Jurnalisme warga: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 0 sources and tagging 2 as dead.) #IABot (v2.0.9.3
 
(21 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Jurnalisme warga''' ([[bahasa Inggris]]: ''citizen journalism'') adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh [[masyarakat]] dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian [[informasi]] dan [[berita]].<ref name="Fithryani 2015">Fithryani, Nur. 2015. ''Peran Jurnalisme Warga dalam Program Berita Stasius Televisi (Studi Deskriptif Kualitatis terhadap Situs Liputan6.com Pada Program Berita Liputan6 SCTV).'' Semarang: Universitas Diponegoro. Diakses pada tanggal 23 September 2018 dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=363894&val=1308&title=PERAN%20CITIZEN%20JOURNALISM%20DALAM%20PROGRAM%20BERITA%20STASIUN%20TELEVISI%20(STUDI%20DESKRIPTIF%20KUALITATIF%20TERHADAP%20SITUS%20LIPUTAN6.COM%20PADA%20PROGRAM%20BERITA%20LIPUTAN6%20SCTV) {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20181005112528/http://download.portalgaruda.org/article.php?article=363894&val=1308&title=PERAN%20CITIZEN%20JOURNALISM%20DALAM%20PROGRAM%20BERITA%20STASIUN%20TELEVISI%20(STUDI%20DESKRIPTIF%20KUALITATIF%20TERHADAP%20SITUS%20LIPUTAN6.COM%20PADA%20PROGRAM%20BERITA%20LIPUTAN6%20SCTV) |date=2018-10-05 }}</ref>
Dalam jurnalisme warga, [[masyarakat]] tidak hanya menjadi konsumen media tapi juga bisa terlibat dalam proses pengelolaan [[informasi]] itu sendiri. Pelibatan itu meliputi membuat, mengawasi, mengoreksi, menanggapi, atau sekadar memilih informasi yang ingin dibaca. Karena itu, dikatakan bahwa jurnalisme warga tidak hanya memberi tempat tapi juga menyarankan dan mendorong pembaca untuk terlibat di dalamnya. Meskipun terlihat egaliter dan partisipatif, jurnalisme warga adalah praktik yang timpang dan diskriminatif karena hanya bisa diakses oleh warga yang memiliki modal atau syarat-syarat yang tidak semua orang memilikinya. Ketika seseorang tak mampu secara ekonomi berlangganan [[internet]], maka akan sulit baginya terlibat dalam praktik jurnalisme warga berbasis [[internet]]. Mungkin saja ada strategi-strategi alternatif yang dilakukan agar bisa mengakses [[internet]] dan terlibat dalam praktik jurnalisme warga. Namun, mereka yang punya modal kuat berpeluang tetap diuntungkan. Mereka yang terlibat harus paham pula bagaimana mengelola informasi dengan baik, tetapi sementara tidak semua warga mampu melakukannya.<ref>{{Cite book|url=http://books.google.com/books/about?id=DarvDwAAQBAJ|title=Jurnalisme Warga, Hegemoni, dan Rusaknya Keragaman Informasi|last=Eddyono|first=Aryo S.|date=2020|publisher=Universitas Bakrie Press|isbn=9786027989368|location=|pages=35|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Eddyono|first=Aryo S.|date=1999, 23 Juni|title=Jurnalisme Warga: Liyan, Timpang dan Diskriminatif|url=http://202.0.92.5/isoshum/profetik/article/download/1498/1316|journal=Profetik|volume=12|issue=1|pages=61-73|doi=}}{{Pranala mati|date=April 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
 
== Sejarah ==
Baris 7:
Perkembangannya di Indonesia, salah satunya dipicu pada tahun 2004 saat terjadi tragedi Tsunami di Aceh yang diliput sendiri oleh korban tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita yang dibuat oleh jurnalis profesional.<ref name="Kusnadi & Priono 2014" />
 
