Teuku Nyak Makam: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Halaman baru Teuku nyak Makam Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
k ~ref |
||
(7 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Teuku nyak Makam''' , adalah salah seorang panglima perang Kerajaan Aceh yang dikenal gigih melawan Belanda. Teuku Nyak Makam dilahirkan di [[Lamnga, Montasik, Aceh Besar|Lamnga]], Kabupaten [[Aceh Besar]] pada tahun 1838. lahir di desa Lamnga mukim XXVI Aceh Besar sekitar tahun 1838 M, ayahnya bernama Teuku Abbas gelar Ujong Aron bin Teuku Chik Lambaro, bin Imam Mansur, bin Imam Manyak bin Teuku Chik Mesjid, secara turun temurun pada zamannya menjadi Uleebalang dari mukim daerah Bibueh (Bebas) berstatus langsung di bawah Sultan Aceh, juga terdapat kekuasaannya suatu mukim Ie Meulee Sabang dengan 6 perkampungan yang luas. Ayahnya sendiri Abang kandungnya Teuku Ibrahim Ujong Aron, dan saudara sepupunya Teuku Chik Ibrahim suami [[Cut Nyak Dien]]. Beliau meninggal pada 21 Juli 1896.
Sejak usia 6 tahun Teuku Nyak Makam telah diserahkan menuntut ilmu di Pesantren Ulama Teuku Chik Abbas (adik ipar orang tuanya) di Lamnga, kemudian melanjutkannya pendidikan ke Lambada Gigieng pada pesantren Tgk.Lambada, di samping pelajaran agama, ia juga belajar pencak silat, Ilmu Sosial dan taktis gerilya pada Panglima Paduka Sinara, dan juga pembinaan Tuanku Hasyim Banta Muda. Pada usia 16 tahun Teuku Nyak Makam pergi ke [[Pulau Pinang|Penang]] (Malaysia) menjumpai Teuku Paya (Ketua Panitia Delapan) sebagai keluarga ayahnya dan di Pulau Penang beliau telah dapat belajar bahasa Inggris, kemudian kembali ke Aceh.<ref>{{Cite web|last=Arief|date=2015-10-03|title=Panglima Teuku Nyak Makam|url=https://www.pikiranmerdeka.co/news/panglima-teuku-nyak-makam/|website=Pikiran Merdeka|language=id-ID|access-date=2021-01-17}}</ref>▼
▲Sejak usia 6 tahun Teuku Nyak Makam telah diserahkan menuntut ilmu di Pesantren Ulama Teuku Chik Abbas (adik ipar orang tuanya) di Lamnga, kemudian melanjutkannya pendidikan ke Lambada Gigieng pada pesantren Tgk.Lambada, di samping pelajaran agama, ia juga belajar pencak silat, Ilmu Sosial dan taktis gerilya pada Panglima Paduka Sinara, dan juga pembinaan Tuanku Hasyim Banta Muda. Pada usia 16 tahun Teuku Nyak Makam pergi ke Penang (Malaysia) menjumpai Teuku Paya (Ketua Panitia Delapan) sebagai keluarga ayahnya dan di Pulau Penang beliau telah dapat belajar bahasa Inggris, kemudian kembali ke Aceh.
'''Konfik Aceh dan Belanda di Sumatera Timur'''▼
Sultan Ibrahim Mansyursyah (1838-1870), merupakan Sultan Aceh terbesar di abad ke XIX, pada saat itu Sultan dan para pembesar-pembesarnya telah mengetahui maksud dan tujuan Belanda yang sedang berupaya untuk menguasai wilayah-wilayah kerajaan Aceh seluruhnya. Belanda pada saat itu hanya sedang menanti kesempatan yang baik dan waktu yang tepat untuk mewujudkan niat jahatnya untuk menguasai Kerajaan Aceh. Karena menurut Belanda selama kerajaan Aceh masih berdiri, Belanda tidak akan bisa leluasa menguasai sendiri perairan Selat Malaka. Oleh sebab itu mereka harus segera menduduki wilayah dan pusat kerajaan Aceh tersebut.
