Kesultanan Cirebon: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Kesultanan Cirebon: Perbaikan kesalahan ketik Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android |
k v2.05b - Perbaikan untuk PW:CW (Pranala sama dengan teksnya) |
||
(172 revisi perantara oleh 55 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{pp-protected|reason=lalu lintas tinggi|small=yes}}
{{Artikel bermasalah|
{{Terlampau panjang}}
{{Copyedit}}
}}
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kesultanan
| common_name = Kesultanan
|
| p1 = Kerajaan Sunda
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
| event_end = Pembagian Kesultanan Cirebon menjadi [[kesultanan Kasepuhan]] dan [[kesultanan Kanoman]]
| image_flag = COLLECTIE TROPENMUSEUM Katoenen banier met Arabische kalligrafie TMnr 5663-1.svg
|
| common_languages = [[Bahasa Cirebon]]<br>[[Bahasa Sunda]]<br>[[Bahasa Jawa]]
| government_type = [[Kerajaan konstitusional]] (adanya pepakem Cirebon)
|
| leader1 = [[Pangeran Walangsungsang|Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang]]
| year_leader1 = 1430<ref name= Rosmalia>Rosmalia. Dini. 2013. Identifikasi Pengaruh Kosmologi pada Lanskap Kraton Kasepuhan di Kota Cirebon. Bandung : Institut Teknologi Bandung</ref><ref name=Susilaningrat>{{Cite web|url=https://www.youtube.com/watch?v=Nym2NMv2d8w|title=Dalem Agung Pakungwati Keraton Kasepuhan Cirebon|via=www.youtube.com}}</ref><ref name=hardhi>Hardhi. TR. 2014. Dakwah Sunan Gunung Jati dalam Proses Islamisasi Kesultanan Cirebon Tahun 1479-1568. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta</ref><ref name=rizky>Fajar, Rizky Nur. 2013. Perancangan Komunikasi Visual Publikasi Buku Seri Keraton Cirebon. Jakarta: Universitas Bina Nusantara</ref> - 1479
|
| year_leader2 = 1479 - 1568 (Sultan Cirebon I Pangeran Walangsungsang menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya)
|
| year_leader3 = 1649 - 1666<ref name=Hoadley>Hoadley, Mason C. 1994. Selective Judicial Competence : The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680-1792. [[New York]] : SEAP Publications</ref> (penguasa terakhir kesultanan Cirebon sebelum dibagi menjadi [[kesultanan Kasepuhan]] dan [[kesultanan Kanoman]])
| footnotes = ¹ Pada 1552 Sunan Gunung Jati mengangkat anaknya dari Nyi Kawung Anten (putri Surosowan penguasa Banten Pesisir) yaitu Maulana Hasanuddin (sebelumnya menjabat sebagai ''Depati (Gubernur) Banten'' untuk kesultanan Cirebon sebagai Sultan pertama Kesultanan Banten.
<br>² Berdasarkan naskah Mertasinga, Sultan Abdul Karim telah meninggal di Mataram pada tahun 1585 saka jawa atau sekitar tahun 1662 M,<ref name=Wildan>Wildan, Dadan 2003. Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta : Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. [[Bandung]] : Humaniora Utama Press</ref> 12 tahun setelah kepergiannya ke Mataram.
|
| flag_caption = Bendera Kesultanan Cirebon yang menampilkan gambar macan yang disamarkan (stilsasi) dalam sebuah kaligrafi Arab. Seni stilasi khas ini dikenal dengan nama "Macan Ali".<ref>{{Cite journal|last=Haris|first=Tawalinuddin|date=2016|title=Bendera Macan Ali Koleksi Museum Tekstil Jakarta|url=https://core.ac.uk/download/pdf/236574474.pdf|journal=Paradigma, Jurnal Kajian Budaya}}</ref>
|
| area_km2 =
|
| GDP_PPP_year =
|
| area_rank =
| demonym =
| native_name = ꦏꦱꦸꦭ꧀ꦠꦤꦤ꧀ꦕꦶꦫꦼꦧꦺꦴꦤ꧀ ([[Aksara Jawa|Hånåcåråkå]])<br><br>ᮊᮨᮞᮥᮜ᮪ᮒᮔᮔ᮪ ᮎᮤᮛᮨᮘᮧᮔ᮪ ([[Aksara Sunda|Sunda]])<br><br>كسولتانان چيربَون ([[Abjad Pegon|Pegon]])
| flag_size = 220px
| footnotes2 = <br>
[[Azmatkhan]] [[Walisongo]]
}}
{{Sejarah Indonesia|Kerajaan Islam}}
'''Kesultanan Cirebon''' adalah sebuah [[Sultan|kesultanan]] di [[
Kesultanan Cirebon didirikan di ''Dalem Agung Pakungwati'' sebagai pusat pemerintahan negara
Kesultanan Cirebon erat kaitannya dengan sosok [[Sunan Gunung Jati]] yang dikenal sebagai salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama [[Islam]] di Lampung<ref>{{Cite web|url=https://radarcom.id/2018/08/20/asal-usul-dan-hubungan-keratuan-darah-putih-dengan-syarief-hidayatullah-ii/|title=Asal-Usul dan Hubungan Keratuan Darah Putih dengan Syarief Hidayatullah (II)|date=20 Agu 2018}}</ref> dan Jawa bagian barat.<ref>Nailufar, Nibras. 2020. Sejarah Singkat Kerajaan Cirebon. [[Jakarta]] : Kompas</ref>
Kesultanan Cirebon mampu bertahan selama 3 abad, sejak diakuinya Walangsungsang sebagai [[Sri Margana|Sri Mangana]] (Penguasa) Cirebon pada 1430 hingga terjadinya kisruh kekuasaan akibat kosongnya posisi Sultan Cirebon sepeninggal Sultan Abdul Karim pada 1677. Tipu daya [[Mataram, Mataram|Mataram]] masa Amangkurat I serta dekatnya sebagian keluarga kesultanan Cirebon dengan Belanda menyebabkan perlahan kekuasaan Cirebon akhirnya runtuh, terlebih perkara ''pribawa'' (derajat paling tinggi) diantara keluarga besar kesultanan Cirebon semakin mempercepat keruntuhan kesultanan Cirebon pada akhir abad ke 17.
== Sejarah asal mula ==
Menurut ''Sulendraningrat'' yang mendasarkan pada naskah [[Babad Tanah Sunda]] dan [[Atja]] pada naskah ''Carita Purwaka Caruban Nagari'', [[Cirebon]] pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama ''[[Caruban]]'' ([[Bahasa Jawa]]: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang berbeda-beda dan datang untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Di abad ke-14, seorang pangeran [[Kerajaan Galuh|Galuh]] bernama [[Bratalegawa]] memeluk [[Islam]] dan memutuskan pindah ke Caruban Girang serta bermukim disana dengan tujuan untuk menyebarkan [[Islam]] kepada penduduk sekitar, menjadikan Cirebon sebagai cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.<ref>{{Cite book|date=2003|url=https://books.google.com/books?id=nvPXAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Bratalegawa+Caruban&q=Bratalegawa+Caruban&hl=en|title=Risalah: majalah da'wah Islamiyah|publisher=Yayasan Risalah Pers|language=id}}</ref>
Mengingat pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi (''belendrang'') dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan ''cai-rebon'' (Bahasa Sunda: air rebon) yang kemudian menjadi ''Cirebon''.<ref>{{Cite web |url=http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/07/26/kesultanan-cirebon-1445-1667/ |title=Kesultanan Cirebon |access-date=2012-08-12 |archive-date=2012-08-19 |archive-url=https://web.archive.org/web/20120819032558/http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/07/26/kesultanan-cirebon-1445-1667 |dead-url=yes }}</ref>
Dengan dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan [[Nusantara]] maupun dengan bagian dunia lainnya.
== Perkembangan awal ==
=== Ki Gedeng Tapa ===
Ki Gedeng Tapa (
=== Bratalegawa ===
Bratalegawa (Haji Purwa) adalah seorang pangeran dari Kerajaan Galuh anak dari prabu [[Bunisora]].<ref>{{Cite book|last=Ayatrohaedi|date=2005|url=https://books.google.com/books?id=ggxvAAAAMAAJ&newbks=0&printsec=frontcover&dq=Bratalegawa+Bunisora&q=Bratalegawa+Bunisora&hl=en|title=Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon|publisher=Pustaka Jaya|isbn=978-979-419-330-3|language=id}}</ref> Ia sebelumnya telah memeluk Islam di [[Kesultanan Delhi|India]] dan memutuskan untuk pindah ke Cirebon serta menyebarkan Islam disana, dikarenakan pengaruh Hindu di [[Kawali]], ibukota Galuh saat itu masih sangat kuat. Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa juga berperan dalam memajukan perekonomian Cirebon, dimana Cirebon menjadi pintu utama ekspor dari barang-barang yang dihasilkan oleh Kerajaan Galuh.<ref>{{Cite book|last=Sanusi|first=Anwar|last2=Arif|first2=Faisal|last3=Hasyim|first3=Rafan S.|date=2022-12-26|url=https://books.google.com/books?id=8KWkEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&pg=PA104&dq=Bratalegawa+perdagangan+Cirebon&hl=en|title=PERUBAHAN EKSISTENSI SUNGAI DAN PENGARUHNYA BAGI KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KOTA CIREBON PADA MASA HINDIA BELANDA TAHUN 1900-1942|publisher=Yayasan Wiyata Bestari Samastra|isbn=978-623-8083-13-8|language=id}}</ref>
==== ''Dinar, Dirham'' dan ''Fulus'' (uang tembaga) di pelabuhan Muara Jati ====
Masduqi dalam artikelnya yang berjudul Mengembalikan Perdagangan Islam yang Berkeadilan dalam acara konferensi Islam Internasional AICIS ke 12 di Surabaya menjelaskan bahwa patut diduga penggunaan ''Dinar'' (uang meas) ''Dirham'' (uang perak) dan ''Fulus'' (uang tembaga) telah terjadi pada masa Ki Gedeng Tapa, hal tersebut dikarenakan pada masa itu pelabuhan Muara Jati telah banyak dikunjungi kapal-kapal asing<ref name="masduqi" />
==== Persahabatan Cheng Ho, mecusuar Muara Jati dan Masjid Kung Wu Ping ====
[[Cheng Ho]] dalam misi diplomatiknya sempat berlabuh di pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1415, kedatangan Cheng Ho disambut oleh ''Ki Gedeng Tapa'', Cheng Ho kemudian memberikan cenderamata berupa piring yang bertuliskan ayat kursi (piring ini sekarang tersimpan di [[keraton Kasepuhan]], [[kesultanan Kasepuhan]] Cirebon)
Pada masa persinggahan laksamana Cheng Ho tersebut sangat dimungkinkan uang emas dan uang perak dijadikan sebagai alat tukarnya karena uang emas dan uang perak telah menjadi standar internasional pada masa tersebut terutama di pelabuhan-pelabuhan internasional.<ref name="masduqi" />
Pemukiman warga muslim
[[Tionghoa]] pun kemudian dibangun di sekitar ''prasada tunggang prawata'' (bahasa Indonesia : mercusuar) bukit Amparan Jati, yaitu di wilayah Sembung, Sarindil dan Talang lengkap dengan masjidnya, pemukiman di Sarindil ditugaskan untuk menyediakan kayu jati guna perbaikan kapal-kapal, pemukiman di Talang ditugaskan untuk memelihara dan merawat pelabuhan, pemukiman di Sembung ditugaskan memelihara [[mercusuar]], ketiga pemukiman Tionghoa tersebut secara bersama-sama ditugaskan pula memasok bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal,<ref>Tim Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2006. Widyasancaya. [[Jakarta]]: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata</ref> masjid di wilayah Talang sekarang telah berubah fungsinya menjadi sebuah klenteng.<ref name="radea" />
==== Pembangunan ''Gedong Witana'' ====
Pada masa kedatangan pangeran Walangsungsang dan ''nyimas'' Rara Santang ke Cirebon untuk memperdalam agama [[Islam]], pangeran Walangsungsang kemudian membangun sebuah tempat tinggal yang disebut ''Gedong Witana'' pada tahun 1428 Masehi.<ref>
=== Ki Gedeng Alang-Alang ===
Baris 76 ⟶ 99:
== Pendirian ==
=== Pangeran Cakrabuana dan ''Dalem Agung Pakungwati'' (1430- 1479) ===
Pangeran Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putra pertama Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari istrinya yang pertama bernama Subanglarang (putri Ki Gedeng Tapa). Raden Walangsungsang, ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Rara Santang dan Raden Kian Santang.
