Mangai binu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Swarabakti (bicara | kontrib) k →Catatan kaki: [https://puebi.readthedocs.io/en/latest/kata/angka-dan-bilangan/ bilangan awal kalimat ditulis dengan huruf] Tag: Suntingan visualeditor-wikitext |
Sin Tahari (bicara | kontrib) →Peninggalan: Perbaikan beberapa kalimat. Saran : tetap netral dalam menyampaikan sudut pandang Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(17 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{judul miring}}
[[Berkas:Divinatory_Skulls;_1Dyke_Bay_and_2Nias_Island_Wellcome_M0012302.jpg|al=|jmpl|Tengkorak dari Nias (kanan) yang diberi hiasan janggut dari serabut tumbuhan]]
'''
==
''Mangai'' (atau ''mangani''
== Latar belakang ==
Suku Nias secara tradisional gemar berperang meskipun pertanian telah berkembang. Masyarakat lebih mementingkan budaya perang dan membuat perlengkapan senjata seperti tombak, pedang, [[Baluse|perisai]], [[Baru Öröba|baju besi]] daripada bertani dan membuat peralatan pertanian. Mereka melindungi banua dengan membangun rumah-rumah mereka di atas bukit dan menanam semak-semak beracun di sekeliling atau di parit. Gerbang banua biasanya ditutup pada malam hari dan rutin diadakan pengawasan karena kekhawatiran akan serangan musuh. Lingkungan yang penuh bahaya ini meresap ke seluruh struktur sosial dan politik orang Nias.
Dahulu, pendidikan berpusat pada perang dan kekerasan. Di selatan pulau, para pemuda berlatih sejak kecil untuk melompati [[Fahombo|batu ''hombo'']] setinggi dua meter atau membersihkan selokan yang diisi dengan bambu yang tajam.
Orang Nias percaya bahwa ada [[kehidupan setelah kematian]], sehingga kematian seseorang perlu disiapkan sebaik mungkin. Agar dapat hidup dengan nyaman, maka orang yang meninggal membutuhkan pelayan. Dipercaya, ''binu'' memiliki jiwa dan orang yang memilikinya adalah tuan atas jiwa pemilik kepala tersebut.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214b|ps=: "I selvaggi che cacciano teste credono che " il padrone del cranio è nell'altra vita padrone della persona, o meglio dell' anima dell'ucciso „3). Il conservarne il cranio quindi non è che il segno esterno del possesso (...)"}} Tengkorak yang disertakan dalam penguburan dipercaya akan menjadi pelayan di alam baka.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214c|ps=: (...), che da un vivo in favore di se stesso e sempre dev'essere inteso come modo di procurare dei servi nella vita futura al morto oa sè stesso, (...)}} Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.{{Sfn|Baaren|1955|p=6|ps=: "On the Island Nias the people call themselves the pigs of Lature. Every time the god kills a pig, a man dies."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=247|ps=: "-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"}} Hal yang sama terlihat pada tradisi [[ngayau]] [[Suku Dayak]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=41|ps=: "Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."}} Tradisi perburuan kepala juga terlihat pada suku-suku [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]], kerabat suku Nias, lainnya.{{Sfn|UCLA|1985|p=36|ps=: "Among all Austronesians the head is the locus power in the human body; it was there for the most potent offering possible."}}▼
== Deskripsi ==
=== Persiapan ===
[[Berkas:Adu Siraha Horö.jpeg|jmpl|Adu Siraha Horö, patung pembersih dosa|pra=Special:FilePath/Adu_Siraha_Horö.jpeg]]
Sebelum melakukan ekspedisi perburuan kepala manusia, para ''emali'' akan meminta perlindungan dari dewa perang melalui perantaraan Adu Siraha Horö agar mendapatkan kepala yang banyak.<ref>{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=1714|title=Adu Siraha Horo|last=|first=|date=|website=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=18 Februari 2020}}</ref> Mereka mengenakan ikat pinggang yang terbuat dari kulit buaya dan hiasan kepala dari taring [[Babi celeng|babi hutan]].{{Sfn|Beatty|2019|p=74|ps=: "Before setting out, raiders would lap blood from a pig's trough, then gird themselves with crocodile-hide and tusked helmets."}} Pedang yang digunakan untuk berburu adalah ''tolögu'' milik bangsawan dari [[Kabupaten Nias Selatan|Nias Selatan]]. Pada sarung pedang tersebut dilengketkan ''ragö,'' sebuah bola rotan yang dihiasi dengan benda-benda berkekuatan magis. Benda-benda itu dipercaya dapat
=== Pelaksanaan ===
Para ''emali'' berburu kepala sesuai pesanan. Mereka menjelajahi banua-banua yang jauh untuk mencari mangsa pada suatu periode yang disebut disebut ''bawa nemali.'' Jika perburuan semata-mata untuk mendapat ''binu'', kepala korban dipenggal hingga terlepas dari badannya. Namun, jika didasarkan balas dendam, maka ''emali'' melakukan tebasan ke tubuh lawan mulai dari pangkal leher sebelah kiri lalu secara diagonal mengarah ke ketiak kanan. Tebasan ini menyisakan kepala dan bagian tangan kanan yang masih menyatu. Mereka akan pulang dengan menenteng potongan kepala di bahu sementara tangan kanan korban didekapkan ke dada.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=6821|title=Emali|last=|first=|date=|website=Warisan Budaya Takbenda Indonesia|access-date=17 Februari 2020}}</ref> Selama masa damai, para ''emali'' bersembunyi di jalanan yang sepi dan menyergap orang yang lewat.