Menurut pendapat Belanda, mereka akan didahului oleh bangsa Eropa
Berkat penerangan dari Tuanku Pangeran Husein, akhinya Raja-raja setempat pun menyadari bahwa berhasilnya nenek moyang mereka menjadi raja dan orang besar di tempat tersebut adalah karena diangkat dan dibesarkan oleh Sultan Aceh, bukan oleh yang lainnya, dan merekapun mengakui bahwa dirinya adalah petugas dari Sultan Aceh. Untuk mengukuhkan kedudukan, Sultan Alaidin Ibrahim Mansyursyah memberikan kepada mereka sarakata pengangkatan yang baru, masing-masing dengan gelar, hak dan kekuasaan dan batas-batas daerah, serta diiringi dengan tanda-tanda kebesaran dan sebagainya.
Dalam tahun 1857, rupanya Belanda telah berhasil memaksa Raja [[Kesultanan Siak Sri Inderapura|Siak Seri Indrapura]] untuk menanda tangani sebuah surat pengakuan bahwa negerinya termasuk segala rantau dan jajahan takluknya, di mana dimasukkannya juga wilayah Asahan, Deli Serdang dan Langkat serta Tamiang ke dalamya untuk berada di bawah kedaulatan Belanda dan sebagian dari jajahan Belanda.
Karena apa yang diperkirakan sebelumnya telah benar-benar terbukti, maka Sultan Aceh Alaiddin Ibrahim Mansyursyah, pada awal tahun 1858 telah menunjuk dan mengangkat Tuanku Hasyim Banta Muda menjadi Timbalan (Viceroy) Sultan Aceh untuk wilayah-wilayah Aceh Timur, Langkat, Deli Serdang, di mana Tuanku Hasyim boleh memilih sendiri staf-stafnya. Kemudian Tuanku Hasyim segera berangkat ke tempat tugasnya, guna menghadapi, mematahkan, menggagalkan atau sekurang-kurangnya menghalangi niat busuk Belanda yang ingin menggeranyangi wilayah kerajaan Aceh yang jauh dari Ibu Kota, terutama wilayah subur di Sumatera Timur, padahal sebelumnya baik Inggris bahkan Belanda dari dulunya mengakui bahwa daerah itu adalah sah termasuk dalam kedaulatan Aceh Darussalam, malah menurut pengakuan Sultan Aceh sendiri wilayahnya sampai ke Tanah Putih Ayam Denak di Riau.
Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan Sulthan, dan melihat Panglima Teuku Nyak Makam seorang yang berbakat serta cerdas, Tuanku Hasyim mengangkat Teuku Nyak Makam sebagai asisten dan pembantunya. Walaupun akhirnya seluruh daerah Sumatera Timur itu dapat dikuasai juga oleh Belanda, tetapi bukanlah berarti Tuanku Hasyim tidak sukses dalam tugasnya. Ini terbukti, kecuali Langkat sendiri yang didorong oleh ambisi dan kepentingan pribadinya yang terang-terangan menjemput Belanda ke Bengkalis, maka raja-raja yang lain sewaktu [[Residen Netscher]] dari Bengkalis mengadakan pemeriksaan ke Deli Serdang dan Asahan tidak ada satupun yang mengaku bahwa Siak berkuasa atas negeri mereka.