Sebagai anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putra mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 15) ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa,<ref>Kartasumitra, R. E. Sulaeman. 1993. Catatan-catatan Tercecer Mengenai Kerajaan-Kerajaan dan Raja-Raja pra Islam di Jawa Barat, Tahun 130-1579 M. [[Jakarta]]</ref> anak laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang kedua Nyai Cantring Manikmayang.
Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji kemudian disebut Haji Abdullah Iman,<ref name="apipudin" /> menurut Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam naskah Sejarah Babad Tanah Sunda, Pangeran Cakrabuana sepulang dari Mesir ia dibekali oleh saudara iparnya (suami Nyimas Rara Santang) yaitu Sultan Hud atau Mahmud Asyar al-Qibthi atau dikenal juga dengan nama Syarief Abdullah dengan ''Dirham'' (uang perak) sebanyak seribu keping.<ref name="masduqi" />
Pangeran Walangsungsang lalu membuat sebuah pedukuhan di Kebon Pesisir, membangun ''Kuta Kosod (susunan tembok bata merah tanpa spasi)'' mendirikan ''Dalem Agung Pakungwati'' serta dan membentuk pemerintahan di Cirebon pada tahun 1430 M.<ref name="Rosmalia" /><ref name="Susilaningrat" /><ref name="hardhi" /><ref name="rizky" /> Dengan demikian, yang dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, tampil sebagai "raja" Cirebon pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama Islam kepada penduduk Cirebon.<ref>Abdurrakhman, Paramita R. 1982. Cerbon. [[Jakarta]] : Yayasan Mitra Budaya Indonesia kerja sama Sinar Harapan</ref>
Pendirian kesultanan ini sangat berkaitan erat dengan keberadaan [[Kesultanan Demak]].
Baris 90 ⟶ 114:
== Perkembangan dan perluasan syiar ==
=== Sunan Gunung Jati (1479-1568) ===
Pada tahun 1478 diadakan sebuah musyawarah para wali di [[Tuban]], [[Jawa Timur]] untuk mencari pengganti [[Sunan Ampel]] sebagai pimpinan para wali, akhirnya terpilihlah Syarif Hidayatullah ([[Sunan Gunung Jati]]), sejak saat itu, pusat kegiatan para wali dipindahkan ke gunung Sembung, [[Gunungjati, Cirebon|kecamatan Gunung Jati]], [[kabupaten Cirebon]], [[Jawa Barat|propinsi Jawa Barat]]. Pusat kegiatan keagamaan ini kemudian disebut sebagai ''Puser Bumi'' (bahasa Indonesia: pusatnya dunia).<ref name=rohmat>Kurnia, Rohmat. 2009. Tempat dan Peristiwa Sejarah di Jawa Barat. [[Bandung]]: Sarana Pancakarya Nusa</ref>
Pada tahun 1479 M, kedudukan pangeran Walangsungsang sebagai penguasa [[Cirebon]] kemudian digantikan putra adiknya yakni Syarif Hidayatullah (anak dari pernikahan ''Nyai'' Rarasantang dengan Syarif Abdullah dari [[Mesir]]) yang sebelumnya menikahi ''Nyimas'' Pakungwati (putri dari Pangeran Walangsungsang dan ''Nyai'' Indang Geulis) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan [[Sunan Gunung Jati]] dengan gelar Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai ''Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah''.<ref name=kabcirebon>
Syarif Hidayatullah melalui lembaga [[Wali Sanga]] selalu mendekati kakeknya yakni Jaya Dewata (prabu ''Silih Wangi'') agar berkenan memeluk agama Islam seperti halnya neneknya ''Nyai'' Subang Larang yang memang sudah lama menjadi seorang [[muslim]] jauh sebelum menikah dengan prabu ''Silih Wangi'', tetapi hal tersebut tidak membuahkan hasil, pada tahun 1482 (pada saat kekuasaan kerajaan Galuh dan Sunda sudah menjadi satu kembali di tangan prabu ''Silih Wangi''), seperti yang tertuang dalam naskah ''Purwaka Caruban Nagari'' karya Pangeran Arya Carbon.
Baris 102 ⟶ 124:
<br>(bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijriah) }}
Pada tanggal 12 Shafar 887 Hijriah atau tepatnya pada tanggal 2 April 1482 Masehi, akhirnya Syarif Hidayatullah membuat maklumat yang ditujukan kepada prabu ''Silih Wangi'' selaku Raja Pakuan Pajajaran bahwa mulai saat itu Cirebon tidak akan lagi mengirimkan upeti.<ref name=rohmat/><ref name=kabcirebon/>
Untuk memperkuat hubungan dengan [[kesultanan Demak]] dilakukan dengan pernikahan putra putri kedua kesultanan.<ref name=iskandar1/>
Baris 111 ⟶ 133:
Pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif Hidayatullah atau [[Sunan Gunung Jati]]. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini sebagai leluhur dari dinasti raja-raja kesultanan Cirebon dan [[kesultanan Banten]] serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti [[Majalengka]], [[Kuningan]], [[Kawali]] (Galuh), [[Sunda Kelapa]], dan [[Banten]].<ref name="Muljana">{{cite book|pages=72|url=http://books.google.co.id/books?id=j9ZOKjMxVdIC&lpg=PA78&dq=suma%20oriental&pg=PA72#v=onepage&q=suma%20oriental&f=false|title=Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara|first=Slamet|last=Muljana|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|year=2005|isbn=9798451163}}</ref>
==== ''Dinar'' dan ''Dirham'' sebagai mata uang kesultanan Cirebon ====
Pada abad ke 15 atau sekitar tahun 1400an, kesultanan Cirebon telah memberlakukan ''Dinar'' dan ''Dirham'' sebagai uang kartal kesultanannya.<ref name=masduqi>Masduqi. 2012. Mengembalikan Perdagangan Islam Yang Berkeadilan : Sebuah Antitesa Terhadap Perdagangan Kapitalisme Global. [[Surabaya]] Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII</ref>
==== ''Picis'' (uang logam) Cirebon ====
Pada masa awal perkembangan kesultanan Cirebon, wilayah Cirebon terkenal sebagai jalur perdagangan, pada masa itu di Cirebon diberlakukan ''Picis'' (uang logam) yang terbuat dari timah sebagai mata uangnya.<ref name=bochari>Bochari, Muhammad Sanggupri. Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional</ref>
==== Syiar Islam ke Kuningan dan berkuasanya Pangeran Kuningan ====
Syiar Islam ke wilayah Kuningan telah dilakukan dengan cara yang persuasif, di wilayah [[Luragung, Kuningan|Luragung]] Islam sudah terbangun dengan baik pada tahun 1481 M, dengan penguasanya ''Ki'' gede Luragung, pada 1 September 1488, [[Sunan Gunung Jati]] menjadikan putra ''Ki'' gede Luragung (anak angkat [[Sunan Gunung Jati]]) yang bernama Pangeran Kuningan atau yang oleh masyarakat Kuningan dikenal dengan nama ''Sangkuku'' diangkat sebagai ''Depati Kuningan'' (bahasa Indonesia: gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah [[Kuningan]]).<ref name=pembangunan1/>
==== Pembangunan Pos dan Pedukuhan di Pisangan - Sedari, [[Karawang]] ====
Pada tahun 1518, [[Sunan Gunung Jati|Syekh Syarif Hidayatullah]] mengutus Janapura yang merupakan muridnya yang berasal dari [[Kudus]] untuk membuat sebuah pedukuhan di dekat laut di wilayah ujung Karawang yang sekarang berada di sekitar Pisangan - Sedari, [[Karawang]], pedukuhan yang dibangun oleh Janapura kemudian menjadi pos kesultanan Cirebon di wilayah pesisir utara bagian barat<ref name=lutfianasedari>Awaludin, Luthfiana. 2017. Kisah Murid Sunan Gunung Jati & Pantai Sedari di Karawang. [[Jakarta]] : Detik News</ref>
Pedukuhan yang pertama dibuat oleh Janapura adalah pedukuhan Pisangan, setelah 10 tahun menetap di Pisangan, kedua puteri dari Janapura yaitu Dewi Sondari dan Andidari datang berkunjung. Pada tahun 1528 Janapura yang kemudian dikenal sebagai Syekh Janapura mendapatkan misi untuk mengislamkan daerah Tanjung Suwung yang sekarang dikenal dengan nama Sedari. Wilayah Tanjung Suwung pada masa itu banyak dihuni oleh masyarakat pelarian dari kerajaan Telaga, Syekh Janapura kemudian berhasil mengislamkan masyarakat di Tanjung Suwung dan selanjutnya mengembangkan pedukuhan di sana,<ref name="lutfianasedari" /> menurut Zakaria Husein (sejarahwan Karawang) berita keberhasilan Syekh Janapura mengislamkan Tanjung Suwung kemudian tersebar hingga ke [[Kabupaten Kudus|Kudus]], tidak lama kemudian Raden Imanillah (keluarga Sunan Kudus) meminang Dewi Sondari dan membawanya kembali ke [[Kabupaten Kudus|Kudus]], untuk memperingati pernikahan puterinya yaitu Dewi Sondari dengan Raden Imanillah, Syekh Janapura kemudian memberikan nama pada pedukuhan di Tanjung Suwung tersebut dengan nama pedukuhan Sondari yang kemudian dikenal oleh masyarakat sekarang dengan nama Sedari.
Menurut data yang dihimpun oleh Zakaria Husein, Syekh Janapura tinggal di Tanjung Suwung hingga akhir hayatnya yakni pada tahun 1567, ia kemudian dimakamkan di dekat pantai.<ref name="lutfianasedari" />
==== Datangnya Gamelan ''Suka Hati'' dari [[kerajaan Demak]] ====
Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam bukunya Sejarah Cirebon menjelaskan bahwa setelah wafatnya Pangeran Sebrang Lor (Sultan Demak kedua) pada tahun 1521 pada penyerangan ke [[Kota Melaka|Melaka]] yang dikuasi Portugis,<ref>Muljaya, Prof. DR Slamet. 2005. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara. [[Yogyakarta]]: LKiS Yogyakarta</ref>
==== Syiar Islam ke Banten dan pendirian [[kesultanan Banten]] ====
Baris 136 ⟶ 172:
Pada tahun 1513 M, [[Tome Pires]] pelaut Portugis menyatakan dalam catatannya bahwa sudah banyak dijumpai orang Islam di pelabuhan [[Banten]].<ref name=Michrob>Michrob, Drs Halwani, Drs A. Mudjahid Chudori. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. [[kota Serang|Serang]]: Penerbit Saudara</ref>
Syarif Hidayatullah mengajak putranya [[Maulana Hasanuddin]] untuk berangkat ke [[Mekah]],<ref name=pudjiastuti1>Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan: Surat-surat Sultan Banten. [[Jakarta]]: Yayasan Obor Indonesia</ref>
Pada tahun 1521, Jaya dewata (prabu [[Siliwangi]]) mulai
Baris 153 ⟶ 189:
Pada tahun 1524 M, [[Sunan Gunung Jati]] bersama pasukan gabungan dari kesultanan Cirebon dan [[kesultanan Demak]] mendarat di pelabuhan [[Banten]].<ref>Hendarsyah, Amir. 2010. Cerita Kerajaan Nusantara. [[Yogyakarta]]: Great Publisher</ref> Pada masa ini tidak ada pernyataan yang menyatakan bahwa ''Wahanten Pasisir'' menghalangi kedatangan pasukan gabungan Sunan Gunung Jati sehingga pasukan difokuskan untuk merebut ''Wahanten Girang''.
