Hinduisme Bali: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
saya mengubah gambar Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k →tilem |
||
(64 revisi perantara oleh 32 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox religious group
| group = Agama Hindu Bali
| flag =
| flag_caption =
| flag_size =
| image = Salah Satu Upacara Besar Di Pura Agung Besakih.jpg
| image_caption = Persembahyangan umat Hindu Bali di [[Pura Besakih]]
| image_size =
| population = ~ 4,300,000
| religions = [[Agama Hindu]]
| scriptures = Berbagai sastra kuno Bali seperti lontar yang beberapa bersumber dari ''[[Weda]]''
| languages = [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]]{{•}}[[Bahasa Bali|Bali]]
| related-c = [[suku Bali]]{{•}}[[Nusa Penida|Suku Nusa Penida]]{{•}}[[Suku Bali Aga|Suku Bali Aga]]
| regions = [[Bali]]{{•}}[[Nusa Tenggara Barat]]{{•}}[[Lampung]]{{•}} [[Jawa Timur]]{{•}} [[Sulawesi Tenggara]]
| tablehdr =
| region1 =
| pop1 =
| ref1 =
| region2 =
| pop2 =
| ref2 =
| website =
| notes =
}}
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Vrouw brandt wierook bij een offeraltaar TMnr 20017893.jpg|jmpl|Seorang perempuan Hindu Bali sedang sembahyan pribadi.]]
'''Agama Hindu Bali''' (disebut pula '''Agama Hindu Dharma''' atau '''Agama Tirtha''' ("Agama Air Suci")<ref>oleh para penganutnya juga sering disebut sebagai "agama Hindu" saja.</ref> adalah bentuk [[agama Hindu]] yang dipraktikkan oleh mayoritas penduduk [[Bali]].<ref name=mcdaniel>McDaniel, June (2013), A Modern Hindu Monotheism: Indonesian Hindus as ‘People of the Book’. The Journal of Hindu Studies, Oxford University Press, {{doi|10.1093/jhs/hit030}}</ref><ref name="bps">{{cite web|url=http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=321&wid=0|title=Sensus Penduduk 2010 - Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut|trans-title=2010 Population Census - Population by Region and Religious Affiliations|publisher=[[Badan Pusat Statistik]]|language=id|access-date=2014-05-27}}</ref> Hal ini terutama terkait dengan masyarakat [[Bali]] yang tinggal di pulau tersebut, dan merupakan bentuk yang berbeda dari pemujaan Hindu yang menggabungkan [[animisme]] lokal, pemujaan [[leluhur]] atau ''[[Pitri Paksha]]'', dan penghormatan untuk orang suci Buddha atau ''[[Bodhisatwa]]''.
Populasi [[Daftar pulau di Indonesia menurut provinsi|pulau-pulau Indonesia]] sebagian besar [[Muslim]] (86%).<ref name=britindonesiareli>[https://www.britannica.com/place/Indonesia/Religions Indonesia: Religions], Encyclopaedia Britannica</ref> [[Pulau Bali]] adalah pengecualian di mana sekitar 86,70% penduduknya beragama [[Agama Hindu|Hindu]] (sekitar 1,7% dari total penduduk [[Indonesia]]).<ref name=britindonesiareli/>https://gis.dukcapil.kemendagri.go.id/peta/
Setelah merdeka dari penjajahan [[Belanda]], [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar 1945]] menjamin kebebasan beragama bagi semua warga negara.<ref name=picard/> Pada tahun [[1952]], kata Michel Picard, seorang [[Antropologi|antropolog]] dan sarjana sejarah dan agama Bali, [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] berada di bawah kendali kaum [[Konservatisme|konservatif]] yang sangat membatasi definisi "agama" yang dapat diterima.<ref name=picard/> Agar dapat diterima sebagai [[Agama di Indonesia|agama resmi Indonesia]], kementerian mendefinisikan "agama" sebagai agama [[Monoteisme|monoteistik]], telah mengkodifikasi hukum agama dan menambahkan beberapa persyaratan.<ref name=picard/><ref name=mcdaniel/>
Selanjutnya, [[Indonesia]] menolak hak kewarganegaraan (seperti hak untuk memilih) bagi siapa pun yang bukan penganut agama monoteistik yang diakui secara resmi.<ref name=mcdaniel/> Minoritas Hindu Bali mengadaptasi dan menyatakan bentuk [[agama Hindu]] mereka menjadi monoteistik, dan mempresentasikannya dalam bentuk yang secara politis memenuhi syarat untuk status agama. Dengan demikian, Hindu Bali telah diakui secara formal oleh [[pemerintah Indonesia]] sebagai salah satu agama resmi yang dianut di Bali.<ref name=mcdaniel/><ref name=picard/>
==Sejarah==
[[File:Cérémonie au temple de Goa Lawah.jpg|thumb|right|Upacara di [[Pura Goa Lawah]], [[Bali]]]]
Pengaruh [[Agama Hindu|Hindu]] mencapai [[Nusantara]] pada awal abad pertama masehi.<ref name=jgonda>{{cite book |surname=Gonda |given=Jan |authorlink=Jan Gonda |year=1975 |chapter=The Indian Religions in Pre-Islamic Indonesia and their survival in Bali |chapter-url={{Google books|id=X7YfAAAAIAAJ|plainurl=y|page=1|keywords=|text=}} |title=Handbook of Oriental Studies. Section 3. Southeast Asia, Religions |url={{Google books|id=X7YfAAAAIAAJ|plainurl=y}} |pages=1–54 |place=Leiden |publisher=E. J. Brill}}</ref><ref name=mark1>Mark Juergensmeyer and Wade Clark Roof, 2012, [https://books.google.com/books?id=B105DQAAQBAJ&pg=PA557 Encyclopedia of Global Religion], Volume 1, pages 557–558</ref> Bukti sejarah tidak jelas tentang proses [[difusi]] ide-ide budaya dan spiritual dari [[India]]. Legenda [[Jawa]] mengacu pada era Saka, ditelusuri hingga abad 78 masehi. Cerita dari ''[[Mahabharata]]'' telah dilacak di [[Daftar pulau di Indonesia menurut provinsi|pulau-pulau Indonesia]] hingga abad ke-1, yang versinya mencerminkan yang ditemukan di [[Tamil Nadu]].<ref name=jgonda/> Karya prosa Jawa ''[[Tantu Pagelaran]]'' abad ke-14, yang merupakan kumpulan [[dongeng]] kuno, seni dan kerajinan [[Indonesia]], ekstensif menggunakan kata-kata [[Bahasa Sanskerta|Sanskerta]], nama [[dewa]] India, dan konsep agama.
