itu bertugas sebagai saksi sekaligus penterjemah antara pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dan [[Pangeran Wijayakrama]]. Pada saat [[Pangeran Wijayakrama]] ditarik ke [[Banten]] dan kekuasaan kepangeranan [[Jayakarta]] dikendalikan langsung dari [[Banten]], Pangeran Ranamanggala pada saat itu membunuh Wat Ting.<ref name=hembing/>
 
[[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] kembali dari [[Maluku]] ke [[Jayakarta]] pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa bantuan armada dari markas [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] di [[Maluku]], longgarnya pemerintahan di [[Jayakarta]] dengan ditariknya [[Pangeran Wijayakrama]] ke [[Banten]] segera dimanfaatkan oleh [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]], [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] juga bertekad untuk merebut [[Jayakarta]] dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan yang dilakukan oleh [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] akhirnya berhasil. [[Pangeran Wijayakrama]] yang kemudian dapat kembali ke [[Jayakarta]] menemukan bahwa kondisi [[Jayakarta]] sudah berubah, beliau lantas berjuang untuk mendapatkan kembali [[Jayakarta]] hingga akhirnya meninggal di daerah yang sekarang disebut [[Jatinegara, Jakarta Timur|Jatinegara]].<ref name=suhaemi/>
 
[[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] segera membangun tembok benteng kota yang disebutnya sebagai ''Niuew Hoorn'' (sebagai pengganti nama [[Jayakarta]]) setelah kemenangannya terhadap kubu [[Pangeran Wijayakrama]], nama ''Niuew Hoorn'' dipilih karena [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] berasal dari Kota [[Hoorn (Holland Utara)|Hoorn]], namun dikemudian hari para petinggi Vereenigde Oostindische Compagnie lebih memilih nama ''Batavia''<ref name=hembing/> yang berarti tanahnya orang-orang ''Batav'' (mengacu pada leluhur bangsa Belanda di zaman Romawi), profesor Hembing Wijayakusuma berpendapat bahwa nama ''Batavia'' berarti tempat tinggal ''Bata'' atau ''Bato'' (pahlawan suku). Pemilihan nama ''Batavia'' sebagai nama sebuah wilayah tidak hanya disematkan kepada [[Jayakarta]] saja, namun juga disematkan kepada wilayah wilayah yang di bangun Belanda di Amerika dan Suriname.
 
==== Belanda dan monopoli perdagangan di [[Banten]] ====
Pasca menguasai [[Jayakarta]], Belanda melalui [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] berusaha menguasai perdagangan di [[Banten]] terutama komoditas lada melalui cara penghadangan atau blokade laut. Penghadangan terhadap kapal-kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di [[Banten]] turun karena hanya kapal-kapal Belanda yang dapat berlabuh di Banten. Gubernur Jendral Coen juga mengeluarkan perintah terhadap kapal-kapal VOC untuk menyerang kapal-kapal dagang [[Dinasti Ming|Cina]].<ref>Vlekke, Bernard Hubertus Maria. 2008. Nusantara: sejarah Indonesia. [[Jakarta]]: Gramedia</ref>
 
==== Sultan Abul Mafakhir dan Penyerangan gabungan Mataram-Palembang ke [[kesultanan Banten]] ====
Pada awal tahun 1624, wali Sultan Banten yaitu Pangeran Arya Ranamanggala menyerahkan jabatannya kepada Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir dikarenakan beliau menderita sakit. Kedudukan Pangeran Arya Ranamanggala kemudian bergeser menjadi penasihat sultan [[Banten]], peranan besar yang dijalankannya sebagai penasihat sultan Banten adalah dikeluarkan surat keputusan Kesultanan Banten mengenai hubungan mancanegara, bahwa dalam kaitannya dengan hubungan persahabatan antara negara, Kesultanan Banten tidak diperbolehkan bersahabat dengan Belanda. Pada 16 November 1624, dilakukan penyerahan mutlak kekuasaan Banten dari Pangeran Arya Ranamanggala kepada Sultan Abul Mafakhir. Dua tahun kemudian di tanggal 13 Mei 1626, Pangeran Arya Ranamanggala wafat, jenazahnya kemudian dimakamkan di sebelah barat area [[masjid Agung Banten]], dimana ia kemudian dikenal dengan nama anumerta Pangeran Gede.<ref name=djajadiningrat/>
 