Tegasnya mereka menolak kedaulatan Belanda baik langsung maupun tidak langsung, apalagi melalui Siak atas negerinya. Kesimpulannya baik karena faktor Tuanku Hasyim atau faktor kesetiaan kepada Aceh dari Raja Deli, sehingga menyebabkan rencana Belanda untuk menguasai Sumatera Timur
Dalam tahun 1863 Tuanku Hasyim telah mendapat bantuan tenaga dari pusat dengan didatangkannya Laksamana Teuku Cut Lateh Raja Muda Meureudu, di mana Raja Muda Meureudu tersebut menyinggahi pula kedudukan raja demi raja di Sumatera Timur itu sampai ke Asahan. Kecuali Langkat sendiri, maka Deli apalagi Serdang, lebih lebih lagi Asahan segera menyambut baik kedatangan Panglima Aceh tersebut dengan perasaan gembira dan bangga.
Baris 49 ⟶ 47:
Terhitung sejak tanggal 14 Oktober 1865, berakhirlah kekuasaan Aceh di Sumatera Timur, dan sejak tanggal 14 Oktober 1865 itu juga mulailah berkibar bendera Belanda. Sejak saat itu pula bertambah berkobarlah kebencian Panglima Teuku Nyak Makam kepada Belanda yang telah mulai di hadapinya sejak tahun 1862, yaitu 11 tahun sebelum perang resmi antara kerajaan Aceh Versus kerajaan Belanda, yaitu pada tahun 1873.
Setelah Sultan memperhatikan prestasi demi prestasi yang telah berhasil dicapai baik dalam berpolitik, strategi militer dan kepemimpinan yang dimiliki oleh PanglimaTeuku Nyak Makam sejak mudanya, maka atas keputusan Sultan Muhammad Daud Syah di Markas Keumala Pidie (Lembah Pidie), pada tahun 1885 yang dihadiri Panglima Polem, Panglima Besar Tuanku Hasyim Banta Muda dan staff kerajaan lainnya diangkat lah Panglima Teuku Nyak Makam dengan resmi diangkat menjadi “Mudabbirusyarqiah” yakni penegak kedaulatan Aceh di bahagian Timur dan sekaligus sebagai panglima Mandala Kerajaan Aceh di Sumatera Timur dan Aceh Timur dengan wakilnya Teuku Nyak Muhammad (Nyak Mamad) dari Peureulak.
Baris 85 ⟶ 82:
Selanjutnya dalam bulan Juni 1886 itu juga Panglima Teuku Nyak Makam dengan diam-diam kembali ke markasnya beserta membawa 25 orang prajuritnya ahli gerilya yang dipimpin oleh Pang Abu. Hasil-hasil nyata yang telah diperoleh selama gerakan pertama Panglima Teuku Nyak Makam itu di daerah Langkat dan Aceh Timur, walaupun Panglima Teuku Nyak Makam tidak berhasil menguasai derah khusus di daerah Langkat, tetapi belasan onderming yang sedang membangun terpaksa gulung tikar dibuatnya, di mana tempat-tempat tersebut yang telah diterlantarkan oleh Belanda/raja Langkat menjadi hutan kembali sehingga tempat itu dapat dijadikan basis untuk gerakan Nyak Makam selanjutnya.
Sebaliknya di wilayah Tamiang, akibat munculnya Nyak Makam, Belanda yang telah menempatkan serdadunya sejak tahun 1865 di Seuruwey tidak berani memperluas daerahnya. Dalam arti kata mereka tetap terpulau di dalam tangsinya di dalam Peukan Seuruwey itu saja, sedangkan selebihnya seperti di daerah Kejuruan Muda, Bendahara, apalagi Kejreun Karang dan Sungai Yu, masih tetap di bawah kekuasaan Aceh sepenuhnya.<ref>{{Cite book|last=Putra (Tgk.)|first=Lamkaruna|date=2001|url=https://books.google.co.id/books/about/Panglima_Teuku_Nyak_Makam.html?id=3PlRAQAAMAAJ&redir_esc=y|title=Panglima Teuku Nyak Makam: pahlawan dua pusara|publisher=Titian Ilmu Insani|language=id}}</ref>
== Teuku Nyak Makam kembali ke Aceh Besar ==
Setelah meninggalkan wilayah Tamiang, dalam perjalanan pulang, Panglima Teuku Nyak Makam tidak langsung pulang ke kampungnya di Lamnga, tetapi sambil berobat beliau menyempatkan diri singgah di tempat-tempat yang telah beliau tempatkan komandan-komandan pasukan sejak dari Peureulak, Idi, Keureuto, Nisam, Samalanga, Meureudu dan Pidie untuk berjumpa degan Sultan Panglima Polem, terutama bekas gurunya Tuanku Hasyim Banta Muda di Padang Tiji. Kemudian setelah mengadakan kontak dengan mertuanya Teuku Umar Meulaboh, barulah beliau pulang ke kampung halamannya di Lam Nga.