Dalam Carita Sajarah Banten dikatakan ketika pasukan gabungan kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai ''Wahanten Girang'', ''Ki'' Jongjo (seorang kepala prajurit penting) dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanuddin.<ref>
Dalam sumber-sumber lisan dan tradisional diceritakan bahwa ''pucuk umum'' (penguasa) Banten Girang yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah [[Maulana Hasanuddin]] yang berhasil menarik simpati masyarakat termasuk masyarakat pedalaman ''Wahanten'' yang merupakan wilayah kekuasaan ''Wahanten Girang'', sehingga ''pucuk umum'' Arya Suranggana meminta Maulana Hasanuddin untuk menghentikan aktivitas dakwahnya dan menantangnya ''sabung ayam'' (adu ayam) dengan syarat jika ''sabung ayam'' dimenangkan Arya Suranggana maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan aktivitas dakwahnya. ''Sabung Ayam'' pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktivitas dakwahnya.<ref>Sariyun, Yugo. 1991. Nilai Budaya dalam Permainan Rakyat Jawa Barat. [[Jakarta]]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref> Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.
Sepeninggal Arya Suranggana, kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai di penghujung abad ke-17.<ref>
===== Penyatuan ''[[Banten]]'' =====
Baris 163 ⟶ 199:
Atas petunjuk ayahnya yaitu [[Sunan Gunung Jati]], [[Maulana Hasanuddin]] kemudian memindahkan pusat pemerintahan ''Wahanten Girang'' ke pesisir di kompleks Surosowan sekaligus membangun kota pesisir.<ref name=depdikbud1>Tim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1997. Kongres Nasional Sejarah, 1996: Sub tema dinamika sosial ekonomi. [[Jakarta]]: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia</ref>
Kompleks istana Surosowan tersebut akhirnya selesai pada tahun 1526.<ref name=pudjiastuti2/> Pada tahun yang sama juga Arya Surajaya ''pucuk umum'' (penguasa) ''Wahanten Pasisir'' dengan sukarela menyerahkan kekuasannya atas wilayah ''Wahanten Pasisir'' kepada Sunan Gunung Jati, akhirnya kedua wilayah ''Wahanten Girang'' dan ''Wahanten Pasisir'' disatukan menjadi ''Wahanten'' yang kemudian disebut sebagai ''Banten'' dengan status sebagai ''kadipaten'' (setingkat dengan provinsi) dari kesultanan Cirebon pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah (sekitar tanggal 8 Oktober 1526 M),<ref>Lubis, Nina Herlina, 2004. Banten dalam pergumulan sejarah: sultan, ulama, jawara. [[Jakarta]]: LP3ES</ref>
Menurut catatan dari Joao de Barros, semenjak [[Banten]] dan Sunda Kelapa dikuasai oleh kesultanan Islam, [[Banten]] lah yang lebih ramai dikunjungi oleh kapal dari berbagai negara.<ref name=depdikbud1/>
Baris 181 ⟶ 217:
Lalu pada tahun 1522 Gubernur [[Alfonso d'Albuquerque]] yang berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja Sunda Surawisesa (dalam naskah Portugis disebut sebagai Raja Samiam)<ref name="Pusat Studi Sunda 2006"/> untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa guna melawan orang-orang Cirebon yang menurutnya bersifat ekspansif.
Pada masa ini nama Fatahilah (Fadilah Khan) yang dipercaya sebagian masyarakat Cirebon berasal dari Pasai sudah dikenal dibeberapa kalangan masyarakat Demak dan Cirebon setelah sebelumnya hidupnya berpindah pindah dari Pasai ke Melaka sebelum datang ke Cirebon akibat kedua tempat tersebut dikuasai oleh Portugis, Fatahilah dikenal dikarenakan dia turut membantu dalam hal syiar Islam, di Cirebon setelah meninggalnya Sultan Demak Pangeran Sebrang Lor ia kemudian menikahi mantan Istri pangeran Sebrang Lor yaitu Ratu Ayu yang merupakan anak dari Sunan Gunung Jati dan setelah Pangeran Jayakelana dari Cirebon meninggal, ia pun kemudian menikahi mantan istrinya yang berasal dari [[kesultanan Demak]] yaitu Ratu Ayu Pembayun,<ref name=iskandar1>Iskandar, Yoseph. 2005. Sejarah Jawa Barat. [[kota Bandung|Bandung]]: Geger Sunten</ref>
Pada tanggal [[21 Agustus]] [[1522]] dibuatlah suatu perjanjian yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat [[loji]] (perkantoran dan perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa<ref name="Haan, Frederik 1932"/> dan Banten, sedangkan Sunda Kelapa akan menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda Surawisesa akan memberikan kepada orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan, sebuah batu peringatan atau ''[[padraõ]]'' (dibaca: Padraun) dibuat untuk memperingati peristiwa itu. [[Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal|Padrão dimaksud]] disebut dalam cerita masyarakat [[Sunda]] sebagai Layang Salaka Domas dalam cerita rakyat [[Mundinglaya Dikusumah]], dari pihak [[kerajaan Sunda]] perjanjian ditandatangani oleh Syahbandar Sunda Kelapa yang bernama Wak Item dari kalangan muslim Betawi dengan membubuhkan huruf Wau dengan Khot.<ref name=eramuslim1/>
Baris 187 ⟶ 223:
Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut Prinsenstraat (Jalan Cengkih) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Fatahilah kemudian mengungkapkan rencananya untuk menyerang Portugis di Sunda Kelapa, rencana Fatahilah mendapatkan dukungan dari kesultanan Demak, Sultan Trenggana yang melihat kedekatan kerajaan Sunda dengan [[Portugis]] sebagai ancaman kemudian juga turut merencanakan serangan ke Sunda Kelapa.<ref>
Penyerangan ke Sunda Kelapa kemudian dilakukan dengan gabungan prajurit kesultanan Cirebon, [[kesultanan Demak]] dan [[kesultanan Banten]] (pada saat itu [[Banten]] masih menjadi ''[[kadipaten]]'' di bawah kesultanan Cirebon) yang baru saja berdiri pada tahun 1526 hasil penyerangan prajurit Cirebon dan Demak di bawah pimpinan [[Maulana Hasanuddin]] putra [[Sunan Gunung Jati]]<ref name=uka1>Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. [[Jakarta]]: Gramedia</ref> atas wilayah Banten Girang, setelah sebelumnya Fatahilah meminta saudara iparnya yaitu Sultan Banten pertama Maulana Hasanuddin agar tidak menyerang Sunda Kelapa sendirian.
Pada saat menyerang Sunda Kelapa pada tahun 1527, menurut sejarawan dan budayawan [[suku Betawi|Betawi]] Ridwan Saidi, pasukan Fatahilah hanya menghadapi Syahbandar Sunda Kelapa yaitu Wak Item dan dua puluh anggotanya, Wak Item tewas dan tubuhnya ditenggelamkan di laut, kemudian Fatahilah membumihanguskan perkampungan yang ada
===== Keterlambatan bantuan Portugis =====
Pada pertempuran antara [[kerajaan Sunda]] dengan gabungan prajurit Banten, Cirebon dan Demak di Sunda Kelapa yang berakhir dengan tewasnya Wak Item (Syahbandar Sunda Kelapa) bersama dua puluh anggotanya serta sebagian penduduk Sunda Kelapa salah satunya disebabkan karena keterlambatan bantuan dari Portugis, Francisco de Xa yang ditugasi membangun benteng diangkat menjadi Gubernur [[Goa, India|Goa]] sebuah koloni Portugis di [[India]].<ref>Rahardjo, Supratikno. M. P. B. Manus, P. Suryo Haryono. 1996. Sunda Kelapa Sebagai Bandar di Jalur Sutra : Laporan Penelitian. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia</ref> Keberangkatan ke [[kerajaan Sunda]] dipersiapkan dari Goa dengan 6 buah kapal. [[Galiun]] (kapal perang) yang dinaiki Francisco De Xa dan berisi peralatan untuk membangun benteng terpaksa ditinggalkan karena armada ini diterpa badai dan karam di [[Teluk Benggala]],<ref name=erwantorojakarta>Erwantoro, Heru. 2009. Hari Jadi Kota Jakarta. [[Bandung]] : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung</ref> tepatnya di [[Ceylon]] ([[Srilanka]]). Francisco De Xa tiba di [[Kota Melaka|Melaka]] tahun 1527.
Ekspedisi ke Sunda bertolak dari Malaka. Mula-mula menuju Banten, akan tetapi karena Banten sudah dikuasai oleh [[Maulana Hasanuddin]], perjalanan dilanjutkan ke Pelabuhan Kalapa. Di [[Ci Sadane|Muara Cisadane]], Francisco De Xa memancangkan Padrão pada tanggal 30 Juni 1527 dan memberikan nama kepada Cisadane "Rio de São Jorge" (dibaca: Rio de Saun Horhe) yang berarti sungai Santo Jorge.<ref name="erwantorojakarta" /> Kemudian galiun Francisco De Xa memisahkan diri, hanya kapal ''brigantin'' yang dipimpin oleh Duarte Coelho yang langsung berangkat ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Duarte Coelho terlambat mengetahui perubahan situasi, kapalnya menepi terlalu dekat ke pantai dan menjadi mangsa sergapan pasukan Fatahilah, dengan kerusakan yang berat dan korban yang banyak, kapal Portugis ini berhasil meloloskan diri ke Pasai.<ref name="erwantorojakarta" />
Tahun 1529 Portugis menyiapkan 8 buah kapal untuk melakukan serangan balasan, akan tetapi karena peristiwa 1527 yang menimpa pasukan Duarte Coelho demikian menakutkan, maka tujuan armada lalu diubah menuju [https://en.m.wiki-indonesia.club/wiki/Cape_Coast_Metropolitan_Assembly Pedu] di wilayah [[Pantai Emas Portugal]] yang merupakan koloni Portugis di [[Afrika]] yang sekarang menjadi bagian dari negara [[Ghana]].
Baris 222 ⟶ 258:
Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh kesultanan Cirebon dan kerajaan Rajagaluh digabungkan wilayahnya dengan kesultanan Cirebon, sementara para pemimpin kerajaan Rajagaluh dibiarkan lari.
==== Kawali dikuasai pada 1528 ====
Pada tahun 1528 Kawali (ibukota Galuh) berhasil dikuasai oleh Cirebon.<ref name=anwarikapol>Anwari< Johan Jouhar. 2017. Sekeseler, Para Penerus Kekuasaan Galuh (1). [[Tasikmalaya]] : Kabar Priangan Online</ref> Kesultanan Cirebon kemudian menugaskan Pangeran Dungkut untuk menjadi penguasa di Galuh.<ref name=apipudin/> Pangeran Dungkut dipercaya sebagai putra dari Prabu Langlangbuana dari Kuningan.<ref>Sihabudin, Aan Anwar. Andang Andi. 2020. Peranan Kepemimpinan Adipati Singacala Dalam Penyebaran Agama Islam Di Kawali Kabupaten Ciamis (Tahun 1643-1718 Masehi). [[Ciamis]] : Universitas Galuh</ref>
==== Perwalian oleh Pangeran Mohammad Arifin ====
Pada tahun 1528 m [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] menyerahkan (mewakilkan) kekuasaan kesultanan Cirebon kepada putranya yaitu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang merupakan ''depati Cirebon'' (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sementara
==== Bergabungnya Talaga pada 1529 ====
Baris 235 ⟶ 275:
Pasukan dari kerajaan Talaga dipimpin oleh Demang kerajaan lantas menemui iring-iringan tersebut menanyakan kepada arak-arakan prajurit paling depan tentang asal usul dan keperluan mereka masuk ke wilayah Talaga, dikarenakan para prajurit Talaga bertanya dengan menggunakan [[bahasa Sunda]] maka para prajurit yang mengawal di depan yang kebetulan [[suku Jawa]] dari [[kerajaan Demak]] tidak memahami arti pertanyaannya dan hanya diam saja. Sikap diam yang ditunjukkan para barisan prajurit [[suku Jawa]] tersebut dianggap sebagai penghinaan kepada rombongan pasukan kerajaan Talaga, Demang kerajaan Talaga marah dan mengamuk namun dapat segera diatasi oleh barisan prajurit di depan (barisan prajurit [[kesultanan Demak]]) tersebut, Demang kerajaan Talaga lantas melaporkan masalah kepada Pangeran Aria Salingsingan (Putra Mahkota Talaga), ketika Pangeran Aria datang ke iring-iringan tersebut untuk membalas perlakuan mereka kepada rombongan prajurit kerajaan Talaga dan Demang kerajaan, terjadi keributan kembali (tanpa Pangeran Aria sempat mencari tahu apa maksud kedatangan para rombongan prajurit tersebut) beberapa prajurit barisan depan tadi kemudian ada yang meninggal, dikatakan setelah melihat sosok [[Sunan Gunung Jati]] yang maju kedepan untuk melihat ada keributan apa sehingga iring-iringan tertahan, Pangeran Aria Salingsingan kemudian menghentikan serangannya kepada para prajurit, diyakini kemudian [[Sunan Gunung Jati]] menjelaskan tujuan iring-iringan prajurit tersebut yang tidak sengaja memasuki wilayah Talaga, dikarenakan telah membunuh beberapa prajurit barisan depan (prajurit kesultanan Demak) maka Pangeran Aria Salingsingan meminta maaf. Sunan Gunung Jati kemudian memintanya agar masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat dan Pangeran Aria Salingsingan dengan sukarela mengikutinya (masuk Islam).
