Kerajaan Gelgel: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
membuat halaman baru |
k Update dari Sumber Babad Dalem Klungkung, Prasasti Kuwun milik Dewa Sumerta Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(41 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{
'''Kerajaan Gelgel''' adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di [[Pulau Bali]].{{Sfn|Diana|2016|p=60}} Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Pulau Bali, [[Pulau Lombok]] dan [[Pulau Sumbawa]].{{Sfn|Kartini|2011|p=121}} Kerajaan Gelgel menerapkan sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]].{{Sfn|Alit|2017|p=2}} Masyarakatnya terbagi menjadi Bali [[Agama Hindu|Hindu]] dan Bali Aga.{{Sfn|Suwitha|2019|p=8}} Keberhasilan Ekspedisi Majapahit-Bali pada tahun 1343 masehi menempatkan Arya Kutawaringin sebagai Penguasa Wilayah Gelgel. Kerajaan Gelgel berdiri setelah Kyayi Klapodiana/I Gusti Kubontubuh menjemput dan menghaturkan Istananya kepada Ida Sri Semara Kepakisan (Ngelesir) pada tahun 1383 masehi,dan berakhir pada masa pemerintahan [[Ki Agung Maruti]] setelah diserang oleh pasukan [[Dewa Agung
▲'''Kerajaan Gelgel''' adalah salah satu kerajaan yang pernah didirikan di [[Pulau Bali]].{{Sfn|Diana|2016|p=60}} Wilayah kekuasaannya mencakup Pulau Bali, [[Pulau Lombok]] dan [[Pulau Sumbawa]].{{Sfn|Kartini|2011|p=121}} Kerajaan Gelgel menerapkan sistem pemerintahan yang disesuaikan dengan [[Majapahit|Kerajaan Majapahit]].{{Sfn|Alit|2017|p=2}} Masyarakatnya terbagi menjadi Bali [[Agama Hindu|Hindu]] dan Bali Aga.{{Sfn|Suwitha|2019|p=8}} Kerajaan Gelgel berakhir pada masa pemerintahan [[Ki Agung Maruti]] setelah diserang oleh pasukan [[Dewa Agung Jamber]] pada tahun 1687.{{Sfn|Suwitha|2019|p=5}}
== Wilayah Kekuasaan ==
[[File:Bali Kingdom Gelgel.svg|thumb|Wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel pada pertengahan abad ke-16 wilayah kekuasaanya mencakup Blambangan (Banyuwangi) hingga Sumbawa bagian barat]]
Wilayah awal dari Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali. Wilayah ini diperoleh dari penaklukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1434 terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Pulau Bali.{{Sfn|Diana|2016|p=49}} Pada abad ke-17, wilayah Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali, Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.{{Sfn|Kartini|2011|p=121}} Selain itu, Kerajaan Gelgel juga menguasai seluruh wilayah [[Kerajaan Blambangan]] dan [[Kerajaan Karangasem]].{{Sfn|Kartini|2011|p=125}}▼
▲Raja Kerajaan Gelgel yang pertama adalah [[Dalem Ketut|Dalem Ketut Ngelesir]], beliau diabhiseka tahun 1383 M dan menempati bekas puri Arya Kuthawaringin, yang dihaturkan oleh Kyayi Klapodhyana/Kyayi Gusti Agung Anglurah Gelgel putra tertua Arya Kuthawaringin, dan puri tersebut dikenal dengan nama ''Puri Suwecalinggarsapura''.{{butuh rujukan}} Ia adalah keturunan dari seorang jendral dari Kerajaan Majapahit.{{Sfn|Kartini|2011|p=119}} Wilayah awal dari Kerajaan Gelgel mencakup seluruh Pulau Bali. Wilayah ini diperoleh dari penaklukan Kerajaan Majapahit pada tahun