Karena menderita sakit Teuku Nyak Makam merencanakan untuk pulang ke kampung halamannya di Lamnga Aceh Besar dan perlawanan terhadap Belanda di wilayah timur selanjutnya di percayakan pada wakilnya Nyak Muhammad. Setelah itu Panglima Teuku Nyak Makam langsung berangkat menuju ke Aceh Besar. Banyak biaya yang dihamburkan Belanda untuk mata-mata, ketika mendengar kabar kepergiannya ke kampung halaman. Belanda mengharapkan bahwa dari pengkhianatan akan diperoleh informasi tentang keberadaan Panglima Teuku Nyak Makam supaya bisa dicegat. Tapi Panglima Teuku Nyak Makam selalu berhasil mempermainkan Belanda, karena Panglima Teuku Nyak Makam mengenal siapa pengkhianat itu, maka mudahlah baginya melangsir berita palsu mengenai di mana dia berada.
Sebuah berita “Aceh Courant” tanggal 14 Januari 1893 mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam sudah berada di Aceh Besar, sementara sebuah berita “Deli Courant” disekitar masa itu mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam berada di Peureulak. Lalu pasukan Belanda di berangkatkan ke Peureulak, tapi Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di Tamiang, dan menghantam pasukan Belanda di bagian ini ketika Belanda memalingkan perhatiannya ke Peureulak.
Keberangkatan Panglima Teuku Nyak Makam ke Aceh Besar sebetulnya berlangsung pada minggu kedua bulan April 1893, tidak lama setelah serah terima jabatan Panglima Teuku Nyak Makam kepada Teuku Nyak Mamad mengenai pimpinan tugas perlawanan di Aceh Timur dan Langkat, Panglima Teuku Nyak Makam sebetulnya adalah teman akrab dengan Teuku Umar, dikaitkan lagi dengan Cut Nyak Dhien isteri abang sepupunya Teuku Chik Ibrahim yang gugur tanggal 29 Juni 1878, di samping pernah serumah di Lamnga juga Cut Nyak Dhien adalah sewali dengan Teuku Umar.
Teuku Umar simpati kepada Panglima Teuku Nyak Makam karena ketangkasannya berperang. Ada alasan untuk percaya bahwa Panglima Teuku Nyak Makam pergi ke Aceh Besar bukanlah karena kegagalan melawan Belanda di Aceh Timur, melainkan karena dipanggil oleh Teuku Umar sendiri ataupun karena ingin menambah bala bantuan atau untuk memperunding lebih jauh mengenai koordinasi dan strategi perlawanan semesta terhadap Belanda.
Sebagai fakta bahwa perlawanan di Aceh Timur tidak gagal dapat disaksikan dari kegiatan perang menghadapi Belanda pimpinan Teuku Nyak Muhammad. Suatu pertempuran yang mematahkan kekuatan Belanda di Bukit Kubu telah berlangsung pada tanggal 24 Mai 1893 ketika Teuku Nyak Muhammad dan pasukannya mengadakan serangan hebat. Perlawanan yang berarti sekitar masa itu berlangsung terus di antaranya di Upak, Tanjung, Seumanto dan Manyak Paet (Maja Pahit). Perlawanan, selanjutnya di bagian ini berlanjut hingga bertahun-tahun, bahkan pada memakan waktu yang lama dan semakin meningkat hebat tatkala pejuang-pejuang di bagian ini mendengar bahwa Teuku Umar telah balik lagi ke pangkuan Aceh.