Namun, jika ingin melacaknya lebih jauh, praktik jurnalisme warga sudah sejak lama ada, setua jurnalisme itu sendiri. Gillmor bahkan menyebut benih jurnalisme warga telah ada sejak 1700-an di mana warga menulis dan menyebarluaskan pandangannya melalui selebaran. Kalaulah ingin melacak lebih jauh lagi, praktik di mana warga (sebelum profesi jurnalis muncul) menyampaikan informasi bisa dilihat pada masa 100 SM di mana Acta Diurna, surat kabar pada masa kekaisaran Roma berupa kayu pipih yang ditempel di dinding setelah senat melakukan pertemuan, muncul.<ref>{{Cite journal|last=Eddyono|first=Aryo S.|date=1999, 30 Juli|title=Menyoroti Jurnalisme Warga: Lintasan Sejarah, Konflik Kepentingan, dan Keterkaitannya dengan Jurnalisme Profesional|url=http://journal.unpad.ac.id/kajian-jurnalisme/article/download/21762/11018|journal=JKJ|volume=3|issue=1|pages=|doi=}}</ref>
== Prinsip Dasar ==
 
== Prinsip Dasardasar ==
Sebagai suatu bentuk kegiatan jurnalistik, jurnalisme warga atau yang biasa diartikan sebagai jurnalisme publik, jurnalisme warga memiliki beberapa prinsip dasar:<ref name="Kusnadi & Priono 2014">Kusnadi & Priono. 2014. ''Citizen Journalism Indonesia: Suatu Wujud dari Demokratisasi di Indonesia.'' Jakarta: Universitas Terbuka. Diakses pada tanggal 23 September 2018 dalam http://repository.ut.ac.id/2306/1/fisip201014.pdf</ref>
 
Baris 34 ⟶ 36:
[[Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik|Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE)]] merupakan salah satu batasan atau aturan bagi jurnalis termasuk jurnalis warga, karena memang belum ada satu undang-undang yang mengatur jurnalis warga ini. Undang-undang ini berisi tentang aturan akan perbuatan yang dilarang dalam internet, yaitu tentang pencemaran nama baik, pornografi, konten [[SARA]], dan lainnya.
 
== Kategori Mediamedia ==
Ada beberapa kategori media yang digunakan para jurnalis warga. Mulai dari [[media massa]], seperti televisi, radio, surat kabar. Dewasa ini, para jurnalis warga dapat menyampaikan atau memberitakan berita melalui situs atau portal-portal media daring. Situs berbagi video dan gambar juga bisa menjadi media bagi jurnalis warga yang sedang naik daun.<ref name="Ervina 2013">Ervina, Nevi. 2013,. ''Penerapan Citizen Journalism di Radio Siaran (Studi Kasus Penerapan Citizen Journalism pada Program Berita dari Anda di Radio Pikiran Rakyat 107.5 FM News Channel Bandung).'' Bandung: Telkom University. Diakses pada tanggal 24 September 2018 dalam http://repository.telkomuniversity.ac.id/home/catalog/id/18605/slug/penerapan-citizen-journalism-di-radio-siaran-studi-kasus-penerapan-citizen-journalism-pada-program-berita-dari-anda-di-radio-pikiran-rakyat-107-5-fm-news-channel-bandung-.html</ref>
 
Baris 57 ⟶ 59:
 
* Munculnya [[berita bohong]], kualitas yang rendah, dan kesulitan verifikasi. Adanya kebebasan dan ketiadaan aturan membuat berita yang dipublikasi terkadang memiliki kualitas rendah selain itu juga kebenaran berita yang tidak pasti menjadi sesuatu yang patut untuk diantisipasi.
*Selain itu, berita bohong (''hoax'') bisa menimbulkan sebuah ''mass-panicking'' atau kepanikan massa. Hal ini dikarenakan, berita yang disebarkan oleh jurnalisme warga dapat dengan cepat menyebar dengan bantuan internet dan media sosial. ''Mass-panicking'' terjadi karena massa tidak sempat melakukan uji validitas terhadap informasi yang baru saja didapat dan terlanjur ikut menyebarkan berita bohong, membuat kepanikan yang semakin masif.
* Kelemahan profesionalitas. Jurnalis warga bukanlah profesional, sehingga banyak menggunakan prasangka dan kurang objektif, cara pelaporan berita juga menjadi terpengaruh.
* Tidak representatif
Baris 64 ⟶ 67:
Kemunculan jurnalisme warga menjadi bukti bahwa akses media semakin terbuka bagi khalayak. Setiap orang bisa terlibat dalam kegiatan mencari, menulis, dan melaporkan informasi dalam bentuk berita, artikel, foto, video, dll. Meskipun terlihat mudah dilakukan, jurnalisme warga juga tetap memiliki tantangan:<ref name="Sukmawati 2017">Sukmawati. 2017. ''Partisipasi Jurnalisme Warga terhadap Media Online Tribun Timur.'' Makassar: UIN Alauddin Makassar. Diakses pada tanggal 29 September 2018 dalam http://repositori.uin-alauddin.ac.id/8148/1/SUKMAWATI.pdf</ref>
 
