Diponegoro: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Kehidupan pribadi: Suntingan eliminasi terhadap sumber tulisan yang tidak kredibel
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
 
(152 revisi perantara oleh 86 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox royalty
| embed =
| name = Pangeran Diponegoro
| image = Diponegoro.jpg
| image_size = 220px308px
| caption = Lukisan Pangeran Diponegoro
| title = Sultan Abdul Hamid Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa
| title = Bendara Pangeran Harya Dipanegara
| titletext =
| more =
| type =
| regent =
| regent = * [[Pahlawan Nasional Indonesia]]<br/>* [[Perang Jawa|Panglima perang Jawa]]
| reg-type = Dikenal atas
| birth_name = Bendara Raden Mas AntawiryaMustahar
| birth_date = 11 November 1785
| birth_place = [[KratonKesultanan YogyakartaNgayogyakarta Hadiningrat|KratonNgayogyakarta Yogyakarta]], [[YogyakartaHadiningrat]]
| death_date = {{death date and age|1855|1|8|1785|11|11|df=y}}
| death_place = [[Makassar]], [[SulawesiHindia SelatanBelanda]]
| burial_place = [[Melayu, Wajo, Makassar|Kampung Melayu, Wajo, Makassar]], [[Sulawesi Selatan]]
| spouse = Raden Ajeng Ratu Ratna Ningsih, Bendara Raden Ayu Retno Madubrongto, Raden Ayu Citrawati, R.A Maduretno, R.A Ratnakumala, Raden Ajeng Supadmi, Raden Ayu Ratnaningrum,Raden Ajeng Ratnadewati
| spouse-type = Pasangan
| consort =
| issue =
| issue-link =
| issue-pipe =
| issue-type =
| full name =
| era name =
| era dates =
| regnal name =
| posthumous name =
| temple name =
| house = =[[Wangsa Mataram|Mataram]]
| father = [[Hamengkubuwana III|Sultan Hamengkubuwana III]]
| mother = [[R.A. Mangkarawati]]
| religion = [[Agama =Islam|Islam]]
| occupation =
| signature_type = Tanda tangan
| signature =
| module = {{Infobox person|child= yes
| known_for = * [[Pahlawan Nasional Indonesia]]
* [[Perang Jawa|Panglima perang Jawa]]
}}
}}
 
'''[[Pangeran]] Diponegoro''' atau '''Raden Ontowiryo''' ({{lahirmati|[[Ngayogyakarta Hadiningrat]]|11|11|1785|[[Makassar]], [[Hindia Belanda]]|8|1|1855}}) adalah salahputra tertua dari [[Hamengkubuwana III|Sultan Hamengkubuwana III]] dan seorang [[pahlawan nasional Indonesia|pahlawan nasional]] [[Republik Indonesia]], yang memimpin [[Perang Diponegoro]] atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah [[Hindia Belanda]].<ref>{{Cite Diponegoro lahirbook|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan namaDiponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG Bendara(Kepustakaan PangeranPopuler Harya Dipanegara.Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=157|url-status=live}}</ref>
 
Sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Guldengulden. Sebagai konversi 1 gulden merupakan uang yang setara dengan satu gram emas sebagai persamaan, dan saat itu total pendapatan pemerintah Hindia Belanda per tahunnya adalah 2 juta gulden maka perang ini menghabiskan 10 tahun APBN Belanda dalam 5 tahun.
 
Perang Jawa berakhir setelah para pemimpinnya menyerahkan diri atau ditangkap oleh Belanda. Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang ketika melakukan silaturahmi Idul Fitri atas perintah Jenderal De Kock. Ia kemudian diasingkan ke Manado dan Makassar hingga akhir hayatnya.
== Asal usul ==
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (''garwa ampeyan''), bernama [[R.A. Mangkarawati]], dari [[Pacitan]] dan ayahnya bernama Raden Mas Surojo atau dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono III.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|title=Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-20}}</ref> Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan diberi nama Mustahar dan memiliki gelar nama Bendara Raden Mas Antawirya'''<ref>{{Cite news|url=https://tirto.id/intrik-keraton-dan-misteri-kematian-sultan-hamengkubuwana-iv-cAS4|title=Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV|last=Raditya|first=Iswara N|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2017-12-06}}</ref>''' dan nama Islamnya adalah Ngabdul Kamid'''.<ref name=":5" />'''
 
== Kehidupan awal ==
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah yakni Sultan [[Hamengkubuwana III]], untuk menjadi raja. Hal ini karena Pangeran Diponegoro menyadari posisi ibunya yang bukanlah sebagai [[permaisuri]].<ref name=":9">{{Cite web|url=https://tagar.id/pangeran-diponegoro-komandan-perang-jawa|title=Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa|last=|first=|date=2017-12-23|website=Tagar.id|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
Diponegoro lahir di [[Daerah Istimewa Yogyakarta|Yogyakarta]] pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (''garwa ampeyan''), bernama [[R.A. Mangkarawati]], dari [[Pacitan]] dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik takhta bergelar [[Hamengkubuwana III]].<ref name=":0">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|title=Memenuhi Ramalan Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-20|archive-date=2022-08-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20220827135752/https://historia.id/politik/articles/memenuhi-ramalan-pangeran-diponegoro-DW1RP|dead-url=yes}}</ref> Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian setelah dewasa menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.<ref>{{Cite news|url=https://tirto.id/intrik-keraton-dan-misteri-kematian-sultan-hamengkubuwana-iv-cAS4|title=Intrik Keraton dan Misteri Kematian Sultan Hamengkubuwana IV|last=Raditya|first=Iswara N|newspaper=tirto.id|language=id-ID|access-date=2017-12-06}}</ref>
 
Pangeran Diponegoro dikenal sebagai pribadi yang cerdas, banyak membaca, dan ahli di bidang hukum Islam-Jawa.<ref name=":0" /> Dia juga lebih tertarik pada masalah-masalah keagamaan ketimbang masalah pemerintahan keraton dan membaur dengan rakyat. Sang Pangeran juga lebih memilih tinggal di [[Tegalrejo, Yogyakarta|Tegalrejo]], berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya, yakni Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, permaisuri dari Sultan [[Hamengkubuwana I]], daripada tinggal di [[keraton]] sejak kecil Diponegoro sudah sanggat dekat dengan rakyat dan para santri, dalam [[Babad Diponegoro]] di jelaskan kalau semasa kecil Diponegoro di ajarkan menanam padi dan kegiatan rakyat lainnya oleh neneknya di tegal rejo yang menjadikan Diponegoro muda sangat dekat dengan rakyat dan mengerti penderitaan rakyat jawa di bawah tekanan pemerintah kolonial Hindia Belanda.<ref name=":9">{{Cite web|last=|first=|date=2017-12-23|title=Pangeran Diponegoro Komandan Perang Jawa|url=https://tagar.id/pangeran-diponegoro-komandan-perang-jawa|website=Tagar.id|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Pangeran Diponegoro adalah seorang yang menggemari kuda dan saat di Tegalrejo sebelum perang memiliki lebih dari 60 orang Jawa untuk memelihara kudanya. Bak-bak air besar dari tembok untuk memberi minum kudanya masih terlihat sampai kini (2021). Kandang kuda dan istal Pangeran begitu luas sampai Sentot muda, yang datang untuk hidup di Tegalrejo saat berumur 6 tahun setelah kakak perempuannya, Raden Ayu Maduretno menikah dengan Pangeran, lebih mementingkan belajar naik kuda daripada menjadi santri. Saat mulai pecahnya Perang Jawa, kuda kekar hitam tunggangan Dipnegoro, Kiai Gitayu (Gentayu) dan ketangkasannya di atas pelana dicatat oleh komandan kavaleri Belanda. Saat perang, keahlian Pangeran menunggang kuda sangat membantu dirinya untuk selamat ketika sering bisa menghindari pengejaran di medan yang sulit, terutama waktu menyeberang Kali Progo, dimana Pangeran mengetahui semua area dangkal yang bisa dipakai untuk mengarungi sungai lebar itu tanpa dihanyutkan air.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=162|url-status=live}}</ref>
Pangeran Diponegoro mulai menaruh perhatian pada masalah keraton ketika dirinya ditunjuk menjadi salah satu anggota perwalian untuk mendampingi Sultan Hamengkubuwana V (1822) yang saat itu baru berusia 3 tahun. Karena baru berusia 3 tahun, pemerintahan keraton sehari-hari dikendalikan oleh Patih [[Danureja IV|Danureja]] dan Residen Belanda. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.<ref name=":9" />
 
== Nama dan gelar kepangeranan ==
Pangeran Diponegoro lahir dengan nama asli Raden Mas Muntahar. Ia menerima nama dewasa dan gelar Bendara Raden Mas Antawirya pada 3 September 1805 di usia 20 tahun.{{Sfn|Carey|2017|p=18}} Pada usia itu pula Diponegoro memulai perjalanan spiritual ke Pantai Selatan. Selama perjalanan itu ia mengganti namanya menjadi Syekh Ngabdurahim yang diambil dari bahasa Arab Shaykh 'Abd al-Rahim yang kemungkinan diusulkan oleh penasihat spiritualnya di Tegalrejo. Nama samaran ini digunakannya agar tidak dikenali orang dan sebagai tanda bahwa ia ingin menjadi santri.{{Sfn|Carey|2017|p=56}}
 
Setelah ayahnya naik takhta sebagai Hamengkubuwana III, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara pada Juli 1812. Gelar Pangeran Dipanegara atau Diponegoro ini sebenarnya gelar yang lumrah diberikan kepada pangeran Jawa. Setidaknya salah seorang putra [[Pakubuwana I]] yang memberontak pada masa Perang Suksesi Jawa Kedua dan suami kedua dari putri [[Hamengkubuwana I]] yang meninggal pada 1787 pernah menyandang gelar tersebut. Gelar ini juga disandang adik [[Pakubuwana IV]] yang meninggal pada 1811. Mengingat hanya satu pangeran yang boleh menyandang gelar tertentu pada satu waktu dan gelar tersebut sudah lama tidak dipakai di Kraton Yogya sejak 1787, maka HB III menganugerahkan gelar itu pada anak tertuanya sekaligus putra kesayangannya. Diponegoro sendiri pada akhirnya mewariskan gelar tersebut ke anak sulungnya, Diponegoro II, sewaktu perjalanan ke pengasingan. Diponegoro memberikan analisis terkait makna namanya tersebut kepada pengawalnya di pengasingan, Julius Knoerle.{{Sfn|Carey|2017|p=186-187}}{{Sfn|Carey|2008|p=369-370}}
 