Pada 1626, dua tahun setelah serah terima kuasa mutlak dari wali Sultan Banten yaitu Pangeran Ranamanggala, Mataram pada masa kekuasaan [[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]] melakukan penyerangan kembali kepada [[kesultanan Banten]] yang kali ini dibantu oleh [[Kerajaan Palembang|Palembang]], namun penyerangan ini juga tidak berhasil.<ref name=djajadiningrat/>
 
==== Belanda mengepung [[Banten]] ====
Pada tahun 1633, ''Vereenigde Oostindische Compagnie'' melakukan penyerangan ke wilayah kesultanan Banten diantaranya [[Tanara, Serang|Tanara,]] [[Anyer|Anyar]], dan Lampung, hal tersebut dikarenakan menurut VOC orang Banten banyak yang melalukan pengerusakan dan perampokan kepada aset dan barang milik VOC, pada bulan November terjadi peperangan besar antara kesultanan Banten dengan VOC, dimana pihak kesultanan Banten berhasil mengalahkan pasukan VOC yang pada masa itu sedang lemah akibat sedang berperang dengan Mataram.<ref name=michrob/>
 
Di tanggal 5 Januari 1634 VOC mengirimkan lagi pasukan laut yang lebih kuat untuk mengepung Keraton Surosowan, lalu diadakan blokade menyeluruh atas wilayah perairan [[Teluk Banten]]. Pengepungan VOC di perairan Tanara dapat digagalkan oleh pasukan yang dipimpin [[Tubagus Singaraja]], bangsawan pejabat Banten di Tanara, sedangkan pengepungan di perairan pelabuhan Banten baru dapat digagalkan setelah digunakannya taktik yang baru melalui pembakaran kapal-kapal pemblokade VOC yang dipimpin kapal induk yang disebut ''Barungut''.<ref name="michrob" /> Kapal ''Barungut'' yang sebelumnya diperbaiki di [[Batavia]] pada malam harinya dibakar atas usul Wangsadipa,<ref name=titik>Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan : Surat-surat Sultan Banten. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia</ref> peristiwa pembakaran blokade ini dikenal dengan nama ''Pabaranang.''<ref name=titik2/>
 
Pembakaran blokade laut [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] oleh [[kesultanan Banten]] terbagi dalam dua sesi, sesi pertama terjadi pada malam hari di tanggal 4 dan 5 Januari 1634 dan sesi kedua terjadi pada malam hari di tanggal 10 dan 11 Januari 1634.<ref name=djajadiningrat/><ref name=agusp>Prasetyo, Agus. 2019. Raja Sufi dari Kesultanan Banten : Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M). [[Jakarta]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah</ref>
 
== Mataram, Cirebon dan Pra Perang Pacirebonan ==
 
Mataram pada masa itu dipimpin oleh [[Amangkurat I]], beliau meminta bantuan kepada [[kesultanan Cirebon]] yang masa itu dipimpin oleh Sultan Abdul Karim atau [[Panembahan Ratu II]] guna mendekati Kesultanan Banten agar mau mengakui supremasi Mataram.<ref name=erwantoro>Erwantoro, Heru. 2012. Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. [[Bandung]]: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung</ref> Sultan Zainul Arifin sebenarnya sudah pernah memberikan wasiat kepada keluarga [[kesultanan Cirebon]] terutama kepada cucunya yakni Abdul Karim (yang kemudian menjadi sultan menggantikannya), dimana isi wasiatnya adalah ;
 
{{cquote|''besyuk-esyuk sapungkur mami, yen Susunan Mataram angarsaken besyuk takluking Banten punika, pan Pacuwan para milu micarani, teka para menenga''<br><br>Kelak sepeninggalku, jika ''Susuhunan'' Mataram kelak menghendaki takluknya [[Banten]], Pakungwati jangan ikut-ikutan, kalian diam sajalah''}}<ref name=titik2>Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. [[Jakarta]]: Wedatama Widya Sastra</ref>
 
