Ratu Dewata: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(4 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Ratu Dewata''' adalah raja dari [[Kerajaan Sunda]] yang memerintah di abad ke-16 M. Ia, menggantikan ayahnya [[Surawisesa]],. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata berwatak sangat alim dan taat kepada agama danserta cenderung mengabaikan urusan kemiliteran negara. Sebagai penganut Hindu yang taat ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, Ratuyaitu Dewatatapa hanyadengan konsumsi makan hanya buah-buahan dan minum susu. Menurut istilah sekaranglayaknya [[Vegetarisme|vegetarian]].
 
Resminya perjanjian perdamaian PajajaranSunda-[[Kesultanan Cirebon|Cirebon]] masih berlaku. Tetapidi era pemerintahannya, namun sejarawan menilai Ratu Dewata lupa bahwa sebagai tunggultonggak negara ia harus tetap bersiaga. Ia kurang mengenalmemahami seluk-beluk politik.
 
== Perjanjian perdamaian Demak-Pajajaran-Cirebon ==
Hasanudin[[Maulana Hasanuddin dari Banten|Hasanuddin]] dari Banten sebenarnya ikut menandatangani perjanjian perdamaian [[Kesultanan Demak|Demak]]-PajajaranSunda-Cirebon di tahun 1531 M, akan tetapi itu dia lakukan hanya karena kepatuhannya kepada siasat ayahnya ([[Sunan Gunung Jati|Susuhunan Jati]]) yang melihat kepentingan Wilayah Cirebon di sebelah timur sungai [[Ci Tarum|Citarum]]. Secara pribadi Hasanudin kurang setuju dengan perjanjian itu karena wilayah kekuasaannya berbatasan langsung dengan [[Pakwan Pajajaran|Pakuan Pajajaran]]. Maka secara diam-diam ia membentuk pasukan khusus tanpa identitas resmi yang mampu bergerak cepat. Kemampuan pasukan Banten dalam hal bergerak cepat ini telah dibuktikannyadibuktikan sepanjang abad ke-18 dan merupakanmelalui catatan khusus [[Perusahaan Hindia Timur Belanda|Belanda]], terutama gerakan dari pasukan bentukan [[Yusuf Al-Makassari|Syekh Yusuf]].
 
== Pertahanan Pakuan Pajajaran ==
Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibu kota Pakuan dan musuh "tambuh sangkane" (tidak dikenal asal-usulnya).
Menurut [[Carita Parahyangan]], pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibu kota Pakuan dari musuh yang ''tambuh sangkane'' (tidak dikenal asal-usulnya), namun Ratu Dewata masih beruntung karena memilikimasih didampingi para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran melawan Demak dan Cirebon. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu bertahan menghadapi sergapanserangan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan kakeknya [[Sri Baduga Maharaja]] menyebabkan serangan kilat dari Banten (dan mungkin denganjuga dari Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang (sekarang [[Bogor Selatan, Bogor|Kec. Bogor Selatan]]) pernah menjadi ''Ranamandala'' (medan pertempurantempur) dari pasukan Banten & Sunda yang mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya].
 
PenyerangPasukan penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi tercatat dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [KokohnyaTerdapat dua faktor yang membuat benteng Pakuan sangat kokoh dari serangan musuh. Pertama adalah pertamausaha merupakandari jasaHariang Banga, raja Sunda ke-4 yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yangdi merupakanbawah bawahankekuasaan Raja[[Kerajaan Galuh|Galuh]]. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan raja Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya ituberhasil, diawaliia denganmemulai pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaankokohnya benteng Pakuan inidiperkuat dan diperluas pada zaman Sri Baduga Maharaja seperti yang bisa ditemukandituliskan pada kitab [[Pustaka Nagara KretabhuniNagarakretabhumi]] I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
== Serangan kilat ==
Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan [[Sri Baduga Maharaja]] menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya].
 
GagalSetelah merebutgagal menaklukkan benteng kota Pakuan, pasukan penyerbu yang tidak dikenal ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di [[Sumedang]], [[Ciranjang]] dan [[Jayagiri, Lembang, Bandung Barat|Jayagiri]] yang dalamketika zaman Sri Baduga merupakan desa ''kawikuan'' (kependetaan, mirip dengan [[Biara (tempat tinggal)|Biara]] saat ini) yang dilindungi oleh negara.
Penyerang tidak berhasil menembus pertahanan kota, tetapi dua orang senapati Pajajaran gugur, yaitu Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. [Kokohnya benteng Pakuan adalah pertama merupakan jasa Banga yang pada tahun 739 menjadi raja di Pakuan yang merupakan bawahan Raja Galuh. Ia ketika itu berusaha membebaskan diri dari kekuasaaan Manarah di Galuh. Ia berhasil setelah berjuang selama 20 tahun dan keberhasilannya itu diawali dengan pembuatan parit pertahanan kota. Kemudian keadaan Pakuan ini diperluas pada zaman Sri Baduga seperti yang bisa ditemukan pada Pustaka Nagara Kretabhuni I/2 yang isinya antara lain (artinya saja).
 
