Perjanjian (politik): Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(38 revisi perantara oleh 12 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
Dalam bidang [[politik]], '''
▲'''Traktat''' atau '''perjanjian internasional''' ({{lang-en|treaty}}, {{lang-fr|traité}}) adalah sebuah [[perjanjian]] yang dibuat di bawah [[hukum internasional]] oleh beberapa pihak yang utamanya adalah [[negara]], walaupun ada juga perjanjian yang melibatkan [[organisasi internasional]]. Traktat merupakan salah satu sumber hukum internasional. Hal-hal yang terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]] tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap melambangkan [[kebiasaan internasional]] sehingga menjadi norma hukum internasional yang mengikat. Pada dasarnya praktik perjanjian internasional diatur oleh asas ''[[pacta sunt servanda]]'', yang berarti perjanjian tersebut mengikat semua pihak yang berjanji untuk melaksanakan kewajibannya dengan [[iktikad baik]].
Negara-negara sudah membuat perjanjian sejak zaman kuno, contohnya adalah perjanjian antara [[negara
Aturan mengenai penafsiran perjanjian tercantum dalam Pasal 31 dan 32 Konvensi Wina 1969. Kedua pasal ini kini dianggap melambangkan kebiasaan internasional. Pada dasarnya perjanjian ditafsirkan sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap suatu istilah sesuai dengan konteks dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjiannya.
Suatu perjanjian dapat diamendemen sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terlibat. Pihak yang ingin keluar dari sebuah perjanjian dapat melakukannya sesuai dengan kesepakatan yang tercantum pada perjanjian tersebut. Apabila tidak ada ketentuannya sama sekali, pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian hanya dapat dilakukan jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sedari awal memiliki iktikad untuk menerima kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak untuk melakukan hal tersebut tersirat dalam perjanjiannya. Suatu perjanjian dapat dianggap tidak absah akibat hal-hal tertentu, misalnya jika perjanjian tersebut dibuat dari korupsi dengan perwakilan negara lain, dengan
== Sejarah ==
[[
Keberadaan perjanjian internasional dapat ditilik kembali hingga ribuan tahun yang lalu. Sekitar tahun 2100 SM, penguasa [[Lagash]] dan [[Umma]] di [[Sumeria]] kuno merumuskan sebuah perjanjian perbatasan yang terpatri di sebuah prasasti.{{sfn|Shaw|2017|pp=10}} Sekitar seribu tahun kemudian, [[Firaun]] [[Ramses II]] dari [[Mesir Kuno|Mesir]] dan Raja [[Bangsa Het|Het]] [[Hattusili III]] menyepakati [[Perjanjian damai Mesir-Het|Perjanjian Kadesh]] yang mengakhiri perang di antara mereka.{{sfn|Shaw|2017|pp=10-11}}{{sfn|Dörr|2012a|p=1}} Namun, pada zaman kuno, cakupan perjanjian semacam ini terbatas secara geografis dan budaya, dan belum ada konsep mengenai komunitas internasional yang terdiri dari negara-negara berkedudukan setara dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum internasional.{{sfn|Shaw|2017|pp=12}}
Seiring berjalannya waktu, mulai muncul perkembangan-perkembangan penting dalam hubungan antarnegara. Pakar hukum internasional asal [[Belanda]] [[Hugo Grotius]] menerbitkan karyanya yang membahas hukum traktat, ''[[De jure belli ac pacis]]'', pada tahun 1625. Ia menjabarkan teori mengenai traktat berdasarkan konsep [[keadilan kodrati]]. Ia juga membahas konsep ''[[clausula rebus sic stantibus]]'' (traktat menjadi batal akibat perubahan keadaan yang mendasar) dan [[iktikad baik]].{{sfn|Dörr|2012a|p=3}} Kemudian, [[Perdamaian Westfalen]] tahun 1648 (yang mengakhiri [[Perang Tiga Puluh Tahun]]) dikenal karena mengakui konsep bahwa setiap negara memiliki [[kedaulatan]] untuk memerintah rakyatnya dan negara lain tidak boleh ikut campur dalam urusan dalam negeri setiap negara, walaupun pakar hukum Stéphane Beaulac berpendapat bahwa konsep kedaulatan sudah ada sebelumnya dan bukan pertama kali dicetuskan oleh perjanjian perdamaian ini.{{sfn|Beaulac|2004|pp=181-183}} Namun, pada masa ini, perjanjian-perjanjian internasional hanya bersifat kontraktual dan tidak menetapkan aturan-aturan dasar yang berlaku untuk semua.{{sfn|Dörr|2012a|p=3}}
