Aksara Jawa: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Tanda baca: Perbaikan tata bahasa Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
Baris 1:
{{Infobox Writing system
|name=Aksara Jawa
|altname=
|type=[[
|languages=[[Bahasa Jawa|Jawa]]<br/>[[Bahasa Sunda|Sunda]]<br/>[[Bahasa Madura|Madura]]<br/>[[Bahasa Sasak|Sasak]]<br/>
|fam1={{hipotesis abjad aram-brahmi}}{{efn|name=fn1}}
|fam2=[[
|fam3=[[Aksara
|sisters={{keluarga kawi}}
|time=
|unicode=[
|iso15924=Java
|imagesize=230px
|sample=Aksara Jawa.svg
| footnotes = {{notelist|refs=
{{efn|name=fn1|Asal-usul Semitik dari aksara-aksara Brahmik tidak disetujui secara universal.}}}}
}}
{{Contains special characters|Javanese}}
'''Aksara Jawa''', juga dikenal sebagai '''Hanacaraka''', '''''Carakan''''',{{sfn|Poerwadarminta|1939|pp=627}} atau '''''Dentawyanjana''''',{{sfn|Poerwadarminta|1939|pp=68}} adalah salah satu [[aksara]] tradisional Indonesia yang berkembang di pulau [[pulau Jawa|Jawa]]. Aksara ini terutama digunakan untuk menulis bahasa [[bahasa Jawa|Jawa]], tetapi dalam perkembangannya juga digunakan untuk menulis beberapa bahasa daerah lainnya seperti bahasa [[bahasa Sunda|Sunda]], [[bahasa Madura|Madura]], [[bahasa Sasak|Sasak]], dan [[Bahasa Melayu|Melayu]], serta bahasa historis seperti [[Sanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]]. Aksara Jawa merupakan turunan dari [[aksara Brahmi]] India melalui perantara [[aksara Kawi]] dan berkerabat dekat dengan [[aksara Bali]]. Aksara Jawa aktif digunakan dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di [[DI Yogyakarta]], [[Jawa Tengah]], [[Jawa Timur]],{{sfn|Behrend|1996|pp=161}}{{sfn|Everson|2008|pp=1}} dan [[Kota Cirebon|Cirebon]] serta [[Kabupaten Indramayu|Indramayu]]<ref>{{cite web|url=https://www.scribd.com/doc/48550229/SILABUS-BAHASA-INDRAMAYU|title=Silabus bahasa Indramayu Sekolah Dasar|last=Tarmid|first=Muhammad|location=Indramayu|publisher=UPTD Pendidikan Kecamatan Kroya|access-date=2021-03-20|archive-date=2023-10-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20231005064207/https://www.scribd.com/doc/48550229/SILABUS-BAHASA-INDRAMAYU|dead-url=no}}</ref> sebagai bagian dari muatan lokal, tetapi dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.
[[File:Aksara Jawa Nyk Ngayogyan Jejeg.svg|thumb|Tulisan Aksara Jawa menggunakan font [[Nyk Ngayogyan Jejeg]]]]
Aksara Jawa adalah sistem tulisan [[abugida]] yang terdiri dari sekitar 20 hingga 33 aksara dasar, tergantung dari penggunaan bahasa yang bersangkutan. Seperti aksara [[Aksara Brahmi|Brahmi]] lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/ yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan aksara Jawa adalah kiri ke kanan. Secara tradisional aksara ini ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'')<ref>{{Cite journal|last=Widiarti|first=Anastasia Rita|last2=Pulungan|first2=Reza|date=28 April 2020|title=A method for solving scriptio continua in Javanese manuscript transliteration|url=http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844020306721|journal=Heliyon|language=en|volume=6|issue=4|pages=e03827|doi=10.1016/j.heliyon.2020.e03827|issn=2405-8440|access-date=2020-08-16|archive-date=2023-08-23|archive-url=https://web.archive.org/web/20230823222156/https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844020306721|dead-url=no}}</ref> namun umum diselingi dengan sekelompok [[tanda baca]] yang bersifat dekoratif.
== Sejarah ==
<!--[{{multiple image
| align = left
| direction = vertical
| width = 400
| footer = Naskah ''Serat Selarasa'' koleksi British Library yang disalin pada tahun 1804 di [[Surabaya]]<br>'''Atas''' Halaman pembuka ''Serat Selarasa''<br>'''Bawah''' Detail salah satu halaman dengan gambaran pertunjukkan. Dua figur di paling kiri terlihat sedang [[macapat|melantunkan]] bacaan beraksara Jawa
| image1 = Mss jav 28 f001v.png
| image2 = Mss jav 28 f064v.jpg
| caption2 =
}}-->
Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] di Indonesia yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian [[epigrafi]]s secara mendetail. Akar paling tua dari aksara Jawa adalah aksara Brahmi di India yang berkembang menjadi [[aksara Pallawa]] di Asia Selatan dan Tenggara antara abad ke-6 hingga 8. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi [[aksara Kawi]] yang digunakan sepanjang periode Hindu-Buddha Indonesia antara abad ke-8 hingga 15. Di berbagai daerah Nusantara, aksara Kawi kemudian berkembang menjadi aksara-aksara tradisional Indonesia yang salah satunya adalah aksara Jawa.<ref name="holle">{{Cite Journal|title=Tabel van oud-en nieuw-Indische alphabetten|last=Holle|first=K F|journal=Bijdrage tot de palaeographie van Nederlandsch-Indie|year=1882|place=Batavia|publisher=W. Bruining|oclc=220137657|url=http://dbooks.bodleian.ox.ac.uk/books/PDFs/590496015.pdf|page=xi, 9-35|access-date=2020-05-26|archive-date=2023-05-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20230519223932/http://dbooks.bodleian.ox.ac.uk/books/PDFs/590496015.pdf|dead-url=no}}</ref> Aksara Jawa modern sebagaimana yang kini dikenal berangsur-angsur muncul dari [[aksara Kawi]] pada peralihan abad ke-14 hingga 15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books/about/Indonesian_Palaeography.html?id=cLUfAAAAIAAJ&redir_esc=y|title=Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to C. A.D. 1500|volume=4|isbn=9004041729|publisher=Brill|year=1975|first=J G de|last=Casparis}}</ref>{{sfn|Behrend|1996|pp=161-162}}
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga awal abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra Jawa dengan cakupan yang luas dan beragam. Pada silang waktu tersebut, banyak daerah Jawa yang saling terpencil dan sulit berkomunikasi antara satu sama lainnya, sehingga aksara Jawa berkembang dengan berbagai macam variasi dan gaya penulisan yang digunakan silih-bergantian sepanjang sejarah penggunaannya.{{sfn|Behrend|1996|pp=162}}{{efn|Mengenai ragam langgam aksara Jawa, T E Behrend menulis sebagaimana berikut:{{Verse translation|lang=en|
Javanese script was used over the entire period of Modern Javanese literature, and throughout the island, at a time when there was no easy means of communication between remote areas and no impulse towards standardization. As a result, there is a huge variety in historical and local styles of Javanese writing throughout the ages. The ability of a person to read a bark-paper manuscript from the town of Demak, say, written around 1700, is no guarantee that that person would also be able to make sense of a palm-leaf manuscript written at the same time only 50 miles away on the slopes of mount Merapi. The great differences between regional styles almost makes it seem that "Javanese script" is in fact a family of script, and not just one.{{sfn|Behrend|1996|pp=162}}
|Aksara Jawa digunakan sepanjang periode sastra Jawa modern, dan digunakan di seantero pulau Jawa, di masa ketika komunikasi antarwilayah sering kali sulit dan tidak terdapat dorongan untuk menstandarisasi aksara Jawa. Akibatnya, aksara Jawa memiliki berbagai langgam historis dan kedaerahan yang digunakan silih-berganti seiring waktu. Kemampuan seseorang untuk membaca naskah dluwang dari Demak yang ditulis pada tahun 1700-an, semisal, tidak menjadi jaminan orang yang sama dapat memahami aksara pada naskah lontar dari kaki gunung Merapi (sekitar 80 km dari Demak) yang ditulis pada periode waktu yang sama. Perbedaan yang sangat besar antara langgam-langgam daerah memberikan kesan bahwa "aksara Jawa" adalah sekumpulan aksara, alih-alih sebuah aksara tunggal.
|attr1=Behrend (1996:162)
}} }} Tradisi tulis aksara Jawa terutama terpupuk di lingkungan keraton pada pusat-pusat budaya Jawa seperti [[Yogyakarta]] dan [[Surakarta]], tetapi naskah beraksara Jawa dibuat dan dipakai dalam berbagai lapisan masyarakat dengan intensitas penggunaan yang bervariasi antardaerah. Di daerah [[Jawa Barat]], semisal, aksara Jawa terutama digunakan oleh kaum ningrat Sunda (''[[Menak Sunda|ménak]]'') akibat pengaruh politik [[dinasti Mataram]].{{sfn|Moriyama|1996|pp=166}} Namun begitu, kebanyakan masyarakat Sunda pada periode waktu yang sama lebih umum menggunakan abjad [[Pegon]] yang diadaptasi dari [[abjad Arab]].{{sfn|Moriyama|1996|pp=167}} Sebagian besar tulisan sastra Jawa tradisional dirancang untuk [[macapat|dilantunkan]] dalam bentuk [[tembang]], sehingga teks sastra tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari pelantunan dan pembawaan sang pembaca.{{sfn|Behrend|1996|pp=167-169}} Tradisi tulis Jawa juga mengandalkan penyalinan dan penyusunan ulang secara berkala karena media tulis yang rentan terhadap iklim tropis; akibatnya, kebanyakan naskah fisik yang kini tersisa merupakan salinan abad ke-18 atau 19 meski isinya sering kali dapat ditelusuri hingga purwarupa yang beberapa abad lebih tua.{{sfn|Behrend|1996|pp=161-162}}
<!--
Dengan lumrahnya penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik, tumbuh pula upaya untuk menstandarisasi ortografi aksara Jawa dari praktek tradisional yang bervariasi. Salah satu upaya ini adalah [[lokakarya]] yang berlangsung di [[Sriwedari]], [[Surakarta]] pada tahun 1926. Lokakarya ini menghasilkan ''Wewaton Sriwedari'' (Ketetapan Sriwedari), yang merupakan salah satu landasan awal standardisasi penulisan aksara Jawa ke depannya.-->
== Media ==
{{multiple image
| align = left
| direction = vertical
| width = 250
| footer =
| image1 = COLLECTIE TROPENMUSEUM Verhaal van Yusup in het Javaans op lontarblad TMnr 499-1.jpg|Naskah lontar beraksara Jawa dengan isi ''[[Serat Yusuf]]''
| image2 = Serat yusuf.jpg
| caption1 = ''Serat Yusuf'' dalam naskah lontar, koleksi Tropenmuseum
| caption2 = ''Serat Yusuf'' dalam naskah kertas, koleksi [[Museum Sonobudoyo]]
}}
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media yang berganti-ganti seiring waktu. [[Aksara Kawi]] yang menjadi nenek moyang aksara Jawa umum ditemukan dalam bentuk [[prasasti]] batu dan lempeng logam. Tulisan Kawi sehari-hari dituliskan menggunakan media [[lontar]], yakni daun [[siwalan|palem tal]] (''Borassus flabellifer'', disebut juga palem siwalan) yang telah diolah sedemikian rupa hingga dapat ditulisi. Lembar lontar memiliki bentuk persegi panjang dengan lebar sekitar 2,8 hingga 4 cm dan panjang yang bervariasi antara 20 hingga 80 cm. Tiap lembar lontar hanya dapat memuat beberapa baris tulisan, umumnya sekitar empat baris, yang digurat dalam posisi horizontal dengan pisau kecil kemudian dihitamkan dengan jelaga untuk meningkatkan keterbacaan. Media ini memiliki rekam jejak penggunaan yang panjang di seantero Asia Selatan dan Asia Tenggara.<ref>{{cite journal|url=https://www.researchgate.net/publication/41017543_Balinese_palm-leaf_manuscripts|title=Balinese palm-leaf manuscripts|first=H I R|last=Hinzler|year=1993|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=149|issue=3|doi=10.1163/22134379-90003116|access-date=2020-05-08|archive-date=2023-04-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20230407140706/https://www.researchgate.net/publication/41017543_Balinese_palm-leaf_manuscripts|dead-url=no |issn = 0006-2294}}</ref>
Pada abad ke-13, [[kertas]] mulai diperkenalkan di Nusantara, hal ini berkaitan dengan penyebaran agama [[Islam]] yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku [[kodeks]]. Ketika Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan pada abad ke-15, bersamaan ketika aksara Kawi mulai bertransisi menjadi aksara Jawa modern, kertas menjadi lebih lumrah digunakan di Jawa dan penggunaan lontar hanya bertahan di beberapa tempat.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}} Terdapat dua jenis kertas yang umum ditemukan dalam naskah beraksara Jawa: kertas produksi lokal yang disebut [[daluang]], dan kertas impor. Daluang (bahasa Jawa: ''dluwang'') adalah kertas yang terbuat dari tumbukan kulit pohon [[Daluang|saéh]] (''Broussonetia papyrifera'', disebut juga pohon glugu). Secara tampak, daluang cukup mudah dibedakan dengan kertas biasa dari warna cokelatnya yang khas dan tampilannya yang berserat-serat. Daluang yang dibuat dengan telaten akan memiliki permukaan yang mulus dan tahan lama dari macam-macam bentuk degradasi (terutama serangga), sementara daluang yang tidak bagus memiliki permukaan yang tidak rata dan mudah rusak. Daluang umum digunakan dalam naskah yang ditulis di [[keraton]] dan [[pesantren]] Jawa antara abad ke-16 dan 17.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}}<ref name="tey">{{cite book|last=Teygeler|first=R|chapter=The Myth of Javanese Paper|url=https://www.academia.edu/35977126/The_myth_of_Javanese_paper|title=Timeless Paper|editor=R Seitzinger|publisher=Gentenaar & Torley Publishers|year=2002|isbn=9073803039|location=Rijswijk|language=EN|ref=harv|access-date=2020-05-08|archive-date=2022-09-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220914035406/https://www.academia.edu/35977126/The_myth_of_Javanese_paper|dead-url=no}}</ref>
Sebagian besar kertas impor yang digunakan di naskah-naskah Nusantara didatangkan dari [[Eropa]]. Pada awalnya, kertas Eropa hanya digunakan oleh sebagian kecil juru tulis Jawa karena harganya yang mahal–kertas yang dibuat dengan teknik Eropa pada masa itu hanya bisa diimpor dalam jumlah terbatas.{{efn|VOC berupaya untuk mendirikan pabrik kertasnya sendiri di Jawa yang beroperasi antara tahun 1665–1681. Namun pabrik tersebut tidak mampu memenuhi semua permintaan kertas di Jawa, sehingga suplai kertas terus mengandalkan pengiriman dari Eropa.<ref name="tey"/>}} Dalam administrasi kolonial sehari-hari, penggunaan kertas Eropa perlu disuplementasikan dengan kertas daluang Jawa serta kertas impor Tiongkok setidaknya hingga abad ke-19.<ref name="tey"/> Seiring meningkatnya jumlah kertas impor dan pengiriman yang lebih berkala, juru tulis di keraton dan permukiman urban makin memilih kertas Eropa sebagai media tulis utama sementara daluang kian diasosiasikan dengan naskah yang dibuat di pesantren dan desa.{{sfn|Behrend|1996|pp=165-167}} Bersamaan dengan meningkatnya impor kertas Eropa, teknologi cetak aksara Jawa juga mulai dirintis oleh sejumlah tokoh Eropa dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1825. Dengan adanya teknologi cetak, materi beraksara Jawa dapat diperbanyak secara massal dan menjadi lumrah digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa pra-kemerdekaan, seperti surat-surat, buku, koran, majalah, hingga pamflet, iklan, dan uang kertas.{{sfn|Molen|2000|pp=154-158}}
== Penggunaan ==
{| class="wikitable" style="margin:0 auto;" align="center" colspan="2" cellpadding="3" style="font-size: 80%; width: 100%;"
|-
|state = {{{1<includeonly>|collapsed</includeonly>}}} align=center colspan=2 style="background:#D3D3D3; font-size: 100%;"| '''Penggunaan Aksara Jawa'''
|-
|align=center; colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="200px">
Berkas:Serat jatipustaka.jpg| Halaman pembuka ''Serat Jatipustaka'' yang disalin pada tahun 1830, koleksi Museum Denver
Berkas:Babad-tanah-jawi.jpg| Halaman pembuka ''[[Babad Tanah Jawi]]'' yang disalin pada tahun 1862, koleksi Perpustakaan Kongres Amerika
Berkas:Groot Javaansch No.2 cursief - Lettergieterij Amsterdam.jpg| Contoh aksara Jawa cetak dalam katalog [[pabrik huruf]] [[Lettergieterij Amsterdam|"Amsterdam"]] tahun 1910
Berkas:Kajawen 1933-08-16-1 sampul.jpg|Sampul majalah ''[[Majalah Kajawen|Kajawèn]]'' edisi 65, tanggal 16 Agustus 1933
Berkas:TDKGM 01.147 Koleksi dari Perpustakaan Museum Tamansiswa Dewantara Kirti Griya.pdf|Dokumen [[Serat kekancingan|''kekancingan'']] yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta pada tahun 1935, koleksi Museum Dewantara Kirti Griya
</gallery>
|}
[[Berkas:Serat Selarasa (1804) - BL MSS Jav 28 (page 128 crop).jpg|ka|400px|jmpl|Detail salah satu halaman dalam ''Serat Selarasa'' yang disalin pada tahun 1804 di [[Surabaya]]. Dua figur di paling kiri terlihat sedang [[macapat|melantunkan]] bacaan beraksara Jawa.]]
