Bulue, Marioriawa, Soppeng: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
→Tempat menarik: penduduk |
k fix |
||
(8 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 6:
| nama dati2 = Soppeng
| kecamatan = Marioriawa
| kode pos=90852
|
|
|kepadatan =... jiwa/km²
}}
'''Bulue''' adalah salah satu [[desa]] di [[Kecamatan]] [[Marioriawa, Soppeng|Marioriawa]], [[Kabupaten Soppeng]], [[Sulawesi Selatan]], [[Indonesia]]. Di desa ini terdapat [[hutan lindung]].
Sejarah Desa Bulue sebelum terbentuk Pemerintahan Kabupaten Soppeng secara definitive. Diawali dengan pernikahan I Mata Esso Datu Marioriawa dengan La Pammase putra Arung Ta (Cucu Pajung Luwu) melahirkan empat bersaudara si ina siama (se ibu se bapak) sebagai berikut :
# La Pateddungi Datu Kajuara kemudian kelak daerah Kajuara menggabungkan diri menjadi bagian dari daerah Marioriawa dan Wilayah Kajuara berubah status menjadi Pabbicara Bulu pada masa Kekuasaan La Pawellangi Datu Marioriawa
# La Temmupage Datu Marioriawa
# La Darapung Datu Tampaning dan
# Datu Latumpa
Bukti-bukti dari masa tersebut diperkuat dengan adanya Makam Purbakala La Temmu Page Datu Mario (yang dilestarikan dan dipelihara DinaS Pariwisata Kabupaten Soppeng) yang terletak di Mario dan Makam La Pateddungi Datu Kajuara yang terletak di Kajuara yang sampai saat ini masih dilestarikan oleh pemerintah maupun masyarakat Desa Bulue dan masih ramai dikunjungi pada musim-musim tertentu seperti pada Hari-hari raya, Pada acara resmi Pesta adat di Kampung dipusatkan di kedua tempat makam tersebut.
Desa Bulue yang merupakan desa pegunungan dan terluas di Kabupaten Soppeng serta terjauh dari pusat Kabupaten/Kota kira± 8
Desa Bulue secara resmi terbentuk di Kabupaten Soppeng dengan Pemerintahan definitive di Kecamatan Marioriawa yaitu Pada Tahun 1965 yang mana pada saat itu Kecamatan Marioriawa hanya memiliki 4 Wilayah Kelurahan/Desa yaitu ; Desa Manorang Salo, Desa Attang Salo, Desa Panincong dan Desa Bulue, sedangkan sebelum Kemerdekaan sampai dengan tahun 1964 Desa bulue dipimpin oleh seorang '''Pabbicara''' dengan istilah '''''Pabbicara Bulu.''''' Dan desa Bulue pernah dikuasai oleh DI/TII, pada saat itu desa Bulue dipimpin Oleh seorang KD yang bernama LA TAMBANG dengan pusat pemerintahan Poro salah satu RW yang jauh hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki dan naik motor. Pada masa pemerintahan DI/TII ada beberapa sekolah dasar yang dibangun oleh pemerintah yang mengajarkan baca tulis aksara Bugis (Lontara) dan dasar Islam▼
▲Desa Bulue yang merupakan desa pegunungan dan terluas di Kabupaten Soppeng serta terjauh dari pusat Kabupaten/Kota kira± 8 km dari ibu kota Kecamatan. ±36 km dari ibu kota Kabupaten dan ±212 km dari ibu kota provinsi via Sidrap Pare-Pare mengandung makna tersendiri di mana desa bulue adalah basis para pejuang Veteran di kecamatan Marioriawa terbukti di mana desa Bulue adalah yang terbanyak pejuang Veterannya di Kecamatan Marioriawa.