== Sistem pemerintahan ==
Kerajaan Gelgel merupakan bawahan dari Kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan [[Hayam Wuruk]], Kerajaan Majapahit mewajibkan kerajaan bawahannya di Pulau Bali untuk menerapkan sistem pemerintahan yang
== Kemasyarakatan ==
Pada masa Kerajaan Gelgel terjadi perkembangan [[stratifikasi sosial]] dalam masyarakat Bali. Masyarakatnya dibedakan menjadi Bali Hindu dan Bali Aga. Bali Hindu adalah masyarakat Bali yang merupakan keturunan rakyat dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Bali Aga adalah masyarakat pribumi. Sistem [[kasta]]
== Sejarah ==
=== Sejarah awal ===
Sejarah Gelgel dijelaskan secara rinci dalam kronik tradisional ([[babad]]), khususnya karya abad ke-18 Masehi berjudul [[Babad Dalem]]. Menurut teks-teks ini, penaklukan Bali [[Hindu]] oleh kerajaan [[Majapahit]] diikuti dengan dinasti bawahan di [[Samprangan]] (di masa sekarang, kabupaten [[Gianyar]]), dekat dengan pusat kerajaan lama [[Bedulu]]. Pelantikan ini terjadi pada masa Majapahit [[Gajah Mada]] (wafat 1364). Penguasa Samprangan pertama [[Sri Aji Kresna Kepakisan]] memiliki tiga putra. Yang tertua, [[Dalem Samprangan]], menggantikan ayahnya, tetapi ternyata menjadi penguasa yang tidak kompeten. Adik bungsunya Dalem Ketut Ngelesir, dijemput oleh Kiyai Klapodhyana, Anglurah Gelgel yang bergelar I Gusti Agung Bendesa Gelgel untuk menggantikan Ida Dalem Ille dan memberikan Keratonnya sehingga berdirlah kerajaan baru di Gelgel, sementara kekuasaan Samprangan memudar. Ia kemudian mengunjungi Majapahit dan menerima pusaka sakti dari raja [[Hayam Wuruk]]. Setelah beberapa saat kerajaan Majapahit jatuh ke dalam kekacauan dan lenyap, meninggalkan Dalem Ketut dan kerajaan Bali-nya sebagai pewaris budaya Hindu-Jawa.<ref>I Wayan Warna dkk. (1986), ''Babad Dalem; Teks dan terjemahan''. Denpasar: Dinas Pendidkan dan Kebudayaan Provinsi Tingkat I Bali.</ref> Catatan tradisional ini bermasalah karena mencakup kesulitan kronologis yang tidak dapat didamaikan; penguasa Majapahit Hayam Wuruk meninggal pada 1389, sedangkan kejatuhan Majapahit terjadi jauh kemudian, pada awal abad ke-16.
===
Jelas dari perbandingan sumber eksternal dan asli bahwa Gelgel adalah pemerintahan yang kuat di Bali pada abad ke-16 M. Putra Dewa Ketut, [[Dalem Baturenggong]], diperkirakan memerintah pada pertengahan abad ke-16. Dia menerima di istananya seorang [[Brahmana]] bijak bernama [[Nirartha]] yang telah melarikan diri dari kondisi kacau di [[Jawa]]. Hubungan pelindung-pendeta yang subur terjalin antara penguasa dan Nirartha, yang terlibat dalam kegiatan sastra yang luas. Pada masa Dalem Baturenggong, [[Lombok]] dan [[Sumbawa]] Barat diperkirakan berada di bawah kekuasaan Gelgel. Setelah kematiannya, putranya [[Dalem Bekung]] memimpin pemerintahan yang bermasalah yang ditandai oleh dua pemberontakan serius oleh bangsawan istana (secara tradisional terjadi pada 1558 dan 1578), dan kekalahan militer yang parah terhadap kerajaan Jawa [[Pasuruan]].