Pada abad ke-19, seusai [[Kongres Wina]] tahun 1814/1815 yang mengakhiri [[Peperangan era Napoleon|Peperangan Era Napoleon]], benua [[Eropa]] mengalami masa-masa stabil yang memungkinkan negara-negara Eropa memusatkan perhatian mereka pada aspek-aspek dasar hubungan internasional, contohnya adalah aturan mengenai [[hukum perang]] dalam [[Konvensi Jenewa Pertama|Konvensi Jenewa 1864]]. Pakar hukum internasional juga mulai membedakan perjanjian yang menetapkan aturan umum dengan perjanjian yang hanya bersifat kontraktual. Pada masa ini pula mulai muncul berbagai konsep dalam hukum traktat seperti "perjanjian terbuka" (perjanjian yang dapat ditandatangani oleh negara yang awalnya tidak mengikuti perjanjian tersebut) dan [[pensyaratan]] (
Upaya untuk merumuskan hukum internasional tertulis dalam bentuk traktat semakin gencar seusai [[Perang Dunia I]]. Pada periode 19 Mei 1920 hingga 1 Januari 1935, terdapat hampir 3.600 "traktat atau janji internasional" yang terdaftar di Sekretariat [[Liga Bangsa-Bangsa
Kejelasan bagi hukum traktat baru mencapai titik terang pada tahun 1969 dengan ditetapkannya [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian]]. Rancangan perjanjian ini dirumuskan oleh [[Komisi Hukum Internasional]] (lembaga yang dibentuk [[Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
== Kerangka hukum ==
{{wikisource|Vienna Convention on the Law of Treaties|Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (1969)|lang=en}}
{{wikisource|Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or Between International Organizations (1986)|Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional (1986)|lang=en}}
Menurut Pasal 38(1) [[Statuta Mahkamah Internasional]], traktat adalah salah satu [[sumber hukum internasional|sumber utama
Konvensi Wina 1969 secara teoretis tidak mencakup perjanjian antara negara dengan organisasi internasional atau perjanjian antar organisasi internasional. Aturan untuk perjanjian semacam ini terkandung dalam [[Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian antara Negara dengan Organisasi Internasional atau antar Organisasi Internasional]] yang ditandatangani tahun 1986.{{sfn|Shaw|2017|pp=685, 722}}{{sfn|Aust|2007|p=400}} Isinya menyerupai Konvensi Wina tahun 1969 secara ''[[mutatis mutandis]]'' (dengan perubahan penting yang telah dilakukan).{{sfn|Shaw|2017|pp=722}}{{sfn|Gaja|1988|pp=253-254}} Konvensi ini masih belum berlaku karena jumlah negara yang me[[ratifikasi]]nya masih belum cukup.{{sfn|Aust|2007|p=400}} Kemungkinan hal ini disebabkan oleh isi konvensi ini yang hampir sama dengan Konvensi Wina 1969.{{sfn|Aust|2007|p=401}} Selain itu, tidak banyak negara yang membuat perjanjian dengan organisasi internasional.{{sfn|Aust|2007|p=402}} Walaupun begitu, berkat keserupaan ini, aturan yang terkandung di dalamnya masih dianggap sebagai hukum internasional.{{sfn|Aust|2007|p=400}} Pada praktiknya, organisasi internasional acap kali mengacu kepada Konvensi Wina 1969 karena isinya dianggap melambangkan kebiasaan internasional.{{sfn|Aust|2007|p=402}}
Baris 31 ⟶ 30:
Menurut Pasal 2(1)(a) Konvensi Wina 1969, "traktat" adalah "perjanjian internasional yang disepakati antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, baik itu yang terkandung dalam satu atau dua atau lebih dokumen dan apapun penyebutannya."{{sfn|Aust|2007|p=16}}{{sfn|Schmalenbach|2012|pp=29-30}}{{sfn|Aust|2010|p=50-51}} Berdasarkan definisi ini, "traktat" hanya bisa dirumuskan oleh dua negara atau lebih. Perjanjian antara perusahaan dengan negara tidak dianggap sebagai traktat, dan begitu pula perjanjian antara suatu negara dengan suku tertentu (seperti [[Perjanjian Waitangi]] antara [[Imperium Britania]] dengan suku-suku [[Suku Māori|Maori]]).{{sfn|Aust|2007|p=18}} Walaupun traktat biasanya terdiri dari satu dokumen, definisi ini memungkinkan traktat yang terdiri dari pertukaran nota antar diplomat.{{sfn|Aust|2007|p=22}}{{sfn|Klabbers|1996|pp=45-46}} Sementara itu, definisi yang terkandung dalam Pasal 2(1)(a) Konvensi Wina 1986 hampir sama dengan Konvensi Wina 1969, kecuali untuk cakupan ''ratione personae''-nya yang juga mencakup perjanjian yang disepakati antara negara dan organisasi internasional atau antar organisasi internasional.{{sfn|Gautier|2011|p=58}}