Masyarakat Desa Bulue yang terdiri dari 3104 Jiwa adalah mayarakat yang hampir dominan Petani yang menurut data bahwa hanya 2 % masyarakat Bulue sebagai Pegawai dan Pengusaha 2 % dan petani sekitar 90 %. Kemudian masyarakat Bulue lebih banyak berdomisili di dalam Kawasan hutan sehingga masyarakat petani tersebut sangat-sangat hati-hati dalam melaksanakan tugas mata pencahariannya, dan telah berdomisili pada kampung tersebut sudah lebih ratusan tahun
▲Dan desa Bulue pernah dikuasai oleh DI/TII, pada saat itu desa Bulue dipimpin Oleh seorang KD yang bernama LA TAMBANG dengan pusat pemerintahan Poro salah satu RW yang jauh hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki dan naik motor. Pada masa pemerintahan DI/TII ada beberapa sekolah dasar yang dibangun oleh pemerintah yang mengajarkan baca tulis aksara Bugis (Lontara) dan dasar Islam
▲Masyarakat Desa Bulue yang terdiri dari 3104 Jiwa adalah mayarakat yang hampir dominan Petani yang menurut data bahwa hanya 2 % masyarakat Bulue sebagai Pegawai dan Pengusaha 2 % dan petani sekitar 90 %. Kemudian masyarakat Bulue lebih banyak berdomisili di dalam Kawasan hutan sehingga masyarakat petani tersebut sangat-sangat hati-hati dalam melaksanakan tugas mata pencahariannya, dan telah berdomisili pada kampung tersebut sudah lebih ratusan tahun di mana terbukti dengan adanya bukti sejarah seperti Makam Datu Kajuara di Kajuara, Pekuburan Loci-locie di Wawogalunge, Pekuburan Lacanraka dan Losie di Lejja, Pekuburan Cellengengnge di Gellenge, Pekuburan Matareng dan Pajalele di Datae dan Pekuburan Poro.
== Tempat menarik ==
* Pemandian Air Panas
Tempat wisata Pemandian
Asal mula penamaan Lejja dan mitos yang menyelimutinya disebabkan dengan adanya kebiasaan masyarakat Marioriawa terutama para keturunan Datu Marioriawa dan Keturunan Datu Kajuara yang gemar merantau.
Apabila hendak merantau, sebelum berangkat, mereka datang menziarahi leluhur mereka di Komplek Pekuburan para Raja-Raja Marioriawa di JerakE Madining, ke esokan harinya mereka mendatangi lagi leluhur mereka di Komplek Pekuburan para Raja-Raja Marioriawa di JerakE Mario di Panci, kemudian dilanjutkan ke Komplek Pekuburan para Raja-Raja Kajuara di Desa Bulue,sepulang dari ziarah tersebut mereka mampir mandi-mandi Permandian Wae Bebbae yang berlokasi tengah hutan kemiri.sambil merebus telur di mata air permandian tersebut. setelah hendak pulang mereka (yang hendak merantau) menggantung sebuah batu di dahan pohon yang berada diarea permandian tersebut sambil berucap " Narekko ololongengngi aga usappae ri sompereng lesukka Lejja-i paimeng, lesu cemme-cemme nennia bukka paimeng Batue " (Jika saya berhasil dan mendapatkan apa yang saya cita-citakan di negeri rantau saya akan datang kembali (Lejja-i) mandi-mandi dan dan membuka kembali ikatannya Batu ini). dari kata "lejja" inilah yang kelak menjadi nama tempat pemukiman disekitar permandian tersebut.
Seiring dengan perjalan waktu pada tahun 1996 Kawasan ini berstatus hutan lindung berdasarkan SK. Menhut No. 636/Kpts-II/1996 tanggal 7 Oktober 1996. Luas kawasan ini 1.265 ha yang kemudian dilakukan penataan batas, dan luasnya bertambah menjadi 1.318 ha, dan Pemandian Air Panas Wae Bebbae Lejja dibangun dan ditata dan menjadi obyak Wisata. dengan adanya status sebagai tempat wiasa maka kebiasaan masyarakat pun ikut berubah, yang tadinya hanya sebuah ritual ziarah kubur kemudian berkembang dengan berbagai variannya, mulai dari mencari jodoh, menggantung botol dan lain-lain.
{{Marioriawa, Soppeng}}
|