Begitu pula dengan [[Candi|candi kuno]] yang digali di [[Jawa]] dan pulau-pulau Indonesia bagian barat, serta prasasti kuno seperti [[Prasasti Canggal]] abad ke-8 yang ditemukan di Indonesia, mengkonfirmasi adopsi luas [[ikonografi]] [[Siwa]], pendampingnya [[Parwati|dewi Parwati]], [[Ganesa]], [[Wisnu]], [[Brahma]], [[Arjuna]], dan dewa-dewi Hindu lainnya sekitar pertengahan hingga akhir milenium pertama masehi.<ref>Kenneth Hall (2011), A History of Early Southeast Asia, Rowman & Littlefield, {{ISBN|978-0742567610}}, Chapter 4 and 5</ref> Catatan Tiongkok kuno tentang [[Fa Hsien]] dalam perjalanan pulang dari [[Sri Lanka|Ceylon]] ke [[Tiongkok]] pada tahun 414 M menyebutkan dua aliran Hindu di Jawa,<ref name=jgonda/> sementara dokumen Tiongkok dari abad ke-8 menyebut kerajaan Hindu Raja Sanjaya sebagai ''[[Kerajaan Kalingga|Holing]]'', menyebutnya "sangat kaya," dan konon hidup berdampingan secara damai dengan umat [[Agama Buddha|Buddha]] dan penguasa [[Wangsa Sailendra|Sailendra]] di [[Dataran Kedu]] pulau Jawa.<ref>Kenneth Hall (2011), A History of Early Southeast Asia, Rowman & Littlefield, {{ISBN|978-0742567610}}, pp. 122-123</ref>
Sekitar tahun 1400 M, kerajaan-kerajaan di pulau-pulau Indonesia diserang oleh tentara [[Muslim]] yang berbasis di pantai.<ref name=mark1/> Selama abad ke-15 dan ke-16, kampanye Muslim yang dipimpin oleh para sultan ini menargetkan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan berbagai komunitas di [[Indonesia|kepulauan Indonesia]], dengan masing-masing [[Sultan]] berusaha mengukir wilayah atau pulau untuk dikuasai.<ref>Taufiq Tanasaldy, Regime Change and Ethnic Politics in Indonesia, Brill Academic, {{ISBN|978-9004263734}}</ref>
Empat Kesultanan Islam yang beragam dan kontroversial muncul di [[Sumatera Utara]] ([[Aceh]]), [[Sumatera Selatan]], [[Jawa Barat]] dan [[Jawa Tengah|Tengah]], dan [[Kalimantan Selatan]] ([[Kalimantan]]).<ref>Gerhard Bowering et al., ''The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought'', Princeton University Press; {{ISBN|978-0691134840}}</ref> Kekerasan tersebut mengakhiri kerajaan dan komunitas Hindu-Buddha di banyak pulau di Indonesia.<ref name=mark1/>
Dalam kasus lain, umat Hindu dan Buddha pergi dan terkonsentrasi sebagai komunitas di pulau-pulau yang dapat mereka pertahankan. Umat Hindu di [[Jawa Timur]] bergerak ke timur dan kemudian ke [[pulau Bali]] dan pulau-pulau kecil tetangganya, sehingga dimulailah agama Hindu Bali.<ref name=jfox>James Fox, ''Indonesian Heritage: Religion and ritual, Volume 9 of Indonesian Heritage'', Editor: Timothy Auger; {{ISBN|978-9813018587}}</ref> Sementara era konflik agama dan peperangan antar kesultanan ini sedang berlangsung, dan pusat-pusat kekuatan baru berusaha mengkonsolidasikan wilayah-wilayah di bawah kendali mereka, [[kolonialisme]] [[Eropa]] tiba.<ref name=jfox/> Kepulauan Indonesia segera didominasi oleh kerajaan kolonial [[Hindia Belanda]].<ref>Wendy Doniger (2000), Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions, Merriam-Webster; {{ISBN|978-0877790440}}, pp. 516-517</ref>
Kerajaan kolonial Hindia Belanda membantu mencegah konflik antar agama, dan perlahan-lahan memulai proses penggalian, memahami dan melestarikan landasan budaya Hindu-Buddha kuno [[Indonesia]], khususnya di Jawa dan pulau-pulau barat Indonesia.<ref name="Jean Gelman Taylor pp. 21-83">Jean Gelman Taylor, Indonesia: Peoples and Histories, Yale University Press; {{ISBN|978-0300105186}}, pp. 21-83 and 142-173</ref>