{{Cquote|quotetext="'Dipo' [dari bahasa Sankrit 'dipa'] berarti seseorang yang menyebarkan pencerahan atau yang memiliki hidup dan kekuatan [...] 'negoro' berarti suatu daerah [...] maka 'Diponegoro' berarti seseorang yang memberi pencerahan, kekuatan dan kemakmuran kepada suatu daerah (negara)" (Knoerle, 'Journal', 10).|author=Carey 2017:187}}
Nama Islamnya adalah Abdul Hamid atau Ngabdulkamit.<ref name=":5" /> Dalam Babad Dipanegara disebutkan bahwa Diponegoro mendengar suara gaib yang memanggilnya dengan Ngabdulkamit. Nama Ngabdulkamit ini disandang oleh Diponegoro dan digabungkan dengan gelar Sultan Erucokro (Ratu Adil) selama Perang Jawa untuk menampilkan sosok dirinya sebagai Ratu Adil dan pemimpin agama.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}} Gelarnya selama Perang Jawa adalah ''Sultan Abdul Hamid Erucokro Kabirul Mukminin Sayyidin Paneteg Panatagama Kalifatu Rosulillah ing Tanah Jawa'' yang berarti Sultan Abdul Hamid (Ngabdulkamit), Ratu Adil (''Erucokro''), Pemimpin Agama (''Sayyidin''), Penata Agama ''Panatagama'') dan Khalifah Rasulullah (''Kalifatu Rosulillah'') di tanah Jawa (''ing Tanah Jawa'').{{Sfn|Carey|2017|p=286}}
 
Selama pengasingannya di Manado, Diponegoro ingin dipanggil sebagai "Pangeran Ngabdulkamit". Dalam refleksi yang ditulis di Makassar, ia menyebut dirinya sebagai 'fakir' Ngabdulkamit. Pemilihan nama Ngabdulkamit ini mungkin berhubungan dengan [[Abdul Hamid I]], Sultan Turki Utsmani yang menyatakan diri sebagai [[Khalifah|'khalifah']] atau pemimpin umat Islam di seluruh dunia.{{Sfn|Carey|2017|p=68-69}} Setelah Perang Diponegoro, di mana banyak keluarga dan kerabat Diponegoro yang dicap sebagai pemberontak dan diasingkan oleh pemerintah Belanda, gelar kepangeranan Diponegoro dilarang diberikan kepada seluruh anggota keluarga keraton-keraton Jawa tengah bagian selatan.{{Sfn|Carey|2014|p=413}}{{Sfn|Carey|2008|p=747}}
 
== Kehidupan pribadi ==
Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas, dan berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di [[Selorejo, Girimarto, Wonogiri|Selarejo]] dan Selarong, kebun yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung tekukur, buaya hingga harimau.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://historia.id/kuno/articles/tujuh-kebiasaan-pangeran-diponegoro-yang-belum-diketahui-banyak-orang-DwR8O|title=Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang|last=|first=|date=|website=Historia.id|language=id|access-date=2020-03-20}}</ref>
 
Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah beberapa kali dalam hidupnya.<ref name=":1" /> Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.<ref name=":8">{{Cite web|url=https://kumparan.com/kumparannews/perempuan-perempuan-di-hidup-pangeran-diponegoro-1qp5ue6vepl|title=Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Kumparan.com|language=id-ID|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan [[Hamengkubuwana III]].<ref name=":8" /> Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.<ref name=":8" />
 
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. <ref name=":17">{{Cite web|url=http://diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id/biography/|title=Biografi terkait Diponegoro|last=|first=|date=|website=diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id|access-date=2020-03-22|archive-date=2020-03-22|archive-url=https://web.archive.org/web/20200322105747/http://diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id/biography/|dead-url=yes}}</ref>
 
Pangeran kembali menikah keempat kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan [[Sentot Prawirodirdjo|Sentot Prawiradirdja]], tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk kelima kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Pernikahan keenam dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang Kepadhangan; pernikahan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.<ref name=":17"/><ref>{{Cite web|url=https://daerah.sindonews.com/read/1103524/29/kisah-pangeran-diponegoro-dan-wanita-wanita-di-sekelilingnya-1461424872|title=Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya|website=SINDOnews.com|language=id-ID|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 11 putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, di antaranya [[Jawa]], [[Madura]], [[Sulawesi]], [[Maluku]], [[Australia]], [[Serbia]], [[Jerman]], [[Belanda]], dan [[Arab Saudi]].<ref>{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/regional/read/2493678/pangeran-diponegoro-dan-wanita-wanita-cantik|title=Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita Cantik|last=|first=|date=2016-04-27|website=Liputan6.com|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda, meski lebih banyak menghabiskan hidup di pengasingan. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut.<ref name=":1" />
 
Pangeran Diponegoro memiliki kemampuan berbahasa Jawa meski ia tak pandai menulis aksara Jawa{{Sfn|Carey|2008|p=109}}, sedikit [[bahasa Melayu]], dan sedikit [[bahasa Belanda]]. Namun, sebisa mungkin ia menghindari berbicara dalam bahasa Melayu, yang menurutnya seperti ''<nowiki/>'basa pitik''' (bahasa ayam) sehingga tak ada satupun pemimpin Jawa yang ingin mendengarnya.{{Sfn|Carey|2008|p=109}} Dengan kata lain ia memandang rendah status bahasa Melayu yang saat itu digunakan untuk perdagangan dan komunikasi (''[[Basantara|lingua franca]]'') antara orang pribumi dan orang Eropa.
Pangeran Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 perempuan dalam hidupnya.<ref name=":1" /> Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27 tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki bernama Putra Diponegoro II.<ref name=":8">{{Cite web|url=https://kumparan.com/kumparannews/perempuan-perempuan-di-hidup-pangeran-diponegoro-1qp5ue6vepl|title=Perempuan-perempuan di Hidup Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Kumparan.com|language=id-ID|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
== Kehidupan sebagai pangeran ==
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas permintaan Sultan Hamengkubuwono III.<ref name=":8" /> Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.<ref name=":8" />
Meski menjalani sebagian hidupnya di Tegalrejo, Diponegoro tetap menjalankan kewajibannya sebagai seorang pangeran Kesultanan Yogyakarta. Ia tetap menghadiri Grebeg Maulud dan Grebed Puasa, dua upacara besar dalam tradisi Islam-Jawa.
 
Ia dikenal sebagai salah satu penasihat pribadi ayahnya selama ayahnya menjadi Putra Mahkota hingga diangkat sebagai Sultan HB III. HB III mendiskusikan banyak urusan dengan Diponegoro. Salah satunya saat mereka memutuskan mengangkat Danurejo IV untuk menggantikan Danurejo III yang sudah lanjut usia.{{Sfn|Carey|2017|p=196}} Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah dan Residen Inggris yang bernama [[John Crawfurd]] untuk menjadi sultan bahkan sampai dua kali. Padahal, sebagai anak laki-laki tertua ayahnya dan pangeran yang kompeten, Diponegoro layak menduduki posisi sultan. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang hanya ''garwa ampeyan'' (selir), bukan [[permaisuri]], membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut. Selain itu, dia juga tidak mau menjadi sultan karena melihat posisi ayahnya sebagai sultan tetapi kurang independen karena mendapatkan tekanan di sana-sini dari Inggris dan Belanda yang memengaruhi banyak kebijakan keraton.<ref name=":9" />
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai di wilayah Selatan, Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati, puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.<ref name=":16">{{Cite web|url=http://diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id/biography/|title=Biografi terkait Diponegoro|last=|first=|date=|website=diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
Saat HB III wafat, adik laki-laki Diponegoro yang masih berusia 10 tahun diangkat sebagai [[Hamengkubuwana IV]]. Diponegoro sangat memperhatikan dan mengawasi pendidikan sultan muda itu. Ia sering datang dari Tegalrejo untuk menceritakan kisah-kisah kepahlawanan ''<nowiki/>'Fatih al-Muluk''' (Kemenangan Raja-Raja). Diponegoro juga merekomendasi banyak teks bacaan{{Sfn|Carey|2017|p=204-205}} untuk adiknya. Meski demikian, HB IV bukanlah seseorang yang rajin belajar. Ia lebih suka kesenian dan berkuda ketimbang literatur Jawa.
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah dengan [[Sentot Prawirodirdjo|Sentot Prawiradirdja]], namun lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang Bupati Jipang Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.<ref name=":16" />
 
=== Perwalian Hamengkubuwana V ===
Diponegoro kembali menikah untuk kesembilan kalinya dengan perempuan dari Wajo, Makassar, bernama lengkap Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar. Syarifah Fathimah adalah seorang putri dari Datuk Husain yang makamnya berada di Makassar.<ref>{{Cite web|url=https://daerah.sindonews.com/read/1103524/29/kisah-pangeran-diponegoro-dan-wanita-wanita-di-sekelilingnya-1461424872|title=Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya|website=SINDOnews.com|language=id-ID|access-date=2020-03-22}}</ref>
Setelah Hamengkubuwana IV meninggal mendadak pada Desember 1822, ibunda HB IV, Ratu Ageng, dan janda HB IV, Ratu Kencono memohon Pejabat Residen Belanda, De Salis, untuk segera mengukuhkan Putra Mahkota yang baru berusia dua tahun untuk naik takhta sebagai [[Hamengkubuwana V]] sekaligus meminta Paku Alam I tidak lagi menjadi wali raja.
 