* Profesionalisme. Jurnalis merupakan suatu profesi seseorang yang bertugas mencari, mengolah, dan menyebarkan informasi. Melalui profesi tersebut, mereka mendapatkan gaji. Berbeda dengan jurnalisme warga'','' terkadang para ''blogger'' hanya sekedarsekadar menyalurkan hobi dan tidak digaji.
* Menjadi seorang jurnalis profesional membutuhkan keahlian tertentu dan jurnalis adalah orang yang sudah terlatih. Artinya, tak semua orang dapat membuat suatu beritaseperti menginvestigasi fakta, menulis ''straight news, feature,'' dsb, tanpa melalui proses pelatihan.
* Jurnalis terikat oleh sistem yang ada di media massa, seperti aturan atau undang-undang tertentu. Pers diatur oleh sistem pers, kemudian sistem pers diatur oleh sistem politik. Ketika narasumber menyatakan ''off the record,'' maka wartawan tidak boleh merekamnya dan menuliskannya di media.
* Kemunculan jurnalisme warga seolah menjadi lawan kata dari ''nation state.'' Dalam nation ''state,'' warga negara merupakan individu yang memiliki bukti legal sebagai warga negara dalam suatu negara. Bukti tersebut merupakan salah satu syarat menjadi jurnalisme warga selain memiliki akses internet dan bisa menulis, karena menjadi jurnalis tidak diperkenankan anonim.
* Seorang jurnalis juga harus memperhatikan kualitas tulisan, karena kualitas isi tulisan dapat mempengaruhi khalayak. Tulisan harus dapat dipertanggungjawabkan, apabila melanggar maka akan ada hukum yang mengaturnya.
Dalam studi yang dilakukan Eddyono terhadap ''Kompasiana, Indonesiana,'' dan ''Ritizen,'' jurnalisme warga diarahkan mengikuti selera pasar. Prinsip jurnalisme warga adalah, yang utama, menyediakan ruang bagi warga yang memiliki akses dalam menyampaikan informasi apapun yang terjadi di sekitarnya dengan gaya dan sudut pandangnya yang khas, apa adanya. Tapi ketika konten-konten diarahkan sedemikian rupa sesuai selesar pasar, maka akan berdampak pada tersisihnya konten-konten yang dianggap biasa-biasa saja. Masalahnya, jika ini terus terjadi maka keragaman di ranah informasi terancam rusak. Meskipun tersedia ruang menyampaikan beragam konten, tetapi tidak semua konten akan mendapat perlakuan yang sama.<ref>{{Cite book|url=http://books.google.com/books/about?id=DarvDwAAQBAJ|title=Jurnalisme Warga, Hegemoni, dan Rusaknya Keragaman Informasi|last=Eddyono|first=Aryo S.|date=2020|publisher=Universitas Bakrie Press|isbn=9786027989368|location=|pages=260|url-status=live}}</ref>
 