Selama kurang lebih 500 tahun antara abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, aksara Jawa aktif digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat Jawa sebagai tulisan sehari-hari maupun sastra dengan cakupan yang luas dan beragam. Karena pengaruh tradisi lisan yang kuat, teks [[sastra Jawa|sastra tradisional Jawa]] hampir selalu disusun dalam bentuk [[tembang]] yang dirancang untuk [[macapat|dilantukan]], sehingga teks Jawa tidak hanya dinilai dari isi dan susunannya, tetapi juga dari [[irama]] dan [[nada]] pelantunan.{{sfn|Behrend|1996|pp=167-169}} Pujangga sastra Jawa umumnya tidak dituntut untuk menciptakan cerita dan karakter baru, peran pujangga adalah untuk menulis dan menyusun ulang cerita-cerita yang telah ada ke dalam gubahan yang sesuai dengan selera lokal dan perkembangan zaman. Akibatnya, karya sastra Jawa seperti ''[[Cerita Panji]]'' bukanlah sebuah teks dengan edisi otoriter yang menjadi rujukan teks lainnya, melainkan kumpulan variasi cerita dengan benang merah tokoh Panji.{{sfn|Behrend|1996|pp=172}} Genre sastra dengan akar paling kuno adalah [[wiracarita]] atau epos Sanskerta seperti [[Ramayana]] dan [[Mahabharata]] yang telah disadur sejak periode Hindu-Buddha dan memperkenalkan tokoh-tokoh pewayangan seperti [[Arjuna]], [[Srikandi]], [[Gatotkaca]], dan puluhan karakter lainnya yang kini akrab dalam masyarakat Jawa. Sejak masuknya Islam di Jawa, tokoh-tokoh dari sumber Timur Tengah seperti [[Hikayat Amir Hamzah|Amir Hamzah]] dan [[Nabi Yusuf]] juga menjadi salah satu subjek yang sering dituliskan. Terdapat pula tokoh-tokoh lokal yang sering kali mengambil latar semi legendaris di Jawa masa lampau, misal [[Cerita Panji|Pangeran Panji]], [[Damar Wulan]], dan [[Calon Arang]].{{sfn|Behrend|1996|pp=172-175}}
Ketika kajian mendalam mengenai bahasa dan sastra Jawa mulai menarik perhatian kalangan Eropa pada abad ke-19, timbullah keinginan untuk menciptakan aksara Jawa cetak agar materi sastra Jawa dapat mudah diperbanyak dan disebarluaskan. Upaya paling awal untuk menghasilkan aksara Jawa cetak dirintis oleh [[Paul van Vlissingen]] yang aksara Jawa cetaknya pertama kali digunakan dalam surat kabar ''Bataviasch Courant'' edisi bulan Oktober 1825.{{sfn|Molen|2000|pp=137}} Meski diakui sebagai suatu pencapaian teknis yang patut dipuji pada masa itu, aksara Jawa cetak Vlissingen dinilai memiliki gubahan bentuk yang canggung, sehingga upaya awal ini kemudian diteruskan oleh berbagai pihak seiring dengan berkembanganya kajian sastra Jawa.{{sfn|Molen|2000|pp=136-140}} Pada tahun 1838, [[Taco Roorda]] menyelesaikan [[Tuladha Jejeg|fon]] cetak untuk aksara Jawa yang ia gubah berdasarkan langgam penulisan [[Surakarta]]{{efn|Bagi kalangan Eropa abad ke-19, tulisan tangan Surakarta disetujui sebagai langgam aksara Jawa yang paling indah sehingga tokoh seperti [[J.F.C. Gericke]] menyarankan agar langgam Surakarta dijadikan panutan untuk membuat rancangan aksara Jawa yang layak.{{sfn|Molen|2000|pp=149-154}}}} dengan sedikit campuran elemen [[tipografi]] Eropa. Rancangan Roorda disambut dengan baik dan dengan cepat menjadi pilihan utama untuk mencetak segala tulisan yang beraksara Jawa. Sejak itu, bacaan beraksara Jawa, dengan [[Fon (tipografi)|fon]] Jawa yang digubah Roorda, menjadi lumrah beredar di khalayak umum dan diterapkan pula dalam berbagai materi selain sastra. Hadirnya teknologi cetak menumbuhkan industri percetakan yang selama seabad ke depan menghasilkan berbagai macam bacaan sehari-hari dalam aksara Jawa, dari surat administratif, buku pelajaran, hingga media massa populer seperti majalah [[majalah Kajawen|''Kajawèn'']] yang seluruh kolom dan artikelnya dicetak dengan aksara Jawa.{{sfn|Molen|2000|pp=154-158}}<ref name="astuti">{{Cite conference|last=Astuti|first=Kabul|title=Perkembangan Majalah Berbahasa Jawa dalam Pelestarian Sastra Jawa|url=https://www.academia.edu/5280381/Perkembangan_Majalah_Berbahasa_Jawa_dalam_Pelestarian_Sastra_Jawa|conference=International Seminar On Austronesian - Non Austronesian Languages and Literature|date=Oktober 2013|location=Bali|access-date=2020-05-09|archive-date=2023-04-17|archive-url=https://web.archive.org/web/20230417113704/https://www.academia.edu/5280381/Perkembangan_Majalah_Berbahasa_Jawa_dalam_Pelestarian_Sastra_Jawa|dead-url=no}}</ref> Pada tingkat pemerintahan, salah satu bentuk penerapan aksara Jawa adalah penggunaannya sebagai salah satu teks legal multi-bahasa dalam [[:Commons:File:IND-78b-De Javasche Bank-5 Gulden (1937).jpg|uang kertas]] [[Gulden Hindia Belanda|Gulden]] yang disirkulasikan [[De Javasche Bank]].<ref>{{numis cite SCWPM|date=1994}}</ref>
=== Kemunduran ===
[[Berkas:Mesin ketik beraksara Jawa buatan pabrik Royal Bar-Lock.jpg|jmpl|ki|240px|Mesin tik beraksara Jawa yang pernah dipakai oleh [[Keraton Surakarta]] dari tahun 1917–1960 untuk surat-menyurat, membuat surat keputusan, dan pengumuman.<ref>{{Cite web|url=https://muspen.kominfo.go.id/koleksi/single?id=228|title=Mesin Ketik Huruf Jawa|last=|first=|date=|website=Museum Penerangan|access-date=8 November 2021|archive-date=2022-06-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20220625130959/https://muspen.kominfo.go.id/koleksi/single?id=228|dead-url=no}}</ref>]]
Seiring dengan meningkatnya permintaan bacaan masyarakat pada awal abad ke-20, penerbit Jawa mengurangi produksi materi beraksara Jawa karena alasan ekonomis: mencetak materi apa pun dengan aksara Jawa pada waktu itu memerlukan hingga dua kali lebih banyak bidang kertas dibanding mencetak materi yang sama dengan alih aksara Latin, sehingga produksi bacaan beraksara Jawa memakan lebih banyak waktu dan biaya.{{efn|Sebagaimana dituturkan oleh direktur Balai Poestaka [[D.A. Rinkes]] pada tahun 1920 dalam kata sambutan katalog buku-buku Jawa koleksi [[Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen|Bataviaasch Genootschap]]:<br>{{Verse translation|lang=nl|
Bovendien is voor den druk het Latijnsche lettertype gekozen, hetgeen de zaak voor Europeesche gebruikers aanzienlijk vergemakkelijkt, voor Inlandsche belangstellended geenszins een bezwaar oplevert, aangezien de Javaansche taal, evenals bereids voor het Maleisch en het Soendaneesch gebleken is, zeker niet minder duidelijk in Latijnsch type dan in het Javaansche schrift is weer te geven. Daarbij zijn de kosten daarmede ongeveer ⅓ van druk in Javaansch karakter, aangezien drukwerk in dat type, dat bovendien niet ruim voorhanden is, 1½ à 2 x kostbaarder (en tijdroovender) uitkomt dan in Latijnsch type, mede doordat het niet op de zetmachine kan worden gezet, en een pagina Javaansch type sleechts ongeveer de helft aan woorden bevat van een pagina van denzelfden tekst in Latijnsch karakter.{{sfn|Molen|1993|pp=83}}
|Selain itu, huruf Latin dipilih untuk pencetakan [buku berbahasa Jawa], hal ini tidak hanya memudahkan bagi pembaca Eropa, tetapi juga tidak dikeluhkan oleh pembaca Pribumi, karena bahasa Jawa, sebagaimana bahasa Melayu dan bahasa Sunda, terbukti tetap dapat dipahami dengan baik ketika ditulis menggunakan huruf Latin dan tidak kalah jelas dibanding penulisan yang menggunakan aksara Jawa. Dengan begitu, biaya dapat ditekan hingga ⅓ dari biaya cetak aksara Jawa, mengingat bahwa mencetak dengan aksara Jawa, yang peralatannya tidak selalu tersedia, bisa jadi 1½ hingga 2 kali lipat memakan lebih banyak biaya (dan waktu) dibanding mencetak dengan huruf Latin, dan mengingat pula aksara Jawa tidak dapat dicetak menggunakan mesin ''setting'', dan selembar teks beraksara Jawa hanya dapat memuat sekitar setengah jumlah kata dibanding lembar teks sama yang telah dialihaksarakan menjadi huruf Latin.
|attr1=Poerwa Soewignja dan Wirawangsa (1920:4), disadur oleh Molen (1993:83)
}} }} Dalam rangka menekan biaya dan menjaga agar harga buku tetap terjangkau bagi masyarakat, berbagai penerbit seperti [[Balai Pustaka]] kian mengutamakan penerbitan materi berhuruf Latin.{{sfn|Robson|2011|pp=25}} Meskipun begitu, masyarakat Jawa di awal abad ke-20 cenderung tetap menggunakan aksara Jawa dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam kegiatan surat-menyurat, misal, penggunaan aksara Jawa dianggap lebih halus dan sopan daripada penggunaan huruf Latin, terutama dalam surat untuk orang yang lebih tua. Berbagai penerbit, termasuk Balai Pustaka sendiri, tetap mencetak buku, koran, dan majalah dalam aksara Jawa karena adanya minat pembaca yang memadai meski perlahan-lahan menurun. Penggunaan aksara Jawa baru mengalami kemunduran yang signifikan ketika Jepang [[Sejarah Nusantara (1942–1945)|menduduki Indonesia]] pada tahun 1942.<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=jQ0KAQAAIAAJ&hl=id&source=gbs_book_other_versions_r&cad=4|title=Tata-sastra: ngewrat rembag 4 bab: titi-wara tuwin aksara, titi-tembung, titi-ukara, titi-basa|first=R. D. S.|last=Hadiwidjana|publisher=U.P. Indonesia|year=1967|page=9}}</ref> Beberapa penulis melaporkan adanya aturan Jepang yang melarang penggunaan aksara Jawa dalam ranah publik.{{efn|Meski dokumentasi atau catatan perintah resmi dari larangan tersebut tidak diketahui. Sebagai perbandingan, pemerintahan Jepang yang [[Pendudukan Jepang di Kamboja|menduduki Kamboja]] pada periode waktu yang sama justru menghapus upaya penggunaan huruf Latin yang dimulai [[Kamboja Prancis|pemerintahan kolonial Kamboja Prancis]] dan mengembalikan penggunaan [[aksara Khmer]] sebagai aksara resmi Kamboja.<ref name=Chandler>{{cite book|first=David P|last=Chandler|title=A History of Cambodia|publisher=Silkworm books|year=1993|isbn=9747047098|url=https://books.google.co.id/books/about/A_History_of_Cambodia.html?id=E8BRPgAACAAJ&redir_esc=y}}</ref>}} Namun tidak dipungkiri bahwa penggunaan aksara Jawa memang mengalami kemunduran yang signifikan pada zaman pendudukan Jepang. Program-program pendidikan pemerintahan yang baru didirikan setelah Indonesia merdeka berfokus pada pendidikan Bahasa Indonesia dan pemberantasan buta huruf Latin, sehingga penggunaan aksara tidak kembali sebagaimana semula pada periode pasca-kemerdekaan.<ref>{{cite journal|last=Lowenberg|first=Peter|journal=Studies in the Linguistic Sciences|volume=30|issue=1|date=2000|title=Writing and Literacy in Indonesia|url=https://www.researchgate.net/publication/32963154_Writing_and_literacy_in_Indonesia|page=135–148|access-date=2021-11-09|archive-date=2023-10-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20231005064205/https://www.researchgate.net/publication/32963154_Writing_and_literacy_in_Indonesia|dead-url=no}}</ref>{{sfn|Robson|2011|pp=27-28}}<!--Isu terakhir majalah ''Kajawèn'' terbit pada tahun 1942,<ref name="astuti"/> dan salah satu penggunaan resmi paling akhir aksara Jawa di masa awal Indonesia adalah cetak ulang Gulden De Javasche Bank dari tahun 1950 yang teks legalnya masih memuat aksara Jawa.<ref>{{cite book |last1=Cuhaj |first1=George S. |year=2010|title=Paper Money General Issues 1368–1960|work= |volume= |issue= |pages =885–886 |publisher=Krause Publications |doi= |url= |accessdate=|edition=13|isbn=978-1-4402-1293-2}}</ref>-->
{{clear}}<!-- Paksa buat baris baru agar subjudul tidak menjorok ke dalam. -->
=== Penggunaan kontemporer ===
{{multiple image
| align = right
| direction = horizontal
| header = Perbandingan gaya aksara Jawa untuk papan nama instansi pemerintahan
| width = 200px
| image1 = Papan nama Kantor Ketahanan Pangan Surakarta (2).jpg
| width1 =
| caption1 = [[Tuladha Jejeg|Gagrag Surakarta]]. Aksara Jawa diletakkan di atas huruf Latin (Perwal Solo No. 3/2008).
| image2 = Javanese script use in government organization in Yogyakarta.jpg
| width2 =
| caption2 = [[nyk Ngayogyan|Gagrag Yogyakarta]]. Huruf Latin diletakkan di atas aksara Jawa (Pergub DIY No. 70/2019).
}}
Dalam ranah kontemporer, aksara Jawa hingga kini masih menjadi bagian dari pengajaran muatan lokal di [[DI Yogyakarta]], [[Jawa Tengah]], [[Jawa Timur]], dan sebagian kecil [[Jawa Barat]]. Beberapa surat kabar dan majalah lokal memiliki kolom yang menggunakan aksara Jawa, dan aksara Jawa dapat ditemukan pada papan nama tempat-tempat umum tertentu. Akan tetapi, banyak upaya kontemporer untuk menerapkan aksara Jawa hanya bersifat simbolik dan tidak fungsional; tidak ada lagi, sebagai contoh, publikasi berkala seperti majalah ''Kajawèn'' yang isi substansialnya menggunakan aksara Jawa. Kebanyakan masyarakat Jawa hanya sadar akan keberadaan aksara Jawa dan mengenal beberapa huruf, tetapi jarang ada yang mampu membaca atau menulisnya secara substansial,<ref name="wahab">{{cite conference|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/3067/1/Kongres%20Bahasa%20Indonesia%20VIII%20Kelompok%20B%20Ruang%20Rote.pdf|conference=Kongres Bahasa Indonesia VIII|date=Oktober 2003|title=Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah|first=Abdul|last=Wahab|publisher=Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia|volume=Kelompok B, Ruang Rote|page=8-9|access-date=2020-05-07|archive-date=2023-04-17|archive-url=https://web.archive.org/web/20230417113704/https://repositori.kemdikbud.go.id/3067/1/Kongres%20Bahasa%20Indonesia%20VIII%20Kelompok%20B%20Ruang%20Rote.pdf|dead-url=no}}</ref><ref>{{cite book|last=Florida|first=Nancy K|year=1995|url=https://books.google.com/books?id=JtXWqGzfzGgC&pg=PA37&lpg=PA37&dq=read+javanese+script&source=bl&ots=ovWJe5iN1N&sig=it-50wOMvy1H8EaNhTKxUbebNnM&hl=en&sa=X&ei=Uep5U_6vAcHc8AXwnoC4Dw&redir_esc=y#v=onepage&q=read%20javanese%20script&f=false|title=Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophesy in Colonial Java|publisher=Duke University Press|isbn=9780822316220|page=37}}</ref> sehingga sampai tahun 2019 tidak jarang ditemukan papan nama di tempat umum yang penulisan aksara Jawa-nya memiliki banyak kesalahan dasar.<ref>{{cite web|last=Mustika|first=I Ketut Sawitra|date=12 Oktober 2017|title=Alumni Sastra Jawa UGM Bantu Koreksi Tulisan Jawa pada Papan Nama Jalan di Jogja|url=https://m.solopos.com/alumni-sastra-jawa-ugm-bantu-koreksi-tulisan-jawa-pada-papan-nama-jalan-di-jogja-859202|publisher=Solo Pos|location=Yogyakarta|editor1-first=Nina|editor1-last=Atmasari|access-date=8 Mei 2020|archive-date=2020-06-12|archive-url=https://web.archive.org/web/20200612103203/https://m.solopos.com/alumni-sastra-jawa-ugm-bantu-koreksi-tulisan-jawa-pada-papan-nama-jalan-di-jogja-859202|dead-url=yes}}</ref><ref>{{cite web |last=Eswe |first=Hana |date=13 Oktober 2019 |title=Penunjuk Jalan Beraksara Jawa Salah Tulis Dikritik Penggiat Budaya |url=https://suarabaru.id/2019/10/13/penunjuk-jalan-beraksara-jawa-salah-tulis-dikritik-penggiat-budaya/ |publisher=Suara Baru |location=Grobogan |access-date=8 Mei 2020 |archive-date=2023-04-17 |archive-url=https://web.archive.org/web/20230417113708/https://suarabaru.id/2019/10/13/penunjuk-jalan-beraksara-jawa-salah-tulis-dikritik-penggiat-budaya |dead-url=no }}</ref> Beberapa kendala dalam upaya revitalisasi penggunaan aksara Jawa termasuk perangkat elektronik yang sering kali mengalami kendala teknis untuk menampilkan aksara Jawa tanpa galat, sedikitnya instansi dengan kompetensi memadai yang dapat dikonsultasikan, dan kurangnya eksplorasi tipografi yang menarik bagi masyarakat.<ref name="wahab"/><ref name="radar"/> Meskipun begitu, upaya revitalisasi terus digeluti oleh sejumlah komunitas dan tokoh masyarakat yang aktif memperkenalkan kembali aksara Jawa dalam penggunaan sehari-hari, terutama dalam sarana digital.<ref name="radar">{{Cite news|url=https://radarjogja.jawapos.com/2020/02/27/bangkitkan-kongres-bahasa-jawa-setelah-mati-suri/|location=Bantul|title=Bangkitkan Kongres Bahasa Jawa Setelah Mati Suri|date=27 Februari 2020|author=Siti Fatimah|publisher=Radar Jogja|access-date=25 Mei 2020|archive-date=2020-06-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20200619201043/https://radarjogja.jawapos.com/2020/02/27/bangkitkan-kongres-bahasa-jawa-setelah-mati-suri/|dead-url=yes}}</ref>
== Bentuk ==
=== Aksara ===
''Aksara'' adalah huruf dasar yang merepresentasikan satu suku kata. Aksara Jawa memiliki sekitar 45 aksara dasar, tetapi tidak semuanya digunakan dengan setara. Dalam perkembangannya, terdapat aksara yang tidak lagi digunakan sementara beberapa lainnya hanya digunakan pada konteks tertentu sehingga huruf-huruf dalam aksara Jawa dikelompokkan ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsi dan penggunaannya.
==== ''Wyanjana'' ====
''Aksara wyanjana'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) adalah aksara konsonan dengan vokal inheren /a/ atau /ɔ/. Sebagai salah satu aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]], aksara Jawa pada awalnya memiliki 33 aksara ''wyanjana'' untuk menuliskan 33 bunyi konsonan yang digunakan dalam bahasa [[Sanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]]. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}<ref name="mardikawi">{{cite book|url=http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20186831-166.%20Serat%20Mardi%20Kawi%20Jilid%20I.pdf|title=Serat Mardi Kawi|volume=1|year=1930|publisher=De Bliksem|place=Solo|first=W J S|last=Poerwadarminta|page=9-12|access-date=2020-05-05|archive-date=2023-04-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20230416105659/https://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20186831-166.%20Serat%20Mardi%20Kawi%20Jilid%20I.pdf|dead-url=no}}</ref>
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align:center;" | ''Aksara Wyanjana'' (deret kuno)
|-
! rowspan="2" |Tempat pelafalan
! colspan="2" |[[Bantuan:Pengucapan#Penyuaraan|Nirsuara]]
! colspan="2" |[[Bantuan:Pengucapan#Penyuaraan|Bersuara]]
! rowspan="2" |[[Konsonan nasal|Sengau]]
|-
! Tidak [[Aspirasi (linguistik)|Teraspirasi]]
! [[Aspirasi (linguistik)|Teraspirasi]]
! Tidak [[Aspirasi (linguistik)|Teraspirasi]]
! [[Aspirasi (linguistik)|Teraspirasi]]
|-
| style="text-align:center;
| style="text-align:center;
| style="text-align:center;
| style="text-align:center;
| style="text-align:center;
!