Setelah mendapat dukungan dari Gubernur Jenderal [[Godert Alexander Gerard Philip baron van der Capellen|van der Capellen]], De Salis merekomendasikan dewan perwalian yang berisi empat orang, yakni Ratu Ageng, Ratu Kencono, Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi. Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertanggungjawab untuk mengasuh sultan. Sementara dua pangeran ditunjuk untuk pengelolaan keraton hingga sultan cukup umur. Dua pangeran wali juga menerima pembayaran pajak pasar dan pajak gerbang cukai senilai 100 ribu dolar Spanyol setiap tahunnya secara langsung tanpa melalui Patih [[Danurejo IV (III)|Danurejo IV]]. Patih hanya diperbolehkan mengendalikan pemerintahan jika kedua pangeran itu lalai dalam tugasnya.{{Sfn|Carey|2017|p=256}}
Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12 putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk [[Jawa]], [[Madura]], [[Sulawesi]], [[Maluku]], [[Australia]], [[Serbia]], [[Jerman]], [[Belanda]], dan [[Arab Saudi]].<ref>{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/regional/read/2493678/pangeran-diponegoro-dan-wanita-wanita-cantik|title=Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita Cantik|last=|first=|date=2016-04-27|website=Liputan6.com|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
Tak lama setelah HB V diangkat, terjadi penghapusan sewa tanah oleh orang Eropa sehingga keraton sebagai pemilik tanah harus memberikan ganti rugi kepada para penyewa. Diponegoro dan Mangkubumi yang mengemban tugas mengelola keuangan keraton bertindak atas nama sultan untuk bernegosiasi terkait skema ganti rugi. Residen Nahuys meminta kompensasi yang sangat tinggi yang ditolak oleh kedua pangeran itu sehingga akhirnya menawarkan harga 26 ribu dolar Spanyol. Ratu Ageng memerintahkan Danurejo IV untuk menerima tawaran itu tanpa persetujuan Diponegoro dan Mangkubumi. Kompensasi yang sangat besar itu berimbas pada keuangan keraton yang menipis hingga keraton perlu meminjam uang ke Kapitan Cina dan Diponegoro dipaksa menyetujuinya. Dalam banyak urusan keraton, termasuk urusan keuangan, Ratu Ageng dan Danurejo IV cenderung mengikuti permintaan Belanda karena takut terjadi apa-apa pada HB V yang masih anak-anak. Sementara Diponegoro dipaksa memberi cap persetujuan saja dan semua hal penting diputuskan tanpa kehadirannya.{{Sfn|Carey|2017|p=267-271}} Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian seperti itu, sehingga dia melakukan protes.<ref name=":9" /> Pada akhirnya, Diponegoro dan Mangkubumi memilih mundur sebagai wali karena tidak setuju dengan pengelolaan keuangan yang merugikan keraton dan hanya menguntungkan Belanda dan kroni-kroninya, termasuk Danurejo IV. Urusan-urusan dalam keraton kemudian diputuskan oleh Residen Smissaert dan Asisten Residen Chevallier, Ratu Ageng, Danurejo IV, komandan pengawal sultan Wironegoro, dan penerjemah Karesidenan Johannes Godlieb Dietreé.{{Sfn|Carey|2017|p=270-271}}
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda. Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya pengecut dengan cara mengiriminya pakaian perempuan.<ref name=":1" />
 
== Perang Diponegoro (1825-18301825–1830) ==
{{utama|Perang Jawa}}[[Perang]] Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa [[Tegalrejo]]. Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.<ref name=":3">{{Cite web|url=https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/09/111125669/biografi-pangeran-diponegoro-pemimpin-perang-jawa|title=Biografi Pangeran Diponegoro, Pemimpin Perang Jawa Halaman all|last=|first=|date=|website=Kompas.com|language=id|access-date=2020-03-20}}</ref>
 
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ProfessorProfesor [[Wardiman Djojonegoro]], terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang dilakukan disebabkan sang Pangeranpangeran ingin melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan Istanaistana dari madat.<ref>{{Cite web|url=https://republika.co.id/share/pukwyo396|title=Meluruskan Fakta dalam Sejarah Pangeran Diponegoro|date=2019-07-13|website=Republika Online|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di [[Gua Selarong]]. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah [[perang sabil]], perlawanan menghadapi kaum [[kafir]]. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah [[Kabupaten Pacitan|Pacitan]] dan [[Kedu]].<ref name=":3" />
 
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen, Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, BrojonegoroBojonegoro, Tuban, dan Surabaya.<ref name=":12" />
 
=== Sumpah Ati Rata ===
Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan [[Pakubuwana VI]] (PB VI)/ [[Pakubuwana VI|R.M. Sapardan]], dan dibantu oleh [[Prawiradigdaya|Tumenggung Prawiradigdaya]]/ [[Prawiradigdaya|R.M. Panji Yudha Prawira]] bupati Gagatan saat itu. Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Dipanegara menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah Mataram. Orang pertama yang dikunjungi adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di [[Bayat, Klaten|Bayat]], [[Kabupaten Klaten|Klaten]], selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi menemui Kiai Maja, kiai kepercayaan Pakubuwana IV. Kemudian dengan diantar Kiai Maja, Pangeran Dipanegara menemui Tumenggung Prawiradigdaya di Gagatan. Tumenggung Gagatan adalah kepercayaan Susuhunan Pakubuwono VI. Pada tahun 1824, atas saran Kiai Maja dan Tumenggung Prawiradigdaya, Pangeran Dipanegara menemui Susuhunan Pakubuwana VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan.<ref>{{Cite web|last=Al Latif|first=Ibnu Khan|date=2010-04-22|title=Ibnu Khan al Latif: Menelusuri KRT. Prawirodigdoyo (I)|url=http://ibnukhan.blogspot.com/2010/04/menelusuri-krt-prawirodigdoyo-i.html|website=Ibnu Khan al Latif|access-date=2023-03-02}}</ref> Dukungan tersebut dideklarasikan dalam [https://www.solopos.com/siasat-perang-jawa-lahir-dari-sumpah-ati-roto-begini-cerita-sejarahnya-1228016 Sumpah Ati Rata] (Sumpah Hati Rata) pada Rabu Wage 17 Pasa 1239 H/ 1752 J (5 Mei 1825), bertempat di tempat yang saat ini masuk ke Dk. Gagatan ([[Ketoyan, Wonosegoro, Boyolali|Ketoyan]], [[Wonosegoro, Boyolali|Wonosegoro]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]]). Ketiganya adalah tokoh penting (tritunggal) di balik siasat [[Perang Diponegoro|Perang Dipanegara]]. Tempat dilakukannya Sumpah Atirata ini saat ini dinamakan Pesanggrahan Dinrah. Isi Sumpah Atirata adalah: Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sapadanig Urip Rila Lega Ing Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hamabuang Tilas Tan Gawe Wisuna. Ca. Tan Ngowahi Naluri Tanah Jawa Dadi Raharja.<ref>{{Cite web|last=Purnama Aji|first=Ardhiatama|date=2019-04-14|title=Sejarah Lisan Meletusnya Perang Diponegoro di Boyolali|url=https://kalamkopi.wordpress.com/2019/04/15/meletusnya-perang-diponegoro-di-boyolali-dalam-sejarah-lisan/|website=Kalamkopi|language=id|access-date=2023-03-02}}</ref>
 
==== Dukungan Sunan Pakubuwana VI ====
{{Main article|Pakubuwana VI}}
 
Perjuangan Pangeran Dipanegara juga didukung oleh [[Pakubuwana VI|Sunan Pakubuwana VI]] (PB VI) dan Sunan Pakubuwana VI mendukung peperangan dengan menyediakan logistik dan persenjataan, yang diserahkan dengan menyamar sedang bepergian untuk bertapa di berbagai tempat (sehingga dikenal sebagai Pangeran Bangun Tapa), di antaranya di [[Gua Raja, Selo|Gua Raja]] di lereng atas [[Gunung Merbabu]] yang masuk wilayah [[Selo, Boyolali|Sela]] (Sesela, nama kuno wilayah ini yang muncul di kumpulan Naskah Merapi-Merbabu, salah satunya Gita Sinangsaya<ref>{{Cite journal|last=Kriswanto|first=Agung|title=Gita Sinangsaya|url=https://www.academia.edu/12430330/Gita_Sinangsaya}}</ref>) dan di [[Alas Krendhawahana]]. Pertemuan-pertemuan rahasia tersebut untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda.<ref>{{Cite web|last=Handayani|first=Maulida Sri|title=Peran Ganda Raja Surakarta Berujung Petaka|url=https://tirto.id/peran-ganda-raja-surakarta-berujung-petaka-crZU|website=tirto.id|language=id|access-date=2023-03-02}}</ref> Usai ditangkap dan diasingkannya Pangeran Dipanegara, Belanda menangkap [[Mas Pajangswara]] juru tulis keraton yang juga orang kepercayaan Pakubawana VI (ayahanda pujangga kenamaan [[Ranggawarsita]]), yang kemudian disiksa dan dibunuh karena tidak mau mengaku rahasia keterlibatan Pakubuwana VI dengan Pangeran Dipanegara. Meski tidak mengakui, Belanda memfitnah bahwa Mas Pajangswara membongkar rahasia tersebut, dan dijadikan alasan untuk menangkap Pakubuwana VI yang kemudian dibuang ke [[Pulau Ambon|Ambon]] pada 8 Juni 1830 dan wafat pada 2 Juni 1849.<ref>{{Cite book|last=Purwadi|date=2001|url=https://books.google.co.id/books/about/Babad_Tanah_Jawi.html|title=Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik|pages=85|url-status=live}}</ref>
 