Salah satu unsur penting dalam definisi ini adalah "diatur oleh hukum internasional", yang berarti bahwa suatu dokumen hanya akan dianggap sebagai traktat apabila negara-negara beriktikad bahwa dokumen tersebut membebankan kewajiban di bawah hukum internasional.{{sfn|Aust|2007|p=20}} Nama yang digunakan untuk menyebut suatu traktat tidak memengaruhi status hukumnya, baik itu "konvensi", "persetujuan" (''accord''), "kovenan", "protokol", "statuta", "''modus vivendi''",{{efn|Jarang perjanjian yang diberi nama seperti ini, dan umumnya istilah ini digunakan untuk perjanjian sementara. Lihat {{harvnb|Aust|2007|p=31}}}} ataupun "pakta".{{sfn|Schmalenbach|2012|p=32}}{{sfn|Klabbers|1996|pp=42}}{{efn|Untuk kesepakatan yang tidak mengikat secara hukum, terdapat berbagai macam istilah yang digunakan, seperti "''[[soft law]]''", "perjanjian ''de facto''", "komitmen politik", atau "kesepahaman informal". Lihat {{harvnb|Schmalenbach|2012|p=43}} dan {{harvnb|Aust|2007|p=21}}}} Sebagai contoh, [[Mahkamah Internasional]] dalam perkara ''[[sengketa Aegea|Aegean Sea Continental Shelf]]'' pada tahun 1978 mempertimbangkan komunike bersama yang dikeluarkan oleh [[Perdana Menteri Yunani]] dan [[Perdana Menteri Turki|Turki]]. Setelah menganalisis isi dan latar belakang perumusan komunike ini, Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa Turki dan Yunani sama-sama tidak bermaksud menjadikan komunike ini sebagai suatu perjanjian internasional.{{sfn|Aust|2007|p=20}} Sementara itu, [[Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Dalam praktik [[hubungan internasional]], negara-negara juga sering membuat [[nota kesepahaman]] ({{lang-en|memorandum of understanding}}, disingkat MoU).{{sfn|Aust|2007|p=32}} Traktat biasanya menggunakan istilah yang menunjukkan kewajiban hukum, seperti "mulai berlaku" (''enter into force''), "mengusahakan" (''undertake''), "hak" (''rights''), dan "kewajiban" (''obligations''). Di sisi lain, nota kesepahaman menggunakan istilah-istilah yang tidak terkesan mengikat, seperti "akan" (''will'').{{sfn|Aust|2007|p=33}} Nota kesepahaman juga bisa dirahasiakan dari umum dan isinya lebih mudah untuk diubah.{{sfn|Aust|2007|p=43-47}} Kendati demikian, nota kesepakatan juga bisa dianggap sebagai traktat apabila isinya memenuhi syarat yang tercantum dalam Pasal 2(1)(a) Konvensi Wina.{{sfn|Aust|2007|p=33}}
Baris 46 ⟶ 45:
== Perundingan, adopsi, dan otentikasi ==
[[Berkas:Bill Clinton, Yitzhak Rabin, Yasser Arafat at the White House 1993-09-13.jpg|
Berdasarkan Pasal 7 Konvensi Wina 1969, proses perundingan (''negotiation''), adopsi naskah (''adoption''), dan otentikasi (''authentication'') dokumen asli dilaksanakan oleh utusan negara yang harus memiliki [[Surat Kuasa Penuh]] (''full power'').{{sfn|Aust|2007|p=75}}{{sfn|Pratomo|2016|p=108}} Definisi "Surat Kuasa Penuh" menurut Pasal 2(1)(c) Konvensi Wina 1969 adalah "dokumen yang dikeluarkan oleh
Setelah proses perundingan diselesaikan, negara-negara yang terlibat dalam proses tersebut perlu mengadopsi naskah perjanjiannya. Proses adopsi naskah ini diatur dalam Pasal 9 Konvensi Wina 1969. Menurut pasal ini, adopsi naskah harus melibatkan semua negara yang terlibat dalam perumusannya, kecuali jika negara-negara tersebut berkehendak lain.{{sfn|Aust|2007|p=84}} Sementara itu, Pasal 9(2) Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa adopsi naskah perjanjian di suatu konferensi internasional memerlukan persetujuan dari dua per tiga negara yang hadir dan memilih, kecuali jika dua per tiga negara tersebut memutuskan untuk menerapkan aturan yang lain.{{sfn|Aust|2007|p=85}}
== Penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi ==
<!--
[[Berkas:Croatia-EU Accession Treaty Signature Page 5.png|thumb|right|250px|Tanda tangan [[Perdana Menteri
