Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
kTidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
Sedjati88 (bicara | kontrib)
 
(90 revisi perantara oleh 31 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove|date=Oktober 2018}}
{{Infobox building
| native_name = {{jav|ꦏꦝꦠꦺꦴꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀}}<br>{{sub|Kadhaton Ngayogyakarta Adiningrat}}
| name = Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
| native_name = {{jav|ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦤꦔꦿꦠ꧀}}<br>{{small|Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat}}
| alternate_names = Keraton Yogyakarta, Istana Yogyakarta
| image = Kraton Yogyakarta Pagelaran.jpg
| image_size = 300px
| logo = Yogyakarta Sultanate Hamengkubhuwono X Emblem.svg
| logo_size = 160px
| logo_caption = ''Praja Cihna''<br>[[Lambang Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]
| caption = Pagelaran Keraton Yogyakarta
| location = [[Kota Yogyakarta]]
| location_country = {{INA}}
| completion_date = 1756
| architect = [[Hamengkubuwana I]]
| owner = [[KesultananKasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]
| floor_area = <!-- {{convert|55,000|sqft|abbr=on}} -->
| building_type = [[Keraton]]
Baris 21:
| style = [[Arsitektur Jawa]]
| size =
| website = {{URL|kratonjogja.id}}
| coordinates = {{coord|-7.805689|110.36406|display=inline | format = dms}}
| embedded = {{Infobox cagar budaya|child=yes
| map_type = Indonesia_Yogyakarta#Indonesia Java#Indonesia
| map_captionName = Lokasi di [[Kota = Kraton Yogyakarta]]
| Image =
|caption =
| Type = Nasional
| ID = CB.177
| Location = Kota Yogyakarta
|Session = PM.07/PW.007/MKP/2010
|Extension = Menteri
| Year = 8 Januari 2010
| nameownership = Keraton[[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]
| Link = http://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/cagarbudaya/detail/PO2016042100014/kraton-yogyakarta
| map_location = Indonesia Java
| map_label = {{PAGENAME}}
| map_caption =Lokasi {{PAGENAME}} di [[Kota Yogyakarta]]
| coordinates = {{coord|-7.805689|110.36406|display=inline | format = dms}}}}
| references =
| footnotes =
| public_transit = {{rint|yogyakarta|1A}} {{rint|yogyakarta|2A}} {{rint|yogyakarta|3A}} {{rint|yogyakarta|8}} {{rint|yogyakarta|10}} {{rint|yogyakarta|13}} {{rint|yogyakarta|15}} Malioboro 3
}}
 
[[Berkas:Jogja.kraton.jpg|jmpl|240px|Gedhong Kaca, Museum Hamengku Buwono IX Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]]
'''Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat''' atau '''Keraton Yogyakarta''' ({{lang-jv|ꦏꦫꦠꦺꦴꦤ꧀​ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ​ꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀|''Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat''}}) merupakan [[istana]] resmi [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]] yang kini berlokasi di [[Kota Yogyakarta]]. Keraton ini didirikan oleh Sri [[Sultan Hamengkubuwana I]] pada tahun [[1755]] sebagai Istana/Keraton Yogyakarta yang baru berdiri akibat perpecahan Mataram Islam dengan adanya [[Perjanjian Giyanti]]. Keraton ini adalah pecahan dari [[Keraton Surakarta Hadiningrat]] dari [[Kasunanan Surakarta|KesunananMataram Islam Surakarta]] (Kerajaan Surakarta). Sehingga dinasti Mataram diteruskan oleh 2 Kerajaan yakni [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat|Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kasunanan Surakarta|Kesunanan Surakarta]]. Total luas wilayah keseluruhan keraton yogyakarta mencapai 34144 hektar, yakni meliputi seluruh area di dalam [[Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta|benteng Baluwarti]], alun-alun Lor, alun-alun Kidul, gapura Gladak, dan kompleks [[Masjid Gedhe Kauman|Masjid Gedhe Yogyakarta]]. Sementara luas dari kedhaton (inti keraton) mencapai 613 hektar.

Walaupun kesultananKesultanan tersebutYogyakarta secara resmi telah menjadi bagian [[Republik Indonesia]] pada tahun [[1945]], kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal [[sultan]] dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata di [[Kota Yogyakarta]]. Sebagian kompleks keraton merupakan [[museum]] yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan [[gamelan]]. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan salah satu contoh arsitektur [[keraton|istana Jawa]] yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.<ref>{{cite book
|title=Indonesia
|url=https://archive.org/details/indonesia0000unse_i2g4
|first1=P.
|last1=Witton
Baris 45 ⟶ 65:
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Gouverneur Bijleveld heft het glas met Sultan Hamengkoe Boewono VIII tijdens een bezoek aan de kraton in Jogjakarta TMnr 60023722.jpg|jmpl|240px|ka|Sultan Hamengkubuwono VIII menerima kunjungan kehormatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bijleveld di Keraton Yogyakarta, sekitar tahun 1937.]]
 