Setelah merdeka dari penjajahan [[Belanda]], Pasal 29 [[Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945|Undang-Undang Dasar 1945]] menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganya.<ref name=picard/> Pada tahun [[1952]], Michel Picard mengatakan, [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] berada di bawah kendali kaum [[Islamisme|Islamis]] yang sangat membatasi definisi "agama" yang dapat diterima".<ref name=picard/> Agar dapat diterima sebagai [[Agama di Indonesia|agama resmi Indonesia]], kementerian mendefinisikan "agama" sebagai salah satu yang monoteistik, telah mengkodifikasi hukum agama, memiliki seorang [[nabi]] dan [[kitab suci]], di antara persyaratan lainnya.<ref name=picard/><ref name=mcdaniel/> Hindu Bali dinyatakan sebagai "orang tanpa agama", dan tersedia untuk dikonversi. Umat Hindu Bali tidak setuju, memperdebatkan, mengadaptasi, dan menyatakan bentuk agama Hindu mereka sebagai [[Monoteisme|monoteistik]], dan disajikan dalam bentuk yang memenuhi syarat untuk status "agama" di bawah Undang-Undang tahun 1952 yang telah diamandemen.<ref name=mcdaniel/><ref name=picard>{{cite book|author=Michel Picard|editor =Martin Ramstedt | title= Hinduism in Modern Indonesia|url=https://archive.org/details/isbn_9780700715336| publisher= Routledge | isbn =978-0-7007-1533-6| year=2004 | pages=[https://archive.org/details/isbn_9780700715336/page/9 9]–10, 55–57}}</ref>
Untuk mencapai hal ini, umat Hindu Bali memprakarsai serangkaian inisiatif pertukaran pelajar dan budaya antara [[Bali]] dan [[India]] untuk membantu merumuskan prinsip-prinsip inti di balik Hindu Bali ([[Weda|Catur Weda]], [[Upanisad]], [[Purana]], [[Itihasa]]). Secara khusus, gerakan politik penentuan nasib sendiri di Bali pada pertengahan [[1950]]-an berujung pada petisi bersama tahun [[1958]] yang menuntut [[pemerintah Indonesia]] mengakui [[Agama Hindu|Hindu Dharma]].<ref name=mramstedt/> Petisi bersama ini mengutip mantra Sansekerta berikut dari kitab suci Hindu:<ref>Michel Picard (2003), in Hinduism in Modern Indonesia, Routledge; {{ISBN|978-0700715336}}, Chapter 4, pp. 56-74</ref>
{{Quote|Om tat sat ekam eva advitiyam<br><br>Terjemahan: Sang Hyang (Tuhan), demikianlah esensi dari yang meliputi segalanya, tak terbatas, tak terbagi.|Petisi bersama oleh umat Hindu di Bali|14 Juni 1958<ref name=mramstedt/>|source=}}
Fokus petisi pada "yang tak terbagi" adalah untuk memenuhi persyaratan konstitusional bahwa [[Kewarganegaraan|warga negara]] [[Indonesia]] memiliki kepercayaan [[Monoteisme|monoteistik]] pada satu [[Tuhan]]. Para pemohon mengidentifikasi [[Sang Hyang Widhi|Ida Sanghyang Widhi Wasa]] sebagai yang tidak terbagi. Dalam [[bahasa Bali]], istilah ini memiliki dua arti: "Penguasa Ilahi Semesta Alam" dan "Hukum Kosmik Mutlak Ilahi". Ungkapan kreatif ini memenuhi persyaratan monoteistik [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] dalam pengertian sebelumnya, sementara arti terakhir dari maknanya melestarikan ide sentral dharma dalam tulisan kuno Hindu.<ref name=mramstedt>Martin Ramstedt (2003), Hinduism in Modern Indonesia, Routledge; {{ISBN|978-0700715336}}, pp. 9-12</ref>
[[Bali]] menjadi satu-satunya bagian Indonesia yang tetap didominasi Hindu.<ref name="Jones11">Jones (1971) p11</ref><ref name="Ricklefs13">Ricklefs (1989) p13</ref> Penduduk pulau-pulau di lepas pantai timur Bali juga sebagian besar beragama [[Agama Hindu|Hindu]], dan ada desa-desa Hindu yang tersebar di dekat pantai timur Jawa.