Persoalan lainnya adalah meskipun jurnalisme warga mengandung "jurnalisme" dalam istilahnya, tapi pelaku atau kontributornya tidak bisa disamakan dengan jurnalis profesional yang dilindungi oleh UU Pers No. 40/1999. Kontributor warga berpeluang mendapatkan hukuman yang berat jika terjadi sengketa informasi. Padahal, konten-konten dari warga dianggap penting dan mendukung bagi keberadaan jurnalisme itu sendiri. Jadi, jurnalisme warga tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang “baik-baik” saja. Selain persoalan perebutan untung di tengah rezim Search Engine Optimization (SEO) dan viral media sosial - termasuk juga persoalan hoaks, ada juga persoalan perebutan eksistensi antara jurnalis profesional dengan kontributor warga. Ada upaya membuat patuh jurnalisme warga agar mengikuti kaidah-kaidah jurnalisme profesional yang berdampak pada pergeseran nilai-nilai subjektif (terserah maunya si kontributor warga bagaimana membuat konten) menjadi sesuai dengan nilai-nilai jurnalisme profesional dan maunya pasar. Belum lagi, ada indikasi perlakuan yang diberikan oleh media yang mengelola konten warga terhadap warga yang berkontribusi dalam bentuk pendisiplinan (patuh terhadap aturan main) agar kualitas konten terpelihara dan tidak menimbulkan anarki. Dampak dari itu semua, yang mengkhawatirkan, adalah rusaknya keragaman informasi yang digadang-gadang bisa muncul dari praktik jurnalisme warga.<ref>{{Cite book|url=http://books.google.com/books/about?id=DarvDwAAQBAJ|title=Jurnalisme Warga, Hegemoni, dan Rusaknya Keragaman Informasi|last=Eddyono|first=Aryo S.|date=2020, 6 Juli|publisher=Universitas Bakrie Press|isbn=9786027989368|location=|pages=289|url-status=live}}</ref>
 
== Perbedaan Jurnalisme Warga dan Jurnalisme Profesional ==
Dahulu, jurnalis menyebarkan informasi melalui surat kabar (koran), majalah, radio, televisi, maupun film. Kini, jurnalistik berlaku juga di internet atau media ''online'' sehingga menghadirkan hal yang baru yaitu jurnalistik online (''online journalism''). ''Mobile journalism'' yaitu aktivitas jurnalistik terbaru melalui ''mobile device'' atau melalui ''smartphone'', tablet komputer, dan lain-lain. Hadirnya ''mobile journalism'' dapat mempercepat proses penulisan dan penyebarluasan informasi di media ''online''. Jurnalis dapat menulis berita di mana saja dan kapan saja hanya melalui ''smartphone'' atau telepon genggam.<ref name=":0">{{Cite web|title='Melawan' Citizen Journalism dengan Deep Report|url=https://haluan.co/article/-melawan-citizen-journalism-dengan-deep-report-|website=haluan.co|access-date=2021-03-10}}{{Pranala mati|date=April 2023 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
 
Selain itu, terdapat pula jurnalisme warga (''citizen journalism'') yang memanfaatkan blog atau media sosial untuk menyebarkan informasi sebuah peristiwa yang sedang berlangsung. Hadirnya jurnalisme warga ini dapat menjadi salah satu gambaran dari perkembangan jurnalisme yang akan datang. Masyarakat dapat dengan mudah menemukan informasi yang sedang terjadi dan membagikannya melalui media sosial.<ref name=":0" />
 
Hanya dengan menggunakan ''smartphone'', masyarakat dapat memberikan informasi melalui foto, video, ataupun audio. Meskipun demikian, ''citizen journalism'' tidak bisa disamakan dengan jurnalis profesional. Proses peliputan yang dilakukan oleh jurnalis terkadang membutuhkan waktu yang lebih lama dalam menerbitkan suatu berita dan informasi, sedangkan ''citizen journalism'' tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebarkan berita terkini. ''Citizen journalism'' hanya memberikan sedikit informasi terkait apa yang diberitakan dan informasinya pun hanya bersifat umum. Sedangkan, jurnalis mampu memberikan informasi yang lengkap karena memiliki bekal dalam pengalaman, kode etik dan identitas resmi yang mereka miliki.<ref name=":0" />
 
Sehingga, dapat dikatakan bahwa jurnalis harus bisa bertahan dari banyaknya kemungkinan yang akan mematikan pekerjaan mereka. Wartawan tidak perlu bersaing dalam segi waktu dengan ''citizen journalism'' karena hal tersebut tidak memungkinkan. Wartawan dapat melakukan liputan mendalam atau ''deep reporting.''<ref name=":0" />
 
== Referensi ==