==== Tumenggung Prawiradigdaya ====
{{Main article|Prawiradigdaya}}
 
[[Tumenggung Prawiradigdaya]], dengan nama kecil Yudha Prawira (Yudo Prawiro), adalah cucu [[Ngabehi Prawirasakti]] (Adimenggala) dari [[Kadipaten Gagatan]] (saat ini masuk di wilayah [[Wonosegoro, Boyolali|Kecamatan Wonosegoro]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]], [[Jawa Tengah]]), putra [[Raden Surataruna III]]. Ibunya, Raden Ayu Surataruna adalah putri [[Adipati Natakusuma]] (Pangeran Juru), patih kerajaan [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]] yang dibuang Belanda ke [[Sri Lanka|Ceylon]]. Sejak kecil Yudha diasuh oleh kakeknya, yakni [[Ngabehi Prawirasakti]]. Setelah berusia tiga belas tahun dia dikirim ke pondok pesantren Petingan di utara Yogyakarta, menjadi murid [[Syekh Kaliko Jipang]] (Syeh Kholik dari Jipang, Penghulu Besar Kraton). Ngabehi Prawirasakti dan Syekh Kalika merupakan orang kepercayaan [[Hamengkubuwana I|Pangeran Mangkubumi]]. Di pondok pesantren ini, bertemu dengan Raden Mas Antawirya (Pangeran Dipanegara) yang saat itu berumur delapan tahun (ketika Syekh Kalika meninggal tahun 1798, Antawirya dikirim ke pondok pesantren Mlangi asuhan [[Kiyai Taptajani]]). Sebagai saudara seperguruan, Antawirya lebih menguasai ilmu kepemimpinan, ilmu hukum, tarikh Islam dan filsafat, sedangkan Yudha menguasai pengetahuan Islam dan puncak ilmu kesaktian, yang kemudian menjadi tambahan bekalnya saat menjadi bupati pamajegan (wilayah tanah raja yang menghasilkan pajak) di Gagatan bergelar [[Prawiradigdaya|R.T. Prawiradigdaya]].<ref>{{Cite journal|last=Supriyo|first=Priyanto|date=2010-11-11|title=PANGERAN DIPONEGORO : Sebagai Seorang Bangsawan Jawa, Arsitek dan Sastrawan|url=http://eprints.undip.ac.id/23916/|journal=Pangran Diponegoro}}</ref><ref>{{Cite journal|last=Singgih Tri Sulistiyono|first=Singgih|date=2018-02-14|title=MENGGALI NILAI-NILAI PERJUANGAN PANGERAN DIPANEGARA|url=http://eprints.undip.ac.id/61214/|location=BINTALDAM IV DIPONEGORO}}</ref> Pada masa [[Pakubuwana VI]] berkuasa, wilayah Gagatan meliputi Karanggede, Klego, Wonosegoro, hingga Juwangi. Menjelang [[Perang Diponegoro|Perang Jawa]], [[Prawiradigdaya|Tumenggung Prawiradigdaya]] mempersiapkan pertemuan Pangeran Dipanegara bersama Pakubuwana VI melakukan [https://www.solopos.com/siasat-perang-jawa-lahir-dari-sumpah-ati-roto-begini-cerita-sejarahnya-1228016 Sumpah Ati Rata]. Dalam Perang Jawa, Tumenggung Prawiradigdaya gugur dalam peperangan, dan dimakamkan di tempat pemakaman gurunya, Syekh Kalika, di Blunyah Gedhe di utara Yogyakarta.<ref>{{Cite book|last=Adinoto|first=Suwarno|date=1986|title=Menyingkap Kepahlawanan T. Prawirodigdoyo: Sawung Gagatan|location=Jakarta|publisher=Pamong Perwakilan Paguyuban Trah Gagatan Jakarta|pages=12-14|url-status=live}}</ref>
 
=== Para panglima Diponegoro ===
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah [[Kiai Madja]], SISKS Pakubuwono[[Pakubuwana VI]], dan Raden Tumenggung PrawirodigdayaPrawiradigdaya.<ref name=":3" /> Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah [[Kulonprogo]] dan Bagelen. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.<ref name=":12" />
 
==== Kiai MadjaMaja ====
{{Main article|Kiai Madja}}
[[Kiai Madja|Kiyai Maja IV]] (Kiayi Mojo) memiliki nama kecil Muslim Mochamad Khalifah, merupakan buyut [[Kiyai Mojo I]]/ [[Kiayi Maja I|RT Citrosoma]] (1788-1820), cucu [[Kiayi Mojo II]], [[Kyai Baderan I|putra Kiayi Mojo III]].<ref>{{Cite web|last=iMNews|date=2023-02-20|title=Kyai Mojo (IV), Ulama Mataram Surakarta yang Baru Terlacak "Jati-Dirinya"|url=https://imnews.id/2023/02/20/kyai-mojo-iv-ulama-mataram-surakarta-yang-baru-terlacak-jati-dirinya/|website=Istana Mataram News|language=en-US|access-date=2023-03-02}}</ref> [[Kiayi Baderan i|Kiayi Maja III]] yang dikenal sebagai [[Kyai Baderan I]] memiliki nama [[Kyai Baderan I|Iman Abdul Arif]]/ [[Kyai Baderan I|Ngabdul Ngarep]] mendapat anugerah wilayah Maja (Dk. Mojowetan, Desa [[Tegalrejo, Sawit, Boyolali|Tegalrejo]], Kecamatan [[Sawit, Boyolali|Sawit]], [[Kabupaten Boyolali|Boyolali]]) dan Baderan (saat ini masuk wilayah [[Sidowayah, Polanharjo, Klaten|Sidowayah]], [[Polanharjo, Klaten|Polanharjo]], [[Kabupaten Klaten|Klaten]]) yang saat itu masuk wilayah Pajang, bagian dari [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Kasunanan Surakarta]]. sebagai tanah perdikan dari [[Pakubuwana IV]]. [[Kiai Madja|Muslim Mochammad Khalifah]] yang kelahiran Maja meneruskan tugas ayahnya sebagai guru agama di pondok pesantren Maja, dan banyak putra dan putri dari Kraton [[Kesunanan Surakarta Hadiningrat|Surakarta]] belajar di pesantrennya. Di kemudian hari, beliau terkenal sebagai [[Kiai Madja|Kiayi Maja IV]].<ref>{{Cite web|last=Jaton|first=Diposting oleh Tou|title=Selamat datang Di Halaman Kyai Modjo|url=http://kiaimojo.blogspot.com/|access-date=2023-03-02}}</ref> Ibu Kiai Maja, yakni [[R.A Mursilah]], adalah saudara perempuan Sultan [[Hamengkubuwana III]].<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/302187891|title=Dakwah dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo & Perang Sabil Sentot Ali Basah|last=Heru.|first=Basuki,|date=2007|publisher=Samodra Ilmu|isbn=9786028014014|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=302187891}}</ref> Jalinan persaudaraan dirinya dengan Pangeran Dipanegara kian erat setelah Kiai Maja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Dipanegara. Tak heran, Dipanegara memanggil Kiai Maja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.<ref>{{Cite book|last=1947-|first=Babcock, Tim G.,|date=1989|url=https://www.worldcat.org/oclc/21212549|title=Kampung Jawa Tondano : religion and cultural identity|location=Yogyakarta, Indonesia|publisher=Gadjah Mada University Press|isbn=9789794201206|oclc=21212549}}</ref>
[[Kiai Madja]] merupakan seorang tokoh agama asal [[Surakarta]] yang turut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai Madja lahir di Desa Mojo, wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta. Dia tertarik dan turut serta berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sama-sama ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kiai Madja dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro. Ibu Kiai Madja, yakni R.A Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/302187891|title=Dakwah dinasti Mataram dalam Perang Diponegoro, Kyai Mojo & Perang Sabil Sentot Ali Basah|last=Heru.|first=Basuki,|date=2007|publisher=Samodra Ilmu|isbn=9786028014014|edition=Cet. 1|location=Yogyakarta|oclc=302187891}}</ref>
 
Kiayi Maja turut bergabung sejak hari pertama pasukan Dipanegara tiba di [[Gua Selarong]]. Pengaruh dukungan Kiai Maja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Maja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.<ref>{{Cite book|last=R.,|first=Carey, P. B.|last2=Bambang,|first2=Murtianto,|last3=Gramedia|first3=PT|url=https://www.worldcat.org/oclc/883389465|title=Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|location=Jakarta|isbn=9789797097998|oclc=883389465}}</ref> Menurut [[Peter Carey (sejarawan)|Peter Carey]] (2016) dalam ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.<ref name=":16">{{Cite web|last=Raditya|first=Iswara N.|title=Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo|url=https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-mojo-cwyp|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
Pada tanggal 12 November 1828, Kyai Maja dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, [[Kabupaten Sleman|Sleman]], dekat Sungai [[Sungai Bedog|Bedog]], kemudian dibawa ke [[Kota Salatiga|Salatiga]]. Dalam penahanannya, Kiai Maja meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan menerima apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Belanda mengabulkan permintaan tersebut dan hanya menyisakan Kiai Maja beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.<ref name=":16" /> Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke [[Batavia]] dan diputuskan akan diasingkan ke [[Kampung Jawa, Tondano Utara, Minahasa|Tondano]], [[Minahasa]], [[Sulawesi Utara]].<ref name=":16" /><ref name=":19" /> Di tanah pembuangan, Kyai Maja terus berdakwah hingga wafat pada 20 Desember [[1849]] di usianya yang ke 57 tahun. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah tidak adanya kubu Kiai Maja dari pasukan Dipanegara.<ref name=":16" />[[Berkas:DiponegoroLeiden.jpg|jmpl|Diponegoro, c.1830.]]
Namun, Kiai Madja yang bernama asli Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir justru tidak mencicipi kemewahan gaya hidup sebagai keluarga istana. Jalinan persaudaraan dirinya dengan Pangeran Diponegoro kian erat setelah Kiai Madja menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/21212549|title=Kampung Jawa Tondano : religion and cultural identity|last=1947-|first=Babcock, Tim G.,|date=1989|publisher=Gadjah Mada University Press|isbn=9789794201206|location=Yogyakarta, Indonesia|oclc=21212549}}</ref>[[Berkas:DiponegoroLeiden.jpg|jmpl|Diponegoro, c.1830.]]
Perjuangan Pangeran Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Bupati Gagatan Raden Tumenggung Prawiradigdaya. Meski demikian, pengaruh dukungan Kiai Madja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Madja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.<ref>{{Cite book|url=https://www.worldcat.org/oclc/883389465|title=Takdir : riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|last=R.,|first=Carey, P. B.|last2=Bambang,|first2=Murtianto,|last3=Gramedia|first3=PT|isbn=9789797097998|location=Jakarta|oclc=883389465}}</ref> Menurut Peter Carey (2016) dalam ''Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855'' disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.<ref>{{Cite web|url=https://tirto.id/pecah-kongsi-pangeran-diponegoro-dan-kyai-mojo-cwyp|title=Pecah Kongsi Pangeran Diponegoro dan Kyai Mojo|last=Raditya|first=Iswara N.|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
==== Sentot Prawirodirdjo ====
[[Berkas:Sentot, opperbevelhebber der rebellen.jpg|jmpl|Sentot Prawirodirdjo atau dikenal juga Sentot Ali Pasha/Ali Basha adalah salah satu panglima Pangeran Diponegoro.]]
Pendukung lainnya adalah Sentot AliBashaAli Basha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra dari [[Ronggo Prawirodirjo III]] yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengku Buwuno[[Hamengkubuwana IV]], yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur [[Herman Willem Daendels|Daendels]].<ref name=":7">{{Cite web|url=https://historia.id/militer/articles/sentot-alibasah-panglima-perang-termuda-pangeran-diponegoro-vo1Ge|title=Sentot Alibasah, Panglima Perang Termuda Pangeran Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima Diponegoro bernama Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828. Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Bagelen dan Banyumas. Strategi perang yang digunakan Sentot adalah penggerebekan dengan menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh. Sentot juga dikenal pandai dalam perang gerilya.<ref name=":7" />
 
