Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
fix |
Dianosaurus (bicara | kontrib) k copy edit Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi iOS |
||
(8 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 2:
{{pemutakhiran}}
[[Berkas:Coat of arms of Yogyakarta.svg|jmpl|ka|Lambang Daerah Istimewa Yogyakarta]]
[[Berkas:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Straatbeeld Jogjakarta TMnr 60018353.jpg|jmpl|ka|Foto salah satu ruas jalan di Yogyakarta (tahun 1933)]]
Tanggal 18<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref>Achiel Suyanto, 2007</ref> atau 19<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref> Agustus 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada [[Soekarno]]-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan Penguasa [[Jepang]] ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' (南方軍 指揮官 閣下) dan ''Jawa Saiko Sikikan'' (ジャワ 最高 指揮官) beserta stafnya.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>
Di Jakarta pada [[19 Agustus]] [[1945]] terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''.<ref name="bah"/>
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara, [[Oto Iskandardinata]], dalam sidang itu menanggapi bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada ''beleid'' Presiden. Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan [[Soepomo]], kedudukan ''Kooti'' ditetapkan ''status quo'' sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Paku Alaman]]<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
Pada tanggal [[1 September]] [[1945]], Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan [[Ki Hajar Dewantoro]] serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi,<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>
Dekret integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederland Indie'' setelah kekalahan Jepang. Dekret semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, '''Raja Kerajaan Luwu''' akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1945.png|jmpl|ka|Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945]]
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>
# Kabupaten [[Kota Yogyakarta]] dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
# Kabupaten [[Sleman]] dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
Baris 29:
# Kabupaten [[Kulon Progo]] dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>
# Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
# Kabupaten [[Adikarto]] dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada [[29 Oktober]] [[1945]] dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekret kerajaan bersama (dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 30 Oktober 1945}}) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
Seiring dengan berjalannya waktu,<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
== Periode I: 1945—1946 ==
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>
# Kedudukan Yogyakarta
# Kekuasaan Pemerintahan
Baris 57:
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1946.png|jmpl|ka|Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946]]
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada [[18 Mei]] [[1946]] mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat {{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}}).<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
Dalam maklumat ini secara resmi nama [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman).<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
=== Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948) ===
Baris 69:
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1947.png|jmpl|kiri|Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947]]
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan ''Haminte''-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak [[5 Januari]] [[1946]] Yogyakarta menjadi Ibu kota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>
=== Dekret Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945) ===
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul dan pada zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. '''(Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)'''</ref><ref>'''(5)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. '''(6)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)'''</ref> maupun penjelasannya.<ref>Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. '''(Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)'''</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan ''Zelfbestuurende landschappen''. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. '''(Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)'''</ref>
== Periode III: 1950 - 1965 ==
Baris 81:
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1950.png|jmpl|ka|Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950]]
DIY secara formal dibentuk dengan {{ke wikisource|UU No. 3 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan {{ke wikisource|UU No. 19 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai [[15 Agustus]] [[1950]] dengan {{ke wikisource|PP No. 31 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Povinsi dan bukan sebuah Provinsi.<ref>'''(1)''' Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. '''(2)''' Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. '''(Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)'''</ref>
==== Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951) ====
Baris 88:
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan {{ke wikisource|UU No. 15 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 44) dan {{ke wikisource|UU No. 16 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan {{ke wikisource|PP No. 32 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribu kota Bantul), [[Sleman]] (beribu kota Sleman), [[Gunung Kidul]] (beribu kota [[Wonosari]]), [[Kulon Progo]] (beribu kota Sentolo), [[Adikarto]] (beribu kota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribu kota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribu kota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Nomor 18 Tahun 1951}} (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
=== Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (
==== Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951) ====
Pada tahun [[1951]] Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>
==== Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY (
Perubahan yang cukup penting,<ref name="joyb"/>
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di ''Cepuri'' Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga bukan merupakan monarki konstitusi.<ref name="joyb"/>
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, dia tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut ''Parentah Hageng Karaton'' dipimpin oleh GP Hangabehi.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>
=== Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965) ===
==== Implementasi UUDS 1950 (1957-1965) ====
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 [[UUDS 1950]]. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum<ref>Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 3 UU No 1/1957)'''</ref><ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: ''a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I''. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). '''(3)''' Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)'''</ref> maupun penjelasannya.<ref>Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. '''(Petikan Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)'''</ref>
==== Penyatuan Wilayah (1957-1958) ====
Baris 109:
==== Pasca Dekret Presiden (1959-1965) ====
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah [[Dekret Presiden 5 Juli 1959]], Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap [[UUD 1945]] yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda.<ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. '''(Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)'''</ref>
== Periode IV: 1965-1998 ==
=== Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974) ===