Harga untuk satu kepala manusia yaitu sejumlah babi atau bisa diganti dengan uang sebesar seratus hingga dua ratus [[Gulden Hindia Belanda|Gulden]]''.''{{Sfn|Kayser|1976|p=52|ps=: "(...) betrug gewöhnlich um hundert bis zweihundert holländische Gulden für jeden erbeuteten Kopf."}} Harganya akan naik jika pemesan menginginkan lawannya hidup-hidup untuk kemudian dipenggal di atas batu ''awina''. Satu kepala tawanan biasanya dihargai sebesar enam ekor babi berukuran lima ''alisi.{{efn|name=alisi}}''{{Sfn|Sonjaya|2008|p=67b|ps=: "Bahkan ada binu yang ditangkap hidup-hidup dan baru dipenggal di atas awina dengan disaksikan orang banyak. (...) Harganya sangat mahal, yakni 6 x 5 alisi babi."}} Jika jumlah ''binu'' hasil buruan kurang dari yang dibutuhkan, maka para budak akan dikorbankan.{{sfn|Kruijt|1906|p=|ps=: "Het onthoofden heeft echter wel cens slechts in schijn plaats, vooral wanneer men, het vereischte aantal slachtoffers niet kunnende bekomen, genoodzaakt is eigen slaven te nemen."}}''Mangai binu'' juga terkadang dilakukan oleh para ''emali'' untuk dijual kepada pemipin banua ketika tidak ada pesanan. Tengkorak yang masih belum digunakan tersebut dibungkus daun untuk disimpan terlebih dahulu di bawah tanah atau di atas pohon untuk digunakan di kesempatan selanjutnya. Hal ini sebetulnya bertentangan dengan gagasan awal ''mangai binu'' bahwa kepala digunakan untuk pengorbanan, yang klimaksnya adalah saat pemenggalan kepala.
''Emali'' bersumpah atas kepalanya ketika pergi berburu. Sebelum pergi, mereka akan disajikan makanan di atas tempat makanan babi sebagai tanda bahwa mereka akan dianggap seperti babi jika pulang dengan tangan kosong. Jika mereka pulang dengan membawa ''binu'', mereka akan dielu-elukan namun akan dihina jika pulang tanpa membawa apa-apa.{{Sfn|Modigliani|1890|p=211|ps=: "I cacciatori di teste sono pagati e mettono in pegno la loro testa quando partono e quella dei loro figli, per il caso che non riportassero a casa altre teste.}}[[Berkas:Tolögu.jpeg|jmpl|Tolögu, pedang yang digunakan dalam berburu kepala|pra=Special:FilePath/Tolögu.jpeg]]
Baris 19 ⟶ 28:
Pada dasarnya, tidak ada aturan jelas mengenai cara memperoleh ''binu.'' Namun, para ''emali'' dilarang berburu kepala sesama [[Daftar marga Nias|mado]] dan warga banua tetangga untuk menghindari keributan.{{Sfn|Beatty|1992|p=31|ps=: "(...) in the days of head-hunting, in the ban on taking the head of fellow-clansman."}}{{Sfn|Puccioni|2016|p=80|ps=: "Supaya tidak menciptakan keributan dengan desa tetangga, mereka berburu agak jauh dari desa mereka."}} Mereka hanya boleh memburu kepala ''niha bö'ö'', orang yang tidak memiliki [[hubungan kekerabatan]] dengan mereka dan warga banuanya.{{Sfn|Beatty|1992|p=75|ps=: "A niha bö'ö is someone with whom there are no ascribed relations, no rights or obligations, and no prescribed form of behaviour. Niha bö'ö are quintesentially strangers, outsiders who are therefore potential enemies from whom (formerly) heads may be taken, and also potential spouses."}}
Para ''emali'' pantang masuk rumah sebelum melakukan ritual penyembahan kepada Adu Siraha Horö agar mereka bersih dari ''hara'', semacam panas yang timbul dari kekerasan akibat perburuan tersebut. Jika dia mengabaikan ritual dan memasuki rumah, panas yang dia bawa bersamanya diyakini bertanggung jawab atas penyakit yang akan timbul di dalam rumah.<ref name=":3" />
=== Hiasan ===
Jika ''binu'' diperoleh dari hasil perang, maka kepala kelompok musuh akan dipasang di atas sebuah monumen batu tinggi sementara kepala para prajuritnya akan dikubur.{{Sfn|Wiradnyana|2010|p=49|ps=: "(…), biasanya kepala yang digantung adalah kepala dari pemimpin musuh dan yang dikubur adalah kepala dari kelompok masyarakat biasa."}} Dalam kasus lain, ''binu'' musuh yang tewas saat perang atau sempat menjadi tawanan digantung di rumah pertemuan dan ibadah, ''osali'' (di selatan Nias disebut ''bale'').{{Sfn|Modigliani|1890|p=210|ps=: "Quando un nemico è fatto prigioniero o ucciso in guerra; la sua testa viene allora appesa sotto l'osalè."}} Sebuah ''binu'' yang digantung akan terlebih dulu dihias dengan serabut daun [[enau]] yang ditempel sebagai rambut dan janggut beserta dua potong bambu dengan potongan [[spiral]] untuk dikaitkan sebagai anting.{{Sfn|Modigliani|1890|p=217|ps=: "(...)al quale sono stati apposti i capelli e la barba ben imitati con filamenti di Arenga saccharifera e due pezzi di legno fregiati di una linea a spirale che furono infitti nella regione dell'orecchio(...)}}<!-- diisi; gaje --> Bagian tubuh korban lainnya digunakan prajurit sebagai hiasan diri dan peralatan mereka. Mereka menggulung dan mengikat rambut korban ke tombak besi mereka dan menggunakan tulang lengannya untuk menghiasi anting mereka.{{Sfn|Modigliani|1890|p=217b|ps=: "(...)e si pavoneggiano di poter tornare uno dei loro orecchini (fig. 123) con sezioni d' osso (forse d'omero) molto probabil- mente umano."}}
==
Tradisi ''mangai binu'' awalnya terlaksana atas beberapa alasan, yaitu alasan magis dan pendirian fondasi bangunan.▼