==
Hindu Bali adalah perpaduan agama [[India]] dan adat [[animisme]] asli yang ada di kepulauan [[Indonesia]] sebelum kedatangan [[Islam]] dan kemudian [[kolonialisme]] [[Belanda]].<ref name=nsimmonds>Nigel Simmonds, Bali: Morning of the World, Periplus; {{ISBN|978-0804843966}}, pp. 41-43</ref>
Ini mengintegrasikan banyak kepercayaan inti Hindu dengan seni dan ritual masyarakat [[Bali]]. Di zaman [[Seni kontemporer|kontemporer]], Agama Hindu di Bali secara resmi disebut oleh [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] sebagai Agama Hindu Dharma, tetapi secara tradisional agama itu disebut dengan banyak nama seperti ''[[Air|Tirta]], [[Trimurti]], [[Agama Hindu|Hindu]], Agama Tirta, [[Siwa]], Buda,'' dan ''Siwa-Buda.''<ref name=mprm>Michel Picard and Rémy Madinier, The Politics of Religion in Indonesia - Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali, Routledge; {{ISBN|978-0415613118}}, Chapter 5 and notes to the chapter.</ref>
Istilah ''[[Air|Tirta]]'' dan ''[[Trimurti]]'' berasal dari agama [[Agama Hindu|Hindu India]], masing-masing sesuai dengan ''Tirta'' (ziarah ke spiritualitas di dekat [[air suci]]) dan ''Trimurti'' ([[Brahma]], [[Wisnu]], dan [[Siwa]]). Seperti di [[India]], agama Hindu di [[Bali]] tumbuh dengan fleksibel, menampilkan cara hidup yang beragam. Ini mencakup banyak ide spiritual India, menghargai legenda dan mitos [[orang India]] ''[[Purana]]'' dan ''[[Itihasa]]'', dan mengungkapkan tradisinya melalui serangkaian [[festival]] dan kebiasaan unik yang terkait dengan segudang [[hyang]] - roh lokal dan [[leluhur]], serta bentuk pengorbanan hewan yang tidak umum di India.<ref name=mprm/>
{{multiple image
| width1 = 150
| image1 = Acintya_Bali.jpg
| width2 = 265
| image2 = Altar in Ubud.JPG
| footer = [[:en:Acintya|Sang Hyang Widhi Wasa]] (kiri), Keesaan Ilahi dan dewa tertinggi (Brahmana) dari Hindu Bali. Sang Hyang adalah bagian dari kuil, rumah pemujaan dan upacara, dikenang dengan kursi batu yang dihias dengan warna-warni, ''Padmasana'' (kanan).<ref name="Wiener1995p51"/>
}}
Keyakinan umum dan praktik [[Agama Hindu|Agama Hindu Dharma]] seperti yang dipraktikkan di Bali adalah campuran dari [[Tradisi|tradisi kuno]] dan tekanan kontemporer yang ditempatkan oleh [[Hukum di Indonesia|hukum Indonesia]] yang hanya mengizinkan kepercayaan monoteis di bawah ideologi nasional [[pancasila]].<ref name="junemcdaniel">{{cite journal|last=McDaniel|first=June|date=1 August 2010|title=Agama Hindu Dharma Indonesia as a New Religious Movement: Hinduism Recreated in the Image of Islam|journal=Nova Religio|volume=14|issue=1|pages=93–111|doi=10.1525/nr.2010.14.1.93}}<!--|access-date=2012-09-23--></ref>
Secara tradisional, [[Agama Hindu|Hinduisme]] di [[Indonesia]] memiliki jajaran dewa-dewi dan tradisi kepercayaan itu terus berlanjut dalam praktiknya; lebih lanjut, [[Hindu di Indonesia|agama Hindu di Indonesia]] memberikan kebebasan dan keleluasaan kepada umat Hindu tentang kapan, bagaimana dan di mana harus berdoa.<ref name=syamashita>Shinji Yamashita (2002), Bali and Beyond: Explorations in the Anthropology of Tourism, Berghahn, {{ISBN|978-1571813275}}, pp. 57-65</ref> Namun secara resmi, [[pemerintah Indonesia]] menganggap dan menyiarkan agama Hindu Indonesia sebagai agama monoteistik dengan keyakinan tertentu yang diakui secara resmi yang sesuai dengan ideologi nasionalnya.<ref name=junemcdaniel/><ref name=syamashita/><ref>Michel Picard (2003), in Hinduism in Modern Indonesia (Editor: Martin Ramstedt), Routledge, {{ISBN|978-0700715336}}, pp. 56-72</ref>
Buku teks sekolah Indonesia menggambarkan [[agama Hindu]] memiliki satu makhluk tertinggi, umat Hindu melakukan [[sembahyang]] wajib tiga kali sehari, dan Hindu sebagai memiliki kepercayaan umum tertentu yang sebagian paralel dengan [[Islam]].<ref name=syamashita/><ref name=mcdaniel/> Para ahli [[sarjana]]<ref name=syamashita/><ref>Anthony Forge (1980), ''Balinese Religion and Indonesian Identity, in Indonesia: The Making of a Culture'' (Editor: James Fox), Australian National University; {{ISBN|978-0909596590}}</ref><ref>Putu Setia (1992), Cendekiawan Hindu Bicara, Denpasar: Yayasan Dharma Naradha; {{ISBN|978-9798357008}}, pp. 217-229</ref> menggelar kontes apakah [[pemerintah Indonesia]] ini benar-benar mengakui kepercayaan yang ditetapkan untuk mencerminkan kepercayaan tradisional Hindu Bali dan praktik sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan dari penjajahan [[Belanda]].