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh [[Pangeran Mangkubumi|Sultan Hamengku Buwono I]] beberapa bulan pasca [[Perjanjian Giyanti]] pada tahun [[1755]]. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan<ref>''Pesanggrahan'' bermakna 'istana kecil' atau 'vila'</ref> yang bernama ''Garjitawati''. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di [[Imogiri]]. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, ''Umbul Pacethokan'', yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di ''Pesanggrahan Ambar Ketawang'' yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten [[Sleman]].<ref>Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambar Ketawang ke Keraton Yogyakarta pada 7 Oktober 1756. Tanggal ini kemudian dijadikan tanggal berdirinya Kota Yogyakarta.</ref> Perpindahan (''boyongan'') Sultan dan pengikutnya dari Gamping menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ditandai dengan surya sengkala ''Dwi Naga Rasa Tunggal'', yang memiliki nilai tahun 1756 Masehi. Sengkalan tersebut bermakna tentang kesatuan kegotong-royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan, ketenteraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang dibangun.
 
Secara fisik [[istana]] para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).<ref>Murdani Hadiatmadja. Tulisan ini selain menggunakan bahan referensi yang diterbitkan juga menggunakan cerita-cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat.</ref><ref>Penamaan kompleks/bagian dari Keraton Yogyakarta, begitu pula dengan bangunan maupun lain-lain yang terkait, sengaja menggunakan bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan nama-nama tersebut merupakan suatu kesatuan makna. Untuk terjemahan dalam bahasa Indonesia, apabila ada/memungkinkan, akan diberikan di dalam tanda kurung (…). Terjemahan hanya dilakukan sekali saat bagian, gedung, atau yang lain disebutkan untuk pertama kalinya. Untuk seterusnya tidak diberikan keterangan mengingat keterbatasan tempat.</ref>. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu [[Situs Warisan Dunia UNESCO]].{{Butuh rujukan}}
 
== Tata ruang dan arsitek ==
Arsitek kepala istana ini adalah [[Sultan]] [[Hamengkubuwana I]], pendiri [[Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat]]. Keahliannya dalam bidang [[arsitektur]] dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan [[Belanda]], [[Theodoor Gautier Thomas Pigeaud]] dan [[Lucien Adam]] yang menganggapnya sebagai "arsitek" dari saudara [[Pakubuwono II]] [[Surakarta]]".<ref name="Tulisan awal">Tulisan awal</ref>. Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton digambar berikut desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta.<ref>Kota ini memiliki batas utara Tugu Yogyakarta, timur Sungai Code, selatan Panggung Krapyak, dan barat Sungai Winongo.</ref> Pembangunan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat diselesaikan antarapada tahuntanggal 7 Oktober 1755-1756 menurut penanggalan Masehi atau 13 Sura 1682 menurut k[[Kalender Jawa|alender Jawa]].<ref>{{Cite book|last=Sulistyowati, N. A., dan Priyatmoko, H.|date=2019|url=http://repository.usd.ac.id/37889/1/Ebook_Toponim%20Jogja-.pdf|title=Toponim Kota Yogyakarta|location=Jakarta|publisher=Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan|isbn=978-623-7092-08-7|pages=204|url-status=live}}</ref>

Bangunan lain ditambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh [[Hamengkubuwono VIII|Sultan Hamengku Buwono VIII]] (bertahta tahun [[1921]]-[[1939]]).
 
=== Tata ruang ===
[[Berkas:Jogja.kraton2.jpg|jmpl|240px|Koridor di Kedhaton dengan latar belakang Gedhong Jene dan Gedhong Purworetno]]
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari [[Gapura]] Gladhag di utara sampai di Plengkung<ref>Plengkung bermakna gerbang lengkung (arched gate).</ref> Nirboyo di selatan. Kini, bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Masjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks [[Sasana Hinggil Dwi Abad|Siti Hinggil Kidul]] (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta [[Alun-alun Kidul]] (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.<ref>Chamamah Soeratno et. al. (Buku dari Chamamah Soeratno et. al. banyak berisi ilustrasi terutama foto yang sangat membantu dalam hal arsitektur dan kadang foto-foto tersebut menjelaskan lebih banyak detail arsitektur dibandingkan dengan teks yang ada. Banyak keterangan dari foto-foto tersebut yang digunakan dan diuraikan di sini).</ref><ref>Murdani Hadiatmadja. Murdani hanya menyebutkan bagian utama dari Keraton Yogyakarta mulai dari Siti Hinggil Ler sampai Siti Hinggil Kidul. Untuk arsitektur dan tata ruang, termasuk detailnya, buku dari Murdani dan Chamamah banyak digunakan.</ref>.
 