Tanggal [[1 September]] [[1965]], sebulan sebelum terjadi [[G30S/PKI]], Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi <ref>Pada saat berlakunya UU ini, maka: Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta [[Daerah Istimewa Aceh]] berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. '''(Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)'''</ref> (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan.<ref>Daerah-daerah swapraja yang ''de facto'' maupun ''de jure'' dinyatakan hapus. '''(Petikan Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)'''</ref>
=== Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998) ===
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi [[Wakil Presiden Indonesia]]. Otomatis dia tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.<ref>Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. '''(Pasal 91 sub b UU No 5/1974)'''</ref>
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980.<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>
=== Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998) ===
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Dia wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja [[Kesultanan Yogyakarta]] terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan [[Hamengku Buwono X]] (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka [[Paku Alam VIII]], Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.<ref name="ari">Ariobimo Nusantara (ed), 1999</ref>
Pada saat reformasi, tanggal [[20 Mei]] [[1998]], sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (''former president'') [[Presiden Soeharto]], Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak [[ABRI]] (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut ''Pisowanan Agung''.<ref name="ari"/>
== Periode V: 1998-2008 ==
=== Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998) ===
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.<ref name="ari"/>
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka [[Paku Alam IX]] naik tahta, namun dia belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
=== Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004) ===
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY.<ref>Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. '''(Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)'''</ref>
Pada tahun 2000, [[MPR]] RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[kedua/setelah perubahan 1-4])</ref>
=== Pengusulan RUU Keistimewaan (2002) ===
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002.<ref name="hbx">HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007</ref>
=== Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003) ===
Baris 144:
=== Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2012]) ===
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)'''</ref><ref>Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. ('''Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)'''</ref><ref>'''(1)''' Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. '''(2)''' Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. '''(Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)'''</ref> seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI [[Jakarta]], dan Papua.<ref>Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. '''(Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)'''</ref>
== Periode VI (Peralihan): 2007 - sekarang (2012) ==
Baris 150:
[[Berkas:Peta seri DIY AA 2007.png|jmpl|ka|Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya]]
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada [[7 April]] [[2007]], Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah<ref>Pernyataan bersejarah Sultan: "Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan Sikap Spiritual Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah Pernyataan Sejarah, sebagai berikut: 1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti. 2. Selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY yang akan datang." '''(Kompas Yogyakarta 9 April 2007)'''</ref> lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi untuk dipilih sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008.<ref>HB X, 2007</ref>
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. [[Sofian Effendi (akademisi)|Sofian Effendi]]<ref name="k0904">Kompas 09 April 2007</ref> (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso<ref name="k0904">Kompas 09 April 2007</ref> pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Baris 156:
Bagi Roy Suryo<ref>Kompas Yogyakarta 09 April 2007A</ref> pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto<ref name="kj0409">Kompas Yogyakarta 09 April 2007C</ref> (Wali kota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
Warga Bantul<ref name="kr0904">Kedaulatan Rakyat 09 April 2007</ref> siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan.<ref name="kj0409"/>
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta.<ref name="Kompas Yogyakarta 19 April 2007">Kompas Yogyakarta 19 April 2007</ref>
=== Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY ===
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas<ref name="Kompas Yogyakarta 19 April 2007"/> pada [[13 April]] [[2007]] menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar daripada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung.<ref>Kedaulatan Rakyat 19 April 2007</ref>
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas<ref>Kompas Yogyakarta 20 April 2007</ref> pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).
=== RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008) ===
Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi.<ref>Kompas Yogyakarta 10 April 2007</ref>
Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR,<ref>Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 dan Kedaulatan Rakyat 22 September 2007</ref>
Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat.<ref>Kedaulatan Rakyat 26 Maret 2008</ref>
Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai dirumuskan.<ref>Kedaulatan Rakyat 2 Juni 2008</ref>
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas.<ref>Kedaulatan Rakyat 21 Agustus 2008</ref>
=== Beberapa pemikiran rakyat ===
Baris 181:
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal:
'''Pertama''', Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 ''zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen'' serta bukti - bukti
'''Kedua''', Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
'''Ketiga''', Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut
'''Kedua''', setiap produk undang
'''Ketiga''', pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
'''Keempat''',
'''Kelima''', perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amendemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam
'''Keenam''', proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana wali kota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amendemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
Baris 260:
== Draf RUU Keistimewaan DIY ==
* {{id}} [http://www.legalitas.org/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Pemerintah/Depdagri (?)] file pdf (klik Data Baru atau Rancangan Peraturan lalu cari artikel RUU ttg Keistimewaan Prov. DI Yogyakarta atau RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
* {{id}} [http://www.pemda-diy.go.id/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Usulan Pemprov DIY tahun 2001 (?)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20010124015200/http://www.pemda-diy.go.id/ |date=2001-01-24 }} (klik Produk Hukum lalu cari artikel Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Otonomi Pemerintahan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Naskah Akademik Rancangan Undang-Udang Tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
* {{id}} [http://bdardias.staff.ugm.ac.id/index.php/download/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM 10062007(?)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20090409072317/http://bdardias.staff.ugm.ac.id/index.php/download/ |date=2009-04-09 }} file pdf. Naskah Akademik dari RUU versi Jurusan Ilmu Pemerintahan diterbitkan dalam bentuk Monograf oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM.
{{Topik Yogyakarta}}
|