Wasiat tersebut diucapkan oleh Sultan Zainul Arifin kepada Abdul Karim sebelum sultan pergi ke Mataram untuk menemui murid kesayangannya yang sudah menjadi penguasa yaitu Mas Rangsang ([[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]]) dikarenakan Mas Rangsang sudah sangat rindu dengan Pakungwati. Di Mataram, Sultan Zainul Arifin dijamu oleh murid kesayangannya tersebut, hingga suatu saat ada wabah penyakit di Mataram, sultan Zainul Arifin kemudian sakit, beliau lantas diminta kembali ke [[kesultanan Cirebon]], tidak berapa lama setelah kepulangannya beliau meninggal<ref name=titik2/> pada tahun 1649.
 
=== Cirebon membantu Mataram membujuk [[kesultanan Banten]] ===
 
Sepeninggal Sultan Zainul Arifin, cucunya yaitu Abdul Karim naik menggantikannya sebagai Sultan Cirebon, pada masa itu ternyata Mas Rangsang ([[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyakrakusuma]]) sudah meninggal terlebih dahulu sebelum Sultan Zainul Arifin, yakni pada tahun 1645. Kekuasaan Mataram kini dipegang oleh [[Amangkurat I|Mas Sayidin]] yang bergelar Amangkurat I, Amangkurat I pada awal pemerintahannya dikenal sebagai orang yang dengan mudah menyingkirkan orang yang berseberangan dengannya, misalnya saja peristiwa terbunuhnya Tumenggung Wiraguna dan Danupaya pada tahun 1647 yang merupakan pejabat senior di Mataram, kemudian terbunuhnya Pangeran Danupoyo (Mas Alit) adik Amangkurat I pada tahun yang sama karena menentang penumpasan tokoh tokoh senior. Pangeran Danupoyo terbunuh dalam pemberontakan yang dipimpinnya, selesai dengan Pangeran Danupoyo, Amangkurat I lantas [[Pembantaian ulama oleh Amangkurat I|membantai ribuan ulama beserta keluarganya]] yang dianggap mendukung pergerakan Pangeran Danupoyo, dalam peristiwa pembantaian ini, Amangkurat I berpesan agar tidak ada satu ulamapun yang diloloskan.<ref>de Graaf, Hermanus Johannes, 1962. De Regering van Sunan Mangku-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677, [[Leiden]]: Brill</ref>
 
Amangkurat I dikenal sebagai seorang penguasa yang dekat dengan Belanda, ketika Sultan Abdul Karim naik tahta di [[kesultanan Cirebon]], Amangkurat I dihadapkan dengan fakta bahwa belum seluruh pulau Jawa mengakui eksistensi Mataram sebagai sebuah kerajaan, [[kesultanan Banten]] salah satunya, ketika Sultan Abdul Karim tengah berkunjung ke Mataram, Amangkurat I meminta bantuannya membujuk [[kesultanan Banten]] agar mau bersahabat dengan Mataram dan menghentikan serangannya kepada Belanda.<ref name=erwantoro/>
 
=== Banten bersiap perang ===
 
Pada laporannya, setelah utusan [[kesultanan Banten]] yaitu Astranaya yang dikirim ke Mataram pulang, Astranaya melaporkan bahwa situasi di Mataram mencekam, Astranaya yang oleh [[kesultanan Banten]] biasa diutus ke ''Keling'' (India), Palembang, Jambi, Bali, Aceh, Johor dan Makassar menuturkan jika selama di Mataram dia diawasi sehingga membuatnya harus selalu waspada siang dan malam, bagi Astranaya, dia belum pernah melihat tingkah laku orang sebagaimana orang Mataram yang selama dalam perjalanannya semua serba tersamarkan. Astranaya berpendapat bahwa Mataram akan menyerang [[kesultanan Banten]], dari keterangan Astranaya, Sultan Banten pada waktu itu yaitu Sultan Abul Mafakhir Abdul Kadir memerintahkan untuk membuat kapal besar, Pangeran Abu al Maali (ayah Pangeran Surya yang kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) membantu pengerjaan tersebut dengan membuat kapal besar yang sangat indah dengan ahli pembuatnya yang bernama Kyai Putu Jamil (nama yang biasa disebutkan Werektinata (seorang pejabat kesultanan)) sementara Pangeran Surya membantu dalam pembuatan kapal besar bergaya China atau yang biasa disebut Wangkang dengan ahli pembuatnya yang bernama Wangkoh, kedua kapal besar tersebut selesai dibuat dan diujicoba pada 1571 saka sesuai dengan sangkala ''iku nunggang tah jurit''<ref name=titik2/> atau sekitar tahun 1649 m.<ref name=yuyun>Juariyah, Yuyun. 2016. Jurnal al-Tsaqafa : Menelusuri Jejak Islamisasi Tatar Sunda Melalui Naskah Kuno. [[Bandung]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati</ref>
 