== MembuatProyek karyatelaga besar Maharena Wijaya ==
"Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu membangun telaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibu kota Pakuan dan jalan ke Wanagiri, memperteguh kedatuan, memberikan desa (perdikan) kepada semua pendeta dan pengiringnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat kaputren (tempat isteri-isteri-nya), kesatrian (asrama prajurit), satuan-satuan tempat (pageralaran), tempat-tempat hiburan, memperkuat angkatan perang, memungut upeti dari raja-raja bawahan dan kepala-kepala desa dan menyusun Undang-undang Kerajaan Pajajaran"
 
''Amateguh kedatwan'' (memperteguh kedatuan) sejalan dengan maksud "membuat parit" (memperteguh pertahanan) Pakuan, bukan saja karena kata Pakuan mempunyai arti pokok keraton atau kedatuan, melainkan kata amateguh menunjukkan bahwa kata kedatuan dalam hal ini adalah kota tempat tinggal raja. Jadi sama dengan Pakuan dalamdisini artiberarti ibu kota.
 
== "membuatTipe parit"kota ''Lemah duwur'' ataudan lemah''Garuda luhurngupuk'' ==
Selain hal di atas, juga lokasi Pakuan yang berada pada posisi yang disebut ''lemah duwur'' atau ''lemah luhur'' (dataran tinggi, oleh [[Abraham van Riebeeck|Van Riebeeck]] disebut "''bovenvlakte"''). Pada posisi ini, merekapasukan Pakuan tidak berlindung di balik bukit, melainkan berada di atas bukit. {Pasir Muara di [[Cibungbulang, Bogor|Kec. Cibungbulang]] merupakan contoh bagaimana bukit rendah yang dikelilingi tiga batangjalur sungai pernah dijadikan pemukiman "lemah duwur" sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi}. Lokasi Pakuan merupakandidirikan di lahan lemah duwur yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah [[Gunung Pangrango]]. Tebing Ciliwungsungai [[Sungai Ci Liwung|Ci Liwung]], Cisadane[[Ci Sadane]] dan CipakuCi Paku merupakan pelindung alamiah dari kota ini.
 
{Tipe pemukiman lemah duwur biasanya dipilih samaoleh masyarakat yang hidup dengan latar belakang kebudayaan huma''ngahuma'' (berpindah ladang). Kota-kota yangmodern sepertidengan tipe ini adalahcontohnya [[Kota Bogor|Bogor]], [[Kota Sukabumi|Sukabumi]] dan [[CianjurSoreang, Bandung|Soreang]]. Kota seperti ini biasanya dibangun dengan konsep berdasarkanberdasar pengembangan perkebunan. Tipe lainkota lainnya adalah apa yang disebut ''garuda ngupuk''. Tipe seperti ini biasanya dipilih oleh masyarakat dengan latar belakang kebudayaan sawah menetap. Mereka menganggap bahwa lahan yang ideal untuk pusat pemerintahan adalah lahan yang datar, luas, dialiri sungai dan berlindungdilindungi di balikoleh pegunungan. Kota-kota yang dikembangkan dengan corak ini misalnya [[Garut]], [[Bandung]] dan [[Tasikmalaya]]. [[Sumedang]] memilikimemenuhi dua persyaratan tipe ini.kota di atas, dimana [[Sumedang Utara, Sumedang|Kutamaya]] dipilih oleh [[Pangeran Santri]] menurutsebagai tempat tinggal sesuai dengan idealisme Pesisirpesisir khas [[Kota Cirebon|Cirebon]] karena ia orangberasal dari Sindangkasih ([[Majalengka]]) yang selalu hilir mudik ke Cirebon. Baru padadi kemudian waktu kemudiantipe kota Sumedang dikukuhkan dengan pola garuda ngupuk pada lokasi pusat kota [[Sumedang]] yang sekarang}].
 
== Kritik ==
Gagal merebut benteng kota, pasukan penyerbu ini dengan cepat bergerak ke utara dan menghancurkan pusat-pusat keagamaan di [[Sumedang]], [[Ciranjang]] dan [[Jayagiri]] yang dalam zaman Sri Baduga merupakan desa kawikuan yang dilindungi oleh negara.
Sikap Ratu Dewata yang sangat alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidaktidaklah tepat karena sebagai raja harusia harusnya "memerintah dengan baik". TapaMenurut sejarawan, tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah ia turun tahtatakhta dan menempuh kehidupan ''manurajasuniya'' (penuh beribadah setelah turun takhta) seperti yang telah dilakukan oleh [[Niskala Wastu Kancana|Wastu Kancana]]. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan denganmelalui sindiran (kepada para pembaca):
 
''Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan'' (Maka berhati-hatilan raja yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan zaman itu tidak tepat karena raja harus "memerintah dengan baik". Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Karena itulah Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca)
 
Rupa-rupanya penulisPenulis kisah kuno itutersebut melihatmenilai bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan dimana kerajaannya terus melemah selama ia memerintah. Penulis kemudian berkomentar pendek, "''Samangkana ta precinta"'' (begitulah zaman susah).
"Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan"
 
(Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa).
 
Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek "Samangkana ta precinta" (begitulah zaman susah).
 
{{kotak mulai}}
Baris 39 ⟶ 36:
 
[[Kategori:Pakuan Pajajaran]]
[[Kategori:Raja Sunda]]
[[Kategori:Tokoh Hindu Indonesia]]