[[Berkas:Estonia became a full member of OECD after Estonian Ambassador to France Sven Jürgenson presented Estonia’s accession treaty to the French Foreign Ministry for storage, 9th November 2010 (5245734239).jpg|
Negara dan subjek hukum internasional lainnya (seperti organisasi internasional) dapat menyatakan iktikad mereka untuk terikat dengan suatu traktat.{{sfn|Aust|2007|p=94}} Pasal 11 Konvensi Wina 1969 menjabarkan beberapa cara yang dapat ditempuh, yaitu penandatanganan (''signature''); pertukaran dokumen yang menjadi traktat; ratifikasi (atau pengesahan), penerimaan (''acceptance''), atau penyetujuan (''approval''); aksesi (''accession''); atau dengan cara lain yang disepakati.{{sfn|Aust|2007|p=95-96}}{{sfn|Szurek|2011|pp=188-189}} Pada umumnya suatu perjanjian internasional akan menentukan prosedur mana yang perlu diikuti.{{sfn|Pratomo|2016|p=110}}
Pasal 12 Konvensi Wina 1969 memungkinkan penggunaan prosedur penandatanganan asalkan hal tersebut diatur oleh traktat yang bersangkutan atau disepakati oleh negara-negara yang terlibat dalam perundingan.{{sfn|Aust|2007|p=96}}{{sfn|Pratomo|2016|p=110}} Sebagai contoh, pada tahun 1990, [[Irak]] mencoba mengklaim bahwa mereka masih belum mengesahkan perjanjian perbatasan dengan [[Kuwait]] pada tahun 1963 dan hanya sekadar menandatanganinya, sehingga perjanjian tersebut tidak berlaku. Namun, [[Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Pertukaran dokumen diatur dalam Pasal 13 Konvensi Wina 1969. Prosedur ini biasanya dilakukan melalui pertukaran nota diplomat. Pada praktiknya, nota yang bersangkutan
Ratifikasi sendiri didefinisikan dalam Pasal 2(1)(b) Konvensi Wina 1969 sebagai tindakan suatu negara dalam taraf internasional yang menetapkan persetujuannya untuk terikat kepada suatu traktat. Ratifikasi dapat dilakukan melalui pertukaran piagam ratifikasi (yang dibuat oleh eksekutif) dengan piagam ratifikasi negara lain (untuk perjanjian bilateral), atau penyerahan piagam ratifikasi tersebut kepada lembaga penyimpan yang berwenang (untuk perjanjian multilateral). Prosedur ratifikasi diperlukan karena negara yang telah menandatangani atau mengadopsi perjanjian tersebut mungkin butuh waktu agar bisa menyatakan terikat dengannya.{{sfn|Aust|2007|p=103}} Hal ini mungkin karena dalam [[hukum tata negara|hukum ketatanegaraan]] sebuah negara, traktat tersebut perlu dijadikan undang-undang agar bisa menjadi hukum,{{sfn|Aust|2007|p=103}} atau mungkin juga karena ratifikasi tersebut memerlukan persetujuan dari parlemen di tingkat nasional.{{sfn|Aust|2007|p=104}} Seusai proses ratifikasi, traktat yang bersangkutan tidak serta merta langsung mengikat negara yang mengikuti prosedur tersebut, karena
Sementara itu, menurut Pasal 14(2) Konvensi Wina 1969, "penerimaan" dan "penyetujuan" memiliki syarat yang serupa dengan ratifikasi. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang berarti antara penandatanganan yang masih membutuhkan ratifikasi, penerimaan, ataupun penyetujuan. Biasanya perjanjian-perjanjian multilateral saat ini memiliki pasal yang menyatakan "bergantung pada ratifikasi, penerimaan, atau penyetujuan" (''subject to ratification, acceptance or approval''). Pada dasarnya Konvensi Wina 1969 memungkinkan prosedur penerimaan dan penyetujuan karena ratifikasi
Berbagai perjanjian multilateral juga memungkinkan prosedur aksesi, terutama perjanjian yang sudah tidak dapat lagi ditandatangani (misalnya karena tenggat waktunya sudah lewat).{{sfn|Aust|2007|p=110-111}} Akan tetapi, Pasal 15 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa aksesi hanya diperbolehkan jika prosedur tersebut dimungkinkan oleh perjanjiannya atau apabila negara-negara pihak pada perjanjian tersebut memperbolehkannya.{{sfn|Aust|2010|p=61}} Pada dasarnya, melalui prosedur aksesi, suatu negara dapat bergabung dengan suatu perjanjian dengan menyerahkan dokumen aksesi kepada negara penyimpan.{{sfn|Aust|2007|p=111}} Sementara itu, untuk "cara lain yang disepakati", contohnya adalah "[[Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir|Teks yang mendirikan Komisi Persiapan Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir]]" tahun 1996 yang ditetapkan melalui sebuah resolusi yang dikeluarkan oleh negara-negara yang telah menandatangani [[Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir|Perjanjian Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir]] dan langsung berlaku untuk negara-negara tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=113}}