Kekuasaan dari Kerajaan Gelgel mengalami kemunduran setelah mencapai kejayaan pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Perebutan wilayah oleh kerajaan-kerajaan di luar Bali membuat kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruh Kerajaan Gelgel mulai memisahkan diri. Setelah Dalem Segening mulai berkuasa pada tahun 1605, satu per satu wilayah Kerajaan Gelgel diserang dan direbut oleh kerajaan lain. Kerajaan Blambangan yang menjadi bawahan Kerajaan Gelgel diserang oleh Kerajaan Pasuruan. Selain itu, Kesultanan Makassar juga merebut Sumba pada tahun 1633 dan menyerang [[Pulau Lombok|Lombok]] pada tahun 1640.{{Sfn|Alit|2017|p=2}} ▼
Saudara laki-laki dan penerusnya [[Dalem Seganing]] adalah seorang raja yang sukses dengan masa pemerintahannya relatif lama dan bebas dari masalah internal. Daftar tanggal asli menempatkan kematiannya pada tahun 1623, meskipun beberapa sejarawan telah menempatkannya kemudian. Putra Dalem Seganing, [[Dalem Di Made]], mengirimkan ekspedisi lain yang gagal melawan Jawa, yang dikalahkan oleh raja [[Kesultanan Mataram|Mataram]].<ref>H. Hägerdal (1998), 'Dari Batuparang ke Ayudhya; Bali and the Outside World, 1636-1655', ''Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde'' 154-1, p.66-7.</ref> Di usia tuanya ia kehilangan kekuasaan dari menteri utamanya ([[patih]]), [[Anglurah Agung]] (Gusti Agung Maruti). Teks-teks asli tertentu menempatkan kematiannya pada tahun 1642, tetapi para sejarawan juga telah mengusulkan tahun 1651 atau c. 1665 sebagai tanggal yang benar.<ref>H. Creese (1991), 'Babad Bali sebagai sumber sejarah; Sebuah reinterpretasi dari jatuhnya Gelgel', ''Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde'' 147-2.</ref>
Pada tahun 1651, pejabat pemerintahan yang bernama Ki Agung Maruti memberontak dan merebut kekuasaan di Kerajaan Gelgel. Raja Dalem Dimade bersama para bangsawan lain yang mendukungnya, mengungsi ke Desa Guliang. Pada 1686, Dewa Agung Jambe menyerang Maruti. Pafa tahun 1687, Maruti dikalahkan dan Dewa Agung Jambe kemudian mendirikan Kerajaan Klungkung dengan pusat pemerintahannya berada di [[Klungkung, Klungkung|Klungkung]].{{Sfn|Suwitha|2019|p=5}}▼
Sumber [[Orang Belanda|Belanda]] dan [[orang Portugis|Portugis]] mengkonfirmasi keberadaan kerajaan yang kuat di abad 16 dan 17 M, dimana daerah tetangga Lombok, Sumbawa Barat dan Blambangan adalah tetangga yang dinamis. Disisi raja (dalem) berdiri menteri senior milik keluarga Agung dan Ler, dan garis keturunan dari para pembimbing Brahmana.<ref>P.A. Leupe (1855), 'Schriftelijck rapport gedaen door den predicant Justus Heurnius', ''Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde'' 3, hlm. 250-62.</ref> Kerajaan Gelgel terancam oleh kerajaan laut [[Makassar]] di c. 1619, yang menghilangkan kepentingannya di Sumbawa dan setidaknya sebagian Lombok.<ref>H.J. de Graaf (1958), ''De regering van Sultan Agung, vorst van Mataram, 1613-1645, en die van zijn voorganger Panembahan Seda-ing-Krapjak, 1601-1613''. Den Haag: M. Nijhoff, hlm. 255-63; H.J. de Graaf (1961), ''De regering van Sunan Mangu-Rat I Tegal-Wangi, vorst van Mataram, 1646-1677'', Vol I. Den Haag: M. Nijhoff, hlm. 25-7.</ref>
== Peninggalan Kebudayaan ==▼