!
| style="text-align:center;
|-
| style="text-align
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Uniform height Murda ca.png|30px]]<br>ꦖ<hr>cha
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Uniform height Murda sa.png|30px]]<br>ꦯ<hr>śa{{ref label|sya|6}}
!
|-
| align=center| [[Berkas:Nglegena tha.png|30px]]<br>ꦛ<hr>ṭa{{ref label|tha|3}}
| align=center| [[Berkas:Uniform height Mahaprana tha.png|30px]]<br>ꦜ<hr>ṭha
|
| align=center| [[Berkas:Uniform height Mahaprana dha.png|30px]]<br>ꦞ<hr>ḍha
| align=center| [[Berkas:Uniform height Murda na.png|30px]]<br>ꦟ<hr>ṇa
|
| align=center| [[Berkas:Uniform height Mahaprana sa.png|30px]]<br>ꦰ<hr>ṣa
!
|-
| style="text-align
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Uniform height Murda ta.png|30px]]<br>ꦡ<hr>tha
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Nglegena sa.png|30px]]<br>ꦱ<hr>sa
!
|-
! align=center|[[Konsonan bibir|Labial]]
| align=center| [[Berkas:Nglegena pa.png|30px]]<br>ꦥ<hr>pa
|
|
| align=center| [[Berkas:Uniform height Murda ba.png|30px]]<br>ꦨ<hr>bha
| align=center| [[Berkas:Nglegena ma.png|30px]]<br>ꦩ<hr>ma
| align=center| [[Berkas:Nglegena wa.png|30px]]<br>ꦮ<hr>wa
!
!
|-
| colspan="11" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | Catatan
<small>
:{{note|nga|1}} /ŋa/ sebagaimana nga dalam kata "mengalah"
:{{note|nya|2}} /ɲa/ sebagaimana nya dalam kata "menyanyi"
:{{note|nya|3}} /ʈa/ sebagaimana tha dalam kata bahasa Jawa "kathah"
:{{note|nya|4}} /ɖa/ sebagaimana dha dalam kata bahasa Jawa "padha"
:{{note|ha|5}} berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ dalam bahasa Kawi
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
:{{note|sya|6}} /ɕa/ mendekati pengucapan sya dalam kata "syarat"
</small>
|-
|}
Dalam perkembangannya, bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara ''wyanjana'' dalam deret Sanskerta-Kawi. Aksara Jawa modern hanya menggunakan 20 bunyi konsonan dan 20 aksara dasar yang kemudian disebut sebagai ''aksara nglegena'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦔ꧀ꦭꦼꦒꦼꦤ). Sebagian aksara yang tersisa kemudian dialihfungsikan sebagai ''aksara murda'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦢ) untuk menuliskan gelar dan [[nama diri|nama]] yang dihormati, baik nama tokoh legenda (misal [[Bima (Mahabharata)|Bima]] ditulis ꦨꦶꦩ) maupun nyata (misal [[Pakubuwana]] ditulis ꦦꦑꦸꦨꦸꦮꦟ).{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=11-13}} Dari 20 aksara ''nglegena'', hanya 9 aksara yang mempunyai bentuk ''murda'', oleh karena itu penggunaan ''murda'' tidak identik dengan penggunaan huruf kapital di dalam ejaan Latin;{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=11-13}} apabila suku kata pertama suatu nama tidak memiliki bentuk ''murda,'' maka suku kata kedua yang menggunakan ''murda''. Apabila suku kata kedua juga tidak memiliki bentuk ''murda'', maka suku kata ketiga yang menggunakan ''murda'', begitu seterusnya. Nama yang sangat dihormati dapat ditulis seluruhnya dengan ''murda'' apabila memungkinkan. Dalam penulisan tradisional, penerapan ''murda'' tidaklah selalu konsisten dan pada dasarnya bersifat pilihan, sehingga nama seperti ''Gani'' dapat dieja ꦒꦤꦶ (tanpa ''murda''), ꦓꦤꦶ (dengan ''murda'' di awal), atau ꦓꦟꦶ (seluruhnya menggunakan ''murda'') tergantung dari latar belakang dan konteks penulisan yang bersangkutan. Sisa aksara yang tidak termasuk ''nglegena'' maupun ''murda'' adalah ''aksara mahaprana''. Aksara ''mahaprana'' tidak memiliki fungsi dalam penulisan Jawa modern dan hanya digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta-Kawi.{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}{{efn|Contoh kata dengan aksara ''mahaprana'' yang digunakan dalam penulisan Kawi misal ''aṣṭa'' (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan)<ref>{{cite book|first=Petrus Josephus|url=http://sealang.net/ojed/|last=Zoetmulder|title=Old Javanese-English Dictionary|page=143, entri 4|year=1982|publisher=Nijhoff|editor-first1=Stuart Owen|editor-last1=Robson|isbn=9024761786|access-date=2020-05-08|archive-date=2023-06-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20230601111918/http://sealang.net/ojed/|dead-url=no}}</ref> dan ''nirjhara'' (ꦤꦶꦂꦙꦫ, air terjun).<ref>{{cite book|first=Petrus Josephus|url=http://sealang.net/ojed/|last=Zoetmulder|title=Old Javanese-English Dictionary|page=1191, entri 11|year=1982|publisher=Nijhoff|editor-first1=Stuart Owen|editor-last1=Robson|isbn=9024761786|access-date=2020-05-08|archive-date=2023-06-01|archive-url=https://web.archive.org/web/20230601111918/http://sealang.net/ojed/|dead-url=no}}</ref>}}
{| class="wikitable""
|+ style="text-align: center;" | ''Aksara Wyanjana'' (deret modern)
|-style="text-align:center;"
!
! ha/a{{ref label|ha|1}}
! na
! ca
! ra
! ka
! da
! ta
! sa
! wa
! la
! pa
! dha
! ja
! ya
! nya
! ma
! ga
! ba
! tha
! nga
|- style="length:20%; height: 4em;"
! style="width:10%; text-align:center;" | ''Nglegena''
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ha.png|30px]]<br>ꦲ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena na.png|30px]]<br>ꦤ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ca.png|30px]]<br>ꦕ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ra.png|30px]]<br>ꦫ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ka.png|30px]]<br>ꦏ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena da.png|30px]]<br>ꦢ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ta.png|30px]]<br>ꦠ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena sa.png|30px]]<br>ꦱ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena wa.png|30px]]<br>ꦮ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena la.png|30px]]<br>ꦭ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena pa.png|30px]]<br>ꦥ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda da.png|30px]]<br>ꦝ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ja.png|30px]]<br>ꦗ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ya.png|30px]]<br>ꦪ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena nya.png|30px]]<br>ꦚ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ma.png|30px]]<br>ꦩ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ga.png|30px]]<br>ꦒ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ba.png|30px]]<br>ꦧ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena tha.png|30px]]<br>ꦛ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena nga.png|30px]]<br>ꦔ
|- style="length:20%; height: 4em;"
! style="width:10%; text-align:center;" | ''Murda''
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda na.png|30px]]<br>ꦟ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ca.png|30px]]<br>ꦖ{{ref label|camur|2}}
| align="center" |[[Berkas:Uniform height ra agung.png|30px]]<br>ꦬ{{ref label|ragung|3}}
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ka.png|30px]]<br>ꦑ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ta.png|30px]]<br>ꦡ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda sa.png|30px]]<br>ꦯ
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda pa.png|30px]]<br>ꦦ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Murda nya.png|30px]]<br>ꦘ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ga.png|30px]]<br>ꦓ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ba.png|30px]]<br>ꦨ
!
!
|- style="length:20%; height: 4em;"
! style="width:10%; text-align:center;" | ''Mahaprana''
! align="center" |
! align="center" |
!
! align="center" |
!
| align="center" |[[Berkas:Nglegena dha.png|30px]]<br>ꦣ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Mahaprana sa.png|30px]]<br>ꦰ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Mahaprana dha.png|30px]]<br>ꦞ
| align="center" |[[Berkas:Mahaprana ja.png|30px]]<br>ꦙ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Mahaprana tha.png|30px]]<br>ꦜ
! align="center" |
|-
| colspan="23" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | '''Catatan'''
<small>
:{{note|ha|1}} berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/ tergantung kata yang bersangkutan
:{{note|camur|2}} ca murda hanya teratestasi dalam bentuk [[#Pasangan|pasangan]],{{sfn|Everson|2008|pp=1}} bentuk aksara dasarnya merupakan rekonstruksi kontemporer
:{{note|ragung|3}} ra agung, memiliki fungsi yang serupa dengan aksara ''murda'' lainnya namun tidak dikenal secara luas karena penggunaannya yang terbatas di lingkungan kraton{{sfn|Everson|2008|pp=1-2}}
</small>
|}
==== ''Swara'' ====
''Aksara swara'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦱ꧀ꦮꦫ) adalah aksara yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Pada awalnya, aksara Jawa memiliki 14 aksara vokal yang diwarisi dari tradisi tulis Sanskerta. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:<ref name="mardikawi"/>
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align:center;" | ''Aksara Swara''
|- style="text-align:center;"
! Tempat pelafalan
! [[Konsonan langit-langit belakang|Velar]]
! [[Konsonan langit-langit|Palatal]]
! [[Konsonan bibir|Labial]]
! [[Konsonan tarik-belakang|Retrofleks]]
! [[Konsonan gigi|Dental]]
! Velar-Palatal
! Velar-Labial
|-
|
| style="
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel ukara.png|25px]]<br>ꦈ<hr>u
| style="text-align:center; "| [[Berkas:Ganten pa cerek2.png|25px]]<br>ꦉ<hr>ṛ/re{{ref label|re|1}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Ganten nga lelet2.png|25px]]<br>ꦊ<hr>ḷ/le{{ref label|le|2}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel ekara.png|25px]]<br>ꦌ<hr>é{{ref label|e|3}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel okara.png|25px]]<br>ꦎ<hr>o
|-
! style="text-align:center;"| Panjang
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel aakara.png|30px]]<br>ꦄꦴ<hr>ā
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel ikara.png|25px]]<br>ꦆ<hr>ī
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel uukara.png|25px]]<br>ꦈꦴ<hr>ū
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Ganten pa cerek dirgha2.png|25px]]<br>ꦉꦴ<hr>ṝ/reu{{ref label|reu|4}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Ganten nga lelet raswadi2.png|25px]]<br>ꦋ<hr>ḹ/leu{{ref label|leu|5}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel aikara.png|25px]]<br>ꦍ<hr>ai{{ref|ai|6}}
| style="text-align:center;"| [[Berkas:Vowel aukara.png|25px]]<br>ꦎꦴ<hr>au{{ref|au|7}}
|-
| colspan="11" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | '''Catatan'''
<small>
:{{note|re|1}} pa cerek, /rə/ sebagaimana re dalam kata "remah"
:{{note|le|2}} nga lelet, /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
:{{note|e|3}} /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
: {{note|reu|4}} pa cerek dirgha, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini<ref name="woodard">{{cite book|title=The Ancient Languages of Asia and the Americas|first=Roger D|last=Woodard|url=https://books.google.co.id/books/about/The_Ancient_Languages_of_Asia_and_the_Am.html?id=UQpAuNIP4oIC&redir_esc=y|publisher=Cambridge University Press|year=2008|page=9|isbn=0521684943}}</ref>
:{{note|leu|5}} nga lelet raswadi, dalam bahasa Sanskerta sebenarnya hanya digunakan sebagai pelengkap sistem fonologi Pāṇini<ref name="woodard"/>
:{{note|ai|6}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
:{{note|au|7}} [[diftong]] /aw/ sebagaimana au kata "pantau"
</small>
|}
Sebagaimana aksara ''wyanjana'', bahasa Jawa modern tidak lagi menggunakan keseluruhan aksara ''swara'' dalam deret Sanskerta-Kawi, dan kini hanya aksara untuk vokal pendek yang umumnya diajarkan. Dalam penulisan modern, aksara ''swara'' digunakan untuk menggantikan aksara ''wyanjana'' ha ꦲ (yang pelafalannya bisa jadi ambigu karena berperan ganda sebagai fonem /ha/ dan /a/) pada nama atau istilah asing yang pelafalannya perlu diperjelas.{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=13-15}}
''Pa cerek'' ꦉ, ''pa cerek dirgha'' ꦉꦴ, ''nga lelet'' ꦊ, dan ''nga lelet raswadi'' ꦋ adalah [[Syllabic consonant|konsonan silabis]] yang dalam bahasa Sanskerta-Kawi dianggap sebagai huruf vokal.<ref name="woodard"/>{{sfn|Poerwadarminta|1930|pp=11}} Ketika digunakan untuk bahasa selain Sanskerta, pelafalan keempat aksara ini sering kali bervariasi. Dalam perkembangan bahasa Jawa modern, hanya ''pa cerek'' dan ''nga lelet'' yang digunakan; ''pa cerek'' dilafalkan /rə/ (sebagaimana re dalam kata "remah") sementara ''nga lelet'' dilafalkan /lə/ (sebagaimana le dalam kata "lemah"). Dalam pengajaran modern, aksara ini sering kali dipisahkan dari aksara ''swara'' menjadi kategori sendiri yang disebut ''aksara gantèn''. Kedua aksara ini wajib digunakan untuk mengganti tiap kombinasi ra+''pepet'' (ꦫꦼ → ꦉ) serta la+''pepet'' (ꦭꦼ → ꦊ) tanpa terkecuali.{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=20}}
==== ''Rékan'' ====
''Aksara rékan'' (ꦲꦏ꧀ꦱꦫꦫꦺꦏꦤ꧀) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis bunyi asing.{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=16-17}} Aksara ini pada awalnya dikembangkan untuk menuliskan kata serapan dari [[bahasa Arab]], kemudian diadaptasi untuk kata serapan dari [[bahasa Belanda]], dan dalam penggunaan kontemporer juga digunakan untuk menulis kata-kata [[bahasa Indonesia]] dan [[bahasa Inggris|Inggris]]. Sebagian besar aksara ''rékan'' dibentuk dengan menambahkan diakritik ''cecak telu'' pada aksara yang bunyinya dianggap paling mendekati dengan bunyi asing yang bersangkutan. Sebagai contoh, aksara ''rékan'' fa ꦥ꦳ dibentuk dengan menambahkan ''cecak telu'' pada aksara ''wyanjana'' pa ꦥ. Kombinasi ''wyanjana'' dan ekuivalen bunyi asing tiap ''rékan'' bisa jadi berbeda antarpenulis karena ketiadaan persetujuan bersama dan lembaga bahasa yang mengatur.
Terdapat lima aksara rekan menurut Padmasusastra<ref>{{cite book|url=https://www.sastra.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2677&catid=53|title=Layang Carakan|last=Padmasusastra|year=1917|page=16|access-date=2021-02-10|archive-date=2022-09-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220914035409/https://www.sastra.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2677&catid=53|dead-url=no}}</ref> dan Dwijasewaya:<ref>{{cite book|url=https://www.sastra.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2156&catid=53|title=Paramasastra Jawa|last=Dwijasewaya|year=1910|page=21|access-date=2021-02-10|archive-date=2022-09-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220914035637/https://www.sastra.org/index.php?option=com_content&view=article&id=2156&catid=53|dead-url=no}}</ref> kha, dza, fa, za, dan gha, tetapi menurut Hollander, terdapat sembilan:<ref>{{cite book|url=https://commons.wikimedia.org/w/index.php?title=File:Handleiding_bij_de_beoefening_der_Javaansche_Taal_1886.pdf&page=13|title=Handleiding bij de beoefening der Javaansche Taal en Letterkunde|first=J J de|last=Hollander|place=Leiden|year=1886|publisher=Brill|page=3|access-date=2021-02-10|archive-date=2022-09-14|archive-url=https://web.archive.org/web/20220914035429/https://commons.wikimedia.org/w/index.php?title=File:Handleiding_bij_de_beoefening_der_Javaansche_Taal_1886.pdf&page=13|dead-url=no}}</ref>
{| class="wikitable" style="width:
|+ style="text-align: center;" | ''Aksara Rékan''
|-style="text-align:center;"
!
! style="width: 55px;" |ḥa
! style="width: 55px;" |kha
! style="width: 55px;" |qa
! style="width: 55px;" |dza
! style="width: 55px;" |sya
! style="width: 55px;" |fa/va
! style="width: 55px;" |za
! style="width: 55px;" |gha
! style="width: 55px;" |'a
|-
| align=center| [[Berkas:Rekan ha2.png|25px]]<br>ꦲ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan kha2.png|25px]]<br>ꦏ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan qa2.png|25px]]<br>ꦐ{{ref label|kasak|1}}
| align=center| [[Berkas:Rekan dza2.png|25px]]<br>ꦢ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan sya2.png|25px]]<br>ꦱ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan fa2.png|25px]]<br>ꦥ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan za2.png|25px]]<br>ꦗ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan gha2.png|25px]]<br>ꦒ꦳
| align=center| [[Berkas:Rekan 'a2.png|25px]]<br>ꦔ꦳
|-
! text-align:center;" |Abjad Arab
| align=center| {{lang|ar|ح}}
| align=center| {{lang|ar|خ}}
| align=center| {{lang|ar|ق}}
| align=center| {{lang|ar|ذ}}
| align=center| {{lang|ar|ش}}
| align=center| {{lang|ar|ف}}
| align=center| {{lang|ar|ز}}
| align=center| {{lang|ar|غ}}
| align=center| {{lang|ar|ع}}
|-
| colspan="23" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | '''Catatan'''
<small>
:{{note|kasak|1}} aksara "ka Sasak", aslinya hanya digunakan dalam penulisan [[bahasa Sasak]]
</small>
|}
=== Diakritik ===
Diakritik (''sandhangan'' ꦱꦤ꧀ꦝꦔꦤ꧀) adalah tanda yang melekat pada aksara untuk mengubah vokal inheren aksara yang bersangkutan. Sebagaimana aksara, diakritik Jawa juga dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok tergantung dari fungsi dan penggunaannya.