== Pensyaratan ==
{{anchor|Pensyaratan}}
Menurut Pasal 2(1)(d) Konvensi Wina 1969, "pensyaratan" atau "reservasi" (''reservation'') adalah "pernyataan sepihak, apapun istilah atau sebutan yang dapat diberikan, yang dibuat oleh suatu negara ketika menandatangani, mengesahkan, menerima, menyetujui, atau melakukan aksesi terhadap suatu perjanjian yang bertujuan untuk meniadakan atau mengubah dampak hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu yang terkandung dalam perjanjian itu dalam penerapannya terhadap negara tersebut."{{sfn|Aust|2007|p=131}} Pensyaratan pada dasarnya hanya bisa dilakukan terhadap perjanjian multilateral, karena melakukan pensyaratan terhadap perjanjian bilateral sama saja dengan meminta pihak lain untuk mengubah isi perjanjian.{{sfn|Aust|2007|p=131-132}} Tujuan pensyaratan adalah agar semakin banyak negara yang mau menandatangani dan mengesahkan suatu perjanjian multilateral.{{sfn|Moloney|2004|pp=155-156}}
Baris 76:
Pasal 19 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa pensyaratan itu diperbolehkan kecuali jika pensyaratan dilarang oleh perjanjian yang bersangkutan, jika perjanjian tersebut menyatakan bahwa hanya pensyaratan tertentu yang boleh diajukan, dan apabila pensyaratan tersebut bertentangan dengan tujuan dan maksud dari suatu perjanjian.{{sfn|Aust|2007|p=131-138}} Kemudian, Pasal 20(2) Konvensi Wina menyatakan bahwa pensyaratan terhadap perjanjian plurilateral tidak diperbolehkan apabila maksud dan tujuan dari perjanjian ini menunjukkan bahwa perjanjian tersebut memerlukan persetujuan dari semua negara yang terlibat.{{sfn|Aust|2007|p=139}} Sementara itu, Pasal 20(3) Konvensi Wina mengatur pensyaratan untuk perjanjian konstituen. Menurut pasal ini, pensyaratan untuk perjanjian semacam itu memerlukan persetujuan dari semua lembaga yang berwenang di organisasi internasional yang bersangkutan, kecuali jika perjanjiannya memiliki peraturan yang lain.{{sfn|Aust|2007|p=139-140}}
Konvensi Wina 1969 tidak menjelaskan dampak dari pensyaratan yang tidak diperbolehkan.{{sfn|Aust|2007|p=145}} Hakim [[Hersch Lauterpacht]] di Mahkamah Internasional dalam pendapat terpisahnya dalam perkara ''Case of Certain Norwegian Loans (France v. Norway) (Preliminary Objections)'' dan ''Interhandel (Switzerland v. United States of America) (Preliminary Objections)'' menyatakan bahwa pensyaratan yang tidak memenuhi syarat dapat dipisahkan (''severable'') dari piagam ratifikasi perjanjiannya.{{sfn|Moloney|2004|pp=162-163}} Selain itu, Mahkamah Eropa untuk Hak Asasi Manusia dalam perkara ''Belilos v. Switzerland'' (1988) menyatakan bahwa deklarasi penafsiran yang dibuat Swiss saat mengesahkan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia merupakan pensyaratan yang tidak sah dan dapat diabaikan, sehingga Swiss tetap terikat dengan konvensi tersebut secara utuh.{{sfn|Moloney|2004|pp=163-164}}{{sfn|Aust|2007|p=145}} Hal yang sama juga disampaikan dalam perkara ''Loizidou v. Turkey'' (1995),{{sfn|Moloney|2004|pp=164}}{{sfn|Aust|2007|p=145}} walaupun
Apabila pensyaratan yang diajukan suatu negara tidak dilarang oleh perjanjian yang bersangkutan, negara lain masih bisa menolak pensyaratan tersebut atas dasar apapun.{{sfn|Aust|2007|p=138-139}} Pasal 20(4) Konvensi Wina 1969 kemudian menjelaskan bahwa penolakan pensyaratan oleh satu pihak tidak akan membatalkan perjanjian terkait, dan pensyaratan akan langsung berlaku begitu satu negara lain menerima pensyaratan tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=141}} Untuk negara yang menolak, Pasal 21(3) Konvensi Wina 1969 menjelaskan bahwa pasal yang menjadi subjek pensyaratan tersebut tidak akan berlaku di antara negara pengaju pensyaratan dan negara penolak pensyaratan tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=143-144}} Sementara itu, menurut Pasal 22 Konvensi Wina 1969, negara pengaju pensyaratan bisa mencabut pensyaratan tersebut kapanpun mereka mau kecuali jika perjanjian yang bersangkutan memiliki ketentuan yang lain.{{sfn|Walter|2012|p=353}}