=== Meninggalnya Abu al Ma'ali Ahmad dan naiknya pangeran Surya ===
 
Dua tahun setelah pembuatan ''gorab'' dan ''wangkang'' selesai pangeran Abu al Ma'ali Ahmad menderita sakit hingga beliau akhirnya meninggal dunia pada 1651 m<ref>Hatmadji, Drs. H. Tri. 2005. Ragam Pusaka Budaya Banten. [[Serang]] : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang</ref> (namun menurut Tujimah, pangeran Abu al Ma'ali telah meninggal pada 1650 m<ref name=tujimah1>Tujimah. 1987. Syekh Jusuf Makasar : riwayat hidup, karya, dan ajarannya. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref>), putranya yang bernama pangeran Surya kemudian menggantikan posisinya sebagai putera mahkota [[kesultanan Banten]] dengan gelar ''Pangeran Dipati'', tidak lama pangeran Surya naik tahta sebagai sultan muda (putera mahkota) kemudian datanglah utusan lagi dari [[kesultanan Cirebon]] kali ini yang datang untuk membujuk [[kesultanan Banten]] untuk mengakui eksistensi Mataram adalah dua pemuda kembar bernama Jiwaprana dan Nalawangsa, menurut sultan Abul Mafakhir Jiwaprana kata-katanya manis dalam membujuk sultan untuk mengakui eksistensi Mataram namun sultan Abul Mafakhir tetap tidak bersedia.<ref name=titik2/>
 
=== Cirebon mengirim pangeran Martasari dan pangeran Suradimarta ===
 
Kegagalan Jiwaprana dan Nalawangsa dalam membujuk sultan Abul Mafakhir untuk mengakui eksistensi Mataram membuat penguasa Cirebon yaitu sultan Abdul Karim mengirimkan langsung keluarganya yaitu pangeran Martasari, pangeran Suradimarta beserta para pengiring dan pejabat [[kesultanan Cirebon]] yang bernama Wiratantaha, setibanya di [[kesultanan Banten]] rombongan keluarga [[kesultanan Cirebon]] diterima di keraton Surosowan, pangeran Surya duduk disebelah pangeran Suradimarta<ref name=titik2/>
 
Pembicaraan yang terkesan lebih hangat karena dilakukan langsung antar keluarga besar kemudian digelar di Surosowan, Pangeran Martasari menyampaikan pesan dari [[Mataram]] agar Sultan Banten mau bertemu dengan Raja Mataram [[Amangkurat I]], mengakui eksistensi Mataram dan menghentikan serangan kepada Belanda.<ref name=erwantoro/> Sultan Abul Mafakhir dengan segera menolak untuk pergi ke Mataram menemui raja [[Amangkurat I]], Sultan Abul Mafakhir berkata kepada pangeran Martasari dan rombongan [[kesultanan Cirebon]]
 
{{Cquote|isun ora kena den ririhi maring Mataram iki, ana ratu nisun<br><br>saya tidak bisa dibujuk untuk pergi ke Mataram, saya punya raja sendiri<ref name=titik2/> (sultan Mekah yaitu [[Mehmed IV]])}}
 