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Turki yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa".<ref name=":12">{{Cite web|url=https://daerah.sindonews.com/read/1222915/29/sentot-ali-basya-panglima-perang-diponegoro-yang-dijuluki-napoleon-jawa-1500653996|title=Sentot Ali Basya, Panglima Perang Diponegoro yang Dijuluki Napoleon Jawa|website=SINDOnews.com|language=id-ID|access-date=2020-03-21}}</ref> Sentot memimpin pasukan sebanyak 1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban. Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan [[Turki Utsmani]].<ref name=":12" />
 
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di [[Kroya, Cilacap|Kroya]] dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.<ref name=":17" />
 
Untuk menangkap Sentot, Jenderal [[Hendrik Merkus de Kock|De Kock]] membujuk upatibupati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer seperti seorang Jenderaljenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan ditangkap.<ref name=":12" />
 
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim ke [[Kota Salatiga|Salatiga]], [[Batavia]], hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatra[[Sumatera Barat]] untuk membasmi pemberontakan ulama dalam [[Perang Padri,]]. namunNamun ini hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu perjuangan [[Tuanku Imam Bonjol]]. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833 sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan di Bengkulu pada 17 April 1855.<ref name=":7" />
 
==== Kerta Pengalasan ====
[[Kerto Pengalasan|Kerta Pengalasan]], lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered.<ref name=":17">{{Cite web|url=http://diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id/biography/|title=Biografi terkait Diponegoro|last=|first=|date=|website=diponegoro.pahlawan.perpusnas.go.id|access-date=2020-03-22}}</ref> Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, [[Kabupaten Kulon Progo|Kulon Progo]]. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.<ref name=":02">{{Cite book|title=Judul: Sisi Lain Diponegoro – Babat Kedung Kedo dan Historiografi Perang Jawa|last=Carey|first=Peter|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia|year=2017|isbn=978-602-424-680-8|location=|pages=}}</ref>
 
=== Para pendamping ===
Baris 113 ⟶ 155:
Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto adalah hanya seorang warga desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang dimulai, Roto ikut bersama pasukan Diponegoro menuju perbukitan di Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo Secang yang memiliki dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian mendalami ilmu mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah.''<ref name=":20" />''
 
Ketika perang berkecamuk dan sang Pangeranpangeran menerapkan sistem pemerintahan Keratonkeraton di Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-Agustus 1826), para panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang Pangeran. Meski demikian, para panawakan selalu mendampingi setiap langkah sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.''<ref name=":20" />''
 
Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro. Dia dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian barat, sosoknya tersembunyi di belakang seorang pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang senjata, tanpa mengenakan sorban, dengan wajah tengah memandang ke arah tuannya.''<ref name=":20" />'' Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan ke Manado dan tinggal bersama keluarganya selama tiga tahun sebelum pada tahun 1839, pemerintah Hindia Belanda mengirimnya ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo.<ref name=":19" />
Baris 120 ⟶ 162:
Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai panakawan yang paling setia. Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang paling setia, karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar.<ref name=":19" />
 
Namanya tertulis dalam ''Babad Dipanagara'' dengan julukan ''lare bajang'', anak muda yang nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan Banthengwereng sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di lukisan tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro dan membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, ketika berada dalam pengasingan tahun 1835-1855.<ref name=":19" />
 
Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.''<ref name=":20" />''
Baris 131 ⟶ 173:
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah Jawa", dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat. Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada [[Kerto Pengalasan|Kerta Pengalasan]].<ref name=":17" />
 
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut, sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun.<ref name=":17" /> Setelah itu, masih di bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas Diponegoro di Daksa, namuntetapi sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap dan membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa.<ref name=":17" />
 
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, namuntetapi Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa pun.<ref name=":17" />
 
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu, pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, dan Jenderal Bisschof.<ref name=":12" />
Baris 140 ⟶ 182:
 
=== Taktik Hindia Belanda ===
Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak [[Perang Napoleon]] selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
 
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
 
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu,<ref name=":3" />, suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, namuntetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (''open warfare''), maupun metode perang [[gerilya]] (''guerilla warfare'') yang dilaksanakan melalui taktik ''hit and run'' dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (''psy-war'') melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan telik sandi ([[spionase]]) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
 
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang dapat menangap Pangeran Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.<ref name=":17" />
Baris 153 ⟶ 195:
 
=== Negosiasi dan pengkhianatan ===
Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan pada 20 Februari 19301830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat. Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700 pengikutnya.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/regional/read/2525317/pangeran-diponegoro-syaratkan-perang-jawa-libur-selama-ramadan|title=Pangeran Diponegoro Syaratkan Perang Jawa Libur Selama Ramadan|last=|first=|date=2016-06-07|website=Liputan6.com|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830 dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro ditandai dengan sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens.<ref name=":5" />
Baris 161 ⟶ 203:
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkan Pangeran Diponegoro telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengan sang Pangeran sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman karesidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan sang Pangeran. Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa sang Pangeran tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Hindia Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai Ratu paneteg panatagama wonten ing Tanah Jawa sedaya (Raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam). Setelah itu, pada 25 Maret 1830, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan sang Pangeran.<ref name=":5" />
 
Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Hari Idul Fitri, Jenderal [[Hendrik Merkus de Kock|De Kock]] bertemu dengan Pangeran Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs. Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Pangeran Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Sang Pangeran merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock kenapa tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilahturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.<ref name=":15">{{Cite web|url=https://historia.id/politik/articles/detik-detik-menegangkan-saat-belanda-menjebak-diponegoro-6mmJ2|title=Detik-detik Menegangkan Saat Belanda Menjebak Diponegoro|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref>
 
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan ada masalah apa sehingga dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapapun. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi, dengan mengatakan terserah Pangeran setuju atau tidak, dia akan menuntaskan masalah politik hari itu juga. Diponegoro langsung berbicara dan menuding Jenderal De Kock sangat dan hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Sang Pangeran langsung berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah Hindia Belanda mengakuinya sebagai kepada agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.<ref name=":15" />
 
Jenderal De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro kemudian berbicara dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, dirinya tidak takut mati. Dia tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya. De Kock terhenyak mendengar sikap keras Pangeran Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh sang Pangeran, namuntetapi juga tidak akan memenuhi keinginan sang Pangeran. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, namun niatannya diurungkan karena akan merendahkan martabatnya. Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, sang Pangeran beranjak keluar dan Pangeran Diponegoro pun berhasil ditangkap.<ref name=":15" />
 
Sewaktu di Unggaran dalam perjalanannya ke Batavia menuju tempat pengasingan dengan dikawal oleh perwira Belanda, Pangeran Diponegoro berbicara cukup panjang dengan Kapten Roeps (dalam bahasa Jawa) tentang berbagai hal mengenai negosiasi yang baru terjadi dan mengatakan bahwa mendapat kesan kalau dalam negosiasi itu dia tidak dapat mencapai kesepakatan dengan Jenderal De Kock, mereka akan mengizinkan dia kembali ke pegunungan (Banyumas) tanpa dihalang-halangi. Ini merujuk pada janji yang konon diberikan secara lisan kepada Pangeran Diponegoro dalam negosiasi damai awal di Remokamal (Banyumas) pada 16 Februari 1830 oleh Kolonel Jan-Baptist Cleerens, perwira Belanda yang bertangung jawab atas negosiasi tersebut. Cleerens seakan berjanji kepada Pangeran Diponegoro bahwa Sang Pangeran akan diizinkan untuk kembali ke Pegunungan Banyumas seandainya negosiasi dengan Jenderal De Kock di Magelang tidak membuahkan hasil yang memuaskan baginya. Jaminan ini diabaikan oleh Jenderal De Kock ketika dia menahan Pangeran Diponegoro, tetapi Pangeran Diponegoro kemudian secara tidak langsung mengingatkan Cleerens melalui sepucuk surat yang dikirimkannya dari Makasar pada 14 Desember 1835.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia|isbn=978-602-481-901-9|pages=51, 52|url-status=live}}</ref>
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Gedung Karesidenan Semarang, di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1930 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke [[Manado]] bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Amsterdam. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke [[Makassar]] hingga wafatnya di [[Benteng Rotterdam]] tanggal 8 Januari 1855.<ref name=":3" />
 
Sang Pangeran bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, Pangeran Diponegoro ditempatkan ke Gedung Karesidenan [[Kota Semarang|Semarang]], di [[Ungaran (kota)|Ungaran]], lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux. Pangeran Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditahan di Stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Selanjutnya pada 30 April 1830, Pangeran Diponegoro diasingkan ke [[Manado]] bersama istri keenamnya bersama Tumenggung Dipasena dan istrinya serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna. Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di [[Benteng Nieuw Amsterdam]]. Tahun 1834, Diponegro dipindahkan ke [[Makassar]] hingga wafatnya di [[Benteng Rotterdam]] tanggal 8 Januari 1855.<ref name=":3" />
 