Beberapa kepercayaan Hindu yang diakui secara resmi oleh [[Kementerian Agama Republik Indonesia|Kementerian Agama Indonesia]] antara lain:<ref name=syamashita/><ref name=mcdaniel/>
*Keyakinan pada satu makhluk tertinggi disebut "Ida Sanghyang Widi Wasa", "Sang [[Hyang]] Tunggal", atau "[[Sang Hyang Widhi]]".
*Keyakinan bahwa semua dewa adalah manifestasi dari makhluk tertinggi ini. Keyakinan ini sama dengan keyakinan [[Smarta]], yang juga berpendapat bahwa bentuk dewa dan dewi yang berbeda, [[Wisnu]], [[Siwa]], Shakti adalah aspek yang berbeda dari Yang Mahatinggi yang sama. Siwa juga disembah dalam bentuk lain seperti "Batara Guru" dan "Maharaja Dewa" ([[Siwa|Mahadewa]]).
Teks suci yang ditemukan dalam Agama Hindu Dharma adalah [[Weda]] dan [[Upanisad]].<ref name="Martin Ramstedt 2003">Martin Ramstedt (2003), ''Hinduism in Modern Indonesia'', Routledge; {{ISBN|978-0700715336}}, Chapter 1</ref> Mereka adalah basis Hindu [[India]] dan [[Bali]]. Sumber informasi keagamaan lainnya termasuk Universal Hindu yaitu [[Purana]] dan [[Itihasa]] (terutama [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]]). Cerita [[Mahabharata]] dan [[Ramayana]] menjadi tradisi abadi di antara kepercayaan orang [[Indonesia]], yang diekspresikan dalam [[wayang kulit]] dan pertunjukan tari. Seperti di [[India]], Hinduisme Indonesia mengakui empat jalan spiritualitas, menyebutnya ''Catur Marga''.<ref name=murdana>Murdana, I. Ketut (2008), BALINESE ARTS AND CULTURE: A flash understanding of Concept and Behavior, Mudra - JURNAL SENI BUDAYA, Indonesia; Volume 22, page 5-11</ref> Ini adalah ''bhakti mārga'' (jalan pemujaan kepada para dewa), ''jnana mārga'' (jalan pengetahuan), ''karma mārga'' (jalan karya), dan ''raja mārga'' (jalur [[Semadi|meditasi]]). ''Bhakti mārga'' memiliki pengikut terbesar di Bali.<ref name=murdana/>
Sama halnya seperti umat Hindu di India, umat Hindu Bali percaya bahwa ada empat tujuan hidup manusia yang tepat, sebut saja ''Catur Purusartha''–''[[dharma]]'' (mengejar kehidupan moral dan etis), ''[[artha]]'' (mengejar kekayaan dan aktivitas kreatif), ''[[kama]]'' (mengejar kebahagiaan dan cinta), dan ''[[moksha]]'' (mengejar pengetahuan diri dan pembebasan).<ref>Ida Bagus Sudirga (2009), Widya Dharma - Agama Hindu, Ganeca Indonesia; {{ISBN|978-9795711773}}</ref><ref>IGP Sugandhi (2005), Seni (Rupa) Bali Hindu Dalam Perspektif Epistemologi Brahma Widya, Ornamen, Vol 2, Number 1, pp. 58-69</ref>
=== Tuhan dan dewa ===
{{multiple image
| width1 = 200
| image1 = Downtown Ubud Bali Indonesia - panoramio (23).jpg
| alt1 = Ganesha
| width2 = 216
| image2 = Garuda Wishnu Bali.JPG
| alt2 = Wisnu on Garuda
| footer = Beberapa dewa dan dewi Hindu Bali: Ganesa (kiri), Wisnu di Garuda (kanan).