Pada pertemuan itu, Pangeran Surya (yang pada kemudian hari menjadi Sultan Ageng Tirtayasa) mengajak kepada rombongan Cirebon agar [[kesultanan Cirebon]] lebih baik bersekutu dengan [[kesultanan Banten]] daripada dengan Mataram, Pangeran Surya mengingatkan bahwa Mataram sesungguhnya dapat mengancam kedaulatan [[kesultanan Cirebon]].<ref name=erwantoro/>
 
Sikap Sultan Banten Abul Mafakhir kemudian disampaikan Pangeran Martasari kepada Sultan Cirebon, Sultan Cirebon yaitu Sultan Abdul Karim sangat marah dengan kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta untuk meyakinkan [[Kesultanan Banten]] agar mau mengakui Mataram.<ref name=titik2/>
 
=== Sultan Abdul Karim ditahan oleh Mataram ===
 
Pada tahun 1650, setelah kegagalan misi rombongan Pangeran Martasari dan Pangeran Suradimarta, Amangkurat I mengundang Sultan Abdul Karim ke Mataram untuk acara syukuran kenaikan tahta Sultan Abdul Karim sebagai Sultan Cirebon. Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang peristiwa Girilaya,<ref name=iswara/> pada tahun 1649 pangeran Girilaya naik tahta menjadi penguasa Cirebon, tidak lama setelah penobatannya, pada tahun 1650 Amangkurat I dari Mataram mengundangnya beserta kedua anaknya yaitu Pangeran Kartawijaya dan saudaranya untuk berkunjung ke keraton Mataram di [[kota Gede]] sekaligus menghormati naiknya Girilaya sebagai penguasa baru kesultanan Cirebon. Selepas acara penghormatan selesai, beliau bersama kedua puteranya dilarang kembali ke Cirebon<ref>Ekajati, Edi Suhardi. 2003. Sejarah Kuningan: dari masa prasejarah hingga terbentuknya kabupaten. [[Bandung]] : Kiblat Buku Utama</ref> dan tinggal di lingkungan Mataram hingga kematiannya.<ref name=iswara>{{Cite web |url=http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ |title={{!}} Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. &#91;&#91;kota Bandung{{!}}Bandung&#93;&#93;: Universitas Pendidikan Indonesia |access-date=2019-08-24 |archive-date=2016-12-25 |archive-url=https://web.archive.org/web/20161225115911/http://iswara.staf.upi.edu/2009/07/18/sejarah-kerajaan-cirebon/ |dead-url=yes }}</ref>
 
== Perang Pacirebonan ==
 
Kegagalan misi Pangeran Martasari dan Suradimarta dalam membujuk agar [[kesultanan Banten]] mau mengakui eksistensi [[Mataram]] membuat pihak Mataram marah, Mataram lantas menyuruh Pangeran Martasari agar menyerang [[Kesultanan Banten]],<ref name=yuyun/> dengan dihadapkan kepada sebuah keadaan di mana keluarganya sekaligus Sultan Cirebon yaitu Sultan Abdul Karim sedang berada dalam penawanan Mataram maka Pangeran Martasari menyanggupi untuk menyerang [[kesultanan Banten]] bersama dengan pasukannya.
 
=== Pengumuman di Alun Alun Surosowan ===
 
Pada pagi hari seluruh warga, ''ponggawa'', menteri dan aparat desa serta pedagang diperintahkan oleh Sultan Abul Mafakhir untuk berkumpul di alun alun, semua yang hadir mendekat ke ''siti hinggil'' Surosowan, di sana Sultan Abul Mafakhir berkata,
 