Pangeran Hendrik yang ayahnya kelak menjadi Raja Willem II (1840-49) menulis dalam buku hariannya saat bertemu dengan Pangeran Diponegoro saat dalam penggasingannya di Benteng Rotterdam, pada 7 Maret 1837. Didalamnya dia mengkritik cara pihak Belanda, khususnya Jenderal De Kock, memperlakukan Diponegoro karena memiliki dampak politik yang sangat buruk di daerah Hindia Belanda:<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=256-266|url-status=live}}</ref>
{{Cquote|Jika suatu hari kita menghadapi sebuah kondisi yang tidak diharapkan, yaitu terjadi sebuah perang lagi di Jawa, dimana salah satu diantara kita, entah pihak kita atau orang Jawa akan kalah, tentunya tidak akan ada lagi satu pun pemimpin mereka yang sudi bernegosiasi dengan kita. Saya yakin bahwa penyebab kampung Boonjol di Sumatra menolak untuk menyerah tidak lain disebabkan oleh apa yang diucapkan salah seorang pemimpin orang Bonjol (Tuanku Imam Bonjol): "Jika saya bersedia datang untuk berunding dengan Belanda, saya yakin akan diperlakukan seperti Diponegoro." Namun, cukuplah tentang ini semua}}
 
==== Lukisan "Penangkapan Diponegoro" ====
[[Berkas:Raden Saleh - Diponegoro arrest.jpg|jmpl|420x420px|Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik MerkusMarkus de Kock tanggal 28 Maret 1830, karya Raden Saleh.]]
Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830 ditafsirkan berbeda antara pelukis Indonesia yang tinggal di Eropa, [[Raden Saleh|Raden Saleh Syarif Bustaman]], dengan pelukis Belanda, [[Nicolaas Pieneman]] (1809-1860). Raden Saleh menggambarkan peristiwa tanggal 28 Maret 1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro", sedangkan Pienaman melukisnya sebagai "Penyerahan Diponegoro".<ref name=":10">{{Cite web|last=|first=|date=|title=Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro|url=https://kebudayaancaramedika.kemdikbud.go.id/ditpcbmcom/lukisan-penangkapan-pangeran-diponegoro-perlawanan-raden-saleh-atas-karya-nicolaas-pieneman/|title=Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, Perlawanan Raden Saleh atas Karya Nicolaas Pieneman {{!}} Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman|last=|first=|date=|website=Kebudayaancaramedika.kemdikbud.go.idcom|language=id-ID|access-date=2020-03-21}}{{Pranala mati|date=Maret 2021|bot=InternetArchiveBot|fix-attempted=yes}}</ref>
 
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden Saleh ketika berada di Eropa pada tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan lukisan cat minyaknya baru selesai setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh menunjukkan lukisannya tersebut kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II, dengan judul ''"Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Hauptings Diepo Negoro"'' (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro). Raden Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah kepada Raja Belanda, [[Willem III dari Belanda|Willem III]].<ref name=":10" />
 
Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung, sehingga Bendera Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain itu, Raden Saleh menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro ketika ditangkap menggunakan sorban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah,<ref name=":10" /> menunjukkan perlawanan,<ref name=":14">{{Cite web|url=https://www.liputan6.com/regional/read/3411776/2-wajah-pangeran-diponegoro-saat-penangkapan-188-tahun-lalu|title=2 Wajah Pangeran Diponegoro Saat Penangkapan 188 Tahun Lalu|last=|first=|date=2018-03-28|website=Liputan6.com|language=id|access-date=2020-03-22}}</ref> dan tegar, meskipun para pengikutnya terlihat sedih dan dukacita yang mendalam.<ref name=":11">{{Cite web|url=https://republika.co.id/share/psv592385|title=Penangkapan Diponegoro: Jebakan Silaturahim di Hari Lebaran|date=2019-06-10|website=Republika Online|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
==== Lukisan "Penyerahan Diponegoro" ====
Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di sisi kanan dengan Benderabendera Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran Diponegoro dalam lukisannya terlihat lesu dan pasrah,<ref name=":10" /> meskipun tergambarkan tidak menunduk. Sementara itu, sosok Jenderal De Kock dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan berwibawa.<ref name=":11" /> Sosok sang Pangeran dalam lukisan juga digambarkan terkesan mengikuti perintah De Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.<ref name=":14" /> Selain itu, posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De Kock yang menyiratkan posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi tawanan dan penguasa.<ref name=":14" />[[Berkas:Nicolaas Pieneman - The Submission of Prince Dipo Negoro to General De Kock.jpg|jmpl|Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.|al=|420x420px]]
 
=== Keberlanjutan perangPerang ===
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, yakni Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, dan Pangeran Joned, yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke [[Pulau Ambon|Ambon]], sedangkan Pangeran Joned terbunuhdan dalamKi peperangan,Sodewa begituterbunuh jugadalam Ki Sodewapeperangan.
 
Selama perang, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara, terdiri atas 8.000 tentara Belanda dan 7.000 tentara pribumi serta kerugian materi sebesar 25 juta [[gulden]].<ref name=":1" /> Berakhirnya Perang Jawa yangjuga merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Dampaknya, setelah perang, jumlah penduduk NgayogyakartaYogyakarta menyusut separuhnya.
 
Mengingat bagiBagi sebagian kalangan dalamdi Kraton[[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Ngayogyakarta]], Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton,keraton. sampai kemudianNamun, Sri Sultan [[Hamengkubuwana IX]] memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyaidimiliki Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kratonkeraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
 
== Akhir hayat Diponegoro ==
{{See also|Makam Pangeran Diponegoro}}
[[Berkas:Collectie NMvWereldculturen, RV-1403-3649, Waterverfschildering- Tekening, Mr Adrianus Johannes Bik, voor 1872.jpg|jmpl|Lukisan tempat pengasingan Pangeran Diponegoro karya Adrianus Johannes, sebelum 1872.]]
Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena sakit Malaria. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal van den Bosch (arsitek Tanam Paksa), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan Napoleon Bonaparte, yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga wafat.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://tirto.id/akhir-hidup-diponegoro-napoleon-van-java-cfBz|title=Akhir Hidup Diponegoro, Napoleon van Java|last=Matanasi|first=Petrik|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
[[Berkas:Collectie NMvWereldculturen, RV-1403-3647, Waterverfschildering- Tekening, Mr Adrianus Johannes Bik, voor 1872.jpg|jmpl|Lukisan pemandangan alam di sekitar tempat pengasingan [[Pangeran Diponegoro]] karya Adrianus Johannes, sebelum 1872.]]
Ketika ditangkap dan akan diasingkan ke Manado dengan menggunakan Kapal Pollux, kondisi Pangeran Diponegoro sudah dalam keadaan lemah, muntah-muntah akibat mabuk laut, dan terkena [[malaria]]. Di atas kapal, Letnan Knooerle, yang merupakan ajudan dari Gubernur Jenderal [[Johannes van den Bosch|van den Bosch]] (arsitek [[Cultuurstelsel|Tanam Paksa]]), mengawal pengasingan Diponegoro. Sering kali mereka berdua terlibat dalam percakapan dan salah satu percakapannya adalah ketika Diponegoro mempertanyakan kepada Knoorle, apakah sudah menjadi kebiasaan bangsa Eropa untuk mengasingkan pemimpin yang kalah perang ke sebuah pulau terpencil yang jauh dari sanak saudaranya. Mendapat pertanyaan itu, Knoorle menjawab bahwa Pangeran Diponegoro diperlakukan sama dengan [[Napoleon Bonaparte]], yang sama-sama diasingkan dalam usia 40 tahunan. Knoorle mengatakan pemerintahan Hindia Belanda tidak ingin peristiwa Napoleon yang ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba berhasil kabur dan memimpin perang lagi lalu berhasil dikalahkan sehingga dibuang ke pulau yang lebih terasing lagi, yakni St Helena hingga wafat.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://tirto.id/akhir-hidup-diponegoro-napoleon-van-java-cfBz|title=Akhir Hidup Diponegoro, Napoleon van Java|last=Matanasi|first=Petrik|website=tirto.id|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Pangeran Diponegoro dan rombongannya, yakni istri, dua anaknya, dan 23 pengikutnya tiba di Manado pada 12 Juni 1830. Awalnya, Diponegoro akan ditempatkan di [[Tondano (kota)|Tondano]], namuntetapi Knoorle diberitahu oleh Pietermaat, seorang residen setempat bahwa Kiai Madja beserta 62 pengikutnya baru saja tiba di Tondano dari Ambon, sehingga akhirnya Knoorle memutuskan Diponegoro ditahan di Benteng Manado untuk sementara waktu agar tidak ketemu dengan Kiai Madja. Diponegoro berada di Benteng Manado atau Fort Nieuw Amsterdam sejak Juni 1830 hingga Juni 1833. Selanjutnya,Setelah padabeberapa tahun 1833di Manado , Diponegoroia dipindahkan ke Makassar secarapada diam-diamJuli dan1833 ditempatkandi mana ia ditahan di Bentengdalam Fort Rotterdam selamakarena sebelasBelanda tahun.percaya Diponegorobahwa menolakpenjara upayatidak Hindiacukup Belandakuat untuk memindahkannyamenampungnya. keTerlepas tempatdari pengasinganstatus barutahanannya, istrinya Ratnaningsih dan inginbeberapa menghabiskanpengikutnya akhirmenemaninya hayatnyake dipengasingan Makassardan dia menerima pengunjung terkenal termasuk Pangeran Henry Belanda yang berusia 16 tahun pada tahun 1837.<ref name=":4"Diponegoro />juga menyusun manuskrip tentang sejarah Jawa dan menulis otobiografinya, ''Babad Dipanegara'', selama pengasingannya.
 