▲Suku Nias secara tradisional gemar berperang meskipun pertanian telah berkembang. Masyarakat lebih mementingkan budaya perang dan membuat perlengkapan senjata seperti tombak, pedang, [[Baluse|perisai]], [[Baru Öröba|baju besi]] daripada bertani dan membuat peralatan pertanian. Mereka melindungi banua dengan membangun rumah-rumah mereka di atas bukit dan menanam semak-semak beracun di sekeliling atau di parit. Gerbang banua biasanya ditutup pada malam hari dan rutin diadakan pengawasan karena kekhawatiran akan serangan musuh. Lingkungan yang penuh bahaya ini meresap ke seluruh struktur sosial dan politik orang Nias.<ref name=":4">{{Cite journal|last=Viaro|first=Mario Alain|year=2001|title=Ceremonial Sabres of Nias Headhunters in Indonesia|url=https://archive-ouverte.unige.ch/unige:26443|journal=Arts et cultures|language=en|volume=3|issue=|page=150-171|pages=150|doi=|issn=1264-5265}}</ref> Salah satu alasan untuk berperang melawan banua lain adalah untuk mendapatkan budak dan menjarah harta mereka, terlebih perhiasan [[emas]]. Seseorang yang memiliki emas (''so'aya'') dianggap berstatus tinggi sampai-sampai mereka dianggap setara dengan dewa (''So'aya'').{{Sfn|Hämmerle|2008|p=12|ps=: "Das niassische Wort so' aya, womit nun in den christlichen Kirchen Gott, der HERR bezeichnet wird, bedeutet im Grunde genommen nur dies: jener, der Goldschmuck hat ( aya: Schmuck)."}} Prajurit musuh yang kalah akan dipenggal kepalanya atau dijadikan budak. Para penjelajah yang datang ke Nias selalu menceritakan keadaan perang abadi di sana.<ref name=":4" /> Kebiasaan orang Nias membangun banua di perbukitan yang susah dijangkau bisa jadi sebagai upaya untuk melindungi dan menghindari diri dari jangkauan para ''emali''.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=53|ps=: "Tradisi mangani binu (memburu kepala) makin mengukuhkan sikap ini sehingga masing-masing kampung terisolir oleh emali (pemburu kepala).}}
Kepala manusia biasanya dimintakan oleh seorang ayah kepada putra sulungnya untuk diletakkan di sebelah mayatnya sebagai pelayan di alam baka. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa putranya tersebut akan menerima roh kepemimpinan setelah ayahnya meninggal. Jika putra sulung tidak bisa, maka sang ayah akan memilih putra lain untuk menjalankan tugas tersebut.{{Sfn|Frazer|1922|p=294|ps=: "But it from any bodily or mental defect the eldest son is disqualified for ruling, the father determines in his lifetime which of his son shall succeed him.}} Dalam [[Upacara pemakaman|upacara kematian]] tradisional, orang tua tidak dikubur dan tubuhnya rutin dibersihkan. Ketika daging yang melekat pada tubuh mayat telah habis, tengkoraknya akan ditanam di bawah sebuah [[megalit]] yang didirikan di depan rumahnya. Mukanya diletakkan menghadap rumah dan dikuburkan bersama ''binu''.{{Sfn|Beatty|1992|p=43|ps=: "(..) were in the care of the eldest son. It was usually he who was instructed by the dying father to obtain human heads for the funeral ceremony."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=230|ps=: "(...), a head might be taken for a funeral ovasa at which a stone was erected by the deceased man's successor."}}{{Sfn|Wiradnyana|2010|p=156|ps=: "Setelah daging yang melekat pada mayat itu habis, (…), lalu ditanam di bawah ''behu'' (batu berdiri). (…). Muka tengkorak itu menghadap ke depan rumah dan di antara tengkorak itu diletakkan binu untuk keperluan sebagai bantal, pembantu, penjaga."}} Jika pemimpin banua meninggal, tubuhnya akan dibiarkan sampai ahli warisnya telah mengumpulkan jumlah babi yang diperlukan untuk pemakaman.{{Sfn|Modigliani|1890|p=209|ps=: "E la che si depone il corpo di un Capo defunto finche l'erede non abbia riunito il numero di maiali necessari alla festa funebre (...)"}} Mereka beranggapan ''mangai binu'' adalah cara untuk mengambil jiwa atau kekuatan hidup korban dan untuk menawarkannya sebagai hadiah kepada roh-roh. Dengan cara ini, kepala banua memperoleh semacam jaminan untuk kehidupan setelah kematiannya. Jiwa korban juga berfungsi sebagai pengganti jiwa orang sakit sebagai hadiah yang menenangkan roh pendendam, yang diduga menyebabkan penyakit.{{Sfn|Schröder|1917|p=|ps=: "}}{{Sfn|Kruijt|1906|p=294-295}}{{Sfn|Zwaan|Pieter|p=110|ps=: "}} Dengan alasan magis pula, seorang budak dipenggal dan kemudian dikubur bersama tubuhnya ketika tuannya mengadakan sumpah sakral.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210c|ps=: "Per dare maggiore forza ad un giuramento inviolabile, nel quale caso si decapita uno schiavo e la sua testa viene poi sotterrata insieme al corpo."}}<!-- diisi --><!-- diisi -->▼