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunanbangunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
 
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di Dalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
Baris 62 ⟶ 85:
[[Berkas:Kraton Yogyakarta2-5.JPG|jmpl|ka|240px|Bangsal Sri Manganti tempat pertunjukan tari dan seni karawitan gamelan di Kraton Yogyakarta.]]
[[Berkas:Kraton Yogyakarta 10.JPG|jmpl|ka|240px|Salah satu bangunan Tratag dalam kompleks keraton.]]
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol<ref>Dalam bahasa jawa regol dapat dimaknai sebagai pintu yang besar/gerbang.</ref> yang biasanya bergaya ''Semar Tinandu''.<ref>Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.</ref> . Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut ''Renteng'' atau ''Baturono''. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
 
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti [[Portugis]], [[Belanda]], bahkan [[Tiongkok]]. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan '''Bangsal''' sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan '''Gedhong''' (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut '''Tratag'''. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Baris 68 ⟶ 91:
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan ''Soko Guru'' yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen ''Putri Mirong'', stilasi dari kaligrafi [[Allah]], [[Muhammad]], dan ''Alif Lam Mim Ra'', di tengah tiangnya.
 
Untuk batu alas tiang, ''Ompak'', berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi.<ref>misal pada Bangsal Witono dan Bangsal Kencono</ref>. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut ''Selo Gilang'' tempat menempatkan singgasana Sultan.
 
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.<ref>Pada bagian ini buku Chamamah Soeratno et. al. digunakan di sebagian besar tulisan. Deskripsi berasal dari teks maupun dari foto-foto yang ada. Selain itu juga digunakan buku Murdani Hadiatmadja.</ref>
Baris 76 ⟶ 99:
=== Gladhag-Pangurakan ===
 
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan<ref>Pangurakan berasal dari kata “urak” dapat dimaknai daftar jaga atau pengusiran.</ref> yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis.<ref>Chamamah Soeratno et. al. begitu pula dengan Murdani Hadiatmadja.</ref>. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan.<ref name="Murdani Hadiatmadja">Murdani Hadiatmadja.</ref>.
 
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet.<ref name="ReferenceA">Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media).</ref>. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada.<ref name="On location Desember 2007">On location [[Desember]] [[2007]]</ref>. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri.<ref name="On location Desember 2007"/>. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun LerLor.{{Butuh rujukan}}
 
=== Alun-alun Lor ===
Baris 84 ⟶ 107:
[[Berkas:Alun-alun Lor.JPG|jmpl|240px|Tanah lapang, "Alun-alun Lor", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon ''Ringin Kurung''-nya]]
 
Alun-alun Lor ([[Hanacaraka]]: {{jav|ꦄꦭꦸꦤ꧀​ꦄꦭꦸꦤ꧀​ꦭꦺꦴꦂꦄꦭꦸꦤ꧀ꦄꦭꦸꦤ꧀ꦭꦺꦴꦂ}}) adalah sebuah lapangan berumput<ref>Aslinya Alun-alun ditutupi dengan pasir dari pantai selatan (Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat [Media])</ref> di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi.<ref>Gambaran dinding pagar di sekeliling alun-alun yang relatif masih seperti aslinya dapat dilihat di Alun-alun Kidul, dimanadi mana dinding yang mengelilingi masih dapat disaksikan lebih utuh (On location [[Desember]] [[2007]])</ref>. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.<ref>{{Cite web|last=Sektiadi|date=2 JANUARI 2010|title=Potensi Wisata Budaya Njeron Beteng|url=https://sektiadi.staff.ugm.ac.id/2010/01/potensi-wisata-budaya-njeron-beteng/#atas|access-date=17 Mei 2024}}</ref>
 