Tahun-tahun berikutnya Teuku Nyak Muhammad mengaktifkan perlawanan gerilya di samping perlawanan yang masyhur dari Teuku pejuang Gayo dari Telong. Belanda yang sengaja telah melepaskan mata-mata untuk mengikuti langkah Panglima Teuku Nyak Makam, yang terkenal licin dan boleh disebut seorang intelligent yang terulung yang paling ditakuti oleh Belanda.
Dalam bulan November 1893 Panglima Teuku Nyak Makam masih berada di wilayah Pidie. Belanda sama sekali tidak berhasil walaupun telah menghabiskan dana yang besar untuk mengetahui di mana Panglima Teuku Nyak Makam berada, sehingga seperti orang yang ling-lung demikian lah tamsilan untuk Belanda ketika diberitahukan secara resmi oleh Teuku Umar bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah berada di Kula Gigieng. Teuku Umar ketika itu sudah menjadi Panglima Perang Besar Belanda dan dia mengatakan bahwa Panglima Teuku Nyak Makam telah diangkat menjadi pembantunya untuk me melihara keamanan di bagian XXVI mukim.
Demikianlah semenjak itu Panglima Teuku Nyak Makam telah berada ditempat asalnya di Lamnga, termasuk di XIII Mukim Tungkop. Panglima Teuku Nyak Makam tidak bisa diambil tindakan apa-apa oleh Belanda karena dilindungi oleh Teuku Umar. Belanda terpaksa menyimpan kemarahannya. Sebaliknya Kolonel A.H. Van de Poll yang berada di Medan hanya bisa mengurut dada untuk menahan kemarahannya.<ref>{{Cite web|last=sinarpidie.co|title=Dua Nisan di Kuta Pangwa|url=https://sinarpidie.co/news/dua-nisan-di-kuta-pangwa/index.html|website=sinarpidie.co|language=id-ID|access-date=2021-01-17}}</ref>
== Dendam Belanda kepada Teuku Nyak Makam ==
Demikianlah kejadian dalam penghujung tahun 1893, Komandan Militer Belanda di Medan amat kecewa terhadap Gubernur Militer di Aceh, Jenderal Deijkerhoff yang bersikap lunak terhadap musuh-musuh Belanda yang paling berbahaya seperti Panglima Teuku Nyak Makam itu. Padahal ia telah banyak menewaskan Belanda. Dia adalah penyerang yang sangat tangkas, orang yang ditakuti oleh administratur kebun, karena jiwa mereka senantiasa terancam, setiap saat dapat saja membakar dan mengadakan sabotase di perkebunan. Di mana sedang giat-giatnya Belanda membuka Perkebunan dan Tambang, maka disitulah Panglima Teuku Nyak Makam giat mengadakan sabotase dan penyerangan gerilya.
Menghadapi kenyataan ini Belanda tidak dapat berbuat apa-apa, tuntutan Belanda di Sumatera Timur supaya Panglima Teuku Nyak Makam di tangkap tidak diacuhkan sama sekali, sebab Belanda masa itu masih sangat mengharapkan bantuan Teuku Umar. Tapi dendam kusumat Belanda terhadap Panglima Teuku Nyak Makam tidak bisa hilang begitu saja. Dendam kesumat itu segera menonjol begitu Teuku Umar dalam bulan Maret 1896 balik arah untuk melawan Belanda.
Sebagai seorang kesatria yang tak mungkin dapat menahan diri dari berjuang, baru sembuh sedikit Panglima Teuku Nyak Makam telah menggabungkan dirinya dengan kesatuan yang dipimpin oleh Sultan, namun karena penyakitnya beliau hanya mampu bertindak sebagai penasihat saja.