==== ''Swara'' ====
''Sandhangan swara'' (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦱ꧀ꦮꦫ) adalah ''sandhangan'' yang digunakan untuk mengubah vokal inheren /a/ menjadi vokal lainnya, sebagaimana berikut:{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=19-24}}
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align: center;" | ''Sandhangan Swara''
|- style="text-align: center"
!colspan=6| Pendek
!colspan=6| Panjang
|- style="text-align: center"
!style="width: 80px;" | -a
!style="width: 80px;" | -i
!style="width: 80px;" | -u
!style="width: 80px;" | -é{{ref label|1|1}}
!style="width: 80px;" | -o
!style="width: 80px;" | -e{{ref label|2|2}}
! style="width: 80px;" |-ā
! style="width: 80px;" |-ī
! style="width: 80px;" |-ū
! style="width: 80px;" |-ai{{ref label|3|3}}
! style="width: 80px;" |-au{{ref label|4|4}}
! style="width: 80px;" |-eu{{ref label|5|5}}
|- style="text-align: center"
| -
| [[Berkas:Sandangan wulu.png|30px]]<br> ꦶ
| [[Berkas:Sandangan suku.png|30px]]<br> ꦸ
| [[Berkas:Sandangan taling.png|30px]]<br> ꦺ
| [[Berkas:Sandangan taling-tarung.png|30px]]<br> ꦺꦴ
| [[Berkas:Sandangan pepet.png|30px]]<br> ꦼ
| [[Berkas:Sandangan tarung.png|30px]]<br> ꦴ
| [[Berkas:Sandangan wulu melik.png|30px]]<br> ꦷ
| [[Berkas:Sandangan suku mendut.png|30px]]<br> ꦹ
| [[Berkas:Sandangan dirga mure.png|30px]]<br> ꦻ
| [[Berkas:Sandangan dirga mure-tarung.png|30px]]<br> ꦻꦴ
| [[Berkas:Sandangan pepet-tarung.png|30px]]<br> ꦼꦴ
|-
|
| style="text-align: center" |wulu
| style="text-align: center" |suku
| style="text-align: center" |taling
| style="text-align: center" |taling-tarung
| style="text-align: center" |pepet
| style="text-align: center" |tarung
| style="text-align: center" |wulu melik
| style="text-align: center" |suku mendut
| style="text-align: center" |dirga muré
| style="text-align: center" |dirga muré-tarung
| style="text-align: center" |pepet-tarung
|- style="text-align: center"
! ka
! ki
! ku
! ké
! ko
! ke
! kā
! kī
! kū
! kai
! kau
! keu
|- style="text-align: center"
| ꦏ
| ꦏꦶ
| ꦏꦸ
| ꦏꦺ
| ꦏꦺꦴ
| ꦏꦼ
| ꦏꦴ
| ꦏꦷ
| ꦏꦹ
| ꦏꦻ
| ꦭꦻꦴ
| ꦏꦼꦴ
|-
| colspan="12" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | '''Catatan'''
<small>
:{{note|1|1}} /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
:{{note|2|2}} /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat", bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta
Pelafalan berikut tidak digunakan dalam bahasa Jawa modern:
:{{note|3|3}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
:{{note|4|4}} [[diftong]] /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
:{{note|5|5}} bunyi bahasa Kawi yang tidak berasal dari Sanskerta, dalam kajian Kawi umum diromanisasi menjadi ö
</small>
|}
Sebagaimana aksara ''swara'', hanya ''sandhangan ''vokal pendek yang umumnya diajarkan dan digunakan dalam bahasa Jawa kontemporer, sementara ''sandhangan'' vokal panjang digunakan dalam penulisan bahasa Sanskerta dan Kawi.
==== ''Panyigeging wanda'' ====
''Sandhangan panyigeging wanda'' (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦥꦚꦶꦒꦼꦒꦶꦁꦮꦤ꧀ꦢ) digunakan untuk menutup suatu suku kata dengan konsonan, sebagaimana berikut:{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=24-28}}
{| class="wikitable" style="width:40%;"
|+ style="text-align: center;" | ''Sandhangan Panyigeging Wanda''
|- style="text-align: center"
!style="width:80px;" | [[nasal]]{{ref label|panyangga|1}}
!style="width:80px;" | -ng
!style="width:80px;" | -r
!style="width:80px;" | -h
!style="width:80px;" | pemati{{ref label|pangkon|2}}
|- style="text-align: center"
| [[Berkas:Sandangan panyangga.png|30px]]<br> ꦀ
| [[Berkas:Sandangan cecak.png|30px]]<br> ꦁ
| [[Berkas:Sandangan layar.png|30px]]<br> ꦂ
| [[Berkas:Sandangan wignyan.png|30px]]<br> ꦃ
| [[Berkas:Sandangan pangkon.png|30px]]<br> ꧀
|-
|
|
| style="text-align
| style="text-align
| style="text-align
|- style="text-align: center"
! kam
! kang
! kar
! kah
! k
|- style="text-align: center"
| ꦏꦀ
| ꦏꦁ
| ꦏꦂ
| ꦏꦃ
| ꦏ꧀
|-
| colspan="6" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | '''Catatan'''
<small>
:{{note|panyangga|1}} umumnya hanya ditemukan dalam salinan lontar Bali untuk menuliskan kata keramat seperti ''[[om|ong]]'' ꦎꦀ
:{{note|pangkon|2}} tidak digunakan untuk suku kata tertutup yang terjadi di tengah kata atau kalimat (lihat [[#Pasangan|pasangan]])
|}
====
''Sandhangan wyanjana'' (ꦱꦤ꧀ꦝꦁꦔꦤ꧀ꦮꦾꦚ꧀ꦗꦤ) digunakan untuk menuliskan gugus konsonan dengan [[semivokal]] dalam satu suku kata, sebagaimana berikut:{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=29-32}}
{| class="wikitable" style="width:40%;"
|+ style="text-align: center;" | ''Sandhangan Wyanjana''
|- style="text-align: center"
!style="width:80px;"| -re
!style="width:80px;"| -y-
!style="width:80px;"| -r-
!style="width:80px;"| -l-
!style="width:80px;"| -w-
|- style="text-align: center"
| [[Berkas:Sandangan keret.png|30px]]<br> ꦽ
| [[Berkas:Sandangan pengkal.png|30px]]<br> ꦾ
| [[Berkas:Sandangan cakra2.png|30px]]<br> ꦿ
| [[Berkas:Sandangan panjingan la.png|30px]]<br> ꧀ꦭ
| [[Berkas:Sandangan gembung wa.png|30px]]<br> ꧀ꦮ
|-
| style="text-align: center" | ''keret''
| style="text-align: center" | ''pengkal''
| style="text-align: center" | ''cakra''
| style="text-align: center" | ''panjingan la''
| style="text-align: center" | ''gembung''
|- style="text-align: center"
! kre
! kya
! kra
! kla
! kwa
|- style="text-align: center"
| ꦏꦽ
| ꦏꦾ
| ꦏꦿ
| ꦏ꧀ꦭ
| ꦏ꧀ꦮ
|}
=== Pasangan ===
Vokal inheren dari tiap aksara dasar dapat dimatikan dengan penggunaan diaktrik ''pangkon''. Akan tetapi, ''pangkon'' normalnya tidak digunakan di tengah kata atau kalimat, sehingga untuk menuliskan suku kata tertutup di tengah kata dan kalimat, digunakanlah bentuk ''pasangan'' (ꦥꦱꦔꦤ꧀). Berbeda dengan ''pangkon'', ''pasangan'' tidak hanya mematikan konsonan yang diiringinya tetapi juga menunjukkan konsonan selanjutnya. Sebagai contoh, aksara ''ma'' (ꦩ) yang diiringi bentuk ''pasangan'' dari ''pa'' (꧀ꦥ) menjadi ''mpa'' (ꦩ꧀ꦥ). Bentuk ''pasangan'' setiap aksara ada di tabel berikut:{{sfn|Everson|2008|pp=2}}
{| class="wikitable"
|
|-style="text-align:center;"
! colspan="2"|
! ha/a
! na
! ca
! ra
! ka
! da
! ta
! sa
! wa
! la
! pa
! dha
! ja
! ya
! nya
! ma
! ga
! ba
! tha
! nga
|- style="length:20%; height: 4em;"
! rowspan="2" style="width:10%; text-align:center;" |Nglegena
! align="center" | Aksara
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ha.png|30px]]<br>ꦲ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena na.png|30px]]<br>ꦤ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ca.png|30px]]<br>ꦕ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ra.png|30px]]<br>ꦫ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ka.png|30px]]<br>ꦏ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena da.png|30px]]<br>ꦢ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ta.png|30px]]<br>ꦠ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena sa.png|30px]]<br>ꦱ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena wa.png|30px]]<br>ꦮ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena la.png|30px]]<br>ꦭ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena pa.png|30px]]<br>ꦥ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda da.png|30px]]<br>ꦝ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ja.png|30px]]<br>ꦗ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ya.png|30px]]<br>ꦪ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena nya.png|30px]]<br>ꦚ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ma.png|30px]]<br>ꦩ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ga.png|30px]]<br>ꦒ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena ba.png|30px]]<br>ꦧ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena tha.png|30px]]<br>ꦛ
| align="center" |[[Berkas:Nglegena nga.png|30px]]<br>ꦔ
|-
! align="center" | Pasangan
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ha.png|30px]]<br> ꧀ꦲ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena na.png|30px]]<br> ꧀ꦤ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ca.png|30px]]<br> ꧀ꦕ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ra.png|30px]]<br> ꧀ꦫ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ka.png|30px]]<br> ꧀ꦏ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena da.png|30px]]<br> ꧀ꦢ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ta.png|30px]]<br> ꧀ꦠ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena sa.png|30px]]<br> ꧀ꦱ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena wa.png|30px]]<br> ꧀ꦮ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena la.png|30px]]<br> ꧀ꦭ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena pa.png|30px]]<br> ꧀ꦥ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena dha.png|30px]]<br> ꧀ꦝ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ja.png|30px]]<br> ꧀ꦗ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ya.png|30px]]<br> ꧀ꦪ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena nya.png|30px]]<br> ꧀ꦚ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ma.png|30px]]<br> ꧀ꦩ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ga.png|30px]]<br> ꧀ꦒ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena ba.png|30px]]<br> ꧀ꦧ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena tha.png|30px]]<br> ꧀ꦛ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan nglegena nga.png|30px]]<br> ꧀ꦔ
|- style="length:20%; height: 4em;"
! rowspan="2" style="width:10%; text-align:center;" |Murda
! align="center" |Aksara
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda na.png|30px]]<br>ꦟ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ca.png|30px]]<br>ꦖ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height ra agung.png|30px]]<br>ꦬ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ka.png|30px]]<br>ꦑ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ta.png|30px]]<br>ꦡ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda sa.png|30px]]<br>ꦯ
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda pa.png|30px]]<br>ꦦ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Murda nya.png|30px]]<br>ꦘ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ga.png|30px]]<br>ꦒ
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Murda ba.png|30px]]<br>ꦨ
!
!
|-
| align="center" |[[Berkas:Pasangan
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda ca.png|30px]]<br> ꧀ꦖ{{
| align="center" |[[Berkas:Pasangan
| align="center" |[[Berkas:Pasangan
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda ta.png|30px]]<br> ꧀ꦡ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda sa.png|30px]]<br> ꧀ꦯ
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda pa.png|30px]]<br> ꧀ꦦ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda nya.png|30px]]<br> ꧀ꦘ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda ga.png|30px]]<br> ꧀ꦓ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda ba.png|30px]]<br> ꧀ꦨ
!
!
|- style="length:20%; height: 4em;"
! rowspan="2" style="width:10%; text-align:center;" |Mahaprana
! align="center" | Aksara
! align="center" |
! align="center" |
!
! align="center" |
!
| align="center" |[[Berkas:Nglegena dha.png|30px]]<br>ꦣ
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Mahaprana sa.png|30px]]<br>ꦰ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Mahaprana dha.png|30px]]<br>ꦞ
| align="center" |[[Berkas:Mahaprana ja.png|30px]]<br>ꦙ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Uniform height Mahaprana tha.png|30px]]<br> ꦜ
! align="center" |
|-
! align="center" | Pasangan
! align="center" |
! align="center" |
!
! align="center" |
!
| align="center" |[[Berkas:Pasangan murda da.png|30px]]<br> ꧀ꦣ
!
| align="center" |[[Berkas:Pasangan mahaprana sa.png|30px]]<br> ꧀ꦰ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Pasangan mahaprana dha.png|30px]]<br> ꧀ꦞ
| align="center" |[[Berkas:Pasangan mahaprana ja.png|30px]]<br> ꧀ꦙ
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |[[Berkas:Pasangan mahaprana tha.png|30px]]<br>꧀ꦜ
! align="center" |
|-
| colspan="23" style="
<small>
: tanda bulat (◌) pada karakter bukanlah bagian dari ''pasangan'', tetapi mengindikasikan posisi aksara yang diiringinya
:{{note|1|1}} kerap digunakan sebagai bagian dari [[#Pepadan|''pepadan'']] yang tidak memiliki fungsi fonetis
:{{note|2|2}} pasangan dalam tabel ini merupakan bentuk yang digunakan dalam penulisan Jawa modern. Beberapa aksara memiliki bentuk pasangan yang berbeda dalam penulisan Sanskerta-Kawi
</small>
|}
Contoh pemakaian pasangan dapat dilihat sebagaimana berikut:
{| class="wikitable" summary="reordering"
|-
! colspan=10 scope="col" | komponen
! scope="col" | penulisan
! align="center" | keterangan
|- align="center"
| [[Berkas:Nglegena ha.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Nglegena ka.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Sandangan pangkon.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Nglegena sa.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Nglegena ra.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;" | =
| [[Berkas:Kata aksara.png|80px|link=|alt=aksara]]
| align="left"| a + (ka + (pangkon + sa)) + ra → a + (ka + (pasangan sa)) + ra = a(ksa)ra
|- align="center"
| [[Berkas:Nglegena ka.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Nglegena na.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Sandangan pangkon.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:Nglegena tha.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;border-right:#aaaaaa hidden;" | +
| [[Berkas:sandangan wulu.png|30px]]
| style="border-left:#aaaaaa hidden;" | =
| [[Berkas:Kata kanthi.png|40px|link=|alt=aksara]]
| align="left"| ka + (na + (pangkon + tha) + -i) → ka + (na + (pasangan tha) + -i) = ka(nthi)
|}
===
Aksara Jawa memiliki lambang bilangannya sendiri yang berlaku selayaknya [[angka Arab]], tetapi sebagian bentuknya memiliki rupa yang persis sama dengan beberapa aksara Jawa, semisal angka 1 ꧑ dengan aksara ''wyanjana'' ga ꦒ, atau angka 8 ꧘ dengan aksara ''murda'' pa ꦦ. Karena persamaan bentuk ini, angka yang digunakan di tengah kalimat perlu diapit dengan tanda baca ''pada pangkat'' atau ''pada lingsa'' untuk memperjelas fungsinya sebagai lambang bilangan. Semisal, "tanggal 17 Juni" ditulis ꦠꦁꦒꦭ꧀꧇꧑꧗꧇ꦗꦸꦤꦶ atau ꦠꦁꦒꦭ꧀꧈꧑꧗꧈ꦗꦸꦤꦶ. Pengapit ini dapat diabaikan apabila fungsi lambang bilangan sudah jelas dari konteks, misal nomor halaman di pojok kertas. Bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{sfn|Everson|2008|pp=4}}{{sfn|Darusuprapta|2002|pp=44-45}}
{| class="wikitable" style="width:40%;"
|+ style="text-align: center;" |Angka
|- style="text-align: center"
! 0
! 1
! 2
! 3
! 4
! 5
! 6
! 7
! 8
! 9
|- style="text-align: center"
| [[Berkas:Angka 0.png|30px]]<br>꧐
| [[Berkas:Angka 1.png|30px]]<br>꧑
| [[Berkas:Angka 2.png|30px]]<br>꧒
| [[Berkas:Angka 3.png|30px]]<br>꧓
| [[Berkas:Angka 4.png|30px]]<br>꧔
| [[Berkas:Angka 5.png|30px]]<br>꧕
| [[Berkas:Angka 6.png|30px]]<br>꧖
| [[Berkas:Angka 7.png|30px]]<br>꧗
| [[Berkas:Angka 8.png|30px]]<br>꧘
| [[Berkas:Angka 9.png|30px]]<br>꧙
|}
=== Tanda baca ===
Teks tradisional Jawa ditulis tanpa spasi antarkata (''[[scriptio continua]]'') dan memiliki sejumlah tanda baca yang disebut ''pada'' (ꦥꦢ).
Sebagai pemisah antar kalimat, aksara Jawa menggunakan pada lungsi (꧉) apabila suku kata terakhir terbuka (tidak ada pangkon), tetapi menggunakan pada lingsa (꧈) apabila suku kata terakhir tertutup (menggunakan pangkon). Sebaliknya, sebagai pemisah antar anak kalimat, aksara Jawa menggunakan pada lingsa (꧈) apabila suku kata terakhir tertutup, tetapi menggunakan pemisah spasi apabila suku kata terakhir terbuka. Peraturan penulisan ini berbeda dengan penggunaan titik dan koma pada penulisan Latin, dan tidak jarang tidak dipahami dengan baik oleh pengguna aksara Jawa.
Selain itu, dalam aksara Jawa tidak memiliki padanan untuk tanda baca [[tanda tanya]], [[tanda seru]], [[tanda hubung]], simbol-simbol matematika (termasuk [[garis miring]]), dan [[titik koma]]. Oleh karena itu<!--terkait tanda tanya dan tanda seru-->, suatu kalimat yang ditulis dalam aksara Jawa dapat diketahui sebagai kalimat interogatif (tanya) atau imperatif (perintah) dari konteksnya saja.