Baris 86:
Pasal 31 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa "Suatu perjanjian ditafsirkan dengan iktikad baik sesuai dengan pengertian yang lazim diberikan terhadap istilah-istilah dari perjanjian sesuai konteksnya dan berdasarkan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut."{{sfn|Aust|2007|p=233}}{{sfn|Dörr|2012b|p=559}} Pasal ini disebut "aturan umum penafsiran" (''general rule of interpretation'', dalam bentuk tunggal, yang berarti hanya ada satu aturan).{{sfn|Aust|2007|p=233}}{{sfn|Dörr|2012b|p=561}} Pada dasarnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu teks, konteks, serta maksud dan tujuan.{{sfn|Aust|2007|p=234}} Kendati demikian, aturan ini pada dasarnya berfokus pada pendekatan tekstual.{{sfn|Dörr|2012b|p=579-580}} Pasal ini juga merupakan penggabungan tiga asas menjadi satu, yaitu asas iktikad baik (yang berasal dari aturan ''pacta sunt servanda'' dalam Pasal 26 Konvensi Wina 1969), asas bahwa penafsiran harus mengacu kepada makna teks yang lazim diberikan dan bukan makna khusus, serta asas bahwa makna yang lazim diberikan juga harus mempertimbangkan konteks serta maksud dan tujuan dari suatu perjanjian.{{sfn|Dörr|2012b|p=580}} "Makna yang lazim diberikan" sendiri bukan berarti bahwa makna tersebut harus sesuai dengan pemahaman awam, tetapi pemahaman yang lazim di antara orang yang cukup tahu soal istilah yang bersangkutan.{{sfn|Dörr|2012b|p=542}}
Penafsiran yang didasarkan pada Pasal 31 Konvensi Wina 1969 dimulai dengan mencari makna yang lazim dari suatu teks. Biasanya pengadilan-pengadilan internasional menggunakan kamus untuk mencari makna ini, walaupun kamus
Sementara itu, perjanjian multilateral
=== Metode lain ===
Baris 108:
Namun, beberapa perjanjian tidak memiliki ketentuan mengenai pengakhiran ataupun penarikan diri, contohnya adalah [[Konvensi Genosida]].{{sfn|Aust|2007|p=289}} Dalam keadaan seperti ini, Pasal 56(1) Konvensi Wina 1969 melarang pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian kecuali jika pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut sejak awal mempunyai iktikad untuk menerima kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak pengakhiran atau penarikan tersirat dalam perjanjiannya.{{sfn|Aust|2007|p=289-290}} Sebagai contoh, pada Agustus 1997, [[Korea Utara]] mencoba menarik diri dari [[Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik]] ({{lang-en|International Covenant on Civil and Political Rights}}, disingkat ICCPR), sebuah perjanjian hak asasi manusia. Perjanjian ini sama sekali tidak menyebutkan soal kemungkinan untuk menarik diri.{{sfn|Aust|2007|p=291}} [[Badan traktat]] untuk perjanjian ini, [[Komite Hak Asasi Manusia]], menegaskan dalam ''General Comment No. 26'' bahwa sedari awal pihak-pihak yang terlibat dalam ICCPR memang tidak mengakui kemungkinan penarikan, sehingga negara-negara anggota ICCPR tidak dapat menyatakan keluar dari perjanjian ini. Selain itu, Komite Hak Asasi Manusia menambahkan bahwa ICCPR merupakan perjanjian yang berisikan hak-hak universal yang berlaku untuk semua, sehingga perjanjian ini tidak bersifat sementara layaknya perjanjian-perjanjian lain yang memungkinkan negara untuk menarik diri.{{sfn|De Schutter|2010|p=56-57}} Sementara itu, Pasal 59(1) Konvensi Wina 1969 mengatur mekanisme pengakhiran dan penangguhan melalui perjanjian yang baru. Hal ini diperbolehkan asalkan perjanjian yang baru memang dimaksudkan untuk mengatur hal yang sama dengan perjanjian yang lama, atau jika isi perjanjian yang baru bertentangan dengan isi perjanjian lama dan keduanya tidak bisa diterapkan pada saat yang sama.{{sfn|Aust|2007|p=292}}