Demikianlah, di triwulan pertama tahun 1896, karena penyakitnya semakin parah terpaksalah Panglima Teuku Nyak Makam kembali untuk beristirahat ke kampungnya di Lamnga, sesampai di sana ia sudah tidak sanggup bangun-bangun lagi, sehingga beliau tidak tahu bahwa Teuku Umar yang melindunginya telah kembali berjuang di pihak pembela bangsanya lagi.
Sebaliknya karena sangat tergesa-gesa Teuku Umar pun tak sempat pula memberitahukan mengenai kembalinya kepada menantunya yang sedang sakit itu. Lagi pula berdasarkan pengalaman terdahulu kampung Lamnga itu sepeninggal Panglima Teuku Nyak Makam dulu, hampir tidak pernah diserang atau dimasuki oleh serdadu Belanda terkutuk itu. Ternyata keadaan di mana bergabungnya kembali Teuku Umar kepada bangsanya sungguh tidak menguntungkan Panglima Teuku Nyak Makam. Dia sendiri dalam keadaan sakit, tidak dapat bergerak dari pembaringan sejak beberapa lamanya.<ref>{{Cite web|last=tengkuputeh|date=2017-07-29|title=TEUKU NYAK MAKAM, PAHLAWAN ACEH TANPA KEPALA|url=https://tengkuputeh.com/2017/07/30/teuku-nyak-makam-pahlawan-aceh-tanpa-kepala/|website=Tengkuputeh|language=en|access-date=2020-06-25}}</ref>
== Kematian Teuku Nyak Makam ==
Demikianlah pada tanggal 21 Juli 1896 seorang cecunguk Belanda datang melaporkan kepada Belanda di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) bahwa Panglima Teuku Nyak Makam yang sekian lama dibuntuti oleh Belanda itu kini sedang berada dalam keadaan sakit berat di Lam Nga dan jika diserang pasti dapat dihancurkan. Tanpa membuang waktu Belanda mengarahkan sejumlah besar tentaranya. Belanda sadar siapa lawannya, pengalaman pasukan Kolonel Van de Poll ketika berhadapan dengannya di Tamiang dulu telah meyakinkan Belanda bahwa Panglima Teuku Nyak Makam harus dihadapi dengan pasukan yang luar biasa besar.
Setelah mendengar berita tersebut jenderal Johannes Wouter Stemfoort [[Daftar Gubernur Sipil dan Militer Hindia Belanda di Aceh|Gubernur Sipil dan militer Belanda di Aceh]] terus saja memerintahkan bawahannya Letnan Kolonel G.F.Soeters mengerahkan serdadunya untuk menghancur leburkan Panglima Teuku Nyak Makam yang merupakan musuh utamanya.
Demikianlah di malam kelam yang gelap gulita, yaitu tepat pada Senin malam Selasa tanggal 21 menjelang 22 Juli 1896 M bertepatan dengan 9 jalan 10 safar 1314 H, berangkatlah Belanda ke kampung Lamnga di bawah pimpinan Letnan Kolonel G.F. Soeters. Pasukan ini terdiri dari berbagai gabungan Korps Marsose, satu batalyon Infantri ke tiga sebanyak 3 kompi dari batalyon infantri ke 6 sebanyak satu batalyon ke 12 sebanyak satu pasukan Kafeleri dengan 45 orang dari pasukan Zeni, pasukan ini didatangkan dengan mengatur kepungan serentak dan berkombinasi dengan satu detasemen dari batalyon yang ditempatkan (garnizun) di Kuala Gigieng yang berjumlah kurang lebih 2000 orang serdadu seluruhnya.