Rombongan iring-iringan para pangeran Cirebon kemudian menuju ke kraton Talaga untuk menemui ''pucuk umum'' (penguasa) Talaga (kabar bahwa Pangeran Aria Salingsingan masuk Islam dan menghentikan serangan kemudian sampai ke keraton Talaga) namun ketika mereka sampai raja sudah tidak ada di keraton, begitu pula dengan saudari Pangeran Arya Salingsingan yang bernama Ratu Mas Tanduran Gagang yang juga keluar Istana dan dikabarkan pergi bertapa,<ref name=sule1/>
==== Sumedang bergabung pada 1530 ====
Baris 254 ⟶ 294:
==== Sunan Kalijaga diundang ke [[kerajaan Demak]] ====
Pada tahun 1543, [[Trenggana|Sultan Trenggana]] mengundang [[Sunan Kalijaga]] untuk datang ke [[kerajaan Demak]] guna menjadi penasihat [[Trenggana|Sultan Trenggana]]<ref>
==== Terbunuhnya Pangeran Mohammad Arifin ====
Pada tahun 1546 M [[Trenggana|sultan Trenggana]] tidak sengaja terbunuh dalam usaha penyerangan ke [[Panarukan]], pada saat itu [[Panarukan]] sudah dikepung selama tiga bulan oleh gabungan prajurit [[kesultanan Demak]] dan kesultanan Cirebon, kesultanan Cirebon mengirimkan sekitar 7.000 prajuritnya yang didatangkan dari wilayah [[Banten]] dan [[Jakarta|Jayakarta]] serta [[Cirebon]], di antara prajurit yang dikirim dari kesultanan Cirebon ada Fernão Medes Pinto (dibaca: Fernaun Mendes Pinto, penjelajah Portugis yang mencatat ekspedisi penyerangan ke [[Panarukan]] dalam catatannya ''Peregrinação'' (dibaca: Peregrinasaun (perjalanan)
Selanjutnya terjadi huru-hara perebutan kekuasaan di [[kesultanan Demak]], masa itu Pangeran Mohammad Arifin (Pangeran Pasarean) yang menjabat sebagai ''Depati Cirebon'' (gubernur kesultanan Cirebon untuk wilayah Cirebon) sekaligus putra mahkota kesultanan Cirebon yang sedang berada di Demak mewakili sultan Cirebon (oleh Fernão Mendes Pinto disebut sebagai ''Quiay Ansedaa Pate de Cherbom'' (Kyai Sang Depati Cirebon)
==== Musyawarah berkenaan dengan meninggalnya Pangeran Muhammad Arifin ====
Kesultanan Cirebon menggelar musyawarah dalam menyikapi peristiwa meninggalnya Pangeran Mohammad Arifin di [[Demak]], [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] selaku penguasa kesultanan Cirebon pada saat itu tengah menetap di [[Banten]],<ref name="Kersten1">Kersten, Carool. 2017. History of Islam in Indonesia : Unity in Diversity. [[Edinburgh]] : Edinburgh University Press</ref>
Pada tahun 1552, setelah Maulana Hasanuddin resmi menjadi penguasa [[kesultanan Banten]], [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] kembali ke [[Cirebon]]<ref name=Kersten1/>
Baris 270 ⟶ 310:
==== Pembagian wilayah taklukan antara [[kesultanan Banten]] dengan kesultanan Cirebon ====
Pasca perjanjian damai Cirebon dengan [[kerajaan Sunda|kerajaan Pajajaran]]
Pada tahun 1568,<ref>Shahab, Yasmine Zaki. 1997. Betawi dalam perspektif kontemporer: perkembangan, potensi, dan tantangannya. [[Jakarta]] : Lembaga Kebudayaan Betawi</ref>
=== Fatahillah (1568-1570) ===
Pada tahun 1568 M [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] meninggal dunia maka kekosongan pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang selama Syarief Hidayatullah melaksanakan tugas dakwah dijadikan wakilnya sebagai pengurus kesultanan Cirebon, Fadillah Khan (Fatahillah) kemudian naik takhta (sebagai [[Wali penguasa|wali
== Puncak kejayaan dan persahabatan dengan negara lain ==
Sepeninggal Fadillah Khan (Fatahillah), oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta kerajaan jatuh kepada cicit [[Sunan Gunung Jati|Syarief Hidayatullah]] yaitu Pangeran Mas Zainul Arifin atau dikenal juga dengan nama ''Panembahan Ratu I'', putra dari Pangeran Sawarga<ref name=muhaimin/> atau cicit Sunan Gunung Jati yang sudah berusia 21 tahun. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 81 tahun.<ref>{{Cite web|url=http://1.bp.blogspot.com/-pMAX-3oFTKY/UT_cRBLOpHI/AAAAAAAAAMM/anBSf9w4y58/s1600/cirebon.JPG|title=Silsilah Kesultanan Kasepuhan Cirebon}}</ref>
=== Sultan Zainul Arifin/Panembahan Ratu I (1570 - 1649<ref name=wildan>Wildan, Dadan. 2003. Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta : Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural. Bandung : Humaniora Utama Press</ref>) ===
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin atau [[Panembahan Ratu I]] ini dikatakan bahwa keraton Mataram (pada masa ini Mataram menjadi bawahan kerajaan Pajang) mulai dibangun di sekitar kali Opak dan kali Progo pada tahun 1578 oleh Ki Ageng Pamanahan, tetapi beberapa tahun kemudian dia wafat, tepatnya pada tahun 1584 sehingga kepemimpinan di keratonnya dilanjutkan oleh putranya yang bernama [[Sutawijaya|Danang Sutawijaya]], beberapa tahun setelah meninggalnya Ki Ageng Pamanahan, Sultan Hadiwijaya dari kerajaan [[Pajang]] (sekarang wilayahnya diperkirakan meliputi wilayah kekuasaan [[Kasunanan Surakarta]] dan [[Mangkunegara]]) pun meninggal, tepatnya pada tahun 1587, pada saat meninggalnya Sultan [[Pajang]], Danang Sutawijaya yang selama ini tidak suka menghadap Sultan Pajang akhirnya datang juga untuk menghadiri upacara pemakaman Sultan.<ref>Olthoff. W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1646's - Gravenhage Martinus Nijhof.: [[Leiden]]</ref> Pada masa pemerintahannya, Danang Sutawijaya melakukan perluasan wilayahnya;
* [[Pajang]] dijadikan kadipaten, dan Pangeran Benawa (putra dari Sultan Hadiwijaya) dijadikan sebagai pemimpin Kadipaten Pajang
Baris 295 ⟶ 334:
Pada masa pemerintahan Pangeran Mas Zainul Arifin, kesultanan Cirebon berhasil mempertahankan hubungan baik antara [[kesultanan Banten]] dengan [[kesultanan Mataram]], hal itu disebabkan adanya hubungan keluarga antara [[kesultanan Banten]] dengan kesultanan Cirebon yang masih sama-sama keturunan [[sunan Gunung Jati]] sementara dengan kesultanan Mataram hubungan persahabatan yang erat telah dijalin antara Pangeran Mas Zainul Arifin dengan [[Danang Sutawijaya]] penguasa Mataram pertama.
====
[[Berkas:AMH-4653-NA Map of the city and fort of Cheribon.jpg|jmpl|Peta buatan Isaac de Graaff yang menunjukan struktur tembok ''Kuta Cirebon'' yang masih ada di sebelah selatan dan timur keraton Pakungwati (periode 1690 - 1705)]]
Pada masa perluasan dan penaklukan wilayah yang dilakukan kerajaan [[Mataram]] oleh [[Sutawijaya|Danang Sutawijaya]], Mataram juga menjalin kedekatan dengan kesultanan Cirebon, tetapi hubungan yang dimaksud bukan dihasilkan dari sebuah penaklukan melainkan dari persahabatan.<ref>Poesponegoro. Marwati Djoened. Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia III - Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Islam di Indonesia. Balai Pustaka: [[Jakarta]]</ref> Benteng Kuta Raja Cirebon yang dalam Naskah Kacirebonan disebut sebagai Benteng Seroja diyakini pembangunannya mendapatkan bantuan dari [[Sutawijaya|Danang Sutawijaya]] Raja [[Mataram]].
Baris 304 ⟶ 344:
Benteng Kuta Raja Cirebon diperkirakan telah dibangun sebelum tahun 1596, dikarenakan benteng tersebut diceritakan pada pelayaran pertama bangsa Belanda pada tahun 1596<ref>de Graaf, Hermanus Johannes. 1985. Awal Kebangkitan Mataram Masa Pemerintahan Senapati. [[Jakarta]]: Grafitipers</ref> dan tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan yang sebenarnya adalah perjanjian monopoli dagang Belanda terhadap Cirebon pada tahun 1681 benteng tersebut masih dapat dikenali.
[[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyaraka Kusuma]] dari Mataram sangat menghormati Pangeran Mas sebagai gurunya ([[Sultan Agung dari Mataram|Sultan Agung Hanyaraka Kusuma]] dikatakan sebagai salah satu murid kesayangan Pangeran Mas<ref name=disporbudpar1>{{Cite web |url=http://disporbudpar.cirebonkota.go.id/2015/10/26/riwayat-berdirinya-keraton-keraton-di-cirebon/ |title={{!}} Tim Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Pariwisata Kota Cirebon. 2015. Riwayat Berdirinya Keraton-Keraton di Cirebon. [[kota Cirebon{{!}}Cirebon]]: Dinas Pemuda, Olah Raga, Budaya dan Pariwisata Kota Cirebon |access-date=2016-05-13 |archive-date=2016-08-11 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160811123939/http://disporbudpar.cirebonkota.go.id/2015/10/26/riwayat-berdirinya-keraton-keraton-di-cirebon/ |dead-url=yes }}</ref>), hal tersebut tidak lain adalah pesan dari [[Danang Sutawijaya]] Sultan Mataram pertama yang berpesan kepada keturunannya agar selalu menjaga hubungan baik dengan [[Cirebon]].