}}
Hindu Bali termasuk konsep trinitas India disebut ''[[Trimurti]]'' terdiri dari:
*[[Brahma]]
*[[Wisnu]] atau Vishnu
*Çiwa atau [[Siwa]] atau Shiwa
Dalam teks-teks Hindu Bali, konsep [[Tripartisme|tripartit]] alternatif [[Siwa]] dari [[Syaiwa]] [[India]] juga ditemukan. Ini biasanya disebut dalam [[bahasa Bali]] sebagai "''Siwa-Sadasiwa-Paramasiwa''", di mana Siwa adalah pencipta, pemelihara dan penghancur siklus keberadaan.<ref>{{cite book|author=Helen M. Creese|title=Bali in the Early Nineteenth Century: The Ethnographic Accounts of Pierre Dubois|url=https://books.google.com/books?id=tQpRDAAAQBAJ |year=2016|publisher=BRILL Academic|isbn=978-90-04-31583-9|pages=226–227}}</ref>
Seiring dengan trinitas Hindu tradisional, umat Hindu Bali menyembah berbagai dewa dan dewi (''[[Hyang]], [[Dewata]]'', ''dan'' ''[[Batara-Batari dalam pewayangan|Batara-Batari]]''), serta lainnya yang unik dan tidak ditemukan dalam agama Hindu India.<ref name="Haeretal46">Haer et al (2000) p 46</ref> [[Sang Hyang Widhi]] secara harfiah berarti "Tatanan Ilahi",<ref name="Wiener1995p51" /> juga dikenal sebagai ''[[Sang Hyang Widhi|Acintya]]'' ("Tak terbayangkan")<ref name="Wiener1995p51" /> atau Sang Hyang Tunggal ("Keesaan Ilahi"),<ref name="Wiener1995p51">{{cite book|author=Margaret J. Wiener|title=Visible and Invisible Realms: Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali|url=https://books.google.com/books?id=5Kpbq-5J1ioC |year=1995|publisher=University of Chicago Press|isbn=978-0-226-88580-3|pages=51–55 }}</ref> adalah konsep dalam tradisi Hindu Bali yang sejajar dengan konsep metafisika [[Brahman]] di kalangan umat Hindu India. Upacara termasuk kursi tinggi yang kosong. Itu juga ditemukan di bagian atas [[kuil]] [[Padmasana]] di luar rumah dan dalam rumah yang dipersembahkan untuk Sang Hyang Widhi Wasa.<ref name="Eiseman274">Eiseman (1989) p 274</ref> Menurut ajaran Hindu Bali, banyak manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk dewa seperti [[Dewi Sri]] - dewi padi, dan banyak dewa lain yang berhubungan dengan gunung, danau, dan laut.
===Ethical values===
[[File:DailyTributeBali.jpg|thumb|Persembahan [[canang sari]]|alt=]]
Gagasan [[Aksiologi|aksiologis]] Hinduisme Bali sejajar dengan yang ada dalam Hinduisme India. Namun, Martin Ramstedt mengatakan–seorang sarjana Hindu di [[Asia Tenggara]], mereka disebut agak berbeda dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai komunitas dan pada upacara [[spiritual]]. Berbeda dengan sekolah [[Islam di Indonesia]] dan [[Ashram]] [[Agama Hindu|Hindu di India]], dan mengingat representasi resmi Hindu Bali, ajaran dan nilai-nilai tradisional diperoleh di rumah, [[ritual]], dan simbol-simbol keagamaan.<ref name="Ngurah" /><ref>{{cite book|author=Martin Ramstedt | title= Hinduism in Modern Indonesia|url=https://archive.org/details/isbn_9780700715336 | publisher= Routledge | isbn =978-0-7007-1533-6| year=2004 | pages=[https://archive.org/details/isbn_9780700715336/page/26 26]–28}}</ref>
Misalnya, [[simbolisme]] yang berhubungan dengan percikan "''tirtha'' (air)", atau [[air suci]] yang menjembatani materi dan spiritual, air ini pertama-tama dipercikkan di atas kepala dan dipahami sebagai “pemurnian dari ''manah'' (pikiran)", kemudian menghirup untuk dipahami sebagai "pemurnian dari ''wak'' (perkataan)", dan kemudian ditaburkan di atas tubuh melambangkan "penyucian ''kaya'' (sikap dan perilaku)". Dengan demikian, Ngurah Nala mengatakan, generasi muda menjadi “mengenal nilai-nilai etika yang terkandung dalam konsep ''Tri Kaya Parisudha'', atau pencapaian pikiran yang murni atau baik (''manacika''), ucapan yang murni atau baik (''wacika''), dan perilaku murni (''kayika'')".<ref name="Ngurah">{{cite book|author=Ngurah Nala|editor =Martin Ramstedt | title= Hinduism in Modern Indonesia|url=https://archive.org/details/isbn_9780700715336| publisher= Routledge | isbn =978-0-7007-1533-6| year=2004 | pages=[https://archive.org/details/isbn_9780700715336/page/77 77]–79}}</ref>
===Kelahiran dan kehidupan===
[[File:Nelu Bulanin 1.jpg|thumb|Ritual dari ''[[Nelu Bulanin]]'']]
Ada total tiga belas upacara yang berkaitan dengan kehidupan sejak [[pembuahan]] hingga, tetapi tidak termasuk, kematian, yang masing-masing memiliki empat unsur: penenangan [[roh]] jahat, penyucian dengan [[air suci]], membawa esensi, dan doa. Upacara ini menandai peristiwa besar dalam kehidupan seseorang, termasuk kelahiran, [[pubertas]], memberi makan biji-bijian, dan pernikahan.<ref name="Eiseman362363">Eiseman (1989) pp 362-63</ref>