Terdapat pula hal-hal lain yang memungkinkan pengakhiran, penangguhan, atau penarikan. Pasal 60 Konvensi Wina 1969 memungkinkan pengakhiran atau penangguhan suatu perjanjian apabila salah satu pihak telah melanggar isi dari perjanjian tersebut
== Suksesi perjanjian ==
{{main|Suksesi negara}}
Ketika suatu negara baru terbentuk setelah memisahkan diri dari negara lain atau sebagai pengganti dari suatu negara yang telah dibubarkan, muncul pertanyaan apakah perjanjian-perjanjian yang pernah diratifikasi oleh negara pendahulu juga mengikat negara yang baru terbentuk tersebut. Hal ini tidak diatur dalam Konvensi Wina 1969.{{sfn|Zimmermann|2006}}{{sfn|Aust|2007|p=367-368}} Konvensi yang berisi tentang pewarisan perjanjian adalah [[Konvensi Wina tentang Suksesi Negara dalam Hubungan dengan Perjanjian Internasional]] tahun 1978, tetapi perjanjian ini baru mulai berlaku pada tahun 1996 dan jumlah negara yang meratifikasinya tidaklah banyak; pada akhir tahun 2006, jumlah negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut hanya 21. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara menganggap perjanjian ini tidak relevan untuk mereka, terutama karena era [[dekolonisasi]] sudah berakhir.{{sfn|Aust|2007|p=368}} Walaupun begitu, dalam sejarah, terdapat beberapa contoh suksesi perjanjian oleh negara pewaris, seperti pembubaran [[Uni Soviet]] dan pewarisan perjanjian-perjanjiannya oleh [[Federasi Rusia]]. Sementara itu, negara-negara yang memisahkan diri dari negara lain (terutama dalam konteks dekolonisasi)
Menurut pakar hukum internasional Anthony Aust, terdapat beberapa kebiasaan internasional yang terkait dengan suksesi perjanjian. Pada dasarnya negara baru tidak langsung mewarisi perjanjian yang subjeknya berkaitan dengan hubungan politik negara pendahulu dengan negara lain, contohnya adalah perjanjian persekutuan. Negara yang baru terbentuk akan mewarisi perjanjian yang berkaitan dengan status wilayah atau navigasi sungai, contohnya adalah negara-negara bekas Yugoslavia yang mewarisi keterlibatan Yugoslavia dalam [[Perjanjian Negara Austria]] tahun 1955. Jika suatu negara menjadi bagian dari negara lain (seperti [[Jerman Timur]] yang [[reunifikasi Jerman|bersatu dengan]] [[Jerman Barat]] pada tahun 1990), perjanjian yang sebelumnya diikuti oleh negara yang bergabung tidak akan diwarisi oleh negara
== Ketidakabsahan ==
Baris 124:
== Penyimpanan, pendaftaran, dan publikasi ==
[[
Perjanjian bilateral biasanya memiliki dua versi asli yang ditandatangani oleh kedua negara, dan masing-masing negara menyimpan salah satu dari kedua dokumen tersebut. Kadang-kadang ada juga perjanjian bilateral yang hanya memiliki satu versi asli, dan dalam keadaan seperti ini kedua negara akan menentukan negara mana yang akan menyimpan perjanjian ini, atau mereka juga dapat meminta agar negara ketiga atau organisasi internasional menyimpan perjanjian tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=324}} Sementara itu, untuk perjanjian multilateral, biasanya satu pihak akan ditunjuk sebagai penyimpannya, baik itu salah satu negara, organisasi internasional, ataupun petugas administratif utama dari organisasi tersebut.{{sfn|Aust|2007|p=325}} Sebagai contoh, Piagam PBB kini disimpan di arsip [[pemerintah Amerika Serikat]].{{sfn|Aust|2007|p=326}} Negara yang menjadi penyimpan diwajibkan oleh Pasal 76(2) Konvensi Wina 1969 untuk bertindak secara imparsial dan membedakan antara kepentingan nasional dengan peranannya sebagai penyimpan.{{sfn|Aust|2007|p=329}} Fungsi-fungsi utama dari penyimpan dijabarkan dalam Pasal 77(1) Konvensi Wina 1969, contohnya adalah mempersiapkan salinan naskah asli yang tersertifikasi, menerima penandatanganan suatu perjanjian, memeriksa apakah penandatanganan dokumen sudah sesuai dengan prosedur, serta mendaftarkan perjanjian di Sekretariat PBB.{{sfn|Aust|2007|p=332}}
Baris 151:
=== Bab buku ===