Dengan kekuatan sedemikian dahsyat itulah Belanda baru sanggup dan berani menghadapi seorang insan Aceh yang sedang sakit parah, tetapi Belanda mengerti berdasarkan pengalamannya bahwa setiap orang Aceh bernilai sama dengan 100 orang serdadu Belanda. Tapi terhadap diri Panglima Teuku Nyak Makam musuh utama dan yang paling ditakuti oleh Belanda ini, bernilai 10 kali lipat lagi, seorang baru sebanding dengan beliau sebanyak 1000 orang Belanda dan andai kata ada pengawalnya 10 orang, maka mereka harus diahadapi oleh 1000 orang Belanda yang lain lagi. Penilaian seperti ini pasti tidak pernah dicetuskan mereka melalui lidahnya, konon pula untuk menuliskan dalam buku-bukunya, tetapi fakta sejarah demikianlah kenyataannya.<ref>{{Cite web|last=Unknown|date=Selasa, 30 Januari 2018|title=ATJEH GALLERY: PANGLIMA T NYAK MAKAM|url=http://hokarajalon.blogspot.com/2018/01/panglima-t-nyak-makam.html|website=ATJEH GALLERY|access-date=2021-01-17}}</ref>
Demikianlah, kampung Lamnga yang sunyi sepi yang tak ada nilainya dari sudut strategi militer, terus dikepung rapat dengan ketat dan disekat dengan tiba-tiba, sehingga penduduknya yang rata-rata adalah kaum wanita, ditambah kakek-kakek yang telah tua renta dan bocah-bocah yang masih ingusan pastilah tak sanggup dan tidak ada kesempatan lagi melakukan sesuatu menghadapi sergapan mendadak dari serdadu Belanda. Konon pula untuk mengungsikan Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit parah dan tergeletak di pembaringannya.
Sedangkan Panglima Teuku Nyak Makam sendiri dalam keadaan seperti itu, apalagi di luar dugaannya pastilah pula tak ada kesempatan lagi berbuat sesuatu, apalagi dia sendiri tidak berdaya sedikitpun. Andaikata beliau masih sanggup bergerak pastilah beliau akan meluluhlantakkan beberapa orang Belanda sebelum beliau dapat disekap dan ditawan mereka. Karena itu sama sekali tidak mungkin lagi, maka selanjutnya dia serahkan dirinya kepada Allah dengan tulus tekad sepenuh hati. beliau rela berjuang dengan mempertaruhkan tubuhnya untuk menyambut seruan dan panggilan Tuhannya, Allah Robbul ‘izzati.
Penyerangan terhadap kediaman Panglima Teuku Nyak Makam berlangsung secara mengejutkan sebab tidak ada yang mengetahui dan mendengarnya. Yang ditemui oleh Belanda adalah Panglima Teuku Nyak Makam yang sedang sakit parah di pembaringan.Walaupun demikian cara Belanda yang betul-betul pengecut menawan Nyak Makam yang telah pucat pasi dan kurus kering dan betul-betul tanpa daya, persis laksana sekawanan besar monyet menyergap seekor ular besar yang kekenyangan sehabis menelan mangsanya.
Dengan serba kebengisan, Panglima Teuku Nyak Makam lalu ditangkap kemudian diangkat dan dinaikkan ke tandu, kemudian isteri serta seisi rumahnya digiring dengan sangkur terhunus kebadan mereka masing-masing. Teuku Nyak Makam dan isterinya digotong ke kampung Gigieng, di tempat Letnan Kolonel Soeter sedang menunggu dengan harap-harap cemas.