Berbagai bentuk pada sebagaimana berikut:
{| class="wikitable" style="width:80%;"
|+ style="text-align: center;" | ''Pada''
|-style="text-align: center"
! rowspan=2|''lingsa''
! rowspan=2|''lungsi''
! rowspan=2|''adeg''
! rowspan=2|''adeg-adeg''
! rowspan=2|''pisèlèh''
! rowspan=2|''rerenggan''
! rowspan=2|''pangkat''
! rowspan=2|''rangkap''
! colspan=5| surat
! colspan=2| koreksi
|-
!''andhap''
!''madya''
!''luhur''
!''guru''
!''pancak''
!''tirta tumètès''
!''isèn-isèn''
|-style="text-align: center"
| [[Berkas:pada lingsa1.png|15px]]<br>꧈
| [[Berkas:pada lungsi1.png|15px]]<br>꧉
| [[Berkas:pada adeg2.png|15px]]<br>꧊
| [[Berkas:pada adeg-adeg.png|15px]]<br>꧋
| [[Berkas:pada piseleh kiri kanan.png|30px]]<br>꧌...꧍
| [[Berkas:Pada rerenggan kiri kanan.png|55px]]<br>꧁...꧂
| [[Berkas:pada pangkat1.png|12px]]<br>꧇
| [[Berkas:pada rangkep.png|15px]]<br>ꧏ
| [[Berkas:pada surat andhap.png|40px]]<br>꧃
| [[Berkas:pada surat madya.png|40px]]<br>꧄
| [[Berkas:pada surat luhur.png|40px]]<br>꧅
| [[Berkas:pada guru1.png|32px]]<br>꧋꧆꧋
| [[Berkas:pada pancak1.png|32px]]<br>꧉꧆꧉
| [[Berkas:Pada tirta tumetes tiga.png|35px]]<br>꧞꧞꧞
| [[Berkas:Pada tirta isen-isen tiga.png|35px]]<br>꧟꧟꧟
|}
Dalam pengajaran modern, tanda baca yang paling sering digunakan adalah ''pada adeg-adeg'', ''pada lingsa'', dan ''pada lungsi'', yang masing-masing berfungsi untuk membuka paragraf (sebagaimana ''[[pillcrow]]''), memisahkan kalimat (sebagaimana [[koma (tanda baca)|koma]]), dan mengakhiri kalimat (sebagaimana [[tanda titik|titik]]). ''Pada adeg'' dan ''pada pisèlèh'' umumnya digunakan untuk mengapit sisipan di tengah teks seperti [[tanda kurung|kurung]] atau [[tanda petik|petik]], sementara ''pada pangkat'' berfungsi seperti [[titik dua]]. ''Pada rangkap'' kadang digunakan sebagai [[iteration mark|tanda pengulangan kata]] yang dalam bahasa Indonesia informal setara dengan penggunaan angka 2 untuk kata [[Reduplikasi|berulang]] (misal ''kata-kata'' ꦏꦠꦏꦠ → ''kata2'' ꦏꦠꧏ).{{sfn|Everson|2008|pp=4-5}}
Beberapa tanda baca tidak memiliki ekivalen dalam ejaan latin dan sering kali bersifat dekoratif, karena itu bentuk dan penggunaannya cenderung bervariasi antarpenulis, semisal ''rerenggan'' yang kadang digunakan untuk mengapit judul. Dalam surat-menyurat, seperangkat tanda baca digunakan di awal surat sebagai tanda pembuka dan kadang digunakan pula sebagai penanda status sosial dari sang pengirim surat; dari ''pada andhap'' yang rendah, ''pada madya'' yang menengah, hingga ''pada luhur'' yang tinggi. ''Pada guru'' kadang digunakan sebagai pilihan netral yang tidak memiliki konotasi sosial, sementara ''pada pancak'' digunakan untuk mengakhiri surat. Namun perlu diperhatikan bahwa bentuk dan fungsi ini merupakan kaidah yang digeneralisasi. Sebagaimana ''rerenggan'', tanda baca pemulai dan pengakhir surat dalam prakteknya bersifat dekoratif dan opsional, dengan beragam susunan bentuk yang bervariasi antara daerah dan juru tulis.{{sfn|Everson|2008|pp=4-5}}
Ketika terjadi kesalahan dalam penulisan naskah, beberapa juru tulis keraton menggunakan tanda koreksi khusus alih-alih mencoret bagian yang salah: ''tirta tumétès'' yang ditemukan di naskah-naskah Yogyakarta, dan ''isèn-isèn'' yang ditemukan di naskah Surakarta. Tanda koreksi ini langsung dibubuhkan mengikuti bagian yang salah sebelum penulis melanjutkan dengan penulisan yang benar. Semisal seorang juru tulis ingin menulis ''pada luhur'' ꦥꦢꦭꦸꦲꦸꦂ namun terlanjur menulis ''pada hu'' ꦥꦢꦲꦸ sebelum ia sadar kesalahannya, maka kata ini dapat dikoreksi menjadi ''pada hu···luhur'' ꦥꦢꦲꦸ꧞꧞꧞ꦭꦸꦲꦸꦂ atau ꦥꦢꦲꦸ꧟꧟꧟ꦭꦸꦲꦸꦂ.{{sfn|Everson|2008|pp=5}}
==== ''Pepadan'' ====
Selain tanda baca biasa, salah satu ciri khas penulis aksara Jawa adalah ''pepadan'' (ꦥꦼꦥꦢꦤ꧀), yakni seperangkat tanda baca penanda sajak yang bentuk dan pengerjaannya sering kali memiliki nilai artisik tinggi. Beberapa bentuknya dapat dilihat sebagaimana berikut:
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | ''Pepadan''
|-
! colspan=2 style="text-align: center"| pada kecil
! colspan=3 style="text-align: center"| pada besar
|-
| style="
| style="text-align: center"|[[Berkas:Pepadan from babad mataram 10r.jpg|210px]]
| style="text-align: center"|[[Berkas:Pepadan from serat jayalengkara 24r.jpg|210px]]
| style="text-align: center"|[[Berkas:Pepadan from serat selarasa 44r.jpg|210px]]
| style="text-align: center"|[[Berkas:Pepadan from jatikusuma 50v.jpg|210px]]
|-
| colspan=2 rowspan=2 style="text-align: center"| [[Berkas:Pada surat luhur.png|40px]]<br>꧅
| colspan=3 rowspan=2 style="text-align: center"| [[Berkas:Pada tembang purwa.png|120px]]<br>꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅
|}
Perangkat tanda baca ''pepadan'' dapat dikenal dengan berbagai nama dalam teks-teks tradisional. Behrend (1996) membagi ''pepadan'' ke dalam dua kelompok umum: ''pada kecil'' yang merupakan tanda baca tunggal, serta ''pada besar'' yang sering kali disusun berderet dari beberapa tanda baca. ''Pada kecil'' digunakan untuk menandakan pergantian [[bait (sastra)|bait]] yang biasanya muncul setiap 32 hingga 48 suku kata tergantung [[metrum]] yang digunakan. ''Pada besar'' digunakan untuk menandakan pergantian [[tembang]] (diikuti pula oleh metrum, [[irama]], dan citra pelantunan) yang biasanya muncul tiap 5 hingga 10 halaman, meski hal ini sangat tergantung dari susunan naskah yang bersangkutan.{{sfn|Behrend|1996|pp=188}} Pedoman penulisan aksara Jawa sering kali membagi pada besar menjadi tiga jenis pada, ''purwa pada'' ꧅ ꦧ꧀ꦖ ꧅ yang digunakan di awal tembang pertama, ''madya pada'' ꧅ ꦟ꧀ꦢꦿ ꧅ yang digunakan di pergantian tembang, dan ''wasana pada'' ꧅ ꦆ ꧅ yang digunakan di penutup tembang terakhir.{{sfn|Everson|2008|pp=4-5}} Namun karena bentuknya yang sangat bervariasi antarnaskah, tiga tanda baca ini sering kali melebur dan dianggap satu dalam praktek penulisan sebagian besar naskah Jawa.{{sfn|Behrend|1996|pp=190}}
''Pepadan'' adalah elemen aksara yang paling menonjol dalam naskah Jawa dan hampir selalu ditulis dengan kemampuan artisik tinggi yang meliputi kaligrafi, pewarnaan, hingga [[penyepuhan]] dengan [[kertas emas]].{{sfn|Behrend|1996|pp=189-190}} Dalam sejumlah naskah mewah, bentuk ''pepadan'' bahkan bisa menjadi petunjuk untuk tembang yang digunakan; ''pepadan'' dengan elemen sayap atau figur burung yang menyerupai gagak (''dhandhang'' dalam bahasa Jawa) merujuk pada tembang ''dhandhanggula'', sementara ''pepadan'' dengan elemen ikan mas merujuk pada tembang ''maskumambang'' (secara harfiah berarti "emas mengambang di air"). Salah satu pusat penulisan naskah dengan gubahan ''pepadan'' yang paling indah adalah [[skriptorium]] [[Kadipaten Pakualaman]] di Yogyakarta.{{sfn|Behrend|1996|pp=190}}<ref>{{cite book|title=Naskah-naskah Skriptorium Pakualaman|first=Sri Ratna|last=Saktimulya|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|place=Jakarta|year=2016|isbn=602424228X}}</ref>
== Pengurutan ==
Aksara Jawa modern umum diurutkan menggunakan deret Hanacaraka yang dinamakan berdasarkan lima aksara pertama dalam deret tersebut.{{efn|Setara dengan kata "alfabet" yang berasal dari nama dua huruf pertama dalam [[alfabet Yunani]] (A-B, alfa-beta) serta kata "abjad" yang berasal dari empat huruf pertama dalam [[abjad Arab]] (ا-ب-ج-د, alif-ba-jim-dal).}} Dalam urutan tersebut, ke-20 aksara dasar yang digunakan dalam bahasa Jawa modern membentuk sebuah [[pangram]] yang sering kali dikaitkan dengan legenda [[Aji Saka]].{{sfn|Robson|2011|pp=13-14}}{{sfn|Rochkyatmo|1996|pp=8-11}}<!--Terdapat pula berbagai versi dan legenda lainnya mengenai asal-usul legendaris hanacaraka, misal pada ''Serat Manik Maya'', asal-usul hanacaraka dikaitkan ke seorang tokoh bernama Empu Sangkaadi.{{sfn|Robson|2011|pp=13-14}}<ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=2W25AAAAIAAJ&q=Javaansch+Leesboek&dq=Javaansch+Leesboek&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjFxsG_7KDpAhVBJHIKHTeWAK4Q6AEIbzAI|title=Javaansch Leesboek: vier verhalen uit de oudere Javaansche letterkunde
|year=1937|publisher=H.J. Paris|place=Amsterdam|first=M|last=Prijohoetomo|page=3, 10}}</ref>--> Asal-usul deret ini tidak diketahui dengan pasti, tetapi deret Hanacaraka diperkirakan telah digunakan oleh masyarakat Jawa setidaknya sejak abad ke-15 ketika ranah Jawa mulai menerima pengaruh Islam yang signifikan.{{sfn|Everson|2008|pp=5-6}}<ref>{{cite journal|last=Ricci|first=Ronit|journal=Itinerario|volume=39|issue=03|date=Desember 2015|publisher=Leiden|doi=10.1017/S0165115315000868|title=Reading a History of Writing: heritage, religion and script change in Java|url=https://www.academia.edu/41523387/Reading_a_History_of_Writing_heritage_religion_and_script_change_in_Java|page=424|access-date=2020-06-18|archive-date=2023-09-28|archive-url=https://web.archive.org/web/20230928054116/https://www.academia.edu/41523387/Reading_a_History_of_Writing_heritage_religion_and_script_change_in_Java|dead-url=no}}</ref> Terdapat berbagai macam tafsiran mengenai makna filosofis dan esoteris yang konon terkandung dalam urutan hanacaraka.{{sfn|Rochkyatmo|1996|pp=35-41}}{{sfn|Rochkyatmo|1996|pp=51-58}}
{| class="wikitable" style="width:80%;"
|+ ''Deret Hanacaraka''
|-style="text-align:center;"
|[[Berkas:Hanacaraka legend 1.png|200px]]
|[[Berkas:Hanacaraka legend 2.png|200px]]
|[[Berkas:Hanacaraka legend 3.png|200px]]
|[[Berkas:Hanacaraka legend 4.png|200px]]
|-
| align=center| {{java|ꦲꦤꦕꦫꦏ}}
| align=center| {{java|ꦢꦠꦱꦮꦭ}}
| align=center| {{java|ꦥꦝꦗꦪꦚ}}
| align=center| {{java|ꦩꦒꦧꦛꦔ}}
|-
| align=center| ''(h)ana caraka''<br>ada dua utusan
| align=center| ''data sawala''<br>yang berselisih pendapat
| align=center| ''padha jayanya''<br>sama kuatnya
| align=center| ''maga bathanga''<br>inilah mayat mereka
|}
Deret hanacaraka bukanlah satu-satunya cara untuk mengurutkan aksara Jawa. Untuk penulisan bahasa [[Sanskerta]] dan [[bahasa Kawi|Kawi]] yang memerlukan 33 aksara dasar, aksara Jawa dapat diurutkan berdasarkan [[fonologi|tempat pelafalannya]] (''warga'') menurut prinsip fonologi Sanskerta yang pertama kali dijabarkan oleh [[Pāṇini]].<ref name="mardikawi"/>{{sfn|Everson|2008|pp=5-6}} Deret ini, yang kadang disebut deret Kaganga berdasarkan tiga aksara pertamanya, merupakan deret standar dalam aksara-aksara turunan [[aksara Brahmi|Brahmi]] yang masih bisa digunakan untuk menulis bahasa Sanskerta, seperti aksara [[Devanagari|Dewanagari]], [[aksara Tamil|Tamil]], dan [[aksara Khmer|Khmer]].
{| class="wikitable" style="width:80%;"
|+ ''Deret Sanskerta (Kaganga)''
|-style="text-align:center;"
! colspan="5"|''Pancawalimukha''
! rowspan=3|[[Semivokal|''Ardhasuara'']]
! rowspan=3|[[Sibilan|''Ūṣma'']]
! rowspan=3|[[Konsonan celah suara|''Wisarga'']]
|-style="text-align:center;"
! [[Konsonan langit-langit belakang|''Kaṇṭya'']]
! [[Konsonan langit-langit|''Tālawya'']]
! [[Konsonan tarik-belakang|''Mūrdhanya'']]
! [[Konsonan gigi|''Dantya'']]
! [[Konsonan bibir|''Oṣṭya'']]
|-style="text-align:center;"
|[[Berkas:Labiaal.svg|95px]]
|[[Berkas:Dentaal.svg|95px]]
|[[Berkas:Retroflex.svg|95px]]
|[[Berkas:Palataal.svg|95px]]
|[[Berkas:Velaar.svg|95px]]
|-
| align=center| {{java|ꦏꦑꦒꦓꦔ}}
| align=center| {{java|ꦕꦖꦗꦙꦚ}}
| align=center| {{java|ꦛꦜꦝꦞꦟ}}
| align=center| {{java|ꦠꦡꦢꦣꦤ}}
| align=center| {{java|ꦥꦦꦧꦨꦩ}}
| align=center| {{java|ꦪꦫꦭꦮ}}
| align=center| {{java|ꦯꦰꦱ}}
| align=center| {{java|ꦲ}}
|-
| align=center| ka kha ga gha nga
| align=center| ca cha ja jha nya
| align=center| ṭa ṭha ḍa ḍha ṇa
| align=center| ta tha da dha na
| align=center| pa pha ba bha ma
| align=center| ya ra la wa
| align=center| śa ṣa sa
| align=center| ha
|}
== Contoh teks ==
Berikut adalah cuplikan ''[[Serat katuranggan kucing|Serat Katuranggan Kucing]]'' yang dicetak pada tahun 1871 dengan bahasa dan ejaan Jawa modern.<ref name="gb">[https://books.google.co.id/books?id=BfRhOG2SfNoC&pg=PP7&hl=id&source=gbs_toc_r&cad=2#v=onepage&q&f=false ''Serat Katoerangganing ning Koetjing'' ({{script/Java|ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦠꦸꦫꦁꦒꦤ꧀ꦤꦶꦁꦏꦸꦠ꧀ꦕꦶꦁ}})], diterbitkan oleh Percetakan GCT Van Dorp & Co di Semarang, tahun 1871. Pindaian Google Books dari koleksi Perpustakaan Nasional Belanda, No 859 B33.</ref>
{| class="wikitable"
|-
! colspan=2 style="text-align: center"| Bahasa Jawa
! rowspan=2 style="text-align: center"| Bahasa Indonesia
|-
! style="text-align: center"| Aksara Jawa
! style="text-align: center"| Latin
|-
| style="text-align
| {{script/Java|꧅ꦭꦩꦸꦤ꧀ꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦲꦮꦏ꧀ꦏꦺꦲꦶꦉꦁꦱꦢꦪ꧈ ꦭꦩ꧀ꦧꦸꦁꦏꦶꦮꦠꦺꦩ꧀ꦧꦺꦴꦁꦥꦸꦠꦶꦃ꧈ ꦊꦏ꧀ꦱꦤꦤ꧀ꦤꦶꦫꦥꦿꦪꦺꦴꦒ꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦮꦸꦭꦤ꧀ꦏꦿꦲꦶꦤꦤ꧀꧈ ꦠꦶꦤꦼꦏꦤꦤ꧀ꦱꦱꦼꦢꦾꦤ꧀ꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦭꦁꦏꦸꦁꦲꦸꦠꦩ꧈ }}
| ''Lamun sira ngingu kucing, awaké ireng sadaya, lambung kiwa tèmbong putih, leksanira prayoga, aran wulan krahinan, tinekanan sasedyanira ipun, yèn bundhel langkung utama''
| Kucing yang berwarna hitam semua tetapi perut sebelah kirinya terdapat tèmbong (bercak) putih disebut wulan krahinan. Kucing ini membawa kebaikan berupa tercapainya semua keinginan. Lebih baik jika ekornya buṇḍel (membulat).
|-
| style="text-align: center" | 8
| {{script/Java|꧅ꦲꦗꦱꦶꦫꦔꦶꦔꦸꦏꦸꦕꦶꦁ꧈ ꦭꦸꦫꦶꦏ꧀ꦲꦶꦉꦁꦧꦸꦤ꧀ꦠꦸꦠ꧀ꦥꦚ꧀ꦗꦁ꧈ ꦥꦸꦤꦶꦏꦲꦮꦺꦴꦤ꧀ꦭꦩꦠ꧀ꦠꦺ꧈ ꦱꦼꦏꦼꦭꦤ꧀ꦱꦿꦶꦁꦠꦸꦏꦂꦫꦤ꧀꧈ ꦲꦫꦤ꧀ꦝꦣꦁꦱꦸꦁꦏꦮ꧈ ꦥꦤ꧀ꦲꦢꦺꦴꦃꦫꦶꦗꦼꦏꦶꦤꦶꦥꦸꦤ꧀꧈ ꦪꦺꦤ꧀ꦧꦸꦟ꧀ꦝꦼꦭ꧀ꦤꦺꦴꦫꦔꦥꦲ꧈}}
| ''Aja sira ngingu kucing, lurik ireng buntut panjang, punika awon lamaté, sekelan sring tukaran, aran dhadhang sungkawa, pan adoh rijeki nipun, yèn bundhel nora ngapa''
| Kucing dengan bulu lurik hitam berekor panjang jangan dipelihara. Kucing itu disebut dhadhang sungkawa. Kehidupanmu akan sering bertengkar dan jauh dari rizki. Apabila ekornya buṇḍel, maka tidak masalah.
|}
Berikut adalah cuplikan dari ''[[Kakawin Ramayana|Kakawin Rāmāyaṇa]]'' yang dicetak pada tahun 1900 dengan bahasa dan ejaan Kawi.<ref>{{cite book|first=Hendrik|last=Kern|year=1900|title=Rāmāyaṇa Kakawin. Oudjavaansch heldendicht|place=’s Gravenhage|publisher=Martinus Nijhoff}}</ref><ref>{{cite book|last=Santoso|first=Soewito|year=1980|url=https://archive.org/details/RamayanaKakawinVol.2/page/n111/mode/2up|title=Rāmāyaṇa Kakawin|volume=II|p=398|publisher=International Academy of Indian Culture|location=New Delhi}}</ref>
{| class="wikitable
|-
! rowspan=2 style="text-align: center"| Pada
! colspan=2 style="text-align: center"| Bahasa Jawa
! rowspan=2 style="text-align: center"| Bahasa Indonesia
|-
! style="text-align: center"| Aksara Jawa
! style="text-align: center"| Latin
|-
| style="text-align
| {{script/Java|꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉}}
| ''Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwekang sari kadi jalada.''
| Air jernih telaga bagaikan langit, seekor kura-kura mengambang di dalamnya bagai bulan, bintangnya adalah bunga-bunga yang bertebaran, menyebarkan sarinya bagaikan awan.
|}
== Perbandingan dengan aksara Bali ==
Kerabat paling dekat dari aksara Jawa adalah [[aksara Bali]]. Sebagai keturunan langsung [[aksara Kawi]], aksara Jawa dan Bali masih memiliki banyak kesamaan dari segi struktur dasar masing-masing huruf. Salah satu perbedaan mencolok antara aksara Jawa dan Bali adalah sistem tata tulis; Tata tulis Bali cenderung bersifat konservatif dan mempertahankan banyak aspek dari ejaan Kawi yang tidak lagi digunakan dalam aksara Jawa. Sebagai contoh, kata ''desa'' dalam aksara Jawa kini ditulis ꦢꦺꦱ. Dalam tata tulis Bali kontemporer, ejaan ini dianggap sebagai ejaan kasar atau kurang tepat, karena ''desa'' adalah kosakata serapan Sanskerta yang seharusnya dieja sesuai pengucapan Sanskerta aslinya: ''deśa'' ꦢꦺꦯ, menggunakan aksara sa ''murda'' alih-alih aksara sa ''nglegena''. Seperti bahasa Jawa, [[bahasa Bali]] juga tidak lagi membedakan pelafalan seluruh aksara dalam deret Sanskerta-Kawi, termasuk antara sa ''nglegena'' dan sa ''murda'', tetapi ejaan asli selalu dipertahankan kapan pun memungkinkan. Salah satu alasannya agar sejumlah kata serapan dari bahasa Sanskerta-Kawi [[homofon|yang bunyinya sama]] dalam bahasa Bali dapat tetap dibedakan dalam tulisan, misal antara kata ''pada'' (ꦥꦢ, tanah/bumi), ''pāda'' (ꦥꦴꦢ, kaki), dan ''padha'' (ꦥꦣ, sama), serta antara kata ''asta'' (ꦲꦱ꧀ꦠ, adalah), ''astha'' (ꦲꦱ꧀ꦡ, tulang), dan ''aṣṭa'' (ꦄꦰ꧀ꦛ, delapan).<ref>{{cite book|last=Tinggen|first=I Nengah|year=1993|title=Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali|place=Singaraja|publisher=UD. Rikha|page=7}}</ref><ref>{{cite book|last=Medra|first=I Nengah|title=Pedoman Pasang Aksara Bali|place=Denpasar|publisher=Dinas Kebudayaan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali|year=1998|url=http://www.babadbali.com/aksarabali/books/tobacaan.htm|page=44|access-date=2020-05-21|archive-date=2023-09-28|archive-url=https://web.archive.org/web/20230928054059/http://www.babadbali.com/aksarabali/books/tobacaan.htm|dead-url=no}}</ref><ref>{{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=fqRkAAAAMAAJ&dq=kamus+inggris+bali+indonesia&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwjUuJ3l66XpAhVIbSsKHYplDocQ6AEIKzAA|title=Kamus Inggris, Bali, Indonesia|first=I Gusti Made |last=Sutjaja|year=2006|publisher=Lotus Widya Suari bekerjasama dengan Penerbit Univ. Udayana|isbn=9798286855}}</ref>
Perbandingan bentuk kedua aksara tersebut dapat dilihat sebagaimana berikut:
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | Aksara Dasar (konsonan)
|-style="text-align:center;"
!