▲Dahulu, pendidikan berpusat pada perang dan kekerasan. Di selatan pulau, para pemuda berlatih sejak kecil untuk melompati [[Fahombo|batu ''hombo'']] setinggi dua meter atau membersihkan selokan yang diisi dengan bambu yang tajam.<ref name=":4" /> Seorang laki-laki baru dianggap dewasa dan boleh masuk ke dalam ''osali'' setelah dia menjadi ''iramatua''.{{Sfn|UCLA|1985|p=76|ps=: "In order to st in the bale a person must have the title fobinu, which means "owner of a head."}} ''Iramatua'' adalah gelar yang diberikan kepada seorang pemuda setelah dia berhasil memperoleh setidaknya satu kepala untuk digantung di ''osali.''{{Sfn|Skira|2000|p=44|ps=: "In such circumstances the skulls were hung under the house, before being put up in the men's assembly house (bale or osali)."}} Seorang pemuda yang kembali membawa kepala manusia akan dielu-elukan sebagai seorang pahlawan melalui sebuah pesta yang mengorbankan banyak babi. Pada kesempatan tersebut, kepala banua akan memberikan ''[[kalabubu]]'' kepada si pemuda sebagai tanda bahwa dia sudah menjadi seorang ''Iramatua''.{{Sfn|Marschall|2013|p=128|ps=: "Ihre Berichte von den Kopfjägern von Nias und den kakabubu als Zeichen eines erfolgreichen Kopfjägers, (...)"}}{{Sfn|Modigliani|1890|p=214|ps=: "Almeno una vittima devono essi avere sulla coscienza ed almeno un cranio devono aver appeso sotto la tettoia dell'osalè per arricchire la colezzion del villagio, prima di potersi chiamare guerrieri, Iramatúa, "}}{{Sfn|Modigliani|1890|p=215|ps=: "Una gran festa, nella quale soglionsi uccidere molti maiali, deve celebrare quel fausto avvenimento ed il Capo villagio nell'ammettere il giovane tra gli Iramatua, gli da in dono il Calabubu , collare d'onore di cui d'ora innanzi egli può fregiarsi al pari dei più anziani guerrieri"}} Para [[misionaris]] yang datang ke Nias nantinya mengakali kebiasaan uji kedewasaan tersebut dengan cara lain, seperti olahraga ''[[fahombo]]''.{{efn|name=fahombo}}<ref name=":1" />
''Binu'' disertakan dalam pembangunan fondasi banyak bangunan seperti rumah seorang pemimpin ([[Omo Sebua|''omo sebua'']]) dan ''bale/osali.'' Pendirian megalit seperti bangku batu di depan rumah pemimpin (''darodaro''), batu tempat pengadilan (''harefa''), dan batu ''[[Fahombo|hombo]]'' juga sama''.'' Dipercaya bahwa dengan fondasi ''binu'' dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh.<ref name=":0">{{Cite
▲Orang Nias percaya bahwa ada [[kehidupan setelah kematian]], sehingga kematian seseorang perlu disiapkan sebaik mungkin. Agar dapat hidup dengan nyaman, maka orang yang meninggal membutuhkan pelayan. Dipercaya, ''binu'' memiliki jiwa dan orang yang memilikinya adalah tuan atas jiwa pemilik kepala tersebut.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214b|ps=: "I selvaggi che cacciano teste credono che " il padrone del cranio è nell'altra vita padrone della persona, o meglio dell' anima dell'ucciso „3). Il conservarne il cranio quindi non è che il segno esterno del possesso (...)"}} Tengkorak yang disertakan dalam penguburan dipercaya akan menjadi pelayan di alam baka.{{Sfn|Modigliani|1890|p=214c|ps=: (...), che da un vivo in favore di se stesso e sempre dev'essere inteso come modo di procurare dei servi nella vita futura al morto oa sè stesso, (...)}} Orang Nias melakukan justifikasi terhadap tradisi ini dengan beranggapan bahwa manusia adalah babi peliharaan Tuhan.{{Sfn|Baaren|1955|p=6|ps=: "On the Island Nias the people call themselves the pigs of Lature. Every time the god kills a pig, a man dies."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=247|ps=: "-as well as obsolete practices and ideas such as head-hunting and the notion of men being the pigs of God-"}} Hal yang sama terlihat pada tradisi [[ngayau]] [[Suku Dayak]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=41|ps=: "Konon, yang tampak di depan orang Dayak, suku buruannya adalah binatang yang sudah selayaknya dipenggal."}} Tradisi perburuan kepala juga terlihat pada suku-suku [[Rumpun bahasa Austronesia|Austronesia]], kerabat suku Nias, lainnya.{{Sfn|UCLA|1985|p=36|ps=: "Among all Austronesians the head is the locus power in the human body; it was there for the most potent offering possible."}}
Tujuan ''mangai binu'' kemudian berkembang menjadi penanda status sosial karena memiliki ''binu'' berarti memiliki kemampuan tempur yang baik, atau jika hasil membeli berarti seseorang memiliki sarana finansial yang memadai karena ''binu'' adalah komoditas yang mahal.{{Sfn|Sundermann|1905|p=345–54, 408–31, 442–60|ps=: "}}<!-- diisi --> Jika seorang pria ingin meminang seorang wanita, dia harus menunjukkan kepala buruannya kepada keluarga calon istri. Keberhasilannya mendapatkan ''binu'' akan dikaitkan dengan keberhasilan orang tua dan leluhurnya dalam membesarkannya sehingga status sosial keluarga juga turut terangkat.<ref name=":0" />
== Sejarah ==
Baris 35 ⟶ 46:
Car il se peut que les marins arabes aient attribué ce vice aux habitants de Nia, croyant qu'il était commun à tous les pouples habitant Sumatra et les fles environnantes."}}
[[Sulaiman at-Tajir|Sulaiman]] mencatat tradisi ini dalam sebuah [[naskah]] pada tahun 851. Berdasarkan catatan tersebut, ''mangai binu'' dilakukan oleh seorang laki-laki untuk memperoleh kepala yang menjadi syarat untuk menikahi seorang wanita. Banyaknya wanita yang dapat dia nikahi bergantung pada banyaknya kepala yang dia peroleh saat berburu. Menurutnya, orang Nias memilki banyak musuh sehingga tradisi ini muncul sebagai bentuk pertahanan.{{Sfn|Sirafi|Sulayman|p=34b|ps=: "La cause de cette coutume est que les gens de cette île ont un grand nombre d'enemis;(...)"}}Tradisi ini juga menimbulkan anggapan keliru terhadap beberapa penulis selanjutnya bahwa suku Nias adalah [[Kanibalisme|kanibal]]{{Sfn|Schröder|1917|p=701|ps=: "(...); ils chassent les hommes, puis les mangent"." }} meskipun faktanya, tidak pernah terjadi kanibalisme akibat tradisi ''mangai binu''.