Kesehatannya Menurun karena usia tua. Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, Gubernur Jenderal [[Albertus Jacobus Duymaer van Twist|AJ Duymaer van Twist]] mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, tetapi mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.<ref name=":4" />
Pada Maret 1849, enam tahun sebelum kematian Diponegoro, putra keduanya bernama Raden Mas Sarkumo yang berusia 14 tahun, meninggal karena sakit dan dimakamkan di sebidang tanah kecil milik Hindia Belanda, di [[Melayu, Wajo, Makassar|Kampung Melayu]]. Setelah kematian putranya tersebut, Diponegoro kemudian berpikir keselamatan keluarganya jika dia wafat. Dia pun menulis surat kepada Gubernur Sulawesi Pieter Vreede Bik, agar makam putranya diberikan pagar tembok rendah, menyiapkan makam untuk dirinya di samping pusara putranya, dan membuat rumah berikut masjid kecil untuk istri dan pengikut-pengikutnya, meski dirinya tidak diperkenankan keluar dari Benteng.<ref name=":4" />
 
Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di kampung jera. Kampung jera atau kampung pemakaman berada di lokasi kampung Melayu. Raden Ayu Retnoningsih dimakamkan di samping makam Pangeran Diponegoro.<ref name=":4" />
Diponegoro kemudian meninggal pada 8 Januari 1855, pukul 06.30 pagi. Tujuh hari kemudian, anak dan istrinya memutuskan untuk tetap tinggal di Makassar. Menurut Peter Carey, sejarawan yang menulis tentang Diponegoro, Gubernur Jenderal AJ Duymar van Twist mengeluarkan perintah rahasia bahwa keluarga Diponegoro tetap diperlakukan sebagai orang dalam pengasingan dan hanya diperbolehkan berada di Makassar, namun mereka mendapatkan tunjangan 6000 gulden yang dibayarkan melalui keraton Yogyakarta.<ref name=":4" />
 
Pada tahun 1885, sang istri yakni Raden Ayu Retnoningsih meninggal dunia. Setelah sang istri meninggal, makam Pangeran Diponegoro bersama makam putranya dipindahkan ke pemakaman umum yang berada di Jalan Andalas dan Jalan Irian.<ref name=":4" />
 
== Peninggalan bersejarah ==
 
=== ''Babad Dipanagara'' ===
''Babad Dipanagara'' merupakan kumpulan puisi (mascapatmacapat atau puisi tradisional Jawa/tembang) setebal 1.170 halaman folio, yang menceritakan sejarah nabi, sejarah [[Jawa|Pulau Jawa]] baik padadari zaman [[Majapahit]] hingga perjanjian[[Perjanjian Giyanti]] (Mataram), yang dituturkan langsung oleh Pangeran Diponegoro sendiri dan ditulis oleh juru tulis sejak Mei 1831 hingga Februari 1832, ketika sang Pangeran diasingkan di Manado. Tulisannya menggunakan aksara Arab pegon (tanpa tanda baca) dan aksara Jawa. Namun, naskah asli ''Babad Dipanagara'', menurut sejarawan Peter Carey, sudah hilang. Yang ada hanyalah salinan yang saat ini tersimpan di [[Perpustakaan nasional|Perpustakaan Nasional]] dan di Rotterdam, Belanda.<ref name=":18">{{Cite web|url=https://news.detik.com/berita/d-2674906/naskah-asli-babad-diponegoro-yang-diakui-unesco-hilang-ke-mana|title=Naskah Asli 'Babad Diponegoro' yang Diakui UNESCO Hilang, Ke Mana?|website=detiknews|language=id-ID|access-date=2020-03-27}}</ref>
 
''Babad Dipanagara'' kemudian diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (Unesco[[Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa|UNESCO]]) pada Juni 2013 sebagai Memori Dunia (''Memory of the World (MOW) Register''), yakni sebuah program untuk menghargai dan merawat catatan-catatan peristiwa kesejarahan dan budaya.<ref>{{Cite web|url=https://www.antaranews.com/berita/383680/saat-dunia-mengakui-otobiografi-diponegoro|title=Saat dunia mengakui otobiografi Diponegoro|last=|first=|date=2013-07-05|website=Antara News|access-date=2020-03-27}}</ref>
 
Di Makassar, sang Pangeran juga menulis dua naskah Primbon, yakni tentang pengaruh [[Qadariyah]] dan [[Tarekat Naqsyabandiyah|Naqshabandiyah]] (aliran tasawuf) atas cara berpikir dan kebudayaan Jawa.<ref name=":18" />
 
=== Keris ===
Pangeran Diponegoro terkenal selalu membawa kerisnya. Beberapa keris yang dimilikinya adalah Keris Kiai Omyang (tersimpan di Museum Sasana Wiratama-Yogyakarta), Keris Kiai Wisa Bintulu (tersimpan di Gedong Pusaka Keraton Yogyakarta, dan Keris Kiai NogoNaga Siluman. Keris terakhir tersebut itulah yang paling terkenal karena sempat hilang, namuntetapi ditemukan di Belanda dan sudah teregister dengan nomor RV-360-8084.<ref>{{Cite web|url=https://historia.id/kultur/articles/keris-pangeran-diponegoro-yang-dijual-DwjYg|title=Keris Pangeran Diponegoro yang Dijual|last=|first=|date=|website=Historia|language=id|access-date=2020-03-20}}</ref>
 
Pada tanggal 10 Maret 2020, Keris Kiai NogoNaga Siluman dikembalikan kepada Pemerintah Republik Indonesia secara langsung oleh [[Willem-Alexander dari Belanda|Raja Willem -Alexander]] kepada Presiden Joko Widodo.<ref>{{Cite web|url=https://news.detik.com/berita/d-4934236/keris-pangeran-diponegoro-dikembalikan-oleh-belanda-asli-atau-palsu|title=Keris Pangeran Diponegoro Dikembalikan oleh Belanda: Asli atau Palsu?|last=detikcom|first=Tim|website=detiknews|language=id-ID|access-date=2020-03-20}}</ref> Dalam dokumen kesaksian dalam Bahasa Jawa, [[Sentot Prawirodirdjo]], salah seorang Panglima Diponegoro, Sentot mengaku melihat sendiri Pangeran Diponegoro menghadiahkan Keris Kiai Naga Siluman kepada Kolonel Cleerens, utusan Jenderal De Kock, ketika bertemu. Tulisan Sentot tersebut berhasil dibaca oleh pelukis Raden Saleh yang juga pernah melukis tentang Pangeran Diponegoro.<ref>{{Cite web|url=https://republika.co.id/share/q6y8sq396|title=Kembalinya Keris Naga Siluman Milik Pangeran Diponegoro|date=2020-03-10|website=Republika Online|access-date=2020-03-21}}</ref> Keris ini kemudian oleh Cleerens menjadi persembahan hadiah kepada Raja [[Willem I dari Belanda|Willem I]] pada tahun 1831. Setelah itu, Keris Kiai NogoNaga Siluman disimpan di ''Koninkelijk Kabinet van Zelfzaamheden'' (KKVZ). Setelah KKVZ dibubarkan pada tahun 1883, seluruh koleksi museumnya tersebar ke berbagai museum dan Keris Kiai Nogo Siluman kemudian tersimpan di Museum Volkenkunde, [[Leiden]].<ref name=":6">{{Cite web|url=https://republika.co.id/share/q74g11328|title=Memastikan Keaslian Keris Diponegoro|date=2020-03-13|website=Republika Online|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Penemuan dan pengembalian Keris Kiai Naga Siluman membutuhkan waktu yang lama. Pada tahun 1983, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lodewijk van Gorkom menginformasikan bahwa Keris Pangeran Diponegoro tersimpan di ruangan bawah tanah [[Rijksmuseum]] di Amsterdam, dan meminta untuk dikembalikan. Penggantinya, yakni Frans van Dongen menulis surat kepada Pieter Pott, direktur museum nasional etnologi, pada tahun 1985, meminta agar keris tersebut harus ditemukan dan dikembalikan dalam rangka peringatan 40 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Van Dongen kemudian menerima balasan surat dari Pott yang mengaku sudah menemukan keberadaan keris tersebut, namuntetapi ternyata Pott salah mengidentifikasinya.<ref name="republika.co.id">{{Cite web|url=https://republika.co.id/share/q6q1g4328|title=Kembalinya Keris Pangeran Diponegoro|date=2020-03-05|website=Republika Online|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Adapun keris lainnya adalah Keris Kiai Bromo Kedali dan tombak Kiai Rodhan yang diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Pangeran Diponegoro II (Raden Mas Muhammad Ngarip/Abdul Majid), Keris Kiai Habit dan tombak Kiai Gagasono milik Raden Mas Joned, Keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi milik Raden Mas Raib, Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo (Raden Ayu Mertonegoro), Keris Kiai Hatim dan tombak Kiai Simo milik Raden Ayu Joyokusumo, tombak Kiai Dipoyono milik Raden Ajeng Impun, dan tombak Kiai Bandung milik Raden Ajeng Munteng.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://news.detik.com/investigasi/d-4935223/kisah-diponegoro-dikubur-bersama-kerisnya|title=Kisah Diponegoro Dikubur Bersama Kerisnya|last=Wiratama|first=Syailendra Hafiz|website=detikx|access-date=2020-03-20}}</ref>
Baris 220 ⟶ 267:
 
=== Tongkat ===
Pangeran Diponegoro juga memiliki tongkat yang dinamakan Kanjeng Kiai Tjokro, yang saat ini disimpan di [[Galeri Nasional Indonesia|Galeri Nasional]] Indonesia. Tongkat ini telah dikembalikan oleh Michiel dan Erica Lucia Baud, kepada Mendikbud Anies Baswedan pada tahun 2015.<ref name=":13">{{Cite web|url=https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/09/163100165/selain-keris-ini-dua-pusaka-pangeran-diponegoro-yang-dikembalikan-belanda|title=Selain Keris, Ini Dua Pusaka Pangeran Diponegoro yang Dikembalikan Belanda ke Indonesia|last=|first=|date=|website=Kompas.com|language=id|access-date=2020-03-21}}</ref>
 