! ka
! kha
! ga
! gha
! nga
! ca
! cha
! ja
! jha
! nya
! ṭa
! ṭha
! ḍa
! ḍha
! ṇa
! ta
! tha
! da
! dha
! na
! pa
! pha
! ba
! bha
! ma
! ya
! ra
! la
! wa
! śa
! ṣa
! sa
! ha/a
|-
! text-align:center;" |Jawa
| align=center| ꦏ
| align=center| ꦑ
| align=center| ꦒ
| align=center| ꦓ
| align=center| ꦔ
| align=center| ꦕ
| align=center| ꦖ
| align=center| ꦗ
| align=center| ꦙ
| align=center| ꦚ
| align=center| ꦛ
| align=center| ꦜ
| align=center| ꦝ
| align=center| ꦞ
| align=center| ꦟ
| align=center| ꦠ
| align=center| ꦡ
| align=center| ꦢ
| align=center| ꦣ
| align=center| ꦤ
| align=center| ꦥ
| align=center| ꦦ
| align=center| ꦧ
| align=center| ꦨ
| align=center| ꦩ
| align=center| ꦪ
| align=center| ꦫ
| align=center| ꦭ
| align=center| ꦮ
| align=center| ꦯ
| align=center| ꦰ
| align=center| ꦱ
| align=center| ꦲ
|-
! text-align:center;" |Bali
| align=center| {{script/Bali|ᬓ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬔ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬕ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬖ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬗ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬘ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬙ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬚ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬛ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬜ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬝ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬞ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬟ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬠ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬡ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬢ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬣ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬤ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬥ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬦ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬧ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬨ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬩ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬪ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬫ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬬ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬭ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬮ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬯ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬰ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬱ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬲ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬳ}}
|}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | Aksara Dasar (vokal)
|-style="text-align:center;"
!
! a
! ā
! i
! ī
! u
! ū
! ṛ
! ṝ
! ḷ
! ḹ
! é{{ref label|1|1}}
! ai{{ref label|2|2}}
! o
! au{{ref label|3|3}}
|-
|
| align=center| ꦄꦴ
| align=center| ꦅ
| align=center| ꦆ
| align=center| ꦈ
| align=center| ꦈꦴ
| align=center| ꦉ
| align=center| ꦉꦴ
| align=center| ꦊ
| align=center| ꦋ
| align=center| ꦌ
| align=center| ꦍ
| align=center| ꦎ
| align=center| ꦎꦴ
|-
| align=center|
| align=center
| align=center| {{script/Bali|ᬇ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬈ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬉ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬊ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬋ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬌ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬍ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬎ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬏ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬐ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬑ}}
| align=center| {{script/Bali|ᬒ}}
|-
| colspan="34" style="background:#F8F8F8;font-size:small;text-align:left" | '''Catatan'''
<small>
:{{note|1|1}}/e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
:{{note|2|2}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
:{{note|3|3}} [[diftong]] /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
</small>
|}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | Diakritik
|- style="text-align: center"
!
! -a
! -ā
! -i
! -ī
! -u
! -ū
! -ṛ
! -ṝ
! -é{{ref label|1|1}}
! -ai{{ref label|2|2}}
! -o
! -au{{ref label|3|3}}
! -e{{ref label|4|4}}
! -eu{{ref label|5|5}}
! -m
! -ng
! -r
! -h
! pemati
|- style="text-align: center"
! Jawa
| -
| ꦴ
| ꦶ
| ꦷ
| ꦸ
| ꦹ
| ꦽ
| ꦽꦴ
| ꦺ
| ꦻ
| ꦺꦴ
| ꦻꦴ
| ꦼ
| ꦼꦴ
| ꦀ
| ꦁ
| ꦂ
| ꦃ
| ꧀
|- style="text-align: center"
! Bali
| -
|{{script/Bali| ᬵ}}
|{{script/Bali| ᬶ}}
|{{script/Bali| ᬷ}}
|{{script/Bali| ᬸ}}
|{{script/Bali| ᬹ}}
|{{script/Bali| ᬺ}}
|{{script/Bali| ᬻ}}
|{{script/Bali| ᬾ}}
|{{script/Bali| ᬿ}}
|{{script/Bali| ᭀ}}
|{{script/Bali| ᭁ}}
|{{script/Bali| ᭂ}}
|{{script/Bali| ᭃ}}
|{{script/Bali| ᬁ}}
|{{script/Bali| ᬂ}}
|{{script/Bali| ᬃ}}
|{{script/Bali| ᬄ}}
|{{script/Bali| ᭄}}
|- style="text-align: center"
!
! ka
! kā
! ki
! kī
! ku
! kū
! kṛ
! kṝ
! ké
! kai
! ko
! kau
! ke
! keu
! kam
! kang
! kar
! kah
! k
|- style="text-align: center"
! Jawa
| ꦏ
| ꦏꦴ
| ꦏꦶ
| ꦏꦷ
| ꦏꦸ
| ꦏꦹ
| ꦏꦽ
| ꦏꦽꦴ
| ꦏꦺ
| ꦏꦻ
| ꦏꦺꦴ
| ꦭꦻꦴ
| ꦏꦼ
| ꦏꦼꦴ
| ꦏꦀ
| ꦏꦁ
| ꦏꦂ
| ꦏꦃ
| ꦏ꧀
|- style="text-align: center"
! Bali
| {{script/Bali|ᬓ}}
| {{script/Bali|ᬓᬵ}}
| {{script/Bali|ᬓᬶ}}
| {{script/Bali|ᬓᬷ}}
| {{script/Bali|ᬓᬸ}}
| {{script/Bali|ᬓᬹ}}
| {{script/Bali|ᬓᬺ}}
| {{script/Bali|ᬓᬻ}}
| {{script/Bali|ᬓᬾ}}
| {{script/Bali|ᬓᬿ}}
| {{script/Bali|ᬓᭀ}}
| {{script/Bali|ᬓᭁ}}
| {{script/Bali|ᬓᭂ}}
| {{script/Bali|ᬓᭃ}}
| {{script/Bali|ᬓᬁ}}
| {{script/Bali|ᬓᬂ}}
| {{script/Bali|ᬓᬃ}}
| {{script/Bali|ᬓᬄ}}
| {{script/Bali|ᬓ᭄}}
|-
| colspan="
<small>
:{{note|1|1}} /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
:{{note|2|2}} [[diftong]] /aj/ sebagaimana ai dalam kata "sungai"
:{{note|3|3}} [[diftong]] /aw/ sebagaimana au dalam kata "pantau"
:{{note|4|4}} /ə/ sebagaimana e dalam kata "empat"
:{{note|5|5}} /ɨ/ sebagaimana eu dalam kata bahasa Sunda "peyeum". Dalam alih aksara bahasa Kawi, diromanisasi menjadi ö<ref name="mardikawi"/>
</small>
|}
{| class="wikitable" style="width:40%;"
|+ style="text-align: center;" | Angka
|- style="text-align: center"
!
! 0
! 1
! 2
! 3
! 4
! 5
! 6
! 7
! 8
! 9
|- style="text-align: center"
! Jawa
| ꧐
| ꧑
| ꧒
| ꧓
| ꧔
| ꧕
| ꧖
| ꧗
| ꧘
| ꧙
|- style="text-align: center"
! Bali
| {{script/Bali|᭐}}
| {{script/Bali|᭑}}
| {{script/Bali|᭒}}
| {{script/Bali|᭓}}
| {{script/Bali|᭔}}
| {{script/Bali|᭕}}
| {{script/Bali|᭖}}
| {{script/Bali|᭗}}
| {{script/Bali|᭘}}
| {{script/Bali|᭙}}
|}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | Tanda Baca
|-
!''pada lingsa''
!''pada adeg-adeg''
!''pada luhur''
|-
|
|
| style="text-align: center" | ꧇
| style="text-align: center" | ꧋
| style="text-align: center" | ꧅
|-
!''carik siki''
!''carik parérén''
!''carik pamungkah''
!''panti''
!''pamada''
|-
| style="text-align: center" | {{script/Bali|᭞}}
| style="text-align: center" | {{script/Bali|᭟}}
|
| style="text-align: center" | {{script/Bali|᭚}}
| style="text-align: center" | {{script/Bali|᭛}}
|}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | Contoh Kalimat (bahasa Kawi)
|-
! style="text-align: center"| Jawa
| {{script/Java|꧅ꦗꦲ꧀ꦤꦷꦪꦴꦲ꧀ꦤꦶꦁꦠꦭꦒꦏꦢꦶꦭꦔꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦩ꧀ꦧꦁꦠꦁꦥꦴꦱ꧀ꦮꦸꦭꦤꦸꦥꦩꦤꦶꦏꦴ꧈ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦁꦠꦸꦭꦾꦁꦏꦸꦱꦸꦩꦪꦱꦸꦩꦮꦸꦫ꧀꧈ ꦭꦸꦩꦿꦴꦥ꧀ꦮꦺꦏꦁꦱꦫꦶꦏꦢꦶꦗꦭꦢ꧉}}
|-
! style="text-align: center"| Bali
| {{script/Bali|᭛ᬚᬳ᭄ᬦᬷᬬᬵᬳ᭄ᬦᬶᬂᬢᬮᬕᬓᬤᬶᬮᬗᬶᬢ᭄᭞ ᬫᬫ᭄ᬩᬂᬢᬂᬧᬵᬲ᭄ᬯᬸᬮᬦᬸᬧᬫᬦᬶᬓᬵ᭞ ᬯᬶᬦ᭄ᬢᬂᬢᬸᬮ᭄ᬬᬂᬓᬸᬲᬸᬫᬬᬲᬸᬫᬯᬳᬸᬭ᭄᭞ ᬮᬸᬫ᭄ᬭᬧ᭄ᬯᬾᬓᬂᬲᬭᬶᬓᬤᬶᬚᬮᬤ᭟}}
|-
! style="text-align: center"|
| ''Jahnī yāhning talaga kadi langit, mambang tang pās wulan upamanikā, wintang tulya ng kusuma ya sumawur, lumrā pwékang sari kadi jalada.''<br>(Kakawin Rāmāyaṇa XVI.31)
|}
== Penggunaan dalam bahasa Madura ==
Aksara Jawa di dalam [[bahasa Madura]] disebut ''Carakan Madhurâ'' atau ''Carakan Jhâbân'' (aksara yang berasal dari Jawa). Apabila dalam penggunaan bahasa Jawa tiap aksara dapat merepresentasikan suara /a/ atau /ɔ/, maka dalam bahasa Madura mewakili suara /a/ atau /ɤ/. Bentuk ''carakan Madhurâ'' sendiri terdiri dari ''aksara ghâjâng'' (''aksara nglegena''), ''aksara rajâ'' atau ''murdâ'' (''aksara murda''), ''aksara sowara'' atau ''swara'' (''aksara swara''), dan ''aksara rèka'an'' (''aksara rékan''). Terdapat pula ''pangangghuy'' (''sandhangan'') yang terdiri dari ''pangangguy aksara'' (''sandhangan swara''), ''pangangghuy panyèghek'' (''sandhangan panyigeging wanda''), dan ''pangangghuy panambâ'' (''sandhangan wyanjana'').<ref name="sekkaranomi">{{Cite book|last=Hamzah|first=Bambang Hartono|last2=Sayunani|first2=Isya|last3=Gani|first3=Abdul|first4=Rusliy|last5=Dradjid|first5=H.M.|first6=Zaini|date=2014|title=Sekkar Anom I|publisher=Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur|editor-last=Ghazali|editor-first=A. Syukur|pages=148|language=Madura|editor-last2=Poerno|editor-first2=Heru Asri|url-status=live}}</ref><ref>{{Cite book|last=Sukardi|first=A.|date=2005|url=|title=Kasustraan Madura Kembang Sataman|location=Jember|publisher=Dinas Pendidikan Kabupaten Jember|isbn=|edition=2|pages=|language=Madura|url-status=live}}</ref>{{sfn|Kiliaan|1897|p=89}}<ref>{{Cite book|last=Wedhawati|first=|date=2001|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/16353/|title=Tata Bahasa Jawa Mutakhir|location=Jakarta|publisher=Pusat Bahasa|isbn=9796851415|pages=39-40|access-date=2021-02-15|archive-date=2023-04-17|archive-url=https://web.archive.org/web/20230417083014/https://repositori.kemdikbud.go.id/16353/|dead-url=no}}</ref><ref>{{Cite book|last=Davies|first=William D.|date=2010|url=https://books.google.com/books?id=mflajowwD5oC&pg=PA53|title=A Grammar of Madurese|location=Berlin|publisher=Walter de Gruyter|lang=en|isbn=9783110224443|page=53}}</ref>
===
Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa Jawa. Meski demikian, dalam bahasa Madura tidak terdapat perbedaan penggunaan konsonan aspirat dan tanaspirat.{{sfn|Kiliaan|1897}}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | ''Aksara Ghâjâng'' (''Aksara Nglegena'')
|- style="text-align: center;"
!
! ha
! na
! ca
! ra
! ka
! da
! dha
! ta
! sa
! wa
! la
! pa
! ḍa
! ḍha
! ja
! jha
! ya
! nya
! ma
! ga
! gha
! ba
! bha
! tha
! nga
|- style="text-align: center"
! Jawa
| ꦲ
| ꦤ
| ꦕ
| ꦫ
| ꦏ
| ꦢ
| ꦣ
| ꦠ
| ꦱ
| ꦮ
| ꦭ
| ꦥ
| ꦝ
| ꦞ
| ꦗ
| ꦙ
| ꦪ
| ꦚ
| ꦩ
| ꦒ
| ꦓ
| ꦧ
| ꦨ
| ꦛ
| ꦔ
|- style="text-align: center"
!
! ha
! na
! ca
! ra
! ka
! da/dha
!
! ta
! sa
! wa
! la
! pa
! ḍa/ḍha
!
! ja/jha
!
! ya
! nya
! ma
! ga/gha
!
! ba/bha
!
! tha
! nga
|- style="text-align: center"
! Madura
| ꦲ
| ꦤ
| ꦕ
| ꦫ
| ꦏ
| ꦢ
!
| ꦠ
| ꦱ
| ꦮ
| ꦛ
| ꦥ
| ꦝ
!
| ꦗ
!
| ꦪ
| ꦚ
| ꦩ
| ꦒ
!
| ꦧ
!
| ꦛ
| ꦔ
|}
''Aksara rèka'an'' dalam bahasa Madura yang diajarkan di sekolah-sekolah hanya ada lima buah, sedangkan dalam ''Madoereesche Spraakkunst'' dan ''Sorat tjarakan Madurah'' berturut-turut terdapat tujuh dan sembilan buah:<ref>{{Cite book|last=Hamzah|first=Bambang Hartono|last2=Sayunani|first2=Isya|last3=Gani|first3=Abdul|first4=Zaini|first5=Rusliy|last6=Dradjid|first6=H.M.|date=2015|title=Sekkar Anom 2|location=Surabaya|publisher=Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur|pages=155|language=Madura|url-status=live}}</ref>{{sfn|Kiliaan|1897|p=97}}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | ''Aksara Rèka'an'' (''Aksara Rékan'')
!
! ha
! kha
! dza
! fa/va
! za
! gha
! 'a
! ta
! sya
! la
|- style="text-align: center"
! Aksara Jawa
| ꦲ꦳
| ꦏ꦳
| ꦢ꦳
| ꦥ꦳
| ꦗ꦳
| ꦒ꦳
| ꦔ꦳
| ꦠ꦳
| ꦯ꦳
| ꦭ꦳
|- style="text-align: center"
! Abjad Arab
| ح
| خ
| ذ
| ف
| ز
| غ
| ع
| ط
| ش
| ل
|- style="text-align: center"
! Bahasa Belanda
| ''h''
| ''ch''
!
| ''f/v''
!
| ''g''
!
!
!