Car il se peut que les marins arabes aient attribué ce vice aux habitants de Nia, croyant qu'il était commun à tous les pouples habitant Sumatra et les fles environnantes."}} [[Muhammad al-Idrisi|Edrisi]] yang menulis tentang struktur pemerintahan dan pernikahan di pulau 'Niyan' yang berpenduduk padat dan didiami beragam suku pada tahun 1154 juga memberitakan tradisi ini.{{Sfn|Suzuki|1959|p=2|ps=: "In 1154, Edrisi gave the first "ethnography" of the island mentioning as he did something about village structure, headhunting, and marriage."}}<ref>{{Cite web|url=https://museum-nias.org/orang-nias/|title=Orang Nias|last=|first=|date=|website=Museum Pusaka Nias|language=id-ID|access-date=5 Maret 2020}}</ref>
{{Rquote|right|Ketika salah seorang dari mereka ingin menikah, dia hanya dapat melakukannya jika dia memiliki tengkorak seorang laki-laki dari antara musuh-musuhnya. Jika dia membunuh dua musuh, dia menikahi dua [wanita]; jika dia telah membunuh lima puluh musuh, dia menikahi lima puluh wanita [sukunya] untuk lima puluh tengkorak [musuh].|[[Sulaiman at-Tajir]]|Voyage du marchand arabe Sulaymân en Inde et en Chine, rédigé en 851, suivi de remarques par Abû Zayd Hasan (vers 916){{Sfn|Sirafi|Sulayman|p=34|ps=
Pemerintah [[Hindia Belanda]] melarang tradisi ini bersamaan dengan tradisi tidak beradab lainnya seperti [[perbudakan]] dan [[pengorbanan manusia]] lewat sebuah [[dekret]] yang dikeluarkan pada Desember 1856.{{Sfn|Puccioni|2016|p=52-53|ps=: "Pada Desember 1856 pemerintah Belanda merasa cukup berkuasa untuk menerapkan hukum. Mereka mengundang para raja untuk menginformasikan dekrit mereka.(...) Perbudakan, pemburuan, dan pengorbanan manusia diancam hukuman mati."}} Namun, dekrit ini kurang efektif karena pemerintahan Belanda atas Nias di saat itu hanya bisa berlaku di daerah pesisir [[Kota Gunungsitoli|Gunungsitoli]] yang banyak dihuni pemukim [[Suku Melayu|Melayu]] dan [[Tionghoa]] yang menjalin perdagangan dengan orang lokal. Hubungan para pendatang dengan kolonial cukup baik dan mereka mendapat perlindungan dari tentara Belanda terhadap ancaman ''emali.{{Sfn|Modigliani|1890|p=71|ps=: "Intanto (1876) arrivavano di sovente a Sitoli i reclami dei villagi malesi stabiliti lungo la costa orientale presso G. Lembui, perchè gli abitanti del vicino distretto di Iraòno lasse, nelle loro scorrerie a caccia di teste umane erano scesi a compire i loro assassinî su gente di quei pacifici villaggi."}}'' Di daerah pedalaman yang sulit dijangkau, terlebih di Nias bagian selatan, para prajurit lokal selalu mengadakan perlawanan atas kedatangan tentara di daerah mereka.{{Sfn|Puccioni|2016|p=55|ps=: "Pada tahun-tahun berikutnya, Nias Selatan kembali pada kondisi tahun 1840 karena pemerintah Belanda tidak mampu menegakkan kekuasaan dengan cara apapun."}}
Ketika [[Elio Modigliani]] menjelajahi Nias pada tahun 1886, praktik berburu kepala sudah ditinggalkan di utara Nias meskipun banyak masyarakatnya yang menjadi korban ''emali'' dari selatan.{{Sfn|Puccioni|2016|p=180|ps=: "Pada zaman itu juga, masyarakat Nias Utara telah meninggalkan budaya pemburuan manusia, walaupun sering menjadi korban para prajurit Nias Selatan."}}
==
[[Fangesa Sebua|Masuknya Kekristenan di Nias]] membuat masyarakat enggan melanjutkan tradisi ini, terlebih ketika Belanda akhirnya mampu
▲Tradisi ''mangai binu'' awalnya terlaksana atas beberapa alasan, yaitu alasan magis dan pendirian fondasi bangunan.