Belanda muncul pertama kali di pulau itu pada tahun 1597 dan menjalin hubungan persahabatan dengan penguasa Gelgel. Hubungan selanjutnya antara [[Perusahaan Hindia Timur Belanda]] (VOC) dan raja-raja Gelgel biasanya baik, meskipun usaha-usaha kerjasama politik yang konkret kebanyakan tidak berhasil. Portugis di [[Malaka]] mengirimkan ekspedisi misionaris yang gagal pada tahun 1635.<ref>H. Jacobs (1988), ''Dokumen Jesuit Makasar (1615-1682)''. Roma: Institut Sejarah Yesuit, hal. 35; C. Wessels (1923), 'Een Portugeesche missie-poging op Bali in 1635', ''Studiën: Tijdschrift voor Godsdienst, Wetenschap en Letteren'' 99, hlm. 433-43.</ref>
=== '''Asta Bumi''' ===▼
Kerajaan Gelgel mempunyai sistem tata ruang dan tata kota tradisional yang disebut Asta Bumi.{{Sfn|Rosada dan Hariski|2016|p=64}} Asta Bumi digunakan untuk mengatur letak [[dapur]], pekarangan dan tempat ibadah di dalam sebuah rumah. Selain itu, Asta Bumi juga digunakan dalam mengatur letak pura utama, pemukiman dan pemakaman.{{Sfn|Rosada dan Hariski|2016|p=76}}▼
Sumber-sumber Eropa menggambarkan Bali dalam hal ini sebagai pulau padat penduduk dengan lebih dari 300.000 orang dan produksi pertanian berkembang. Pada awal abad ke-17, perkembangan itu dikaitkan dengan jaringan ekonomi Kepulauan [[Asia Tenggara]] melalui pedagang dari daerah [[Pasisir]] di pantai utara Jawa. Para pedagang ini menukar [[lada Hitam|lada]] dari bagian barat nusantara dengan kain [[kapas]] yang diproduksi di Bali, yang kemudian dibawa ke Indonesia bagian timur dan [[Filipina]]. Namun, tidak ada kategori yang signifikan dari pedagang asli Bali.<ref>B. Schrieke (1955), ''studi sosiologis Indonesia'', Vol. I. Den Haag & Bandung: Van Hoeve, hal. 20-1.</ref>
=== '''Pura Dasar Buana Gelgel''' ===▼
Pura Dasar Buana Gelgel menjadi simbol persatuan [[politik]] di Bali setelah Kerajaan Majapahit berkuasa di wilayah ini pada tahun 1343.{{Sfn|Sukayasa et al|2018|p=340}} Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, pura ini menjadi tempat penyembahan bagi semua paham keagamaan Hindu yang bertentangan, yaitu Hindu Siwa, Hindu Pakraman, dan Hindu Pamongan.{{Sfn|Sukaya et al|2018|p=342–343}}▼
=== Fragmentasi dan kejatuhan ===
Menurut sumber-sumber pribumi dan Belanda, pertempuran internal pecah pada 1651 setelah kematian seorang penguasa Gelgel, dan masalah-masalah internal berlanjut selama dekade-dekade berikutnya. Menteri kerajaan [[Anglurah Agung]] menetapkan dirinya sebagai penguasa Gelgel dari setidaknya 1665 tetapi menghadapi tentangan dari berbagai sudut. Akhirnya pada 1686, Anglurah Agung Maruti diserang oleh Panglima Perang Ida Dewa Agung Jambe yaitu Rakriyan Gusti Kubontubuh, Ki Gusti Hyang Taluh, Ki Gusti Ngurah Sidemen, Ki Dukuh Pemedilan, Ki Gusti Panji Sakti dan Ki Gusti Nyoman Pemedilan sehingga Anglurah Agung Maruti melarikan diri dan dikejar oleh Kyayi Gusti Ngurah Tubuh/Kyayi Nyanyap sehingga Sagung Maruti mengalami kekalahan. Setelah peristiwa ini, seorang keturunan dari garis kerajaan lama yang disebut Dewa Agung Jambe mengukuhkan dirinya sebagai penguasa atas yang baru, dengan kedudukannya di Klungkung (Semarapura).<ref>H.J. de Graaf (1949), 'Goesti Pandji Sakti, vorst van Boeleleng', ''Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde'' 83-1.</ref>
