Manusia Solo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
 
(16 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{italic title}}
{{Taxobox
| name = HomoManusia erectus soloensisSolo
| image = Ngandong 7-Homo erectus.jpg
| image_caption = Penemuan tengkorak di Ngandong 13 (dari the National Museum of Natural History)
Baris 26 ⟶ 27:
}}
 
'''''HomoManusia e. soloensisSolo''''', '''(''Homo erectus soloensis''''', atau '''''Homo soloensis''''' (sering pula disebut Manusia dari Solo atau ''Solo Man'') adalah [[hominid]] atau [[manusia purba]] yang diperkirakan hidup di daerah [[Sungai Bengawan Solo]] [[purba]] pada [[Zaman Batu]] Tua atau [[Paleolitikum]].
 
Subspesies yang telah punah ini sempat diklasifikasikan sebagai ''Homo sapiens soloensis'', tetapi sekarang dimasukkan ke dalam spesies ''[[Homo erectus]]''. Oleh sebagian ahli, ''Homo soloensis'' dianggap segolongan dengan ''[[Homo neanderthalensis]]'' yang merupakan manusia purba dari [[Asia]], [[Eropa]], dan [[Afrika]].
Baris 43 ⟶ 44:
Menurut von Koenigswald dan R. Weidenreich, manusia purba ini lebih tinggi tingkatannya dibanding ''[[Pithecanthropus erectus]]''. Bahkan, mereka telah layak disebut sebagai ''homo'' (manusia). Diperkirakan, makhluk ini merupakan [[evolusi]] dari ''Pithecanthropus mojokertensis'' atau ''Homo mojokertensis''.
 
Karena alat-alat yang ditemukan di dekat tulang hominid ini dan banyaknya fitur anatomi yang lebih rentan, para ahli pertama kali mengklasifikasikannya sebagai subspesies ''[[Homo sapiens]]'' (pernah juga disebut ''Javanthropus'') dan dianggap sebagai nenek moyang orang [[Aborigin]] di [[Australia]]. Namun, studi yang lebih akurat menyimpulkan bahwa hal tersebut tidaklah terbukti.<ref name="ReferenceA">Peter Brown: Recent human evolution in East Asia and Australasia. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Biological Sciences, Vol. 337, 235-242, 1992</ref>
 
Analisis terhadap belasan tengkorak dari [[Sangiran]], [[Trinil]], Sambungmacan, dan Ngandong menunjukkan pengembangan kronologis dari Periode Bapang ke Periode Ngandong.<ref>{{Cite journal
Baris 58 ⟶ 59:
 
== Ciri-ciri Fisik ==
Meskipun morfologinya sebagian besar khas dari ''[[Homo erectus]]'', budaya ''Homo e. soloensis'' sudah sangat maju. Hal ini menimbulkan banyak masalah untuk teori terkini mengenai keterbatasan perilaku ''Homo erectus'' dalam hal [[inovasi]] dan [[bahasa]].<ref>Peter Brown: Recent human evolution in East Asia and Australasia. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Biological Sciences, Vol. 337, 235-242, 1992<name="ReferenceA"/ref>
 
''Homo erectus soloensis'' berdiri tegak dan berjalan lebih sempurna. Diperkirakan, mereka memiliki tinggi badan antara 130 hingga 210 &nbsp;cm. Otot tengkuk mengalami penyusutan. Wajah tidak menonjol ke depan, tetapi dahinya miring ke belakang. Tengkoraknya menunjukkan tonjolan yang lebih tebal di dekat alis.<ref name="Arif & Sukatno">{{cite book |last1=Arif |first1=H. A. Kholiq |last2=Sukatno |first2=Otto |title=Mata Air Peradaban: Dua Millenium Wonosobo |date=2010 |publisher=Penerbit LKiS, Cetakan Pertama |page= |isbn=9789792553314}}</ref> Kapasitas otaknya berkisar antara 1.013 sampai 1.251 &nbsp;cm³, menempatkan ''Homo erectus soloensis'' di antara anggota genus Homo berotak lebih besar.<ref>http://www.columbia.edu/~rlh2/PartII.pdf</ref>
 
<center><gallery>
Baris 70 ⟶ 71:
 