▲Kepala manusia biasanya dimintakan oleh seorang ayah kepada putra sulungnya untuk diletakkan di sebelah mayatnya sebagai pelayan di alam baka. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa putranya tersebut akan menerima roh kepemimpinan setelah ayahnya meninggal. Jika putra sulung tidak bisa, maka sang ayah akan memilih putra lain untuk menjalankan tugas tersebut.{{Sfn|Frazer|1922|p=294|ps=: "But it from any bodily or mental defect the eldest son is disqualified for ruling, the father determines in his lifetime which of his son shall succeed him.}} Dalam [[Upacara pemakaman|upacara kematian]] tradisional, orang tua tidak dikubur dan tubuhnya rutin dibersihkan. Ketika daging yang melekat pada tubuh mayat telah habis, tengkoraknya akan ditanam di bawah sebuah [[megalit]] yang didirikan di depan rumahnya. Mukanya diletakkan menghadap rumah dan dikuburkan bersama ''binu''.{{Sfn|Beatty|1992|p=43|ps=: "(..) were in the care of the eldest son. It was usually he who was instructed by the dying father to obtain human heads for the funeral ceremony."}}{{Sfn|Beatty|1992|p=230|ps=: "(...), a head might be taken for a funeral ovasa at which a stone was erected by the deceased man's successor."}}{{Sfn|Wiradnyana|2010|p=156|ps=: "Setelah daging yang melekat pada mayat itu habis, (…), lalu ditanam di bawah ''behu'' (batu berdiri). (…). Muka tengkorak itu menghadap ke depan rumah dan di antara tengkorak itu diletakkan binu untuk keperluan sebagai bantal, pembantu, penjaga."}} Jika pemimpin banua meninggal, tubuhnya akan dibiarkan sampai ahli warisnya telah mengumpulkan jumlah babi yang diperlukan untuk pemakaman.{{Sfn|Modigliani|1890|p=209|ps=: "E la che si depone il corpo di un Capo defunto finche l'erede non abbia riunito il numero di maiali necessari alla festa funebre (...)"}} Mereka beranggapan ''mangai binu'' adalah cara untuk mengambil jiwa atau kekuatan hidup korban dan untuk menawarkannya sebagai hadiah kepada roh-roh. Dengan cara ini, kepala banua memperoleh semacam jaminan untuk kehidupan setelah kematiannya. Jiwa korban juga berfungsi sebagai pengganti jiwa orang sakit sebagai hadiah yang menenangkan roh pendendam, yang diduga menyebabkan penyakit.{{Sfn|Schröder|1917|p=|ps=: "}}{{Sfn|Kruijt|1906|p=294-295}}{{Sfn|Zwaan|Pieter|p=110|ps=: "}} Dengan alasan magis pula, seorang budak dipenggal dan kemudian dikubur bersama tubuhnya ketika tuannya mengadakan sumpah sakral.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210c|ps=: "Per dare maggiore forza ad un giuramento inviolabile, nel quale caso si decapita uno schiavo e la sua testa viene poi sotterrata insieme al corpo."}}<!-- diisi --><!-- diisi -->
▲''Binu'' disertakan dalam pembangunan fondasi banyak bangunan seperti rumah seorang pemimpin ([[Omo Sebua|''omo sebua'']]) dan ''bale/osali.'' Pendirian megalit seperti bangku batu di depan rumah pemimpin (''darodaro''), batu tempat pengadilan (''harefa''), dan batu ''[[Fahombo|hombo]]'' juga sama''.'' Dipercaya bahwa dengan fondasi ''binu'' dan tubuh seorang anak kecil, tumpukan batu akan berdiri kokoh.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/lifestyle/read/2508078/kisah-emali-pemburu-kepala-manusia-untuk-teman-di-alam-kubur|title=Kisah Emali, Pemburu Kepala Manusia untuk Teman di Alam Kubur|last=Liputan6.com|date=2016-05-27|website=liputan6.com|language=id|access-date=2020-02-17}}</ref> Pendirian megalit paling jelas terlihat pada ''owasa'' pemberian gelar pelaksana pesta.{{Sfn|Modigliani|1890|p=210b|ps=: "Quando un Capo assume un nome più glorioso, che lo debba rendere maggiormente conosciuto.(...)}}{{Sfn|Modigliani|1890|p=477|ps=: "Le feste con le quali si esalta il nuovo titolo che il Capo si attribuisce, si bandiscono anche quando si erigono per la prima volta le pietre d'onore che ogni potente fa innalzare a testimonianza della propria importanza , (...)"}} Dalam ''owasa'' tersebut, didirikan megalit sejumlah satu hingga enam sekaligus. Pendirian ini mengharuskan tersedianya perhiasan emas dan dua ''binu'', satu pria dan satu wanita, dikuburkan di kaki batu terbesar untuk menghormati pelaksana pesta dan menurut tradisi, untuk "mencegah megalit jatuh". Di Nias tengah, jumlah kepala yang dibutuhkan untuk pendirian megalit bisa lebih banyak.<ref name=":4" /> Tidak luput pula, penetapan ''[[fondrakö]]'' pendirian suatu banua memerlukan ''binu''.<ref name=":4" />
▲Tujuan ''mangai binu'' kemudian berkembang menjadi penanda status sosial karena memiliki ''binu'' berarti memiliki kemampuan tempur yang baik, atau jika hasil membeli berarti seseorang memiliki sarana finansial yang memadai karena ''binu'' adalah komoditas yang mahal.{{Sfn|Sundermann|1905|p=345–54, 408–31, 442–60|ps=: "}}<!-- diisi --> Jika seorang pria ingin meminang seorang wanita, dia harus menunjukkan kepala buruannya kepada keluarga calon istri. Keberhasilannya mendapatkan ''binu'' akan dikaitkan dengan keberhasilan orang tua dan leluhurnya dalam membesarkannya sehingga status sosial keluarga juga turut terangkat.<ref name=":0" />