[[Kerajaan Klungkung]] bertahan hingga abad ke-20. Namun, kerajaan baru tidak mampu mengumpulkan kelompok elit di Bali seperti yang dilakukan Gelgel. Para penguasa ([[Dewa Agung]]) Klungkung tetap memegang jabatan sebagai raja tertinggi, tetapi pada kenyataannya pulau itu terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil ([[Kabupaten Karangasem|Karangasem]], [[Sukawati]], [[Kerajaan Buleleng|Buleleng]], [[Tabanan]], [[Badung]], dan lainnya). Situasi fragmentasi politik ini berlanjut hingga penaklukan kolonial Belanda antara tahun [[Intervensi Belanda di Bali (1849)|1849]] dan [[Intervensi Belanda di Bali (1908)|1908]]. Dengan pindahnya kursi kerajaan, Gelgel sendiri berubah menjadi desa yang dikelola oleh cabang sampingan dari dinasti Dewa Agung. Sekitar tahun 1730-an, penguasa Gelgel saat itu diserang dan dibunuh oleh tiga pangeran Karangasem, yang ayahnya telah ia bunuh.<ref>H. Hägerdal (2001), ''penguasa Hindu, rakyat Muslim; Lombok dan Bali pada abad XVII dan XVIII''. Bangkok: Teratai Putih, hal. 29.</ref>
Pada tahun 1908, selama [[intervensi Belanda di Bali (1908)|intervensi Belanda di Bali]], penguasa lokal menyerang pasukan tentara kolonial Belanda, yang merupakan katalis untuk [[puputan]] dari [[Istana Klungkung]] (18 April 1908) di mana dinasti kerajaan dan para pengikutnya melakukan serangan bunuh diri terhadap pasukan Belanda yang bersenjata lengkap.<ref>M. Wiener (1995), ''Alam yang terlihat dan tidak terlihat; Kekuasaan, sihir dan penaklukan kolonial di Bali''. Chicago: Pers Universitas Chicago.</ref>
=== Keruntuhan ===
▲Kekuasaan dari Kerajaan Gelgel mengalami kemunduran setelah mencapai kejayaan pada masa pemerintahan [[Dalem Baturenggong|Dalem Waturenggong]] (1460-1550). Perebutan wilayah oleh kerajaan-kerajaan di luar Pulau Bali membuat kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruh Kerajaan Gelgel mulai memisahkan diri. Setelah [[Dalem
▲Pada tahun 1651, pejabat pemerintahan
▲== Peninggalan Kebudayaan ==
▲Kerajaan Gelgel mempunyai sistem [[Tata Ruang|tata ruang]] dan tata kota tradisional yang disebut ''Asta Bumi''.{{Sfn|Rosada dan Hariski|2016|p=64}} Asta Bumi digunakan untuk mengatur letak
▲Pura Dasar Buana Gelgel menjadi simbol persatuan [[politik]] di Bali setelah Kerajaan Majapahit berkuasa di wilayah ini pada tahun 1343.{{Sfn|Sukayasa et al|2018|p=340}} Pada masa pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, pura ini menjadi tempat penyembahan bagi semua paham keagamaan Hindu yang bertentangan, yaitu Hindu [[Siwa]], Hindu [[Pasraman|Pakraman]], dan Hindu Pamongan.{{Sfn|
=== Keagamaan ===
Kerajaan Gelgel menetapkan sistem keagamaan Hindu [[Trimurti]].{{Sfn|Sukayasa et al|2018|p=342}} Pada masa awal pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir, Kerajaan Gelgel berkuasa dengan menempatkan perwakilan raja secara turun-temurun di setiap desa. Selain itu, para penguasa di desa-desa diwajibkan melakukan sumpah setia kepada raja dengan ritual Balik Sumpah. Ritual ini berupa kegiatan bekeliling desa dengan menggunakan kerbau. Ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh
===