== Kebudayaan dan Peradaban ==
[[Berkas:Arpón_con_microlitos.png|jmpl|ka|Ilustrasi tombak bergerigi yang fungsinya diduga seperti harpun|150px]]Dengan volume [[otak]] yang sudah mendekati [[manusia modern|manusia]], ''Homo erectus soloensis'' bersama dengan ''[[Homo wajakensis]]'', diperkirakan mengawali sistem [[budaya]] yang kemudian kita kenal dengan [[Kebudayaan Ngandong]]. Kebudayaan ini dicirikan dengan penggunaan tulang binatang, duri ikan pari, dan batu-batuan serpih (''flakes'').<ref name="Edupensa15Desember2016">{{cite web |url=https://www.eduspensa.id/kebudayaan-ngandong-lengkap/ |title=Kebudayaan Ngandong: Sejarah, Ciri-ciri, Persebaran, Hasil Budaya |last=Yugi |first=Al |publisher=''Harian Blora'' |date=2017-08-16 |accessdate=2017-10-13 |archive-date=2018-08-12 |archive-url=https://web.archive.org/web/20180812053811/https://www.eduspensa.id/kebudayaan-ngandong-lengkap/ |dead-url=yes }}</ref> Bahan-bahan tersebut sudah berhasil diolah menjadi kapak, belati, tombak, dan sebagainya.
 
Sebagian ''flakes'' bahkan terbuat dari batu-batuan yang indah, seperti [[Chalcedony|kalsedon]], menandakan peradaban ''Homo e. soloensis'' telah mengenal citarasa [[seni]]. Alat-alat dari tulang binatang diduga digunakan untuk mengorek [[ubi]] dan [[keladi]] dari dalam tanah. Alat-alat seperti [[tombak]] yang bergerigi diduga dimanfaatkan layaknya [[harpun]]: untuk menangkap ikan besar.<ref name="Soekmono"/>
Baris 80 ⟶ 81:
Permasalahan berikutnya, di antara semua penemuan dari zaman pleistosen di Indonesia, belum pernah ditemukan alat-alat yang letaknya berdekatan dengan fosil ''homo''. Akibatnya, sulit menyimpulkan siapa pemilik sebenarnya dari alat-alat yang dikemukakan di atas.
 
Petunjuk untuk memecahkan kebuntuan ini datang dari penemuan di [[Beijing]], [[Tiongkok]]. Di gua [[GoaChoukoutien]] Choukoutien, sejumlah fosil ''Sinanthropus pekinensis'' (sekelas dengan ''Pithecanthropus erectus'') ditemukan bersama perkakas bebatuan yang mirip dengan alat-alat di Situs Pacitan maupun Situs Ngandong. Maka kesimpulan sejauh ini, jika ''Sinanthropus pekinensis'' saja sudah memiliki budaya menggunakan dan menciptakan alat, boleh jadi ''Pithecanthropus erectus'' pun telah berbudaya.
 
Kesimpulan selanjutnya, jika makhluk seperti ''Pithecanthropus'' saja berbudaya dan mampu menciptakan Kebudayaan Pacitan lengkap dengan alat-alatnya, seharusnya Kebudayaan Ngandong yang dipelopori kaum homo, dalam hal ini ''Homo erectus soloensis'', jauh lebih maju. Apalagi penelitian kemudian menunjukkan bahwa alat-alat tersebut memang berasal dari Pleistosen Atas, hasil kebudayaan ''Homo soloensis'' dan ''Homo wajakensis''.<ref name="Soekmono"/>
Baris 89 ⟶ 90:
Ada keyakinan dari sebagian ahli bahwa perkembangan budaya manusia [[diluvium]] sampai ''Homo sapiens'' diimbangi dengan perkembangan pemikiran dan perasaannya. Termasuk perkembangan kerohaniannya yang membuat mereka percaya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari dirinya.<ref name="Soekmono"/>
 
Menurut [[Karen Armstrong]],<ref name="Armstrong">{{cite book |last=Armstrong |first=Karen |title=Sejarah Tuhan |date=2011 |publisher=Penerbit Mizan Bandung |page=27 |isbn=9789794336144}}</ref>, pada mulanya, manusia menciptakan satu [[Tuhan]] yang merupakan penyebab pertama bagi segala sesuatu. Ia adalah penguasa [[langit]] dan bumi. Ia tidak terwakili oleh gambaran apapun dan tidak memiliki [[kuil]] atau [[pendeta]] yang mengabdi kepada-Nya. Ia terlalu luhur untuk [[ibadah]] manusia yang tak memadai.
 