{{cquote| ''kabeh syami wikana, karsaning Cirebon iku arsa mangke naklukana''<br><br>kalian semua ketahuilah, keinginan Cirebon itu (sesungguhnya) ingin menaklukan (Banten)<br><br>''kaprebe yen ing besyuk kita katekan Mataram, kita iki negara alit, pastine nore kawawa musuh nagara gedhe, imbane kita punika, kadi ing wong satunggal den kembulane wong satus, yadyan kulita tambaga, kadi karubuwan wukir, nanging to lah isun sangga, sakawawa-wawaningwang, ora yen isun arepa taluk maring Mataram, amung to lah ratuisyun kanjeng sultan Jahed Mekah, iku ingkang amberkati, nanging syih iku menawa ing besyuk wong anom anom kang arep taluk marana, maring Ratu Mataram iku, silih karepisun, kaprebe ing wong kathah?''<br><br>bagaimana jika kelak kita diserbu Mataram, kita negara kecil pasti tidak seimbang jika melawan negara besar, ibaratnya kita ini seperti orang satu dikeroyok orang seratus walaupun kulitnya (dari) tembaga,(ibaratnya) seperti kerubuhan gunung, tetapi bagaimanapun akan aku sangga sekuat-kuatku, bagaimanapun aku tidak akan mau takluk kepada Mataram, rajaku hanyalah Kanjeng Sultan Jahed (di) Mekah (yang dimaksud adalah Zaid bin Muhsin, Syarif Mekah di bawah sultan Mehmed IV), itu yang memberkati Banten, tetapi itu sih kalaupun kelak yang muda-muda mau takluk ke sana kepada Raja Mataram itu berbeda dengan keinginanku, bagaimana menurut kalian semua?<ref name=titik2/>}}
 
Perkataan Sultan Abul Mafakhir dijawab oleh semua yang hadir di alun-alun Surosowan bahwa lebih baik [[kesultanan Banten]] hancur daripada harus takluk kepada Mataram. Sultan Banten lantas memerintahkan agar semua bersiap berperang, seluruh senjata dikeluarkan dari seluruh ''pasowan'' (balai pertemuan) yang ada, senjata telah tersedia di dua ''pasowanan'', dua orang pengawal yang berada di sana yaitu Tubagus Atmaja dan Tubagus Wiranantaya meyakinkan Sultan Banten bahwa senjata telah siap digunakan kapanpun. Sultanpun memerintahkan agar seluruh bala tentara berbaris rapi di Warutanjak, Sultan membagi-bagikan tugas kepada yang hadir di sana.<ref name=titik2/>
 
Pasca Sultan membagikan tugas di Warutanjak suasana digambarkan riuh dengan para menteri, prajurit dan pembantunya yang akan keluar dari ''lawang Padudan'' (pintu Padudan) sementara Sultan kembali ke dalam keraton, banyaknya orang yang saling mendahului untuk keluar membuat ''lawang Padudan'' kemudian patah akibat pukulan, dorongan dan desakan orang yang ingin keluar secepatnya. Pada naskah Banten dijelaskan yang keluar dari ''lawang Padudan'' secara berurutan adalah para pembantu dan anak-anak yang menyaksikan di Warutanjak, para menteri, prajurit, pengawal, para aparatur desa (para ''bekel'' dan ''lurah'') dan para prajurit dari Lampung serta paling terakhir adalah ''para nyilian'' (para prajurit pinjaman), sementara para petinggi lainnya yang berada disebelah timur, mereka keluar melalui ''lawang Dipangga'' (pintu Dipangga), semua keluar memenuhi alun-alun sebelum pulang ke kediamannya masing-masing, hanya sebagian prajurit yang ditugaskan untuk berjaga di Warutanjak lengkap dengan senjatanya.<ref name=titik2/>
 
=== Penyerangan ke [[kesultanan Banten]] ===
 
Pangeran ([[bahasa Cirebon]] : Elang) Martasari berlayar dengan 60 perahu untuk menyerang [[kesultanan Banten]] atas desakan Mataram, naskah Banten menggambarkan bahwa perahu-perahu itu diiringi tabuh-tabuhan ketika akan berlayar, dalam penyerangannya Pangeran Martasari diiringi oleh Senapati Panjang Jiwa, ''Ki'' Narangbaya, Wanibaya, Kyai Yudaprana, Yudaita, Yudagita, ''Ki'' Singayuda, Kyai Sarahita, ''Ki'' Saragati, Karetimaya, Mayawrekti, Mayayuda, Mayahita, Mayaparya, Mayasutisna, ''Ki'' Satyagati, Astrenggati, Astrenggembung, serta ''Ki'' Astragita<ref name=titik2/>
 
== Referensi ==
{{Reflist}}
 
[[Kategori:Kesultanan Banten]]
[[Kategori:Kesultanan Cirebon]]