Pada tahun 1614 ketika [[Pieter Both|Gubernur Jendral Pieter Both]] berkuasa di Hindia Belanda, Belanda mengirimkan utusan ke Mataram, rombongan dipimpin oleh Jan Piterszoon Coen (yang kelak menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada tahun 1619). Mataram pada masa itu diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645), kepada utusan Belanda ini Sultan Agung menyampaikan klaim sepihak bahwa seluruh wilayah pulau Jawa bagian barat adalah wilayah Mataram kecuali wilayah [[kesultanan Banten]] dan kesultanan Cirebon.<ref>Surianingrat, Bayu. 1983. Sejarah Kabupaten I Bhumi Sumedang
[[Rijcklof van Goens|Rijckloff Volckertsz van Goens]] Gubernur Jendral Hindia Belanda periode 1678 - 1681 menyatakan bahwa utusan ''[[Vereenigde Oostindische Compagnie]]'' (VOC) telah lima kali ditugaskan ke Mataram pada periode sekitar tahun 1648 - 1654. Sejak zaman [[Danang Sutawijaya]] (teman Pangeran Mas Zainul Arifin), sudah dipelihara hubungan yang erat dalam suasana perdamaian (''groote correspon-dentie on foede vreede''), sebelum [[Danang Sutawijaya]] wafat ia telah berpesan pula kepada putranya agar tetap memelihara hubungan baik dengan [[Cirebon]], [[Rijcklof van Goens|Rijckloff Volckertsz van Goens]] berpendapat bahwa hal tersebut dimungkinkan karena [[Cirebon]] dianggap suci” (''guansuis, omdat den Cheribonder voor hem’t geloof hadde aengenoomen ende een heilige man was'').<ref>de Graaf, Hermanus Johannes. 1954. De Regering van Panembahan Senapati Ingalaga, Leiden: KITLV</ref>
==== ''Kepeng'' (uang logam pecahan lebih kecil) Cirebon ====
Perdagangan di Cirebon yang semakin ramai membuat Sultan Zainul Airifin memutuskan untuk membuat uang ''Kepeng'' (uang logam pecahan lebih kecil) yang terbuat dari besi, tembaga dan perunggu.<ref name="masduqi" />
==== Peristiwa Harisbaya ====
Konflik antara kesultanan Cirebon dengan [[kerajaan Sumedang Larang]] terjadi dikarenakan adanya peristiwa Harisbaya
==== Perdagangan dengan wilayah lainnya ====
Pada tanggal 7 - 12 Mei 1632 kapal-kapal Melayu datang dari Cirebon ke Batavia membawa gula, minyak dan keperluan lainnya.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 8 Oktober 1632, telah datang di Batavia 20 kapal ''jung'' dari Cirebon yang dikomandoi oleh Simkeij dengan membawa minyak kelapa, gula hitam, beras dan buncis putih.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 28 Maret 1633 telah datang 2 perahu dari Cirebon di wilayah Tiku (Sumatera barat) yang akan membawa sekitar 1.000 hingga 5.000 pikul lada.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 16 April 1633, dua buah kapal ''jung'' milik Sultan Zainul Arifin yang berlayar dari kerajaan Selebar (Bengkulu) rusak karena menabrak karang.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 19 Desember 1633, kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia dengan membawa gula, asam dan beras.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 9 Oktober 1634, ada kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 26 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa gula dan beras serta daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya.<ref name="bochari" />
Pada tanggal 30 Oktober 1634, ada kapal-kapal dari Cirebon berlayar menuju Batavia membawa daging kijang, mangga, pisang serta barang-barang lainnya<ref name="bochari" />
==== ''Picis'' Cina (uang logam orang Cina) di Cirebon ====
Pada tahun 1567 kaisar Cina menghapus larangan perdagangan Cina ke wilayah selatan termasuk asia tenggara, akibatnya terjadi arus masuk secara besar-besaran mata uang tembaga Cina. Pada tahun 1596, kelompok Belanda yang pertama datang ke Jawa menyatakan bahwa mata uang ini banyak sekali beredar di wilayah kepulauan-kepulauan sekitar Jawa. Arus keluar mata uang tembaga Cina yang sedemikian besar membuat khawatir para pejabat Cina, hal tersebut dikarenakan kegiatan perdagangan dengan membawa mata uang tembaga tersebut akan semakin menguras sumber bahan baku pembuatnya yakni tembaga yang semakin langka.<ref name=reid1450>Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680 : Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara. [[Jakarta]] : Yayasan Pustaka Obor Indonesia</ref>
Pada tahun 1590 di Guangdong dan Fujian akhirnya dibuat mata uang baru (''Picis'' Cina) yang terbuat dari campurang timah yang murah untuk diedarkan khususnya di kepulauan asia tenggara. Mata uang baru yang terbuat dari timah murah ini membuat khawatir kalangan eropa dikarenakan mata uang tersebut akan rusak sendiri dalam waktu tiga hingga empat tahun.<ref name="reid1450" />
Pada tahun 1596, ''Picis'' yang bermutu rendah akibat logam dasarnya yang buruk ini beredar hingga ke pedalaman pulau Jawa, pedagang Cina membawanya untuk membeli lada di pedalaman Banten dengan nilai ''Picis'' yang dihargai seperempat dari uang biasanya (uang Tembaga) yang beredar di pasar Banten.<ref name="reid1450" />
Pada periode antara tahun 1613 hingga 1618 pernah terjadi kelangkaan ''Picis'' di wiayah Banten yang membuat nilai ''Picis'' meningkat terhadap perak, akhirnya masuklah perak secara besar-besaran sebagai akat tukar termasuk dalam pembayaran pembelian lada.<ref name="reid1450" />
Mata uang ''Picis'' Cina tersebut memiliki beberapa kekurangan, selain dari bahannya yang mudah rusak karena terbuat dari bahan yang buruk, hal lainnya adalah ''Picis'' Cina mudah ditiru, namun kekurangan pasokan timah adalah hambatan untuk membuat ''Picis'' Cina secara lokal (dalam artian dibuat sendiri tidak mengimpornya dari Guangdong atau Fujian) sampai orang Inggris dan Belanda menemukan pasokan timah tersebut. Orang Inggris di Banten memesan timah dari 20 ton pada tahun 1608 hingga menjadi 50 - 60 ton pada tahun 1615 dan kemudian meningkat sampai kira-kira 150 ton pada tahun 1636. Orang Inggris menggunakan sebagian dari pesanan timah mereka untuk membuat peluru.<ref name="reid1450" /> Timah yang dicetak menjadi mata uang kemudian dikirim untuk memasok wilayah Banjarmasin, Palembang dan juga Banten. Belanda lebih berhati-hati dalam menjual timah-timah mereka, dikarenakan takut timah-timah tersebut dijadikan pasokan keperluan militer oleh musuhnya.<ref name="reid1450" />
Pada tahun 1633, Belanda mulai mengetahui bahwa timah dapat diperoleh dari orang-orang Cina yang ada di Batavia, dari situ Belanda mengetahui bahwa sudah ada industri pembuatan ''Picis'' Cina di pulau Jawa, khususnya di Banten, Cirebon dan Jepara.<ref name="reid1450" /> Belanda berusaha mengambil keuntungan dari industri pembuatan ''Picis'' Cina tersebut dengan memonopoli dan memberikan timah kepada para orang Cina terkemuka yang berada di wilayah kekuasaan Belanda di nusantara.<ref name="reid1450" />
==== Pembuatan kereta Singa Barong ====
Baris 320 ⟶ 392:
Kereta Singa Barong didesain oleh Pangeran Angkawijaya (Pangeran Losari) yang teknis pengerjaannya dipimpin oleh Dalem Gebang Sepuh dan pemahatnya ialah ''Ki'' Nataguna dari [[Kaliwulu, Plered, Cirebon|desa Kaliwulu]].<ref>Tim Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 2008. Kumpulan makalah Pertemuan Ilmuah Arkeologi ke-IX, Kediri, 23-28 Juli 2002. [[Jakarta]]: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia</ref>
== Ketegangan hubungan dengan [[kesultanan Mataram]], perang Pacirebonan, dan meninggalnya Sultan Abdul Karim ==
=== Perang Pacirebonan ===
[[Perang Pacirebonan]] atau yang oleh masyarakat Cirebon dikenal dengan nama ''perang
==== Latar belakang ====
Pada tahun 1588 ketika [[kesultanan Mataram]] muncul setelah meninggalnya Sultan Hadiwijaya dari [[Kesultanan Pajang|kerajaan Pajang]], Danang Sutawijaya kemudian mengadakan ekspansi wilayah dan diplomasi guna mendapatkan pengakuan atas eksistensinya, wilayah-wilayah di sebelah timur Mataram satu demi satu jatuh dan mengakui eksistensinya sementara kesultanan Cirebon pada masa itu diperintah oleh Sultan Mas Zainul Arifin yang merupakan sahabat dari Danang Sutawijaya telah mengakui Mataram yang sebelumnya adalah sebuah ''Kadipaten'' dari [[kerajaan Pajang]] kini menjadi kesultanan yang mandiri, namun demikian, [[kesultanan Banten]] pada masa itu belum mengakui eksistensi [[kesultanan Mataram]], Sultan Maulana Muhammad, sultan Banten yang bertakhta saat itu baru berumur sekitar 12 tahun (
sampai Periode Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara. [[Surabaya]]: Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel</ref>
===== Masa Sultan Maulana Muhammad =====
[[Kesultanan Banten]] pada masa awal pemerintahan Sultan Maulana Muhammad disibukkan dengan klaim takhta oleh Arya Jepara (saudara Maulana Yusuf, ayah dari Sultan Maulana Muhammad yang dibesarkan oleh Ratu Kalinyamat (putri Sultan Trenggana dari Demak sekaligus istri dari pangeran Hadiri seorang Adipati Jepara)
Penolakan ''Qadi'' dan para pejabat [[kesultanan Banten]] membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk menyerang [[kesultanan Banten]]. Pangeran Arya Jepara bersama para pasukan dan ''Demang Laksamana'' (bahasa Indonesia: Laksamana) Jepara pergi menuju [[kesultanan Banten]] melalui jalur laut, dalam peperangan tersebut ''Demang Laksamana'' Jepara tewas dan membuat Pangeran Arya Jepara memutuskan untuk kembali ke Jepara.<ref name=Graafkerajaan/>
Pada masa ketika Danang Sutawijaya melakukan penaklukan wilayah timur pulau Jawa untuk memperkuat eksistensinya dan membantu Sultan Mas Zainul Arifin membangun benteng Kuta Raja di Cirebon, Husein Djajadiningrat dalam penelitiannya berkaitan dengan [[Banten]] menemukan bahwa
===== Masa Sultan Abdul Mufakir =====
Baris 343 ⟶ 414:
Sepeninggal Sultan Maulana Muhammad, putra mahkota yang masih bayi tersebut lantas dinobatkan menjadi Sultan Banten dan perwalian segera dibentuk, untuk masalah pemerintahan ''Patih'' Jayanegara ditunjuk menjadi walinya. ''Patih'' Jayanegara dikenal sebagai pejabat [[kesultanan Banten]] yang handal dan sangat setia sehingga dalam dua kali masa jabatannya sebagai wali [[kesultanan Banten]], kesultanan berada dalam kondisi yang tenteram.<ref name=Mukarrom/>
Pada tanggal 28 November 1598, dua tahun setelah meninggalnya Sultan Maulana Muhammad, datanglah rombongan pedagang Belanda yang dipimpin oleh [[Jacob Corneliszoon van Neck]] ditemani oleh [[laksamana madya]] [[Wybrand van Warwijck]] dan seorang penjelajah kutub yang ternama pada masa itu sekaligus seorang laksamana yaitu [[Jacob van Heemskerck]], van Heemskerck pernah berlayar ke kutub mengikuti rencana yang disusun pemerintah Belanda karena ketika terjadi [[Perang Delapan Puluh Tahun]] antara Belanda dengan Spanyol. Belanda yang selama ini mengambil rempah dari [[Lisbon]] ([[Portugal]]) dan menjualnya kembali ke Jerman dan sekitarnya mengalami kesulitan saat Spanyol menguasai Portugal dan melarang kapal-kapal dagang Belanda berlabuh di wilayah yang dikuasainya, akibatnya pemerintah Belanda berusaha mencari jalan untuk berhubungan langsung dengan pedagang rempah di Asia, tetapi usaha itu kurang membuahkan hasil karena kapal dagang mereka selalu menjadi incaran Spanyol dan Portugal (Portugal juga menyisir kapal-kapal Belanda karena statusnya pada masa itu berada di bawah Kerajaan Spanyol) juga orang-orang Inggris, ketika ''[[Itinerario]]'' sebuah buku yang berisi informasi tentang Asia dan Hindia karya [[Jan Huyghen van Linschoten|Huygen van Linschoten]] terbit pada tahun 1593, Belanda berusaha mencari jalan alternatif ke Asia guna menghindari patroli kerajaan Spanyol, munculah ide untuk melewati kutub utara dengan kapal yang didesain khusus oleh pemerintah Belanda, tiga kali usaha dilakukan untuk melewati kutub utara, tiga kali pula usaha tersebut gagal, Jacob van Heemskerck yang ikut dalam misi melintasi kutub utara menemukan kapalnya terjepit es dan separuh anak buahnya meninggal karena kedinginan, dia dan yang lainnya kemudian kembali ke Belanda untuk melaporkan kegagalan tersebut. Dari laporan Jacob van Heemskerck, Belanda kemudian menyiapkan misi menuju Asia melewati [[Tanjung Harapan]], [[Afrika Selatan]], misi itu dipimpin oleh [[Cornelis de Houtman]], tetapi Jacob van Heemskerk tidak ikut dalam misi ini, baru ketika Jacob van Neck akan menjalankan misi ke Asia mencari rempah-rempah
Pembawaan Jacob Corneliszoon van Neck dan rekan-rekannya dikatakan berbeda oleh masyarakat Banten, sikapnya yang mudah membawa diri membuatnya diizinkan untuk bertemu dengan Sultan Abdul Mufakhir yang ketika itu masih berumur sekitar 2 tahun, Jacob Corneliszoon van Neck kemudian memberi sebuah piala berkaki emas sebagai hadiah untuk Sultan dan tanda persahabatan.