Wilhelm Schmidt, dalam buku ''The Origin of the Idea of God'' (1912-1954), juga menulis tentang [[monoteisme]] primitif ini. Menurutnya, jauh sebelum menyembah banyak dewa, manusia mengakui hanya satu Tuhan Tertinggi yang telah menciptakan dunia dan menata segalanya dari kejauhan. Schmidt mencontohkan suku pribumi [[Afrika]] yang meyakini keesaan Tuhan. Mereka mengungkapkan kerinduan melalui doa, percaya bahwa Tuhan selalu mengawasi dan menghukum setiap dosa. Namun Tuhan tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka, artinya tidak ada kultus khusus untuk-Nya. Tuhan tidak pernah ditampilkan dalam gambar-gambar.
Baris 108 ⟶ 109:
Sedangkan Paparan Sahul atau Dataran Sahul adalah bagian dari lempeng landas kontinen benua [[Australia (benua)|Sahul]] (Benua Australia-Papua) yang terletak di lepas [[pantai]] utara Australia dan lautan selatan [[Pulau Papua]]. Paparan Sahul membentang dari Australia utara, meliputi [[Laut Timor]] menyambung ke timur di [[laut Arafura]] yang menyambung dengan [[Pulau Papua]]. Ketika permukaan air laut turun pada [[zaman es]] [[Pleistosen]], Paparan Sahul adalah dataran terbuka di atas permukaan laut.
 
Teori Jawa sebagai tempat asal peradaban purba bertolak dari [[fakta]] bahwa [[pulau]] ini berada di wilayah [[khatulistiwa]] dengan iklim yang sangat ideal bagi kehidupan manusia. Akan terasa janggal bila manusia-manusia itu justru lebih suka tinggal di lokasi yang memiliki empat musim, karena pada [[Musim Dingin|Musim Salju]] tentulah sangat dingin membeku. Terlebih dipada zaman es sekitar dua juta tahun yang lalu. Maka tidak berlebihan bila sebagian ahli mengemukakan teori bahwa Paparan Sunda dan Paparan Sahullah sesungguhnya tempat kelahiran serta pertahanan hidup Ras Mongoloid dan Australoid. Terlebih bila mengingat di pulau ini juga hadir leluhur ''Homo erectus soloensis'', yakni ''Pithecanthropus erectus'', sang ''missing link'' yang oleh antropolog dan zoolog Jerman [[Ernst Haeckel]] dianggap peralihan sempurna antara kera dan manusia.<ref name="Arif & Sukatno"/>
 
== Kepunahan ''Homo erectus soloensis'' ==
Tidak ada yang tahu persisnya mengapa ''Homo e. soloensis'' tidak lagi hidup di [[bumi]]. Hanya ada keterangan bahwa populasinya musnah di kala pleistosen.<ref name="Kompas">{{cite webCite news| url=http://sains.kompas.com/read/2010/10/29/10343944/Menyingkap.Fajar.Sejarah.Sumatera |title=Menyingkap Fajar Sejarah Sumatera| last=KEN |publisher=Kompas.com| date=2010-10-29 |accessdate=2017-10-20|work=[[Kompas.com]]|editor-last=Wahono|editor-first=Tri}}</ref> Bagaimanapun, sebagai perbandingan, bolehlah kita menggunakan penelitian bertema serupa untuk kasus Neanderthal. Sebab, antara ''Homo erectus soloensis'' dan ''Homo neanderthalis'' memiliki kedekatan fisik.
 
=== Kemampuan Sosial yang Rendah ===
Baris 118 ⟶ 119:
Para pakar dari [[Universitas Oxford]] dan Museum Natural History di [[London]] membandingkan 32 tengkorak manusia modern dengan 13 tengkorak Neanderthal. Para ilmuwan itu mendapati bahwa proporsi otak Neanderthal yang bertanggung jawab membangun hubungan sosial lebih kecil dibanding proporsi otak [[primata]] dan manusia saat ini. Riset tersebut menyimpulkan bahwa kemampuan bertukar alias berdagang dari spesies ini sangat terbatas.
 