Pura Kawitan Pasek Gelgel terletak di bagian selatan dari Pura Dasar Buana Gelgel. Pura ini dikelola oleh dua belas keluarga utama dan dibantu oleh dua ribu keluarga cabang yang tinggal tersebar di seluruh kabupaten dan kota di [[Bali|Provinsi Bali]]. Di dalam pura ini terdapat dua lembar [[prasasti]]. Satu prasasti terbuat dari tembaga, sedangkan prasasti yang lainnya berbahan perak. Prasasti berbahan tembaga merupakan piagam yang diberikan oleh Raja Gelgel kepada sekretarisnya yang bernama I Gusti Dauh Bale Agung. Sedangkan prasasti yang berbahan perak merupakan piagam raja yang diberikan kepada Pasek Gelgel. Ia adalah seorang tokoh masyarakat yang bertugas sebagai pemangku Pura Dasar Buana Gelgel.{{Sfn|Mardika|2020|p=25}} Kedua prasasti ini saling berhubungan dan membahas kisah penganugerahan jabatan [[sekretaris]] dan pengelola Pura Dasar Buana oleh Dalem Waturenggong kepada I Gusti Dauh Bale. Setelah I Gusti Dauh menjadi pertapa, Pasek Gelgel dipilih menjadi pemangku di Pura Dasar Buana Gelgel secara turun-temurun.{{Sfn|Mardika|2020|p=27}}
== Daftar Raja - raja Gelgel ==
{{utama|Daftar Raja Bali}}
Kerajaan Gelgel diduga sebagai negara [[vasal]] di bawah Majapahit 1343-c.1527. Adapun daftar raja-rajanya antara lain:
* [[Dalem Samprangan]] (abad ke-14 atau c. 1502 {{?}}) [anak Sri Kresna Kepakisan]
* Arya Kuthawaringin, Anglurah Agung Gelgel (1343M - 1380M), Putranya Kyayi Klapodhyana memohon Dalem Ketut Ngelesir untuk bertahta di Gelgel
* [[Dalem Ketut]], dikenal juga dengan nama ''Dalem Ketut Ngelesir'' (abad ke-14 atau c. 1520 {{?}}; Raja Bali di [[Gelgel, Klungkung, Klungkung|Gelgel]]; Perkiraan lain [[Islam di Bali|1380-1460]]) [saudara Dalem Samprangan]
* [[Dalem Baturenggong]] (1520-1558) [anak Dalem Ketut]
* [[Dalem Bekung]] (fl. 1558-1578 atau 1630-an) [anak Dalem Baturenggong]
* [[Dalem Sagening]] (c. 1580-1623 atau 1650) [anak Dalem Baturenggong]
* [[Dalem Di Made]] (1623-1642 atau 1655–1665) [anak Dalem Sagening]
* [[Dewa Pacekan]] (1642–1650; posisi tidak jelas) [anak Dalem Di Made]
* [[Dewa Cawu]] (1651-c. 1655, wafat 1673; posisi tidak jelas) [paman, anak Dalem Sagening dari penawing]
* [[Anglurah Agung|I Gusti Agung Maruti]]{{efn|disebut juga Anglurah Agung Maruti. ''Anglurah'' kemungkinan adalah sebutan untuk suatu jabatan dalam pemerintahan.}} (perebutan kekuasaan, [[Pemberontakan Maruti]], c. 1665-31 Oktober 1686). Akibat pemberontakan ini, Gelgel musnah dan pemerintahan tituler berikutnya dipindah ke [[Kerajaan Klungkung|Klungkung]] oleh [[Dewa Agung Jambe I]].
==
{{reflist|3}}
===
<references group="lower-alpha"/>▼
=== Jurnal ===
* {{cite journal|last=
* {{cite journal|last=
* {{cite journal|last=
* {{cite journal|last=
* {{cite journal|last=
* {{cite journal|last=Suwitha|first=I Putu Gede|date=2019|title=Wacana Kerajaan “Majapahit Bali”: Dinamika Puri dalam Pusaran Politik Identitias Kontemporer|url=https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/19903/pdf|journal=Sejarah Citra Lekha|volume=4|issue=1|pages=3–14|doi=10.14710/jscl.v4i1.19903|issn=2443-0110|ref={{sfnref|Suwitha|2019}}|url-status=live}}
=== Prosiding ===
* {{cite book|last=Sukayasa, I. W., et al.|year=2018|url=https://press.unhi.ac.id/wp-content/uploads/2018/09/29.pdf|title=Prosiding Seminar Nasional:Agama, Adat, Seni, dan Sejarah di Zaman Milenial|location=Denpasar|publisher=UNHI Press|isbn=978-602-52255-1-2|pages=|ref={{sfnref|Sukayasa et al|2018}}|url-status=live}}▼
[[Kategori:Kerajaan di Bali]]
▲* {{cite book|last=Sukayasa, I. W., et al.|year=2018|title=Prosiding Seminar Nasional:Agama, Adat, Seni, dan Sejarah di Zaman Milenial|location=Denpasar|publisher=UNHI Press|isbn=978-602-52255-1-2|ref={{sfnref|Sukayasa|2018}}|url-status=live}}
▲<references />
|