Baris 354 ⟶ 425:
Banten - Sejarah dan Peradaban Abad X - XVII. [[Jakarta]]: Gramedia</ref> Kacaunya kondisi [[kesultanan Banten]] kemudian oleh Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura, Pangeran Kulon, Pangeran Singaraja, Tubagus Kulon, Depati Yudanegara dan lainnya yang mengadakan pertemuan guna membahas kondisi Banten disimpulkan bahwa semuanya terjadi akibat kesalahan ''Patih'' dari mulai membuat kebijakan yang tidak memihak kesultanan Banten hingga lainnya di mana figurnya tidak dapat dijadikan panutan. Pada pertemuan tersebut kemudian disepakati untuk membunuh ''Patih'' sebagai penyebab masalah yang terjadi. Upaya untuk membunuh ''Patih'' diserahkan kepada ''Depati'' Yudanegara dengan jaminan keselamatan dari Pangeran Ranamanggala, Pangeran Mandura dan juga Qadi [[kesultanan Banten]].
Pada tanggal 23 Oktober 1608, ''Depati'' Yudanegara membakar bagian dalam keraton sehingga ''Patih'' keluar tanpa membawa Sultan Abdul Mufakir, dikatakan bahwa, walaupun ''Patih'' yang sekaligus suami Nyi Gede Wanogiri ini adalah orang yang membuat kebijakan kurang berpihak kepada kesultanan Banten dan tidak mampu menjadi figur yang baik namun
Kebakaran yang terjadi di keraton dan ditujukan untuk membunuh Pangeran Camara (''Patih'') sebenarnya sudah terjadi beberapa kali setelah peristiwa Pangeran Mandalika, peristiwa pembakaran yang pertama terjadi pada tanggal 4 Desember 1605 yang dapat diatasi, kemudian peristiwa kebakaran selanjutnya terjadi pada tanggal 16 Juli 1607 di mana kebakaran berhasil menghanguskan kediaman ''Patih'' namun pada peristiwa ini ''Patih'' berhasil selamat.<ref name=Claude1/>
Pasca terbunuhnya Pangeran Camara ''Patih'' [[kesultanan Banten]], keadaan Sultan Abdul Mufakir menjadi rentan,
Peristiwa Pailir berlangsung selama kurang lebih empat bulan, para pejabat kerajaan yang memihak Pangeran Kulon, Syahbandar dan seorang Andamohi Keling (orang Keling) membuat benteng pertahanan di hilir di sekitar pelabuhan, untuk mengamankan usaha mereka, kelompok Pangeran Kulon tidak segan membunuh orang dan keluarganya yang dianggap berkhianat atau tidak mau ikut serta dalam peperangan, hal ini terjadi kepada ''Ki'' Wijaya Manggala dan keluarganya yang berusaha pergi dari wilayah pelabuhan dengan menggunakan perahu karena tidak mau ikut serta dalam perang saudara tersebut.<ref name=Claude1/>
Baris 368 ⟶ 439:
===== Kosongnya kekuasaan Jayakarta dan masuknya Belanda =====
Setelah peristiwa ''Pailir'' yang menyebabkan migrasi besar-besaran para pendukung Pangeran Kulon ke wilayah Jayakarta
Tanah untuk [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] disetujui berada di sisi timur sungai Ciliwung, berdampingan dengan ''Pecinan'' (kampung Tiognhoa) yang dikepalai oleh Wat Ting (seorang Nakhoda) di sekitar terusan kali Besar dan kampung pribumi di sebelah timurnya yang dikepalai oleh Kyai Aria yang juga merupakan ''Patih'' Pangeran Wijayakrama atau Pangeran Jayakarta (penguasa Jayakarta),
Pada tahun 1618, [[Jan Pieterszoon Coen]] diangkat menjadi Gubernur Jenderal, dia dipilih menjadi Gubernur Jenderal selanjutnya karena dianggap lebih keras sikapnya dibandingkan pandahulunya Laurens Reael, bangunan tidak permanen yang terbuat dari gedek dan batu tersebut kemudian diperkuat dan dilengkapi dengan pagar tembok dari tanah, di setiap sudutnya lantas diperkuat dengan pembangunan ''catte'' yang berfungsi sebagai tempat meriam yang pada masa itu posisinya sengaja diarahkan ke wilayah Pangeran Jayakarta, selain memperkuat bangunan sebelumnya [[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] juga membangun sebuah pangkalan laut yang kecil dengan fasilitas pergudangan dan perbaikan, gereja dan rumah sakit di pulau sekitar Jayakarta.
Peningkatan struktur bangunan dari yang sebelumnya merupakan bangunan tidak permanen menjadi bangunan permanen oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada rumah ''Mauritius'' sebenarnya sudah menyalahi kesepakatan awal antara [[Pieter Both]] dan [[Pangeran Wijayakrama]] (Pangeran Jayakarta), dikarenakan walaupun Belanda mengubah isi perjanjian jual beli tanahnya namun kesepakatan terhadap bangunannya yang harus tidak permanen tidak mengalami perubahan, khawatir bahwa permasalahan di [[Jayakarta]] ini terdengar hingga ke [[Banten]] maka Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta berusaha menanggulangi masalahnya, salah satunya dengan bekerja sama dengan Inggris yang kantor dagangnya berada tepat di seberang bangunan Belanda, mendengar adanya persekutuan antara pihak Inggris dengan Pangeran Jayakarta maka Belanda segera menyerang markas Inggris yang berada di seberangnya yang langsung di serang balik oleh Inggris, hasilnya Belanda menderita kekalahan dengan korban tewas berjumlah 15 orang dan korban luka-luka sebanyak 10 orang, melihat kondisi tersebut Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen segera melarikan diri ke [[Maluku]] sementara kekuasaan terhadap aset Belanda di Jayakarta diserahkan kepada [[Pieter van den Broecke]]. Pangeran Jayakarta kemudian berhasil menahan Pieter van den Broecke, ketika berita penahanan Pieter van den Broecke sampai ke [[Banten]], wali sultan pada masa itu Pangeran Ranamanggala tidak menyetujui tindakan yang diambil oleh Pangeran Wijayakrama selaku penguasa Jayakarta.<ref name=hembing/>
Pangeran Wijayakrama yang ditarik ke [[Banten]] oleh wali Sultan Banten kemudian ditempatkan di pesisir utara Banten tepatnya di [[Tanara, Tanara, Serang|kampung Tanara]], keputusan Pangeran Ranamanggala sebagai wali sultan Banten pada masa itu dianggap bias, di satu sisi setelah peristiwa ''Pailir''
Menurut Profesor Hembing Wijayakusuma dalam tulisannya tentang pembantaian masal 1740,
[[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] kembali dari [[Maluku]] ke [[Jayakarta]] pada tanggal 30 Mei 1619 dengan membawa bantuan armada dari markas [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] di [[Maluku]], longgarnya pemerintahan di Jayakarta dengan ditariknya [[Pangeran Wijayakrama]] ke [[Banten]] segera dimanfaatkan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang juga bertekad untuk merebut Jayakarta dari tangan Pangeran Ranamanggala. Penyerbuan yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen akhirnya berhasil. Pangeran Wijayakrama yang kemudian dapat kembali ke Jayakarta menemukan bahwa kondisi Jayakarta sudah berubah,
[[Jan Pieterszoon Coen|Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen]] segera membangun tembok benteng kota yang disebutnya sebagai ''Niuew Hoorn'' (sebagai pengganti nama [[Jayakarta]]) setelah kemenangannya terhadap kubu [[Pangeran Wijayakrama]], nama ''Niuew Hoorn'' dipilih karena Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen berasal dari daerah ''Hoorn'', tetapi dikemudian hari para petinggi [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] lebih memilih nama ''Batavia''<ref name=hembing/> yang berarti tanahnya orang-orang ''Batav'' (mengacu pada zaman Romawi), profesor Hembing Wijayakusuma berpendapat bahwa nama ''Batavia'' berarti tempat tinggal Bata / Bato (pahlawan Suku). Pemilihan nama ''Batavia'' sebagai nama sebuah wilayah tidak hanya disematkan kepada Jayakarta saja, tetapi juga disematkan kepada wilayah wilayah yang di bangun Belanda di [[Amerika]] dan [[Suriname]].
Baris 388 ⟶ 459:
Pasca menguasai [[Jayakarta]], Belanda melalui [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] berusaha menguasai perdagangan di [[Banten]] terutama komoditas lada. Penghadangan terhadap kapal kapal dagang yang hendak berlabuh di Banten pun dilakukan yang menyebabkan harga lada di Banten turun.
=== Sultan Abdul Karim/Panembahan Ratu II (1649-1666) ===
Setelah Sultan Zainul Arifin meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Abdul Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau [[Panembahan Ratu II]].{{fact}}
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram di lain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan sunan Gunung Jati.
Pada surat perwakilan Belanda di Cirebon 1 Oktober 1684 (tiga tahun setelah ditandatanganinya perjanjian persahabatan Cirebon dengan Belanda tahun 1681) diceritakan tentang
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.{{fact}}
Baris 404 ⟶ 475:
==== Lepasnya Karawang kepada Belanda ====
Sepeninggal [[sultan Agung dari Mataram|sultan Agung Hanyaraka Kusuma]] dari Mataram, penerusnya yaitu Amangkurat I bersikap lebih lunak kepada Belanda, perjanjian antara keduanya untuk saling membantu pun dilakukan, pada masa pemberontakan Trunojoyo, Mataram meminta bantuan Belanda untuk memadamkannya, Belanda yang diwakili Admiral Speelman (yang dikemudian hari menjadi [[Cornelis Speelman|Gubernur Jendral Cornelis Speelman]]) melalui Syahbandar Jepara yaitu Wangsadipa mengajukan syarat yaitu perluasan wilayah kekuasaan Belanda hingga sungai Cipunegara (di bagian utara) terus menyusuri ke selatan hingga bertemu laut. Syarat tersebut dibawa oleh residen James Cooper<ref name=":0" /> (menurut sejarahwan Sartono Kartodiharjo nama residen tersebut ialah Jacob Couper<ref name=":1">Kartodiharjo, Sartono. 1973. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme. [[Jakarta]] : Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia</ref>) pada tanggal 4 Maret 1677 dan diterima oleh sultan Mataram, [[Amangkurat I]] dan putranya (beberapa bulan sebelum Trunojoyo merebut ibu kota Mataram tanggal 28 Juni 1677 dan membebaskan putra-putra pangeran Girilaya yang ditahan oleh Mataram yaitu Martawijaya dan Kartawijaya).<ref name=disporbudpar1/>
Syarat tersebut kemudian disetujui oleh Amangkurat I walau wilayah yang diminta sebagiannya adalah milik kesultanan Cirebon yaitu wilayah Karawang atau sebagian masyarakat mengenalnya dengan Rangkas Sumedang (wilayah antara sungai Citarum dan Cibeet hingga sungai Cipunegara yang sekarang menjadi [[kabupaten Karawang]], [[kabupaten Purwakarta]] dan [[kabupaten Subang]]), para pangeran Cirebon ditahan sebagai garansi Cirebon mau melepaskan wilayah pesisir bagian baratnya untuk Belanda.<ref name=disporbudpar1/>
Pangeran Wangsakerta yang berada di Cirebon dan menjadi wali setelah ayahnya (pangeran Girilaya) tidak kunjung kembali dari Mataram akibat ditahan oleh [[Amangkurat I]] kemudian meminta bantuan [[kesultanan Banten]], [[Ageng Tirtayasa dari Banten|sultan Ageng Tirtayasa]] kemudian mengirimkan bantuan persenjataan kepada Trunojoyo dengan memintanya untuk membebaskan para pangeran Cirebon yang ditahan oleh Mataram, ketika Trunojoyo berhasil merebut keraton Mataram, orang-orang yang ada di dalamnya kemudian ditawan dan dibawa ke Kediri,<ref><[http://www.cirebontrust.com/awal-pecahnya-kerajaan-cirebon-kasepuhan-dan-kanoman.html | Noer, Nurdin M. 2015. Awal Pecahnya Kerajaan Cirebon, Kasepuhan dan Kanoman. [[kota Cirebon|Cirebon]]: Cirebon Trust] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20200411020943/http://www.cirebontrust.com/awal-pecahnya-kerajaan-cirebon-kasepuhan-dan-kanoman.html |date=2020-04-11 }}</ref>
Posisi Cirebon yang sedang lemah pada saat itu ditambah dengan kosongnya kursi sultan dan hanya diisi oleh seorang wali sultan saja membuat kesultanan Cirebon belum bisa merebut kembali wilayah Karawang yang direbut Belanda secara ilegal dan paksa dengan bantuan [[Amangkurat I]] dari Mataram, sehingga ketika kedua pangeran Cirebon kembali dari Banten dan mewarisi kesultanan Cirebon dengan nama [[Kasepuhan]] dan [[Kanoman]] mereka mewarisi wilayahnya yang telah dikurangi wilayah Karawang yang diambil paksa tersebut, sehingga wilayah kekuasaan kesultanan Cirebon paling barat ialah wilayah [[Kandanghaur, Indramayu|Kandang Haur]] dan sekitarnya hingga batas sungai Cipunegara.