Tongkat ini memiliki simbol cakra sepanjang 153 sentimeter yang terletak di ujung tongkatnya. Tongkat ini diperoleh Pangeran Diponegoro dari hasil dari warga selama berziarah di selatan Jawa, termasuk Yogyakarta, pada tahun 1815.<ref name=":3" /> Tongkat ini selalu dibawa oleh sang Pangeran setiap berziarah ke tempat suci untuk berdoa. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, salah satu panglimanya, yakni Pangeran Dipati Notoprojo, cucu [[Nyi Ageng Serang]], memegang tongkat ini dan oleh Pangeran Dipati Notoprojo diberikan sebagai hadiah kepada Gubernur Jenderal [[Jean Chrétien Baud|J.C Baud]] pada tahun 1834 untuk merebut hati pemerintah Hindia Belanda. Tongkat ini kemudian disimpan oleh salah satu keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jean Chretien Baud selama 181 tahun. J.C Baud adalahselama gubernur jenderal Hindia Belanda ke-44, yang berkuasa pada181 tahun 1834-1836.<ref name=":13" />
 
=== Tombak ===
Tombak Kiai Rodhan adalah salah satu senjata pusaka Pangeran Diponegoro yang telah dikembalikan ke Indonesia tahun 1978 dan saat ini tersimpan. Tombak ini terbuat dari kayu dengan dilapisi benang hitam dan dipercaya dapat memberikan perlindungan dan peringatan datangnya bahaya. Pada mata tombak terdapat bagian yang dilapisi emas dan pada bagian pangkal matanya terdapat empat relung yang berhias permata, namuntetapi dua buah permatanya telah hilang ketika benda ini dikembalikan ke Indonesia.<ref name=":13" />
 
Tombak ini lepas dari genggaman Pangeran Diponegoro ketika ia disergap di pegunungan Gowong, Kedu, oleh pasukan gerak cepat ke-11 Mayor A.V Michiels. Tombak ini bersama dengan pelana kuda Pangeran Diponegoro dikirim ke Raja Belanda Willem I (1813-1840) sebagai rampasan perang.<ref name=":13" />
 
<br />
=== Benda lainnya ===
Menurut sejarawan Peter Carey, selain keris dan tongkat, saat ini masih ada dua peninggalan Pangeran Diponegoro, yakni surat asli sang Pangeran kepada ibunda dan anak sulungnya sertadan tali kuda, yang masih tersimpan di Belanda.<ref name=":6" />
 
Sementara itu, menurut Direktur Museum Sejarah Kolonial Bronbeek di [[Arnhem]], Pauljac Verhoeven, benda peninggalan Pangeran Diponegoro yakni tali kekang dan pelana yang telah memiliki nomor arsip telah dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.<ref>{{Cite web|urlname=https://"republika.co.id"/share/q6q1g4328|title>

===Kembalinya KerisCap Pangeranmohor Diponegoro|date=2020-03-05|website=Republika Online|access-date=2020-03-21}}</ref>
[[Berkas:Royal seal of Prince Diponegoro.jpg|jmpl|kiri|200px]]
 
Pangeran Diponegoro memiliki sebuah cap mohor, yaitu cap yang digunakan untuk menandatangi surat yang sah darinya. Yang tertera dalam cap mohornya ialah:
 
Dalam [[Pegon|Arab Pegon]]:
 
'''اڠکڠ سنوهن کڠجڠ سلطان عبد الحامد ڠيرچکر كبير المؤمنين سيد ڤنتاݢام خليفه رسول الله ص ايڠ تنه جاوي'''
 
Dalam Latin:
''Ingkang Sinuhun Kan(g)jeng Sultan Abdul Hamid Ngerucakra Kabir al-Mukminin Sayid Panatagama Khalifah Rasulullah s[aw.] ing Tanah Jawi''<ref>{{cite book|last=Gallop|first=A.T.|date=2019 |title=Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia (1st ed.)||location=Singapura|publisher=Universitas Nasional Singapura|page= |isbn=}}</ref>
 
== Penghargaan sebagai Pahlawan ==
[[Berkas:Indonesia 1952 100 o.jpg|jmpl|200px|Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah kemerdekaan.]]
Atas penghormatan terhadap jasa-jasa Diponegoro melawan penjajahan Hindia Belanda, kota-kota besar di Indonesia banyak yang memiliki nama Jalan Pangeran Diponegoro, seperti di Kota Semarang terdapat nama Jalan Pangeran Diponegoro, [[Stadion Diponegoro]], [[Universitas Diponegoro]] (Undip), dan [[Komando Daerah Militer IV/Diponegoro|Kodam IV/Diponegoro]]. Selain itu, ada beberapa patung yang dibuat sebagai penghargaan, seperti Patung Diponegoro di Undip Pleburan, Patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro dan di pintu masuk Undip Tembalang.
 
[[Berkas:Uang-Indonesia-1975-1000.jpg|jmpl|200px|Mata uang kertas Rp1.000,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975 setelah kemerdekaan.]]
Pada masa pemerintahan Presiden [[Soekarno]], pemerintah pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro pada tanggal [[8 Januari]] [[1955]], sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No 87/TK/1973.
 
Baris 243 ⟶ 302:
 
Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah [[Museum Monumen Pangeran Diponegoro]] atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di [[Tegalrejo, Yogyakarta]], yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
 
== Dalam budaya populer ==
Dalam film ''[[Pahlawan Goa Selarong]]'' (1972), Diponegoro diperankan oleh [[Ratno Timoer]]. Sementara dalam salah satu episode sinetron ''[[Lorong Waktu (seri televisi 1999)|Lorong Waktu]]'', Diponegoro diperankan oleh [[Andra PSP]] dan dipanggil sebagai "Om Dip" oleh [[Zidan (Lorong Waktu)|Zidan]].<ref name=OmDip>{{cite web |url=https://www.vidio.com/watch/1916942-lorong-waktu-1-episode-5 |title=Lorong Waktu Episode 5: Zidan Bertemu Pangeran Diponegoro |author=<!--Not stated--> |date= |website=[[Vidio.com]] |publisher=[[Demi Gisela Citra Sinema]] |access-date=7 April 2021 |quote= |archive-date=2021-10-15 |archive-url=https://web.archive.org/web/20211015220216/https://www.vidio.com/watch/1916942-lorong-waktu-1-episode-5 |dead-url=no }}</ref>
 
Sosok Diponegoro juga dimunculkan dalam novel '' [[Sang Pangeran dan Janissary Terakhir]]'' (2019) karya Salim A. Fillah
 
=== Lukisan S. Sudjojono (1979) ===
Pelukis Modern tersohor Indonesia, [[Sindoedarsono Soedjojono|S. Sudjojono]] (1913-1985), pernah melukis kekalahan Belanda dalam pertempuran di desa [[Kejiwan, Wonosobo, Wonosobo|Kejiwan]] (antara [[Kalasan, Sleman|Kalasan]] dan [[Prambanan]]) pada 9 Agustus 1826 dalam sebuah gambar cat minyak yang mengedepankan figur Diponegoro berserban serta berbaju putih dan Mayor Sollewijn berberewok merah.<ref>{{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2022|title=Percakapan dengan Diponegoro|location=Jakarta|publisher=KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)|isbn=978-602-481-900-2|pages=167|url-status=live}}</ref> Gambar berjudul ''"Pasukan kita yang dipimpin Pangeran Diponegoro"'' (1979) dijual di Sotheby's [[Hongkong]] pada 6 April 2014 dengan harga yang cukup menghebohkan, yaitu 7,5 juta dolar AS, lukisan tersebut memecahkan rekor untuk karya pelukis Asia Tenggara,<ref>{{Cite web|date=2014-04-21|title=Saat Diponegoro Mengguncang Sotheby's|url=https://majalah.tempo.co/read/seni-rupa/145207/saat-diponegoro-mengguncang-sothebys|website=Tempo|language=en|access-date=2023-09-14}}</ref> dalam catatan katalognya, lukisan tersebut dibuat sebagai ajakan bagi masyarakat Indonesia untuk mengenang pahlawan yang telah gugur dan sebagai bentuk keprihatinannya kepada bangsa yang terjebak dalam pertarungan pengaruh asing dan cita-cita revolusioner di kala itu. Lukisan tersebut, dalam laman Sotheby's tertulis, berubah menjadi sebuah kritik sosial tentang kekuatan iman manusia di tengah tirani politik dan emosional dengan memberikan gambaran kesejajaran antara penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia.<ref>{{Cite web|title=Modern Contemporary Asian Art/Evening Sale/Lot 115|url=https://www.sothebys.com/en/auctions/ecatalogue/2014/modern-contemporary-asian-art-evening-sale-hk0528/lot.115.html|website=Sotheby's|access-date=14 September 2023}}</ref>
 
== Daftar pustaka ==
Baris 249 ⟶ 316:
* {{cite book|last=Sagimun|first=M.D.|title=Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional|location=Jakarta|publisher=Proyek Biografi Pahlawan Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|date=1976}}
* {{cite book|last=Yamin|first=M.|title=Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia|location=Jakarta|publisher=Pembangunan|date=1950}}
* {{Cite book|last=Carey|first=Peter B.R|date=2008|url=http://dx.doi.org/10.1163/9789067183031|title=The power of prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855|location=Leiden|publisher=KITLV Press|isbn=9789067183031|edition=2|ref=harv|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Carey|first=Peter|date=2017|title=Takdir: riwayat Pangeran Diponogoro, 1785-1855|location=Jakarta|publisher=Kompas Media Nusantara|isbn=9786232411821|editor-last=Mulyawan|editor-first=Karim|translator-last=Murdianto|translator-first=Th. Bambang|ref=harv|translator-last2=Laksono|translator-first2=P.M.|url-status=live}}
 
== Daftar referensiReferensi ==
 
{{reflist}}
 
== Pranala luar ==
 
* {{id}} [http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/08/metro/1071372.htm Sebelum Dibuang ke Manado, Pangeran Diponegoro Ditahan di Museum Sejarah], Kompas
{{Pahlawan Indonesia}}
 
{{Pahlawan Indonesia}}
{{Normdaten}}
{{Authority control}}
 
{{DEFAULTSORT:Diponegoro}}