▲[[Fangesa Sebua|Masuknya Kekristenan di Nias]] membuat masyarakat enggan melanjutkan tradisi ini, terlebih ketika Belanda akhirnya mampu memaksakan kekuasaannya di Nias. Para ''emali'' tidak melanjutkan perburuan karena takut berbuat ''horö'' '[[Dosa (Kristen)|dosa]]' dan hukuman dari pihak kolonial.{{Sfn|Beatty|2019|p=77|ps=: "Translation preempted the present by rewriting the past. (...) Horö "war," "enmity," "crime," becomes "sin." "}}{{Sfn|Suzuki|1959|p=3|ps=: "The usual reasons for sending apunitive force to Nias was in order to put down skirmishes which arose out of headhunting parties or slave raids."}} Kasus ''mangai binu'' terakhir dicatat oleh Puccioni pada tahun 1998.{{Sfn|Puccioni|2016|p=346|ps=: "Kasus terakhir yang saya dengar terjadi tahun 1998 (...)."}} Namun, pemenggalan kepala dengan motif perebutan [[harga diri]] masih terjadi.{{Sfn|Afif|2018|p=183c|ps=: "(...), pemenggalan kepala saat ini lebih banyak disebabkan oleh pertikaian dalam mempertahankan harga diri."}} Sonjaya dalam bukunya ''Melacak batu menguak mitos'' menceritakan bahwa dia masih mendengar berita pembunuhan dengan pemenggalan kepala korban di Gomo hingga tahun 2008.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=71|ps=: "Dalam minggu pertama di Börönadu, saya mendengar ada pemenggalan kepala di desa tetangga hanya gara-gara memperebutkan pohon rambutan. Setelah mencoba menggali informasi mengenai kejadian itu, ternyata pembunuhan itu lebih berlatar belakang harga diri ketimbang pohon rambutan itu sendiri."}} Ketakutan akan ''emali'' di zaman dulu juga menyisakan kebiasaan pada beberapa penduduk. Beberapa keluarga melarang anak-anak kecil bermain di luar rumah dan beberapa pemuda Nias selalu membawa senjata tajam ketika keluar rumah pada malam hari sebagai bentuk kewaspadaan.{{Sfn|Afif|2018|p=183b|ps=: "Hal ini juga bisa dilihat dari cara para lelaki dewasa di Nias ketika akan berpergian di malam hari. Mereka selalu membawa senjata tajam untuk jaga diri."}}<ref>{{Cite journal|last=Laiya|first=Juang Solala|date=2017/12|title=Discourse Analysis on the Representation of Poverty in Southern Nias Culture|url=https://www.atlantis-press.com/proceedings/icosop-17/25892140|language=en|publisher=Atlantis Press|doi=10.2991/icosop-17.2018.87|isbn=978-94-6252-477-4}}</ref>
=== Legenda ===
Baris 60 ⟶ 62:
Di selatan Nias, terdapat kisah tentang Awuwkha yang [[menhir]] kuburnya berdiri di [[Sifalago Gomo, Boronadu, Nias Selatan|Sifalagö Gomo]].{{Sfn|Sonjaya|2008|p=63|ps=: "Di antara batu-batu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah sebuah behu berukuran sangat besar. (...) Oleh karena ukurannya yang besar itu, saya sangat tertarik untuk menelusuri asal-usulnya. (...), bernama Awuwukha.}}{{Sfn|Horor|2011|p=80|ps=: "Menhir Awuwukha merupakan situs yang terbuat dari batu."}} Dituturkan bahwa seorang pemuda tinggal bersama ibu dan tujuh orang saudaranya di [[Börönadu]] sekitar seratus lima puluh tahun lalu.{{Sfn|Afif|2018|p=176|ps=: "Menurut Sonjaya (2008:63), Awuwukha hidup sekitar lima generasi (setiap generasi sama dengan 25 tahun) lalu. Sementara menurut Thomsen (dalam Zebua, 2008), Awuwukha hidup jauh lebih lama, yaitu sekitar tujuh generasi yang lalu."}} Pada suatu hari, seorang pemuda dari banua Susua mengajak warga Börönadu untuk menghadiri pelaksanaan pesta ''owasa'' di banua mereka. Saat melewati rumah sang pemuda, seorang wanita meneriaki pembawa pesan tersebut dengan menghina kemaluannya. Pembawa pesan tersebut marah lalu kembali ke Susua. Beberapa hari kemudian, dia datang lagi ke Börönadu bersama beberapa pemuda banuanya untuk membalas kemarahannya dengan membakar rumah sang pemuda dan saudaranya. Mereka juga membakar lumbung padi milik seorang tokoh adat bernama Laimba. Si pemuda hanya bisa menyaksikan kejadian tersebut tanpa berbuat apa-apa.<ref name=":1" /> Di depan ibunya, pemuda tersebut bersumpah akan memenggal kepala orang-orang yang terlibat dalam pembakaran tersebut. Meski tidak disetujui ibunya dan Laimba, dia nekat pergi untuk memenuhi janjinya menuju Susua. Beberapa hari kemudian, si pemuda pulang dengan membawa karung berisi belasan kepala manusia. Hal ini membuat Laimba takut akan terjadi pertumpahan darah selanjutnya. Para penduduk Susua menyusun rencana untuk membunuh sang pemuda, namun selalu gagal karena kelihaiannya dalam bertarung. Kehebatan si pemuda pun tersiar di seluruh Nias dan dia dikukuhkan sebagai tokoh melalui ''owasa'', upacara tertinggi di masyarakat Nias. Perkataan seseorang yang telah menunaikan ''owasa'' secara otomatis akan menjadi hukum.<ref name=":1" /> Dia diberi gelar ''Awuwukha'' yang berarti 'jurang yang terjal'.{{Sfn|Sonjaya|2008|p=65|ps=: "Awuwukha adalah gelar yang diperoleh saat penyelenggaraan pesta tersebut. Nama itu berarti "jurang yang terjal" (...)"}} Menjelang kematiannya, Awuwukha berpesan bahwa ia ingin dikuburkan bersama lima orang yang akan melayaninya di alam kubur. Masing-masing bertugas menyiapkan minum, menyiapkan makanan, membuat [[Tradisi bersirih|sirih pinang]], memijat, dan menjagai kuburnya. Anak-anaknya lalu mencarikan lima kepala untuk penguburan Awuwukha.{{Sfn|Afif|2018|p=179|ps=: "Hal ini berarti anak-anak Awuwukha harus melakukan mangai binu, karena tak kuasa menolak wasiat leluhur."}}<ref name=":1" />