Melihat wajah Panglima Teuku Nyak Makam yang telah pucat pasi, kurus kering hanya tinggal kulit pembalut tulang tiba-tiba secara mendadak [[G.F.Soeters]] kehilangan akal. Diapun terus memancung putus kepala Panglima Teuku Nyak Makam dalam keadaan terikat dan terbaring di atas tandu. Selanjutnya tanpa tunggu perintah lagi, batang tubuh beliau dicincang-cincang lumat hingga hancur secara berebut-rebutan oleh serdadu-serdadu Belanda yang 2000 orang jumlahnya, masing-masing seakan takut tak dapat bagiannya. Peristiwa tersebut terjadi di hadapan mata dan disaksikan anak isteri dan penduduk Lam Nga yang sengaja digiring ke Kuala Gigieng itu agar mereka tahu betapa dan bagaimana biadab, kejam dan sadisnya Belanda yang tak malu-malu mengaku diri bangsa tersopan di dunia.<ref>{{Cite web|title=Panglima Teuku Nyak Makam Headless Hero, Pahlawan Tanpa Kepala - PORTALSATU.com|url=http://portalsatu.com/read/Blog/panglima-teuku-nyak-makam-headless-hero-pahlawan-tanpa-kepala-42540|website=portalsatu.com|language=id|access-date=2021-01-17|archive-date=2020-05-03|archive-url=https://web.archive.org/web/20200503171929/http://portalsatu.com/read/Blog/panglima-teuku-nyak-makam-headless-hero-pahlawan-tanpa-kepala-42540|dead-url=yes}}</ref>
== Kebiadaban Penjajah Belanda ==
Setelah melumatkan tubuh Panglima Teuku Nyak Makam, kepala beliaupun dijadikan bulan-bulanan tentara Belanda seperti bola sebagai tanda kemenangan. Selanjutnya, saat malam tiba kepala syuhada agung Aceh itu mereka angkut secara demonstrasi dengan bersorak-sorai kegirangan diiringi rasa bangga untuk mempersembahkan kepada Gubernur Jenderal J.W.Steemfoort di [[Kutaraja]] (Banda Aceh sekarang).
Besok paginya Selasa tanggal 22 juli 1896 kepala Panglima Teuku Nyak Makam itu, terus diarak untuk dipawaikan, diperagakan dan didemonstrasikan oleh suatu iringan-iringan besar serdadu Belanda, dengan melintasi seluruh jalan-jalan dan gang-gang penting di Kutaraja, dengan bertempik sorak tanda kesenangan karena mereka telah mengalahkan musuh bebuyutannya yang paling mereka takuti dan yang telah menewaskan ribuan serdadu bangsa mereka.
Tidak beberapa lama kemudian, kepalanya yang sudah terpisah dari tubuhnya yang sebelumnya telah dibalsem, lalu dikirim ke [[Batavia]] kepada Tuan Besar Gubernur Jendral, Panglima Besar (Leger Comandant) dan pembesar-pembesar Hindia Belanda yang berada di sana. Dari Batavia diteruskan ke Nederland untuk dipersembahkan kepada Sri Baginda Maharaja Ratu, para Menteri dan pembesar-pembesar mereka di [[Den Haag]]. Konon menurut sumber yang lain kepala Nyak Makam dikirimkan kembali ke Cimahi setelah dibalsem dalam toples. Dan pada tahun 1942 baru kemudian dikebumikan atas perintah angkatan perang Jepang untuk Indonesia. Sebelumnya Kepala yang di awetkan dalam botol besar dan di pamerkan di koridor rumah sakit militer Belanda di Kuta Alam (Kesdam sekarang) dan sebelum di kuburkan kepalanya tersimpan di Meseum Aceh-Belanda di negeri Belanda.<ref>{{Cite journal|last=Witkam|first=Jan Just|date=2019-04-15|title=Teuku Panglima Polem’s Purse|url=http://dx.doi.org/10.1163/1878464x-01001006|journal=Journal of Islamic Manuscripts|volume=10|issue=1|pages=84–104|doi=10.1163/1878464x-01001006|issn=1878-4631}}</ref>
== Referensi ==
{{reflist}}{{Authority control}}
[[Kategori:Tokoh Aceh]]
[[Kategori:Bangsawan Aceh]]
[[Kategori:Perang Aceh]]
[[Kategori:Sejarah Aceh]]
|