===== Pangeran Kusumadinata IV (Rangga Gempol III) dari Sumedang melakukan klaim terhadap Karawang =====
Pangeran Kusumadinata IV bupati Sumedang atau [[Rangga Gempol III]] bercita-cita untuk menguasai kembali wilayah kerajaan Sumedang Larang seperti klaim yang pernah dilakukan oleh leluhurnya yakni Pangeran Angkawijaya bin Raden Sholeh ([[Kusumadinata II]] atau Prabu Geusan Ulun).<ref name=museumgeusan>Tim Seksi Sejarah & Silsilah Museum Prabu Geusan Ulun. 2011. Legenda Para Penguasa Kerajaan Sumedang. [[Bandung]] : Tarung News</ref> Pangeran Kusumahdinata IV beranggapan bahwa perjanjian antara Amangkurat I dan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dengan perantara James Cooper<ref name=":0" /> (menurut sejarahwan Sartono Kartodiharjo nama residen tersebut ialah Jacob Couper<ref name=":1" />) pada Maret 1677 menandakan bahwa Mataram sudah mulai menurun kekuatannya.<ref name=":0" />, untuk mewujudkan cita-citanya, Pangeran Kusumahdinata IV memulai serangannya ke wilayah Karawang, wilayah pertama yang diserang adalah wilayah [[Pamanukan, Subang|Pamanukan]] kemudian Pangeran Kusumahdinata IV menyerang [[Ciasem, Subang|Ciasem]] lalu ke [[Ciparagejaya, Tempuran, Karawang|Ciparage]].<ref name="museumgeusan" />
Pada wilayah [[Ciparagejaya, Tempuran, Karawang|Ciparage]] Pangeran Kusumahdinata IV menempatkan pasukannya guna persiapan menyerang [[Karawang Barat, Karawang|Karawang]].<ref name="museumgeusan" />
Sebenarnya sebelum melakukan penyerangan ke wilayah Karawang, Pangeran Kusumahdinata IV pernah mendekati Banten untuk meminta bantuan agar membantu Sumedang mendapatkan wilayah Karawang. [[Kesultanan Banten]] yang sebelumnya pernah membantu Pangeran Suriadiwangsa II bin Raja Sumedang Suriadiwangsa I menyerang Sumedang dalam rangka klaim tahta oleh Pangeran Suriadiwangsa II menerima dengan baik permintaan Pangeran Kusumahdinata IV namun dengan syarat bahwa Pangeran Kusumahdinata IV harus membantu [[Kesultanan Banten]] dalam memerangi [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dan Mataram, namun syarat tersebut ditolak oleh Pangeran Kusumahdinata IV mengingat keadaan pada masa itu tidak memungkinkan bagi kekuatannya untuk menyerang [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dan Mataram. Penolakan tersebut membuat Pangeran Kusumahdinata IV terpaksa bersiap menerima serangan [[Kesultanan Banten]]<ref name="museumgeusan" /> sewaktu-waktu.
Pangeran Kusumahdinata IV merupakan keturunan dari Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) dari istrinya yang bernama Nyai Cukang Gede sementara Pangeran Suriadiwangsa II merupakan anak dari Suriadiwangsa I bin Sultan Cirebon Zainul Arifin dari istrinya yang bernama Ratu Harisbaya (sebelum Ratu Harisbaya menikah dengan Pangeran Angkawijaya dia sedang mengandung dua bulan dengan Sultan Cirebon Zainul Arifin (suami pertamanya) <ref name="uka1" />) Suriadiwangsa I kemudian dianggap anak sendiri oleh Pangeran Angkawijaya (Prabu Geusan Ulun) suami keduanya.<ref name="uka1" />
Pangeran Kusumahdinata IV setelah memperhitungkan situasi, memanfaatkan keadaan dari ketidaktahuan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] tentang kewilayahan dengan mengirimkan surat pada tanggal 25 Oktober 1677 kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] yang isinya memohon kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] untuk menutup (menjaga) muara Cipamanukan dengan imbalan akan diberikan tanah diantara Batavia hingga Indramayu<ref name="museumgeusan" /> Muara Cipamanukan yang dimaksud sebenarnya adalah muara dari sungai Cipunegara yang memang telah menjadi milik [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], sehingga dalam hal ini Pangeran Kusumahdinata IV sebenarnya tidak menyerahkan wilayah manapun dalam kepemilikaannya kepada [[Vereenigde Oostindische Compagnie]].<ref name="museumgeusan" />
===== Belanda mengirimkan utusan ke Karawang =====
Setelah menguasai Karawang, [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan ekspedisi pada bulan November hingga Desember 1677 untuk mempertahankan wilayah Karawang dari ancaman Banten, Makassar, Cirebon dan Sumedang.<ref name=atep>{{Cite web|url=https://www.ayobandung.com/netizen/pr-79692687/menjelajahi-priangan-zaman-kompeni|title=Menjelajahi Priangan Zaman Kompeni - Ayo Bandung|first=Redaksi|last=AyoBandung.Com|date=15 Jul 2020|website=Menjelajahi Priangan Zaman Kompeni - Ayo Bandung}}</ref>
Pada bulan Januari hingga Maret 1678 [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan Evert Jansz sebagai utusan ke Sumedang.<ref name="atep" /> Pada tanggal 10 Maret 1678 bergerak pasukan Banten bergerak menuju Sumedang melalui [[Muaraberes]] (sekitar 10 km ke utara Bogor) dan [[Kabupaten Tangerang|Tangerang]].<ref name=":0" />
Pada bulan Mei 1678 [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan utusannya ke Karawang yaitu Willem Hartsinck dan juga mengirimkan Muller sebagai utusan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] ke Sumedang.<ref name="atep" /> Pasukan Banten telah sampai di Sumedang sejak awal Mei 1678 dan mengepung kota Sumedang selama satu bulan lamanya, pasukan [[Kesultanan Banten]] dalam peristiwa ini dibantu oleh pasukan dari bupati Bandung yaitu Wira Angun-angun dan juga pasukan dari Sukapura dan Parakan Muncang.<ref name=":0" />
Pada bulan Juni 1678 Pasukan Banten yang sedang mengepung kota Sumedang dipanggil pulang oleh [[Tirtayasa dari Banten|Sultan Ageng Tirtayasa dari kesultanan Banten]], alasannya ialah guna menghadapi kemungkinan perlawanan terhadap Pangeran Haji.<ref name=":0" /> Pasukan [[kesultanan Banten]] yang sedang pulang tersebut kemudian dikejar oleh pasukan Sumedang dan terjadilah peristiwa perang Tegal luar di mana pimpinan pasukan kesultanan Banten tewas<ref name=":0" />
Pada bulan Juli hingga September 1678 [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirimkan Jochem Michielsz (atau Joachim Michiefs) ke Sumedang.<ref name="atep" /> Semua utusan yang dikirimkan tersebut adalah dalam upaya membendung pengaruh [[kesultanan Banten]] dan Kesultanan Cirebon pada wilayah Karawang yang baru saja dikuasai oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]]<ref name="atep" />
== Gerilya [[kesultanan Banten]], Misi Jacob van Dyck, dan Pembagian Kesultanan Cirebon ==
Pasukan Trunajaya berhasil menyelamatkan para Pangeran Cirebon dan kemudian mengantarkannya ke [[Banten]].