Seorang bayi yang baru lahir diyakini mewakili jiwa [[leluhur]] dan dianggap sebagai [[dewa]] selama 42 hari pertama kehidupannya. Namun, sang ibu dianggap [[najis]] dan tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan keagamaan apa pun selama periode ini. Seorang bayi tidak boleh menyentuh tanah najis sampai berusia 105 hari, setengah dari perayaan ulang tahunnya yang pertama menurut penanggalan [[Pawukon|Pawukon Bali]] selama 210 hari. Begitu anak mencapai pubertas, enam gigi taring atas dikikir sampai rata.<ref name="Haeretal52">Haer et al (2000) p 52</ref><ref name="Eiseman91">Eiseman (1989) p. 91</ref>
===Kematian dan reinkarnasi===
Upacara (''[[ngaben]]'') terjadi setelah kematian dan mengakibatkan jiwa dibebaskan untuk akhirnya [[Reinkarnasi|bereinkarnasi]]. Berbeda dengan ritus kematian agama lain, tubuh fisik bukanlah fokusnya, karena dipandang tidak lebih dari wadah sementara jiwa dan hanya cocok untuk pembuangan yang bijaksana. Nyatanya, tubuh harus dibakar sebelum jiwa dapat meninggalkannya sepenuhnya. [[Kremasi|Upacara kremasi]] untuk mewujudkan hal ini bisa sangat mahal karena upacara yang rumit adalah caranya menunjukkan rasa hormat kepada jiwa yang ditakdirkan untuk menjadi dewa dengan kekuatan besar atas mereka yang tertinggal. Oleh karena itu, jenazah terkadang dikubur sementara sampai keluarga dapat mengumpulkan cukup dana untuk kremasi, meskipun [[jenazah]] [[pendeta]] atau keluarga kelas atas diawetkan di atas tanah.<ref name="Haeretal53">Haer et al (2000), p. 53</ref><ref name="Eiseman116117">Eiseman (1989) pp. 116–17</ref>
=== Purnama dan Tilem ===
Purnama untuk umat '''[[Hindu Dharma]]''', saat bulan bersinar terang menerangi malam, memiliki makna yang sangat istimewa bagi umat Hindu. Peristiwa [[astronomi]] ini telah dirayakan sebagai hari suci sejak zaman dahulu. Dalam kepercayaan Hindu, purnama melambangkan kesempurnaan, pencerahan, dan kekuatan spiritual. Pada hari purnama, umat Hindu melakukan berbagai ritual untuk menyucikan diri, memperkuat hubungan dengan [[Tuhan Yang Maha Esa|Tuhan]], dan memohon berkah serta [[perlindungan]].
Selama berabad-abad, umat [[Hindu Dharma]] telah memandang langit dan menemukan makna spiritual yang mendalam dalam benda-benda langit. Fase-fase bulan, khususnya, telah memainkan peran sentral dalam [[Kosmologi Hindu|kosmologi]] Hindu, membentuk ritual, [[kepercayaan]], dan kehidupan sehari-hari. [[Purnama dan Tilem]], dua hari penting dalam kalender Hindu, bukan hanya peristiwa astronomi tetapi juga dipenuhi dengan makna spiritual yang mendalam. Hari-hari ini menawarkan umat Hindu kesempatan untuk pembaruan spiritual, koneksi dengan alam, dan persekutuan dengan yang maha esa.
Dalam [[Kalender Saka|kalender saka]] [[Hinduisme Bali|Hinduisme bali]], peristiwa astronomi seperti [[purnama dan tilem]] memiliki signifikansi religius yang mendalam. Purnama, yang terjadi setiap bulan saat bulan berada pada fase penuh, didedikasikan untuk pemujaan Sang Hyang Chandra (dewa bulan). Sementara itu, tilem, yang menandai fase bulan baru, menjadi waktu untuk memuja Sang Hyang Surya (dewa matahari). Kombinasi siklus purnama dan tilem ini dipandang sebagai representasi dari dualitas kosmik, yang dalam kosmologi Hindu dipersonifikasikan sebagai Sang Hyang Rwa Bhinneda. Peristiwa-peristiwa astronomi khusus seperti [[Gerhana bulan|gerhana bulan dan matahari]] juga memiliki [[ritual]] [[Hinduisme Bali|Hinduisme bali]] hari [[acara]] peringatan khusus, masing-masing dikaitkan dengan [[mantra dan puja]] tertentu.<ref>{{Cite web|title={{!}} Desajagapati Badung|url=https://desajagapati.badungkab.go.id/artikel/29578-makna-hari-purnama-dan-tilem-bagi-umat-hindu#:~:text=Pada%20hari%20Purnama%20dan%20Tilem,melakukan%20pembersihan%20badan%20dengan%20air.|website=desajagapati.badungkab.go.id|language=id|access-date=2024-09-18}}</ref>
Purnama dan tilem merupakan hari suci dalam kalender Hindu yang didedikasikan untuk pemujaan terhadap Hyang Widhi. Hari purnama, yang terjadi saat bulan berada pada fase penuh, dikaitkan dengan [[Sang Hyang Chandra]], sedangkan tilem, saat bulan berada pada fase baru, dikaitkan dengan [[Sang Hyang Surya]].<ref>{{Cite web|title={{!}} Desacanggu Badung|url=https://desacanggu.badungkab.go.id/artikel/29432-makna-hari-purnama-dan-tilem-dalam-hindu#:~:text=Hari%20Raya%20Tilem%20dirayakan%20ketika,tilem%20ini%20seperti%20yang%20disebutkan%20:|website=desacanggu.badungkab.go.id|language=id|access-date=2024-09-18}}</ref> Kedua peristiwa ini dianggap sebagai waktu yang tepat untuk menyucikan diri, baik secara fisik maupun spiritual, melalui berbagai ritual seperti upakara yadnya. Pelaksanaan ritual-ritual ini bertujuan untuk mencapai keselarasan dengan ritme alam semesta dan memperkuat hubungan spiritual dengan [[Tuhan Yang Maha Esa|tuhan yang maha esa]].