!
|- style="text-align: center"
! Contoh
| ꦲ꦳ꦺꦴꦏꦺꦴꦩ꧀
| ꦲꦏ꦳ꦺꦫꦠ꧀
| ꦢ꦳ꦶꦏ꧀ꦏꦺꦂ
| ꦭꦥ꦳ꦭ꧀
| ꦗ꦳ꦏꦠ꧀
| ꦒ꦳ꦲꦶꦧ꧀
| ꦔ꦳ꦏꦺꦫꦠ꧀
| ꦠ꦳ꦫꦺꦏ꧀
| ꦯ꦳ꦫꦠ꧀
| ꦭ꦳ꦲꦶꦧ꧀
|- style="text-align: center"
! Transliterasi
| ''hokom''
| ''akhèrat''
| ''dzikkèr''
| ''lafal''
| ''zâkat''
| ''ghaib''
| ''{{`}}akèrat''
| ''tarèk''
| ''syarat''
| ''laib''
|}
Perbedaan lainnya yaitu penggunaan ''wignyan'' yang dalam bahasa Jawa berfungsi sebagai akhiran ''-h'', sedangkan dalam bahasa Madura menjadi akhiran ''-{{`}}'' seperti pada tabel berikut:<ref name="sekkaranomi" /><ref>{{Cite book|last=Ashadi|first=Moh. Makhfud|last2=al Farouk|first2=Ghazi|date=1992|title=Kosa Kata Basa Madura|location=Surabaya|publisher=Sarana Ilmu|language=Madura|url-status=live}}</ref>
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" | ''Pangangghuy'' (''Sandhangan'')
! colspan="5" | ''Pangangghuy aksara''
! colspan="4" | ''Pangangghuy panyèghek''
! colspan="5" | ''Pangangghuy panambâ''
|- style="text-align: center"
! i
! è
! o
! u
! e
! -ng
! -r
! -'
! pemati
! -r-
! -re
! -y-
! -l-
! -w-
|- style="text-align: center"
| ꦶ
| ꦺ
| ꦺꦴ
| ꦸ
| ꦼ
| ꦁ
| ꦂ
| ꦃ
| ꧀
| ꦿ
| ꦽ
| ꦾ
| ꧀ꦭ
| ꧀ꦮ
|- style="text-align: center"
| ''cèthak''
| ''lèngè''
| ''lèngè-longo''
| ''soko''
| ''petpet''
| ''cekcek''
| ''lajâr''
| ''bisat''
| ''papatèn''
| ''pèḍer''
| ''perper''
| ''sokomaljâ''
| ''la rangkep''
| ''wa rangkep''
|- style="text-align: center"
! pi
! pè
! po
! pu
! pe
! pang
! par
! pa'
! p
! pra
! pre
! pya
! pla
! pwa
|- style="text-align: center"
| ꦥꦶ
| ꦥꦺ
| ꦥꦺꦴ
| ꦥꦸ
| ꦥꦼ
| ꦥꦁ
| ꦥꦂ
| ꦥꦃ
| ꦥ꧀
| ꦥꦿ
| ꦥꦿ
| ꦥꦾ
| ꦥ꧀ꦭ
| ꦥ꧀ꦮ
|}
=== Contoh penggunaan ===
Berikut penggunaan ''carakan'' dalam ''Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera'' (Bab orang menangkap ikan di Tanah Jawa dan Madura) disertai dengan ejaan bahasa Madura modern.<ref>{{Cite book|last=Koesoemo|first=R. Sosro Danoe|last2=M. Partosoegondo|first2=|date=1922|title=Bab oreng megha djhoeko e'tana Djhaba sareng Madhoera|publisher=Balai Poestaka|language=Madura|url-status=live}}</ref>
{| class="wikitable"
! colspan="2" | Bahasa Madura
! rowspan="2" | Bahasa Indonesia
|-
! Aksara Jawa
! Latin
|-
| {{Script/Java|ꦥꦫꦲꦺꦴꦥꦩꦺꦒꦃꦲꦤ꧀ꦤꦺꦥꦺꦴꦤ꧀ꦗꦸꦏꦺꦴꦃꦏꦺꦔꦺꦁꦧꦶꦢꦃꦲꦒꦶꦢꦢ꧀ꦢꦶꦝꦸꦧꦂꦤ꧇}}
| ''Parao pamèghâ'ânnèpon jhuko' kèngèng bhidhâ'aghi dhâddhi ḍu bârna:''
| Perahu penangkap ikan dapat dibedakan menjadi dua macam:
|-
| {{Script/Java|꧑꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴ꧈ ꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦏꦗꦸꦧꦸꦁꦏꦺꦴꦭ꧀ꦱꦺꦲꦺꦭꦺꦴꦧꦔꦺ꧉ ꦧꦝꦱꦺꦲꦺꦱꦺꦩ꧀ꦧꦸꦏꦗꦸꦥꦺꦴꦭꦺꦲꦺꦥꦺꦁꦒꦶꦂ꧈ ꦧꦝꦱꦺꦧꦸꦤ꧀ꦠꦼꦤ꧀꧈}}
| ''1. Parao, sè èbhâḍhi ḍâri kaju bungkol sè èlobângè. Bâḍâ sè èsèmbu kaju polè è pèngghir, bâḍâ sè bhunten''
| 1. Perahu, yang dibuat dari kayu bulat yang dilubangi. Ada yang ditambah kayu lagi di pinggir, ada yang tidak
|-
| {{Script/Java|꧒꧇ ꦥꦫꦲꦺꦴꦱꦺꦲꦺꦧꦝꦶꦝꦫꦶꦥꦥꦤ꧀ꦫꦧ꧀ꦠꦼꦤ꧀ꦧꦤ꧀ꦱꦢꦗ꧉}}
| ''2. Parao sè èbhâḍhi papan rabten bân sadhâjâ.''
| 2. Perahu yang dibuat dari papan dan seluruhnya.
|}
== Penggunaan dalam bahasa Sunda ==
[[Berkas:Page 21 of Kitab tjatjarakan Soenda make aksara Walanda.png|jmpl|260x260px|Aksara Cacarakan]]
Aksara Jawa di dalam [[bahasa Sunda]] disebut ''Aksara Sunda Cacarakan,''{{Sfn|Rosyadi|1997|pp=16}} ''Aksara Sunda Basisir Kalér,''{{Sfn|Rosyadi|1997|pp=51}} ''Aksara Sunda Jawa,''{{Sfn|Coolsma|1985|pp=7}} atau ''Cacarakan'' (aksara yang berasal dari Jawa) saja.<ref>{{Cite journal|last=Ruhaliah|first=R.|date=2010|title=Jejak penjajahan pada naskah Sunda: Studi kasus pada Surat Tanah|journal=Jumantara: Jurnal Manuskrip Nusantara|volume=1|issue=1|pages=49-60}}</ref> Dari sudut pandang tata bahasa Sunda, istilah "''cacarakan''" tebentuk dari [[kata dasar]] "''caraka''" yang mengalami proses [[reduplikasi]] dengan [[dwipurwa]] yang ditambah [[akhiran]] ''-an''.{{Sfn|Ekadjati|1999}} Bentuk ''cacarakan'' sendiri terdiri dari ''aksara ngalagena'' (''aksara nglegena''), ''aksara gedé'' (''aksara murda''), dan ''aksara panambah'' (''aksara swara''). Terdapat pula ''sandangan'' (''sandhangan'') dan ''pada'' (''pada'').{{Sfn|Holle|1862}} Penggunaan ''Cacarakan'' di masa kini telah digantikan oleh [[Aksara Sunda|Aksara Sunda Baku]] yang merupakan hasil penyempurnaan dari [[Aksara Sunda Kuno]].
=== Perbandingan ===
Secara garis besar, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan bahasa Jawa. Penggunaan ''aksara murda'' dan ''aksara gedé'' juga relatif sama. Meski demikian, dalam bahasa Sunda tidak terdapat [[Da (aksara Jawa)|da dental]] dan [[Tha|ta retrofleks]]. Bentuk huruf ''nya'' juga berbeda (perhatikan tabel berwarna kuning).{{Sfn|Holle|1862}}
{| class="wikitable"
|+ style="text-align: center;" |''Aksara Ngalagena (Aksara Nglegena)''
!
!
!ha
!na
!ca
!ra
!ka
!da
!ta
!sa
!wa
!la
!pa
!dha
!ja
!ya
!nya
!ma
!ga
!ba
!tha
!nga
|-
!Jawa
!''Nglegena''
| align="center" |ꦲ
| align="center" |ꦤ
| align="center" |ꦕ
| align="center" |ꦫ
| align="center" |ꦏ
| align="center" |ꦢ
| align="center" |ꦠ
| align="center" |ꦱ
| align="center" |ꦮ
| align="center" |ꦭ
| align="center" |ꦥ
| align="center" |ꦝ
| align="center" |ꦗ
| align="center" |ꦪ
| align="center" |ꦚ
| align="center" |ꦩ
| align="center" |ꦒ
| align="center" |ꦧ
| align="center" |ꦛ
| align="center" |ꦔ
|-
!
!''Pasangan''
|꧀ꦲ
|꧀ꦤ
|꧀ꦕ
|꧀ꦫ
|꧀ꦏ
|꧀ꦢ
|꧀ꦠ
|꧀ꦱ
|꧀ꦮ
|꧀ꦭ
|꧀ꦥ
|꧀ꦝ
|꧀ꦗ
|꧀ꦪ
|꧀ꦚ
|꧀ꦩ
|꧀ꦒ
|꧀ꦧ
|꧀ꦛ
|꧀ꦔ
|- style="length:20%; height: 4em;"
! rowspan="4" |Sunda
! style="width:10%; text-align:center;" |''Ngalagena''
| align="center" |ꦲ
| align="center" |ꦤ
| align="center" |ꦕ
| align="center" |ꦫ
| align="center" |ꦏ
| style="background: yellow;" align="center" |ꦣ
| align="center" |ꦠ
| align="center" |ꦱ
| align="center" |ꦮ
| align="center" |ꦭ
| align="center" |ꦥ
!
| align="center" |ꦗ
| align="center" |ꦪ
| style="background: yellow;" align="center" |ꦤ꧀ꦚ
| align="center" |ꦩ
| align="center" |ꦒ
| align="center" |ꦧ
!
| align="center" |ꦔ
|-
!''Pasangan''
| align="center" |꧀ꦲ
| align="center" |꧀ꦤ
| align="center" |꧀ꦕ
| align="center" |꧀ꦫ
| align="center" |꧀ꦏ
|style="background: yellow;" align="center" |꧀ꦝ
| align="center" |꧀ꦠ
| align="center" |꧀ꦱ
| align="center" |꧀ꦮ
| align="center" |꧀ꦭ
| align="center" |꧀ꦥ
!
| align="center" |꧀ꦗ
| align="center" |꧀ꦪ
|style="background: yellow;" align="center" |꧀ꦚ
| align="center" |꧀ꦩ
| align="center" |꧀ꦒ
| align="center" |꧀ꦧ
!
| align="center" |꧀ꦔ
|- style="length:20%; height: 4em;"
! style="width:10%; text-align:center;" |''Gedé''
! align="center" |
| align="center" |ꦟ
| align="center" |ꦖ
! align="center" |
| align="center" |ꦑ
! align="center" |
| align="center" |ꦡ
| align="center" |ꦯ
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |ꦦ
!
! align="center" |
! align="center" |
| align="center" |ꦘ
! align="center" |
| align="center" |ꦓ
| align="center" |ꦨ
!
!
|-
!''Pasangan''
!
| align="center" |꧀ꦟ
| align="center" |꧀ꦖ
!
| align="center" |꧀ꦑ
!
| align="center" |꧀ꦡ
| align="center" |꧀ꦯ
!
!
| align="center" |꧀ꦦ
!
!
!
| align="center" |꧀ꦘ
!
| align="center" |꧀ꦓ
| align="center" |꧀ꦨ
!
!
|}
''Aksara panambah'' (ꦔ꦳ꦏ꧀ꦱꦫꦥꦤꦩ꧀ꦧꦃ) adalah aksara tambahan yang digunakan untuk menulis suku kata yang tidak memiliki konsonan di awal, atau dalam kata lain suku kata yang hanya terdiri vokal. Walau mirip dengan ''aksara swara'', ''cacarakan'' hanya mengambil bentuk ''aksara swara i'' (ꦆ) dari aksara Jawa, sisanya diganti dengan ''nga cecek tilu'' (ꦔ꦳) + ''sandangan''. Selengkapnya dapat dilihat sebagaimana berikut:{{Sfn|Holle|1862}}
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align:center;" |''Aksara Panambah (Aksara Swara)''
!
![[Konsonan langit-langit belakang|Velar]]
![[Konsonan langit-langit|Palatal]]
![[Konsonan bibir|Labial]]
![[Konsonan tarik-belakang|Retrofleks]]
![[Konsonan gigi|Dental]]
!Velar-Palatal
!Velar-Labial
!
|-
!''Aksara''
| style="text-align:center; " |ꦔ꦳
----a
| style="text-align:center;" |ꦆ
----i
| style="text-align:center;" |ꦔ꦳ꦸ
----u
| style="text-align:center; " |ꦉ
----ṛ/re{{ref label|re|1}}
| style="text-align:center;" |ꦊ
----ḷ/le{{ref label|le|2}}
| style="text-align:center;" |ꦔ꦳ꦺ
----é{{ref label|é|3}}
| style="text-align:center;" |ꦔ꦳ꦴ
----o
| style="text-align:center;" |ꦔ꦳ꦼ
----e/eu{{ref label|e|4}}
|-
!''Pasangan''
| align="center" |꧀ꦲ꦳
| align="center" |꧀ꦲ꦳ꦶ
| align="center" |꧀ꦲ꦳ꦸ
| align="center" |꧀ꦉ
| align="center" |꧀ꦭꦼ
| align="center" |꧀ꦲ꦳ꦺ
| align="center" |꧀ꦲ꦳ꦴ
| align="center" |꧀ꦲ꦳ꦼ
|-
| colspan="9" |'''Catatan''' <small>
: {{note|re|1}} pangreureu, /rə/ sebagaimana re dalam kata "rendah"
: {{note|le|2}} pangwilet, /lə/ sebagaimana le dalam kata "lemah"
: {{note|é|3}} /e/ sebagaimana e dalam kata "enak"
: {{note|e|4}} juga dibaca eu /ɨ/
|}
Bahasa Sunda mengenal tujuh fonem vokal.<ref>{{cite book|last=Müller-Gotama|first=Franz|date=2001|year=|title=Sundanese|place=Munich|publisher=LINCOM Europa|isbn=|series=Languages of the World. Materials|volume=369|pages=}}</ref> Walau begitu, ''cacarakan'' tidak membedakan vokal ''eu'' [ɨ] dan ''e'' [ə].{{efn|Salah satu contohnya dapat dilihat dalam buku ''Dongéng-dongéng Pieunteungeun'' di mana kata ''deui'' ditulis sebagai ꦝꦼꦆ ''de-i''.}} Sandangan dapat dilihat dalam tabel berikut:{{Sfn|Coolsma|1985|pp=6}}{{Sfn|Coolsma|1985|pp=7}}{{Sfn|Holle|1862}}
{| class="wikitable" style="width:60%;"
|+ style="text-align: center;" |''Sandangan''
! style="width: 80px;" |-a
! style="width: 80px;" |-i
! style="width: 80px;" |-u
! style="width: 80px;" |-é
! style="width: 80px;" |-o
! style="width: 80px;" |-e/-eu
!style="width:80px;" | -ng
!style="width:80px;" | -r
!style="width:80px;" | -h
!style="width:80px;" |-r-
!style="width:80px;" |-y-
! style="width:80px;" | pemati
|- style="text-align: center"
| -
|ꦶ
|ꦸ
|ꦺ
|ꦴ
|ꦼ
|ꦁ
|ꦂ
|ꦃ
|ꦿ
|ꦾ
|꧀
|-
| style="text-align: center" | -
| style="text-align: center" |''panghulu''
| style="text-align: center" |''panyuku''
| style="text-align: center" |''panéléng''
| style="text-align: center" |''panolong''
| style="text-align: center" |''pamepet''
| style="text-align: center" |''panyecek''
| style="text-align: center" |''panglayar''
| style="text-align: center" |''pangwisad''
| style="text-align: center" |''panyakra''
| style="text-align: center" |''pamingkal''
| style="text-align: center" |''pamaéh''
|- style="text-align: center"
!ka
!ki
!ku
!ké
!ko
!ke/keu
!kang
!kar
!kah
!kra
!kya
!k
|- style="text-align: center"
|ꦏ
|ꦏꦶ
|ꦏꦸ
|ꦏꦺ
|ꦏꦴ
|ꦏꦼ
|ꦏꦁ
|ꦏꦂ
|ꦏꦃ
|ꦏꦿ
|ꦏꦾ
|ꦏ꧀
|}
===
Berikut penggunaan ''cacarakan'' dalam ''Dongéng-dongéng Pieunteungeun'' (Dongeng-dongeng Sebagai Cerminan) disertai dengan ejaan bahasa Sunda modern.<ref>{{Cite book|last=Moesa (.R.Hadji.)|first=Moehamad|date=1867|url=https://books.google.co.id/books?id=0hm2yOwsEgkC|title=Dongeng-dongeng pingĕntĕngĕn|language=su|access-date=2020-05-08|archive-date=2023-04-17|archive-url=https://web.archive.org/web/20230417194925/https://books.google.co.id/books?id=0hm2yOwsEgkC|dead-url=no}}</ref>
{| class="wikitable"
! colspan="2" | Bahasa Sunda
! rowspan="2" |Bahasa Indonesia
|-
! Latin
|-
| {{Script/Java|꧄ ꦠꦸꦮꦤ꧀ ꦮꦶꦤ꧀ꦠꦼꦂꦗꦸꦫꦸꦧꦱ꧈ ꦗꦼꦤꦼꦁꦔꦤ꧀ꦤꦤꦤꦸꦔꦁꦒꦶꦠ꧀꧈ ꦩꦶꦤ꧀ꦝꦃꦏꦼꦤ꧀ꦏꦧꦱꦗꦮ꧈}}
| ''Tuwan Winter jurubasa, Jenenganana nu nganggit, Mindahkeun ka basa Jawa,''
|Tuwan Winter sang ahli bahasa, Beliau yang menulis, Yang menerjemahkan ke bahasa Jawa,
|-
| {{Script/Java|ꦔ꦳ꦪꦼꦤꦝꦶꦱꦭꦶꦤ꧀ꦝꦼꦆ꧈ ꦝꦶꦱꦸꦤ꧀ꦝꦏꦼꦤ꧀ꦱꦏꦭꦶ꧈ ꦏꦸꦏꦮꦸꦭꦔ꦳ꦸꦫꦁꦒꦫꦸꦠ꧀꧈}}
| ''Ayeuna disalin deui, Disundakeun sakali, Ku kawula urang Garut,''
|Sekarang disalin lagi, Diterjemahkan ke bahasa Sunda, Oleh saya orang Garut,
|-
| {{Script/Java|ꦔ꦳ꦫꦶꦔ꦳ꦤꦸꦝꦶꦥꦭꦂ꧈ ꦔ꦳ꦸꦫꦁꦱꦸꦤ꧀ꦝꦠꦩ꧀ꦧꦃꦫꦗꦶꦤ꧀꧈ ꦫꦺꦪꦕꦿꦶꦠꦧꦫꦶꦱ꧀ꦲ꦳ꦼꦤ꧀ꦠꦼꦁꦏꦭꦏꦸꦮꦤ꧀꧉}}
| ''Ari anu dipalar, Urang Sunda tambah rajin, Réa crita baris eunteung kalakuan.''
|Harapannya, Orang Sunda tambah rajin, Banyak cerita sebagai cerminan perbuatan.
|}
== Blok Unicode ==
{{Utama|Javanese (blok Unicode)}}
Aksara Jawa resmi dimasukkan ke dalam [[Unicode]] sejak Oktober 2009 dengan dirilisnya Unicode versi 5.2. Blok Unicode aksara Jawa terletak pada kode U+A980–U+A9DF. Terdapat 91 kode yang mencakup 53 huruf, 19 tanda baca, 10 angka, dan 9 vokal. Sel abu-abu menunjukkan titik kode yang belum terpakai.
{{Tabel Unicode Aksara Jawa}}
: ''Lihat pula [[:jv:Wikipedia:Unicode/Aksara Jawa|Tabel alternatif Unicode aksara Jawa yang diurutkan berdasarkan hanacaraka]]''
== Galeri ==
<!-- Dimohon untuk tidak menambahkan foto lagi karena sudah terlalu banyak. Disarankan untuk menambahkannya ke galeri foto Wikimedia Commons, https://commons.wikimedia.org/wiki/Javanese_script. -->
{| class="wikitable" style="margin:0 auto;" align="center" colspan="2" cellpadding="3" style="font-size: 80%; width: 100%;"
|-
|align=center colspan=2|
<gallery mode="packed" heights="200px">
Berkas:Facsimile of the Ciéla Map.jpg| Faksimil peta Kerajaan Timbanganten dari [[Ciela, Bayongbong, Garut|Desa Ciéla, Garut]], mungkin dari 1500an ke atas.