Baris 424 ⟶ 517:
Pada tanggal 5 Januari 1677, pasukan [[Trunajaya]] yang dipimpin oleh ''Ngabehi'' Sindukarti (paman Trunajaya) dan ''Ngabehi'' Langlang Pasir sampai di pelabuhan Cirebon dengan 12 kapal berisi 150 pasukan, mereka menuntut agar wakil Mataram yang ditempatkan di Cirebon sebagai Syahbandar yaitu Martadipa menyerah dan menyetujui syarat-syaratnya, yaitu<ref name=deviani>Deviani, Firlianna Tiya. 2016. Perjanjian 7 Januari 1681 Dan Implikasinya
Terhadap Kehidupan Sosial Politik Ekonomi di Kerajaan Cirebon (1681 M - 1755 M). [[Cirebon]] : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati</ref>
1. Cirebon tidak lagi membayar pajak kepada Mataram,
<br>2. Tentara Madura harus melindungi anak-anak dan wanita,
Baris 432 ⟶ 525:
<br>6. Orang Cirebon menyokong Banten dengan senjata serta mengakui Sultan Banten sebagai pelindung
Syarat-syarat tersebut disertai peringatan dengan ancaman seandainya tidak diterima.<ref name=deviani/>
=== Penobatan anak-anak Sultan Cirebon Abdul Karim ===
Baris 460 ⟶ 553:
==== [[Kesultanan Banten]] menyerang ''loji'' Belanda di Indramayu ====
Pada bulan April tahun 1679 [[kesultanan Banten]] menyerang ''Loji'' (bahasa Indonesia : gudang) [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] di Indramayu dibawah pimpinan Arya Surya dan Ratu Bagus Abdul Qadir,<ref name=suparman1>Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. [[Bandung]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati</ref>
==== Jacob van Dyck dan surat Belanda 1680 ====
Pada masa perang antara [[kesultanan Banten]] dengan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], pihak [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mengirim pasukan dari Batavia untuk menyerang wilayah kesultanan Cirebon.<ref name=Dirjenbud/> Pada bulan September 1680, ketika pasukan gerilya [[kesultanan Banten]] di Cirebon diambang kehancuran oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]], Jacob van Dyck yang sebelumnya adalah utusan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] yang diminta bantuan oleh Pangeran Martawijaya (Sultan Sepuh Syamsuddin) agar menyampaikan keinginannya supaya [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] mau membantunya dalam mendapatkan tahta kesultanan Cirebon telah diutus ke Cirebon sebagai seorang ''Commissaris''<ref name=deviani/> (bahasa Indonesia : mediator atau penengah perjanjian) untuk menyerahkan surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang menyatakan bahwa pemerintahan tertinggi Belanda sudah menganggap para penguasa Cirebon sebagai raja-raja yang bebas tidak terikat oleh pihak manapun dan pemerintahan tertinggi Belanda berjanji akan melindungi para penguasa Cirebon dengan cara menempatkannya sebagai protektorat (wilayah dalam perlindungan Belanda)<ref name=deviani/>
Pada saat yang sama Gubernur Jenderal [[Rijckloff van Goens]] dan para penasehatnya yang diketuai oleh [[Cornelis Speelman|Cornelis Janzoon Speelman]] (menjabat sejak 18 Januari 1678<ref>de Jonge, Johan Karel Jakob. 1873. De opkomst van het Nederlandsch gezag over Java: verzameling van onuitgegeven stukken uit het oud-koloniaal archief, Volume 4. s Gravenhague [[The Hague]] : Martinus Nijhoff</ref>) sudah menyusun teks perjanjian yang akan diserahkan kepada tiga penguasa Cirebon, teks perjanjian tersebut disusun sendiri oleh [[Cornelis Speelman|Cornelis Janzoon Speelman]] yang kemudian pada tanggal 29 Oktober 1680 ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda.<ref name=Heniger>Heniger, J. 2017. Hendrik Adriaan Van Reed Tot Drakestein 1636-1691 and Hortus, Malabaricus. [[Abingdon-on-Thames]] : Routledge</ref>
Pengajuan pengunduran diri yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal [[
==== Pangeran Haji dan kekalahan pasukan gerilya [[kesultanan Banten]] di Cirebon ====
Pada masa gerilya ini [[Ageng Tirtayasa dari Banten|Sultan Abdul Fatah]] dari [[kesultanan Banten]] menghadapi konflik internal yang dipicu oleh kekhawatiran Pangeran Haji akan tahta [[kesultanan Banten]] yang mungkin tidak akan jatuh kepadanya, konflik internal ini memulai puncaknya ketika [[Cornelis Speelman|Cornelis Janzoon Speelman]] ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menggantikan [[Rijckloff van Goens]] pada 29 Oktober 1680.<ref name=Heniger/>
Pangeran Haji kemudian pada tanggal 25 November 1680 mengirimkan surat ucapan selamat kepada [[Cornelis Speelman|Cornelis Janzoon Speelman]] atas penunjukan dirinya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pengiriman surat ucapan selamat oleh Pangeran Haji kepada [[Cornelis Speelman|Cornelis Janzoon Speelman]] memicu kekecewaan [[Ageng Tirtayasa dari Banten|Sultan Abdul Fatah]] dikarenakan pada masa itu [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] baru saja menghancurkan pasukan gerilya [[kesultanan Banten]] di Cirebon<ref name=Michrob/> yang berimbas pada berhasil dikuasai sepenuhnya wilayah kesultanan Cirebon oleh [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] Belanda.<ref name="Blink">Blink, Hendrik. 1907. Nederlandsch Oost- en West-Indië : geographisch, ethnographisch en economisch beschreven, Volume 2. [[Leiden]] : Evert Jan Brill</ref>
==== Perjanjian 1681 ====
Pada akhir tahun 1680 pemerintahan tertinggi Belanda menyetujui isi teks perjanjian yang ditujukan kepada para penguasa Cirebon, kemudian pada saat tahun baru 1681 tujuh orang utusan dari tiga penguasa Cirebon yang tinggal di Batavia menghadiri upacara kenegaraan di rumah [[Rijckloff van Goens]] (Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru saja mengundurkan diri pada 29 Oktober 1680) yang dipimpin oleh Jacob van Dyck, setelah bersulang untuk keselamatan Raja Belanda dengan anggur spanyol maka diserahkan surat keputusan pemerintah tertinggi Belanda untuk ketiga penguasa Cirebon disertai dengan hadiah-hadiah kepada mereka dan atasan mereka (para penguasa Cirebon), menjelang malam harinya Jacob van Dyck berlayar dengan dua buah kapal diikuti oleh perahu-perahu yang membawa para utusan Cirebon menuju ke [[Cirebon]], iringan Jacob van Dyck sampai di pelabuhan Cirebon empat hari kemudian (tanggal 5 Januari 1681), iring-iringan Jacob van Dyck disambut oleh tembakan meriam dan kapten Joachim Michiefs yang telah terlebih dahulu ada di Cirebon.<ref name=deviani/>
Pada tanggal 4 Januari 1681, para penguasa Cirebon yakni Sultan Sepuh dan Sultan Anom dipaksa untuk membuat perjanjian bahwa [[Cirebon]] menjadi sekutu setia dari [[Vereenigde Oostindische Compagnie]].<ref name=Dirjenbud/>
Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.<ref name=deviani/>
Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara para penguasa Cirebon dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon.<ref>Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia</ref><ref>Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia</ref>
Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] memperoleh hak di sana<ref name=Blink/>
Baris 494 ⟶ 589:
Kesultanan Cirebon sebagai pusat keagamaan Islam tercermin dari banyaknya karya seni dan sastra yang bernuansa Islami yang tumbuh seiring dengan perkembangan kesultanan Cirebon, naskah-naskah kuno Cirebon yang memuat tentang sastra biasanya ditulis dengan menggunakan aksara Pegon ataupun [[Jawi]]. Berdasarkan isinya, naskah Cirebon bisa dikategorikan ke dalam tiga belas kategori yaitu, sejarah, silsilah, wayang sastra, ajaran agama, doa-doa, cerita islam, primbon, pengobatan, mantra, hukum, dongeng, legenda dan lainnya termasuk jimat, adat istiadat dan pelajaran asmara. Naskah kuno di Cirebon juga ada yang memuat tentang ''tasawuf'' yang ditulis oleh ahli agama dari kalangan keraton yaitu pangeran Muhammad Nasiruddin (wangsakerta) dan pangeran Kaharuddin (arya Cirebon), selain di keraton, naskah kuno, mushaf al Qur'an dan kitab-kitab fiqih juga dapat ditemukan di pesantren-pesantren yang ada di wilayah kesultanan Cirebon, seperti di pesantren Buntet yang didirikan oleh ''Ki'' Muqoyyim yang merupakan seorang ''Qadi'' dari [[kesultanan Kanoman]], oleh karena banyaknya naskah-naskah yang memuat tentang segala hal yang berkenaan dengan sendi kehidupan manusia dari mulai pelajaran agama, hukum hingga masalah asmara maka wilayah kesultanan Cirebon disebut sebagai pusatnya kebudayaan.<ref name=uka1/>
== Daftar sultan Cirebon ==
* Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) (bertakhta dari 1479 - 1495), ia merupakan penguasa Cirebon pertama atau '''Sultan Cirebon I''' setelah penyerahan kekuasaan oleh Pangeran Cakrabuana. Pada masa itu juga Pajajaran ditaklukan.
* Pangeran Adipati Pasarean (Pangeran Muhammad Arifin), ia wafat sebelum dinobatkan, kemudian digantikan Pangeran Sedang Kamuning.
* Pangeran Adipati Anom Carbon I (Pangeran Sedang Kamuning), ia wafat sebelum dinobatkan.
* Sayyid Fadhillah Khan (Fatahillah) (bertakhta dari 1568–1570), bergelar '''Sultan Cirebon II''' ia merupakan menantu Sunan Gunung Jati, ketika Sunan Gunung Jati wafat di tahun 1568, Fatahillah menjadi [[sultan]] Kesultanan Cirebon dimana ia berperan sebagai kepala pemerintahan di [[Keraton Kasepuhan|Pakungwati]] selama 2 tahun antara tahun 1568 sampai ia wafat di tahun 1570.
* Panembahan Ratu I (Pangeran Mas Zainul Arifin) (bertakhta dari 1570 - 1649), bergelar '''Sultan Cirebon III''' ia merupakan anak dari Pangeran Sedang Kamuning (Pangeran Adipati Anom Carbon I). Permaisurinya adalah putri [[Sultan Adiwijaya]] dari Pajang.
* Pangeran Adipati Anom Carbon II (Pangeran Sedang Gayam), ia wafat sebelum dinobatkan.
* Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya) (bertakhta dari 1649 - 1666), bergelar '''Sultan Cirebon IV''' ia merupakan anak Pangeran Sedang Gayam (Pangeran Adipati Anom Carbon II).
Panembahan Ratu II wafat pada 1677, terjadilah kekosongan kekuasaan selama 16 tahun. Pada masa ini Cirebon dalam pengaruh Mataram dan Banten. Pada 1678 Kesultanan Cirebon terpecah menjadi dua kerajaan yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Karena terjadi perebutan kekuasaan atara kakak beradik, sebab itulah kerajaan baru tersebut disebut Kasepuhan (sepuh/tua) dan Kanoman (anom/muda).
Setelah pembagian Kesultanan Cirebon, [[Kasepuhan]] dipimpin oleh anak pertama Panembahan Ratu II yang bernama ''Pangeran Syamsudin Martawijaya'' yang kemudian dinobatkan sebagai '''Sultan Sepuh I''' sedangkan [[Kanoman]] dipimpin adiknya yang bernama ''Pangeran Muhammad Badrudin Kartawijaya'' kemudian dinobatkan sebagai '''Sultan Anom I'''.<ref name="Mason C. Hoadley">{{cite journal
|url= https://www.google.co.id/books/edition/Selective_Judicial_Competence/WlpdDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=Pangeran-Laya-Kusuma&pg=PA149&printsec=frontcover
| pages= 149
| title= Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal ...
| volume=
| language= en
| author= Mason C. Hoadley
| publisher=
| year= 2018
}}</ref>
== Lihat pula ==
* [[Pakuan Pajajaran]]
* [[Kesultanan Banten]]
* [[
* [[Kesultanan Kanoman]]
* [[Kota Cirebon]]
* [[Kabupaten Cirebon]]
== Bacaan lanjut ==
Baris 527 ⟶ 624:
{{Col-begin}}
{{Col-2}}
* Hidayat, Moh. Rahmat. 2017. [https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34556/2/MOH.%20RAHMAT%20HIDAYAT-FAH.pdf Cirebon di bawah Kekuasaan Mataram Tahun 1613–1705 : Kajian Historis Mengenai Hubungan Politik, Sosial dan Agama]. ({{small|PDF}}). Jakarta: [[Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah]]
* Darsa, Undang A. 2004. “Kropak 406; Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan“, Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bedah Naskah Kuno yang diselenggarakan oleh Balai Pengelolaan Museum Negeri Sri Baduga. Bandung-Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran: hlm. 1–23.
* Ekadjati, Edi S. 1995. Sunda, Nusantara, dan Indonesia; Suatu Tinjauan Sejarah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran pada Hari Sabtu, 16 Desember `1995. Bandung: Universitas Padjadjaran.
* Ekadjati, Edi S. 1981. Historiografi Priangan. Bandung: Lembaga Kebudayaan Universitas Padjadjaran.
Baris 555 ⟶ 653:
* Olthof, W.L. (cetakan IV 2008). ''Babad Tanah Jawi - mulai dari Nabi Adam sampai tahun 1647.'' PT. Buku Kita. Yogyakarta Bagikan.
* A. Sobana Hardjasaputra, H.D. Bastaman, Edi S. Ekadjati, Ajip Rosidi, Wim van Zanten, Undang A. Darsa. (2004). ''Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda.'' Pusat Studi Sunda.
* A. Sobana Hardjasaputra (Ed.). (2008).
* Nina H. Lubis, Kunto Sofianto, Taufik Abdullah (pengantar), Ietje Marlina, A. Sobana Hardjasaputra, Reiza D. Dienaputra, Mumuh Muhsin Z. (2000). ''Sejarah Kota-kota Lama di di Jawa Barat''. Alqaprint. ISBN 979-95652-4-3.
{{Col-end}}
Baris 561 ⟶ 659:
== Pranala ==
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/08/0105.htm Cirebon, Masa Lalu dan Kini] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070505085429/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/08/0105.htm |date=2007-05-05 }}
* {{id}} [http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/17/0802.htm Surutnya Kekuasaan Kesultanan Cirebon] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20070519180929/http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0604/17/0802.htm |date=2007-05-19 }}
== Catatan ==
{{Notelist}}
== Referensi ==
Baris 573 ⟶ 674:
{{Kerajaan di Jawa}}
{{Authority control}}
[[Kategori:Kesultanan Cirebon| ]]
Baris 579 ⟶ 680:
[[Kategori:Sejarah Cirebon]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Cirebon]]
[[Kategori:Kerajaan di Jawa|Cirebon]]
[[Kategori:Kerajaan di Jawa Barat|Cirebon]]
[[Kategori:Kerajaan di Parahyangan]]
[[Kategori:Sunda]]
[[Kategori:Sejarah Sunda]]
[[Kategori:Negara prakolonial di Indonesia]]
[[Kategori:Sayyid]]
|