==Festival==
[[Berkas:Bali-celebration.jpg|jmpl|Sesajian sewaktu hari raya.]]
===Galungan dan Kuningan===
{{utama|Galungan}}
[[File:Nyepifest auf Bali.jpg|thumb|Prosesi ''[[ogoh-ogoh]]'' pada malam hari raya [[Nyepi]]|alt=]]
Festival terpenting adalah [[Galungan]] (terkait dengan [[Dipawali]]), perayaan kemenangan [[dharma]] atas adharma. Dihitung menurut penanggalan [[Pawukon|Pawukon Bali]] 210 hari dan berlangsung pada hari Rabu (''Buda'') minggu kesebelas (''Dunggulan''). Menurut tradisi, [[Roh|arwah]] orang mati turun dari [[Surga]], untuk kembali sepuluh hari kemudian [[Hari Raya Kuningan|Kuningan]].
===Nyepi===
{{utama|Nyepi}}
[[Nyepi]], atau Hari Raya Ketenangan, memulai [[Kalender Saka|tahun Saka]] [[Bali]] dan ditandai pada hari pertama bulan ke-10, ''Kedasa''. Biasanya jatuh pada bulan [[Maret]].<ref name="Eiseman186187">Eiseman (1989) pp 186–187</ref>
===Festival lainnya===
Watugunung, hari terakhir penanggalan [[Pawukon]], dikhususkan untuk [[Saraswati]], dewi pembelajaran. Meskipun dikhususkan untuk buku, membaca tidak diperbolehkan. Hari keempat tahun itu disebut [[Pagerwesi]], yang berarti "pagar besi". Itu memperingati pertempuran antara yang baik dan yang jahat.<ref name="Eiseman184185">Eiseman (1989) pp 184–185</ref>
==Sistem warna==
{{Main|Sistem kasta Bali | Sampradaya}}
[[File:COLLECTIE TROPENMUSEUM Pedanda-Buddha en Pedanda-Istri in functie Bali TMnr 10001145.jpg|thumb|''Buda pedanda'' dengan istrinya|alt=]]
Struktur [[kasta]] [[Bali]] telah dijelaskan dalam literatur [[Eropa]] awal abad ke-20 berdasarkan tiga kategori–''triwangsa'' (tiga kelas) atau [[bangsawan]], ''dwijati'' (dua kali lahir) berbeda dengan ''ekajati'' (sekali lahir) orang biasa. Empat status diidentifikasi dalam studi [[Sosiologi sastra|sosiologis]] ini, dieja sedikit berbeda dari kategori kasta di [[India]]:<ref name="boon">{{cite book|title=The Anthropological Romance of Bali 1597–1972: Dynamic Perspectives in Marriage and Caste, Politics and Religion|url=https://archive.org/details/anthropologicalr0000boon|author=James Boon|year=1977|isbn=978-0-521-21398-1}}</ref>
* ''[[Brahmana|Brahma]] –'' pendeta
* ''[[Kesatria]]''–kekesatrian
* ''[[Waisya]]''–perdagangan
* ''[[Sudra]]''–pelayan
Kasta [[Brahmana]] dibagi lagi oleh para ahli [[etnografi]] [[Belanda]] ini menjadi dua: ''[[Siwa]]'' dan ''[[Sampradaya|Buda]]''. Kasta Siwa dibagi menjadi lima–''Kemenuh, Keniten, Mas, Manuba,'' dan ''Petapan.'' Klasifikasi ini untuk mengakomodasi perkawinan yang diamati antara laki-laki kasta Brahmana yang lebih tinggi dengan perempuan kasta yang lebih rendah. Kasta-kasta lain juga disubklasifikasikan lebih lanjut oleh para ahli etnografi abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini berdasarkan berbagai kriteria mulai dari [[profesi]], [[endogami]], [[eksogami]], [[poligami]], dan sejumlah faktor lain dengan cara yang mirip dengan kasta di [[Imperium Spanyol|koloni Spanyol]] seperti [[Meksiko]], dan studi sistem kasta di [[Jajahan mahkota|koloni Inggris]] seperti [[India]].<ref name="boon" />
== Lihat pula ==
Baris 138 ⟶ 163:
== Pranala luar ==
{{Commonscat|Hinduism in
* [http://www.babadbali.com Babad Bali]
* [http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/category/Hindu%20&%20Adat%20Bali.htm Hindu & Adat Bali, iloveblue.com] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20120326071651/http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/category/Hindu%20%26%20Adat%20Bali.htm |date=2012-03-26 }}
{{topik Hindu}}
{{Agama di Indonesia}}
{{Mitos supernatural Indonesia}}
[[Kategori:Hindu di Indonesia]]
[[Kategori:Sekte Hindu]]
[[Kategori:Agama
[[Kategori:Kepercayaan tradisional Indonesia]]
[[Kategori:Bali]]
|