<!--Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Steen met tekst Grissee TMnr 60046661.jpg|Prasasti beraksara Jawa dari sekitar abad ke-18 di kompleks makam Kyai Tumenggung Pusponegoro, [[Gresik]], [[Jawa Timur]]-->
<!--Serat jayalengkara wulang 02v-03r.jpg| Salah satu halaman ''Serat Jaya Lengkara Wulang'' yang disalin pada tahun 1803, koleksi British Library-->
Berkas:Mss jav 28 f013v.png| Salah satu halaman ''Serat Damar Wulan'' yang disalin pada tahun 1804, koleksi British Library
Berkas:IND-(NethEastInd)-Government recepis-5 Gulden (1846) unsigned remainder.jpg|Lembar obligasi pemerintahan Hindia Belanda seharga 5 Gulden/Rupiah tahun 1846, dengan nominal yang dieja dengan huruf Latin, abjad [[huruf Pegon|Pégon]], dan aksara Jawa
Berkas:Bromartani.jpg|Koran ''[[Bromartani]]'', koran pertama berbahasa dan beraksara Jawa yang pertama terbit pada tahun 1855.
<!--Berkas:Book title commemorating Wilhelmina's ascension-Semarang 1898.jpg|Halaman judul buku kenang-kenangan yang merayakan kenaikan [[Ratu Wilhelmina]], dicetak di Semarang tahun 1898-->
<!--Berkas:Serat bratayudha.jpg| Salah satu halaman ''Serat [[Baratayuda|Bratayudha]]'' yang disalin pada tahun 1902, koleksi Widya Budaya-->
<!--Berkas:Serat damar wulan f.2r.jpg|Halaman pembuka ''Serat Damar Wulan'' yang disalin sekitar abad ke-18, koleksi British Library-->
<!--Berkas:Javanese advertisement - droste's cacao.jpg|Iklan Droste's Cacao-->
<!--Berkas:Javanese advertisement - lampoe osram.jpg|Iklan Lampoe Osram-->
<!--Berkas:Bocah mangkunagaran.jpg|''Bocah Mangkunagaran'' (1937), kumpulan cerita dan informasi mengenai wilayah [[praja Mangkunegaran|Mangkunegara]]-->
<!--Berkas:IND-78b-De Javasche Bank-5 Gulden (1937).jpg|Uang kertas 5 Gulden yang dikeluarkan [[De Javasche Bank]] tahun 1937, dengan peringatan pemalsuan multiaksara yang termasuk aksara Jawa-->
Berkas:Mesin ketik beraksara Jawa buatan pabrik Royal Bar-Lock dilihat dari dekat.jpg|Detail tombol-tombol mesin tik aksara Jawa bermerek Royal Bar-Lock yang pernah dipakai oleh [[Keraton Surakarta]] dari tahun 1917 hingga 1960, koleksi Museum Penerangan
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Demonstratieauto van de Dienst der Volksgezondheid ca. 1925 TMnr 60012956.jpg|Mobil yang digunakan Dinas Kesehatan Rakyat (''Dienst der Volks Gezondheid'') sekitar tahun 1925
Berkas:Prasasti Pakubuwana X.jpg|[[Prasasti Pakubuwana X]] yang memperingati pembangunan sejumlah gapura di Surakarta pada tahun 1938
<!--Berkas:Netherlands Indies-94-De Javasche Bank-100 Gulden (1946).jpg|Uang kertas 100 Gulden yang dikeluarkan De Javasche Bank tahun 1946, seri Gulden terakhir dengan aksara Jawa yang dicetak ulang pada tahun 1950-->
Berkas:Jalan Slamet Riyadi (Road sign in Surakarta).jpg|Penggunaan aksara Jawa pada papan nama jalan di Surakarta. Terdapat kesalahan penulisan pada kata ''brigjen'' yang seharusnya ditulis dengan diaktrik ''taling'' agar dibaca ''brigjèn''. [[:Commons:File:Jalan Slamet Riyadi.jpg|Papan nama di jalan yang sama namun ruas yang berbeda]] juga menunjukkan ketidakseragaman ejaan.
<!--Berkas:"+arya+" ꦥꦥꦤ꧀ ꦢꦭꦤ꧀ ꦕꦶꦥ꧀ꦠ ꦩꦔꦸꦤ꧀ꦏꦸꦱꦸꦩ papan nama jalan cipto mangunkusumo cirebon 2020.jpg|Papan nama jalan di Cirebon-->
<!--Berkas:Tanda bahaya listrik dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa.jpg|Tanda bahaya listrik dalam bahasa Belanda, Melayu dan Jawa di Surabaya-->
Berkas:Javanese script in modern use.jpg|Dekorasi kontemporer dengan elemen desain aksara Jawa
Berkas:Yogyakarta Sultanate Hamengkubhuwono X Emblem.svg|Lambang [[Kesultanan Yogyakarta]] dengan stilisasi aksara Jawa di bidang tengahnya
<!--Berkas:"+Arya+" pintu masuk makam buyut tambi 2014.jpg|Pintu masuk situs makam Buyut Tambi di [[Indramayu]], [[Jawa Barat]] menggunakan aksara Jawa. Terdapat kesalahan penulisan pada aksara sa (terbalik) dan pada kata ''kramat'' yang seharusnya ditulis dengan ''sandhangan cakra'' alih-alih ''pasangan'' ra.-->
<!--Berkas:Cireundeu.jpg|Tanda selamat datang di kampung adat Cireundeu, [[Kota Cimahi|Cimahi]].-->
<!--Berkas:Bumialitjpg.jpg|Penggunaan Cacarakan di Pasucian Bumi Alit, [[Panjalu, Ciamis]].-->
<!-- Dimohon untuk tidak menambahkan foto lagi karena sudah terlalu banyak. Disarankan untuk menambahkannya ke galeri foto Wikimedia Commons, https://commons.wikimedia.org/wiki/Javanese_script -->
</gallery>
|}
== Lihat pula ==
* [[Bahasa Jawa]]
* [[Sastra Jawa]]
* [[Kongres Aksara Jawa]]
* [[Aksara Nusantara]]
*[[Jawanisasi (aksara)]]
== Catatan ==
{{notelist}}
== Rujukan ==
{{reflist}}
=== Daftar pustaka ===
* {{cite journal|last=Arps|first=B|url=https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/15216|title=How a Javanese Gentleman put his Library in Order|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|year=1999|issue=3|volume=155|page=416-469|ref=harv}}
* {{cite journal|last=Behrend|first=T E|url=https://www.researchgate.net/publication/41017542_Manuscript_production_in_nineteenth-century_Java_Codicology_and_the_writing_of_Javanese_literary_history|title=Manuscript Production in Nineteenth Century Java. Codicology and the Writing of Javanese Literary History|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|year=1993|volume=149|issue=3|doi=10.1163/22134379-90003115|pages=407-437|ref=harv}}
* {{cite book|last=Behrend|first=T E|chapter=Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition|url=https://archive.org/details/illuminationswri0000kuma|title=Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia|editor=Ann Kumar|editor2=John H. McGlynn|publisher=Lontar Foundation|year=1996|isbn=0834803496|location=Jakarta|language=EN|ref=harv}}
* {{Cite book|last=Coolsma|first=Sierk|year=1985|url=https://archive.org/details/tata-bahasa-sunda/|title=Tata Bahasa Sunda|location=Jakarta|publisher=(Penerbit Asli) Fa. A.W. Sijthoff|pages=|translator-last=Widjajakusumah, Rusyana|translator-first=Husein, Yus|oclc=13986971|ref=harv|orig-year=1904|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Ekadjati|first=Edi S.|date=1999|url=https://books.google.co.id/books?printsec=frontcover&vid=LCCN99503487&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false|title=Direktori Edisi Naskah Nusantara|location=Jakarta|publisher=Yayasan Obor Indonesia dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara|isbn=9794613347|ref=harv|url-status=live}}
* {{cite journal|url=http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n3319.pdf|first=Michael|last=Everson|title=Proposal for encoding the Javanese script in the UCS|journal=ISO/IEC JTC1/SC2/WG2|issue=N3319R3|date=6 Maret 2008|publisher=Unicode|ref=harv}}
* {{cite book|last=Molen|first=Willem van der|year=1993|title=Javaans Schrift|publisher=Rijksuniversiteit te Leiden|journal=Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden|place=Leiden|volume=Semaian 8|isbn=90 73084 09 1|language=nl|url=https://books.google.co.id/books?id=8FNTAAAACAAJ&dq=javaans+schrift&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi42vnx_J3pAhVWbn0KHRTPDeYQ6AEIKDAA|ref=harv}}
* {{cite book|last=Molen|first=Willem van der|year=2000|chapter=Hoe Heft Zulks Kunnen Geschieden? Het Begin van de Javaanse Typografie|publisher=Vakgroep Talen en Culturen van Zuidoost-Azië en Oceanië, Rijksuniversiteit te Leiden|title=Woord en Schrift in de Oost. De betekenis van zending en missie voor de studie van taal en literatuur in Zuidoost-Azie|editor=Willem van der Molen|place=Leiden|volume=Semaian 19|language=nl|url=https://books.google.co.id/books/about/Woord_en_schrift_in_de_Oost.html?id=TQjZAAAAMAAJ&redir_esc=y|isbn=9074956238|page=132-162|ref=harv}}
* {{cite Journal|last=Moriyama|first=Mikihiro|url=https://kyoto-seas.org/pdf/34/1/340108.pdf|journal=Southeast Asian Studies|volume=34|issue=1|date=Juni 1996|title=Discovering the 'Language' and the 'Literature' of West Java: An Introduction to the Formation of Sundanese Writing in 19th Century West Java|pages=151-183|ref=harv}}
* {{cite book|url=https://www.sastra.org/katalog/judul?ti_id=75|title=Baoesastra Djawa|last=Poerwadarminta|first=W.J.S|publisher=J.B. Wolters|year=1939|isbn=0834803496|location=Batavia|language=JV|ref=harv}}
* {{cite Journal|url=https://research.monash.edu/en/publications/javanese-script-as-cultural-artifact-historical-background|last=Robson|first=Stuart Owen|year=2011|title=Javanese script as cultural artifact: Historical background|journal=RIMA: Review of Indonesian and Malaysian Affairs|volume=45|issue=1-2|page=9-36|ref=harv}}
* {{cite book|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/7638/1/PELESTARIAN%20DAN%20MODERNISASI%20AKSARA%20DAERAH.pdf|title=Pelestarian dan Modernisasi Aksara Daerah: Perkembangan Metode dan Teknis Menulis Aksara Jawa|last=Rochkyatmo|first=Amir|date=1 Januari 1996|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|language=id|ref=harv}}
*{{Cite book|last=Rosyadi|date=1997|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/14862/1/Pelestarian%20dan%20usaha%20pengembangan%20aksara%20daerah%20sunda.pdf|title=Pelestarian Dan Usaha Pengembangan Aksara Daerah Sunda|location=Jakarta|publisher=Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan|ref=harv|url-status=live}}
====
* {{cite conference|url=https://archive.org/details/wewaton-sriwedari|conference=Kongres Sriwedari|year=1926|title=Wawaton Panjeratipoen Temboeng Djawi mawi Sastra Djawi dalasan Angka|author=Koemisi Kasoesastran ing Sriwedari, Soerakarta|publisher=Landsdrukkerij|place=Weltevreden|ref=harv}} Dikenal juga sebagai ''Wewaton Sriwedari'' atau ''Paugeran Sriwedari''. Terjemahan bahasa Indonesia dapat dibaca [https://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/pengetahuan-bahasa/2520-sastra-sriwedari di sini]
* {{cite book|last=Darusuprapta|title=Pedoman Penulisan Aksara Jawa|place=Yogyakarta|publisher=Yayasan Pustaka Nusantara bekerja sama dengan Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Tingkat I Jawa Tengah, dan Daerah Tingkat I Jawa Timur|year=2002|isbn=979-8628-00-4|url=https://archive.org/details/pedoman-penulisan-aksara-jawa-2002|ref=harv}}
Bahasa Sanskerta dan Kawi
* {{cite book|url=https://archive.org/details/serat-mardi-kawi/W.%20J.%20S.%20Poerwadarminta%20-%20Serat%20Mardi%20Kawi%2C%20Jilid%20I%20%281931%29|title=Serat Mardi Kawi|volume=1|year=1930|publisher=De Bliksem|place=Solo|first=W J S|last=Poerwadarminta|ref=harv}}
* {{cite book|url=https://archive.org/details/serat-mardi-kawi/W.%20J.%20S.%20Poerwadarminta%20-%20Serat%20Mardi%20Kawi%2C%20Jilid%20II%20%281931%29|title=Serat Mardi Kawi|volume=2|year=1931|publisher=De Bliksem|place=Solo|first=W J S|last=Poerwadarminta|ref=harv}}
* {{cite book|url=https://archive.org/details/serat-mardi-kawi/W.%20J.%20S.%20Poerwadarminta%20-%20Serat%20Mardi%20Kawi%2C%20Jilid%20III%20%281931%29|title=Serat Mardi Kawi|volume=3|year=1931|publisher=De Bliksem|place=Solo|first=W J S|last=Poerwadarminta|ref=harv}}
Bahasa Sunda
* {{cite book|url=https://books.google.co.id/books?id=AupPpeV6EZUC&pg=PP18&dq=Soendasch+spel-+en+lees+boek,+met+Soendasche+letter&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwilx6H1taPpAhUPzTgGHUiXDFoQ6AEIKzAA#v=onepage&q&f=false|title=Soendasch spel- en lees boek, met Soendasche letter|year=1862|publisher=Landsdrukkerij|place=Batavia|first=K F|last=Holle|ref=harv}}
Bahasa Madura
* {{Cite book|url=https://archive.org/details/madoereeschespr01kiligoog|title=Madoereesche spraakkunst|last=Kiliaan|first=Hendrik Nicolaas|date=1897|location=Batavia|publisher=Landsdrukkerij|ref=harv}}
* {{cite book|url=https://books.google.com/books?id=FuTuSGlAMXoC&pg=PP1|title=Sorat tjarakan Madurah|year=1866|place=Batavia|ref={{harvid|Sorat tjarakan Madurah|1866}}}} <!-- Nama penulis tidak diketahui, format sfn: {{sfn|Sorat tjarakan Madurah|1866|p=x}} -->
== Pranala luar ==
{{commons category}}
{{commons category|Manuscripts in Javanese script|Naskah Aksara Jawa}}
{{commons category|Printed Javanese Script |Publikasi Cetak Aksara Jawa}}
=== Koleksi digital ===
* [https://www.bl.uk/manuscripts/ Koleksi naskah British Library]
* [http://khastara.perpusnas.go.id/ Koleksi naskah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia]
* [https://www.sastra.org/katalog Koleksi naskah Yayasan Sastra Lestari]
* [https://widyapustaka.webnode.com/paugeran/ Koleksi acuan Widyapustaka] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20211214103733/https://widyapustaka.webnode.com/paugeran/ |date=2021-12-14 }}
* [https://sea.lib.niu.edu/islandora/object/SEAImages%3Alontar?display=list ''Southeast Asia Digital Library'' kompilasi Northern Illinois University]
=== Naskah digital ===
* [https://www.loc.gov/item/2012320671/ ''Babad Tanah Jawi''] (1862) koleksi Perpustakaan Kongres AS no. DS646.27
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Sloane_MS_1403E Catatan utang pada selempir lontar] (1708) koleksi British Library no. Sloane MS 1403E
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?index=0&ref=MSS_Malay_A_3 Kamus bahasa Melayu-Jawa-Madura] dari awal abad ke-19, koleksi British Library no. MSS Malay A 3
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?index=0&ref=Add_MS_12341 Kumpulan dokumen Keraton Yogyakarta] (1786–1812) koleksi British Library no. Add Ms 12341
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?index=0&ref=Or_15932 ''Papakem Pawukon''] dari Bupati Sepuh Demak di Bogor (1814) koleksi British Library no. Or 15932
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=Add_MS_12337 ''Wejangan Hamengkubuwana I''] (1812) koleksi British Library no. Add MS 12337
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?index=0&ref=Add_MS_45273 ''Raffles Paper'' - vol III] (1816) kumpulan surat-surat yang diterima Raffles dari penguasa-penguasa Nusantara, koleksi British Library no. Add MS 45273
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?index=0&ref=MSS_Jav_24 ''Serat Jaya Lengkara Wulang''] (1803) koleksi British Library no. MSS Jav 24
* [https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=MSS_Jav_28 ''Serat Selarasa''] (1804) koleksi British Library no. MSS Jav 28
* [http://khastara.perpusnas.go.id/web/detail/335633/usana ''Usana Bali''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200619221833/http://khastara.perpusnas.go.id/web/detail/335633/usana |date=2020-06-19 }} (1870) salinan Jawa dari sebuah lontar Bali berjudul sama, koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia no. CS 152
<!--* [https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Bharata-Yuddha_oudjavaansch_heldendicht.pdf Bharata-Yuddha; oudjavaansch heldendicht] (1903) Bharatayuddha dalam bahasa dan ejaan Kawi[https://www.bl.uk/manuscripts/FullDisplay.aspx?ref=MSS_Jav_36 ''Babad Mataram'' dan ''Babad ing Sangkala''] (1738) koleksi British Library no. MSS Jav 36-->
* [https://books.google.co.id/books?id=0hm2yOwsEgkC&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false ''Dongèng-dongèng Pieuntengen''] (1867) kumpulan dongeng berbahasa Sunda dan beraksara Jawa yang dikompilasikan oleh [[Muhammad Musa]]
=== Lainnya ===
* [http://std.dkuug.dk/jtc1/sc2/wg2/docs/n3319.pdf Proposal Unicode untuk aksara Jawa]
* [https://www.unicode.org/L2/L2019/19004-javanese-keret.pdf Dokumentasi Unicode mengenai diakritik KERET]
* [https://www.unicode.org/L2/L2017/17038-cakra.pdf Dokumentasi Unicode mengenai diakritik CAKRA]
* [https://www.unicode.org/L2/L2019/19083-javanese-pengkal.pdf Dokumentasi Unicode mengenai diakritik PENGKAL]
* [https://www.unicode.org/L2/L2019/19003-javanese-tolong.pdf Dokumentasi Unicode mengenai diakritik TOLONG]
* [https://blogs.bl.uk/asian-and-african/javanese/ Blog Studi Asia-Afrika British Library, topik Jawa]
* [https://www.omniglot.com/writing/javanese.htm Artikel aksara Jawa] di omniglot.com
* [https://r12a.github.io/pickers/java/ ''Character Picker'' aksara Jawa] oleh Richard Ishida
* [https://bennylin.github.io/transliterasijawa/ Laman transliterasi aksara Jawa oleh Benny Lin]
* Unduh fon aksara Jawa di situs web [https://sites.google.com/site/jawaunicode/main-page Tuladha Jejeg] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20211027132347/https://sites.google.com/site/jawaunicode/main-page |date=2021-10-27 }}, [https://aksaradinusantara.com/fonta/aksara/jawa Aksara di Nusantara], atau repositori [https://github.com/googlefonts/noto-fonts/tree/main/hinted/ttf/NotoSansJavanese Google Noto]
{{Aksara Jawa}}
{{Aksara}}
{{Bahasa Jawa}}
{{artikel bagus}}
{{Authority control}}
[[Kategori:Aksara Jawa| ]]
[[Kategori:Aksara Nusantara|Jawa]]
[[Kategori:Rumpun aksara Brahmi|Jawa]]
[[Kategori:Bahasa Jawa]]
|