Sementara itu, di Nias bagian utara terdapat kisah tentang bersaudara
}}
Baris 89 ⟶ 91:
{{reflist|30em}}
== Daftar
{{refbegin|30em}}
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/1052585661|title=Dari Melayu menjadi Indonesia|last=Afif|first=Afthonul|date=Maret 2018|publisher=BASABASI|isbn=978-602-6651-90-7|editor-last=Afif|editor-first=Afthonul|edition=1|location=Bantul, Yogyakarta|pages=|oclc=1052585661|ref={{sfnref|Afif|2018}}|author-link=|editor-last2=Marsanto|editor-first2=Khidir|editor-last3=Solihin|editor-first3=Lukman|url-status=live}}
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/
*{{Cite book|url=http://worldcat.org/oclc/600943159|title=
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/24373886|title=Society and Exchange in Nias|last=Beatty|first=Andrew|date=1992|publisher=Oxford University Press|isbn=0-19-827865-9|location=Oxford|pages=|language=en|oclc=24373886|ref={{sfnref|Beatty|1992}}|author-link=|url-status=live}}
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/1090705175|title=Engaging Evil : A Moral Anthropology|last=Beatty|first=Andrew|date=2019|publisher=Berghahn Books|others=Olsen, William C.,, Csordas, Thomas J.,|isbn=1-78920-214-0|location=New York|pages=|language=en|chapter=Speak No Evil Inversion And Evasion in Indonesia|oclc=1090705175|ref={{sfnref|Beatty|2019}}|url-status=live}}
*{{Cite book|last=Brown|first=Lea|year=2005|chapter=Nias|editor1=Adelaar|editor-first=Alexander|editor2=Himmelmann|editor-first2=Nikolaus P.|chapter-url=https://books.google.de/books?id=BAShwSYLbUYC&pg=PA562|url-status=live|title=The Austronesian Languages of Asia and Madagascar|location=London|pages=|language=en|date=|publisher=Routledge|ISBN=0-7007-1286-0|ref={{sfnref|Brown|2005}}}}
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/
*{{Cite book|url=https://www.
*{{Cite book|url=https://
*{{Cite book|url=
*{{Cite journal|last=Hämmerle|first=Johannes M.|date=2013|year=|title=150 Years of Ethnological Interpretation and Misinterpretation on the Example of Nias, Indonesia|url=http://www.jstor.org/stable/23510271|journal=Anthropos|volume=108|issue=1|pages=173–204|doi=|issn=0257-9774|ref={{sfnref|Hämmerle|2013}}}}
*{{Cite book|url=http://archive.org/details/kitabajayibalhin00buzu|title=Kitāb ʻajāyib al-Hind|last=Shahriyār|first=Buzurg bin|last2=Lith|first2=P. A. van der (Pieter Antonie)|last3=Devic|first3=L. Marcel|date=1883|publisher=Leide : Brill|others=Getty Research Institute|isbn=|location=|pages=|language=fr|ref={{sfnref|Shahriyār|Lith}}|url-status=live}}▼
*{{Cite book|url=
*{{Cite book|url=https://
*{{Cite book|url=https://archive.org/details/hetanimismeinden00kruiuoft|title=Het Animisme In den Indischen Archipel|last=Kruijt|first=Alb. C. (Albertus Christiaan), 1869-1949.|date=1906|publisher=M. Nijhoff|isbn=|location=|pages=|language=nl|oclc=576376879|ref={{sfnref|Kruijt|1906}}|url-status=live}}
*{{Cite journal|last=Laiya|first=Juang Solala|date=2017/12|year=|title=Discourse Analysis on the Representation of Poverty in Southern Nias Culture|url=https://www.atlantis-press.com/proceedings/icosop-17/25892140|journal=|language=en|publisher=Atlantis Press|volume=|issue=|pages=|doi=10.2991/icosop-17.2018.87|isbn=978-94-6252-477-4|ref={{sfnref|Laiya|2017}}}}
*{{Cite book|last=Marschall|first=Wolfgang|year=2013|chapter=Zwei emblematische Paneele in einem Haus in Süd Nias (Indonesien)|editor1=Friends|editor-first=Weltmuseum Wien|editor2=|editor-first2=|chapter-url=https://books.google.co.id/books?id=r3zVAgAAQBAJ&printsec=copyright&hl=id#v=onepage&q=kalabubu&f=false|url-status=live|title=Archiv 61-62 - Archive Weltmuseum Wien|location=Wina|pages=128|language=de|date=|publisher=Archiv Weltmuseum Wien|ISBN=|issn=0066-6513|ref={{sfnref|Marschall|2013}}}}
*{{Cite book|url=https://
*{{Cite book|url=https://www.
*{{Cite book|url=
*{{Cite book|url=
*{{Cite book|url=
*{{Cite book
*{{Cite book|url=
*{{Cite book
*{{Cite journal|last=Viaro|first=Mario Alain|year=2001|title=Ceremonial Sabres of Nias Headhunters in Indonesia|url=https://archive-ouverte.unige.ch/unige:26443|journal=Arts et cultures|language=en|volume=3|issue=|page=150-171|pages=150|doi=|issn=1264-5265|ref={{sfnref|Viaro|2001}}}}
*{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/
▲*{{Cite book|url=http://archive.org/details/
{{refend}}
[[Kategori:Nias]]
|