Dalam kondisi normal, keterbatasan tersebut barangkali bukanlah masalah besar. Namun dalam situasi sulit, seperti zaman es, keterbatasan semacam itu meminimalkan peluang untuk bekerja sama dengan grup lain, sehingga meminimalkan pula kesempatan untuk menjadi [[penyintas]].<ref name="Kompas13Maret2013">{{cite webCite news| url=http://sains.kompas.com/read/2013/03/13/14455755/manusia.purba.punah.karena.kurang.bergaul |title=Manusia Purba Punah karena Kurang Bergaul |last=Utomo |first=Yunanto Wiji |publisher=Kompas Cyber Media| date=2013-03-13 |accessdate=2017-10-21|work=[[Kompas.com]] |editor-last=yunan }}</ref>
 
=== Penyebaran Penyakit ===
Ada pula dugaan bahwa [[epidemi]] berperan besar dalam memusnahkan ''Homo erectus soloensis'' dan keturunannya. Pasalnya, kasus serupa juga menimpa Neanderthal.<ref>{{Cite news |url=https://www.brookes.ac.uk/about-brookes/news/brookes-research-finds-modern-humans-gave-fatal-diseases-to-neanderthals/ |title=Brookes Research Finds Modern Humans Gave Fatal Diseases to Neanderthals |last=Underdown |first=Simon |date=10 April 2015 |publisher=Oxford Brookes University news | access-date=2017-10-22 |archive-date=2021-02-27 |archive-url=https://web.archive.org/web/20210227163435/https://www.brookes.ac.uk/about-brookes/news/brookes-research-finds-modern-humans-gave-fatal-diseases-to-neanderthals/ |dead-url=yes }}</ref>
 
Menurut [[riset]], Neanderthal memiliki kekebalan terbatas terhadap [[penyakit]] yang belum pernah mereka idap. Sementara ''Homo sapiens'' relatif lebih [[imun]] terhadap [[kuman]], [[virus]], [[bakteri]], atau beragam [[paleopatologi]]. Jika relatif mudah bagi [[patogen]] tertentu untuk melompat antar dua spesies, mungkin karena mereka tinggal berdekatan, maka penularan sangat memungkinkan terjadi dan akibatnya fatal bagi manusia-manusia Neanderthal. Hal yang serupa pun dapat terjadi terhadap ''Homo soloensis''.
Baris 128 ⟶ 129:
Teori lain memaparkan, kepunahan manusia purba secara umum berkaitan dengan badai meteor yang pernah menghantam bumi sekitar 12.000 tahun lalu. Peristiwa [[alam]] ini diduga membinasakan para manusia purba, termasuk hewan-hewan raksasa seperti [[dinosaurus]] dan [[mammoth]]. Para peneliti yakin tragedi tersebut memicu perubahan suhu hingga mencapai 2.200 derajat celcius.<ref name="SoloPos13Juni2012">{{cite web | url=http://www.solopos.com/2012/06/13/mengapa-manusia-purba-punah-ini-jawabnya-193174 |title=Mengapa Manusia Purba Punah? Ini Jawabnya |last=Zuhri |first=Amiruddin |publisher=Solopos Digital Media |date=2012-06-13 |accessdate=2017-10-21}}</ref>
 
Sulit bagi makhluk-makhluk dipada zaman itu untuk bertahan, baik saat meteor menerjang maupun di saat kondisi alam mengalami kerusakan dan perubahan [[iklim]] yang ekstrem setelahnya.
 
Memang, penyebab punahnya ''Homo erectus soloensis'' secara pasti masih menjadi teka-teki dan perdebatan di kalangan ilmuwan. Bisa jadi karena mereka dimangsa predator, kalah bersaing dengan manusia modern (''Homo sapiens''), epidemi, faktor eksternal planet (seperti meteor), kurang pandai bersosialisasi, atau semua itu sekaligus.
Baris 136 ⟶ 137:
 
{{Evolusi manusia}}
{{Taxonbar|from=Q1142896}}
{{Rasmanusia}}
 
[[Kategori:Manusia purba]]
Baris 145 ⟶ 146:
[[Kategori:Antropologi]]
[[Kategori:Paleoantropologi]]
[[Kategori:Paleontologi Indonesia]]