* {{citation|first1=Oliver|last1=Dörr|editor-first1=Oliver|editor-last1=Dörr|editor-first2=Kirsten|editor-last2=Schmalenbach|year=2012a|chapter=Introduction: On the Role of Treaties in the Development of International Law|title=Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Springer|location=Heidelberg , New York|isbn=9783662551608|edition=2|url=https://books.google.be/books?id=oCFHDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=nl&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}}
* {{citation|first1=Oliver|last1=Dörr|editor-first1=Oliver|editor-last1=Dörr|editor-first2=Kirsten|editor-last2=Schmalenbach|year=2012b|chapter=Section
* {{citation|first1=Philippe|last1=Gautier|editor-first1=Olivier|editor-last1=Corten|editor-first2=Pierre|editor-last2=Klein|year=2011|chapter=Article 2 Convention of 1986|title=The Vienna Conventions on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Oxford University Press|location=Oxford|isbn=9780199546640|url=https://books.google.be/books?id=ysWc5juXAkcC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false}}
* {{citation|first1=Frank|last1=Hoffmeister|editor-first1=Oliver|editor-last1=Dörr|editor-first2=Kirsten|editor-last2=Schmalenbach|year=2012|chapter=Article 10: Authentication of the Text|title=Vienna Convention on the Law of Treaties: A Commentary|publisher=Springer|location=Heidelberg , New York|isbn=9783662551608|edition=2|url=https://books.google.be/books?id=oCFHDwAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=nl&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false}}
Baris 162:
* {{Citation|last=Brölmann|first=Catherine|year=2005|title=Law-Making Treaties: Form and Function in International Law|url=https://heinonline.org/HOL/Print?collection=journals&handle=hein.journals/nordic74&id=389|journal=Nordic Journal of International Law|volume=74|pages=383}}
* {{Citation|last=Gaja|first=Giorgio|year=1988|title=A 'New' Vienna Convention on Treaties between States and International Organizations or Between International Organizations: A Critical Commentary|url=https://academic.oup.com/bybil/article-lookup/doi/10.1093/bybil/58.1.253|journal=British Yearbook of International Law|volume=58|issue=1|pages=253}}
* {{Citation|last=Marceau|first=Gabrielle|year=2018|title=Evolutive Interpretation by the WTO Adjudicator|url=https://academic.oup.com/jiel/article/21/4/791/5211415|journal=Journal of International Economic Law|volume=21|issue=4|pages=791}}
* {{Citation|last=Mbengue|first=Makane Moïse|year=2016|title=Rules of Interpretation (Article 32 of the Vienna Convention on the Law of Treaties)|url=https://academic.oup.com/icsidreview/article-abstract/31/2/388/2198158?redirectedFrom=fulltext|journal=ICSID Review|volume=31|issue=2|pages=388}}
* {{Citation|last=Moloney|first=Roslyn|year=2004|title=Incompatible Reservations to Human Rights Treaties: Severability and the Problem of State Consent|url=https://heinonline.org/HOL/Page?handle=hein.journals/meljil5&id=161&collection=journals&index=journals/meljil|journal=Melbourne Journal of International Law |volume=5|issue=1|pages=155}}
* {{Citation|last=Will|first=Martin|year=2015|title=Völkerrecht und nationales Recht: Dogmatische Grundlagen und konkrete Ausgestaltung am Beispiel der deutschen Verfassungsordnung|url=https://www.degruyter.com/view/j/jura.2015.37.issue-11/jura-2015-0234/jura-2015-0234.xml|journal=Juristische Ausbildung|volume=11|pages=1164}}
Baris 169:
|url=https://heinonline.org/HOL/LandingPage?handle=hein.journals/cajccl3&div=5&id=&page=|journal=Canadian Journal of Comparative and Contemporary Law|volume=3|pages=1}}
===
* {{Citation|title=1. Vienna Convention on the Law of Treaties|url=https://treaties.un.org/pages/ViewDetailsIII.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=XXIII-1&chapter=23&Temp=mtdsg3&clang=_en|journal=United Nations Treaty Collection|accessdate=13 September 2019|ref={{sfnref|United Nations Treaty Collection}}}}
* {{Citation|last=Zimmermann|first=Andreas|year=2006|title=State Succession in Treaties|url=https://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e1109?prd=EPIL|accessdate=13 September 2019|journal=Max Planck Encyclopedia of Public International Law}}
{{artikel pilihan}}
[[Kategori:Traktat| ]]
|