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (''Ficus benjamina''; famili ''Moraceae'') dan di tengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan '''Waringin Sengkeran/Ringin Kurung''' (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama '''Kyai Dewadaru''' dan '''Kyai Janadaru'''.<ref>Versi lain bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Jayadaru/Wijayadaru.</ref>. Pada zamannya selain Sultan hanyalah ''Pepatih Dalem ''<ref>Pepatih Dalem adalah pegawai kerajaan tertinggi yang diangkat oleh Sultan untuk mengelola kerajaan.</ref> yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe"<ref>Tapa Pepe bermakna menjemur diri. Tapa Pepe dapat dilihat sebagai sebuah cermin nilai-nilai demokrasi yang dibungkus oleh kearifan lokal dalam bentuk demonstrasi secara tertib, tidak anarkis, dan tunduk pada aturan main yang telah ditetapkan. Peristiwa terakhir konon terjadi pada zaman Sultan Hamengkubuwono VIII ketika rakyat tidak sanggup untuk membayar pajak yang ditetapkan oleh ''Pepatih Dalem'' bersama Gubernur Belanda di Yogyakarta.</ref> saat Pisowanan Ageng<ref>Pisowanan ageng bermakna pertemuan besar. Dalam kegiatan ini rakyat dan pejabat menghadap/menemui Sultan sebagai tanda kesetiaan mereka kepada Sultan dan Kesultanan.</ref> sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah.<ref name="ReferenceA"/>. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.<ref>{{Cite book|last=Artono|date=2020|url=|title=Geohistory Masa Kolonial Di Indonesia|location=Surabaya|publisher=Unesa University Press|isbn=978-602-449-481-0|pages=20|url-status=live}}</ref>
 
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan '''Pekapalan''', tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan.<ref name="Murdani Hadiatmadja"/>. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu di bagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.{{Butuh rujukan}}
 
Pada zaman dahulu Alun-alun Lor digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.{{Butuh rujukan}}
 
Kini, kawasan alun-alun lor dikembalikan ke bentuk semula, dimana dibangun pagar mengelilingi lapangan alun-alun, serta mengganti tanah di alun-alun tersebut dengan pasir pantai. Hal tersebut dilakukan guna mendukung kawasan sumbu imajiner keraton sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
 
=== Masjid Gedhe Kasultanan ===
{{utama|Masjid Gedhe Kauman}}
[[Berkas:GrandMosqueYogya.JPG|jmpl|Masjid Gedhe Kauman ]]
Kompleks Masjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga disebut dengan ''Masjid Gedhe Kauman'' dikelilingi oleh suatu dinding yang tinggi. Pintu utama kompleks terdapat di sisi timur. Arsitektur bangunan induk berbentuk ''tajug'' persegi tertutup dengan atap bertumpang tiga. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi timur dan utara. Di sisi dalam bagian barat terdapat mimbar bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, ''mihrab'' (tempat imam memimpin ibadah), dan sebuah bangunan mirip sangkar yang disebut ''maksura''. Pada zamannya (untuk alasan keamanan) di tempat ini Sultan melakukan ibadah. Serambi masjid berbentuk joglo persegi panjang terbuka. Lantai masjid induk dibuat lebih tinggi dari serambi masjid dan lantai serambi sendiri lebih tinggi dibandingkan dengan halaman masjid. Di sisi utara-timur-selatan serambi terdapat kolam kecil. Pada zaman dahulu kolam ini untuk mencuci kaki orang yang hendak masuk masjid.{{Butuh rujukan}}
 
Di depan masjid terdapat sebuah halaman yang ditanami pohon tertentu. Di sebelah utara dan selatan halaman (timur laut dan tenggara bangunan masjid raya) terdapat sebuah bangunan yang agak tinggi yang dinamakan '''Pagongan'''. Pagongan di timur laut masjid disebut dengan Pagongan Ler (Pagongan Utara) dan yang berada di tenggara disebut dengan Pagongan Kidul (Pagongan Selatan). Saat upacara Sekaten, Pagongan Ler digunakan untuk menempatkan gamelan sekati ''Kangjeng Kyai (KK) Naga Wilaga'' dan Pagongan Kidul untuk gamelan sekati ''KK Guntur Madu''. Di barat daya Pagongan Kidul terdapat pintu untuk masuk kompleks masjid raya yang digunakan dalam upacara ''Jejak Boto''<ref>Jejak Boto secara harfiah bermakna menendang batu bata.</ref> pada upacara Sekaten pada tahun Dal. Selain itu terdapat Pengulon, tempat tinggal resmi ''Kangjeng Kyai Pengulu''<ref>semacam Menteri Agama/Imam Agung/Mufti Kerajaan.</ref> di sebelah utara masjid dan pemakaman tua di sebelah barat masjid.{{Butuh rujukan}}
 
== Kompleks inti ==
Baris 103 ⟶ 128:
=== Kompleks Pagelaran ===
[[Berkas:Kraton Yogyakarta Pagelaran.jpg|jmpl|240px|Pagelaran Keraton Yogyakarta di depan kompleks keraton menghadap utara ke arah Alun-alun Lor]]
Bangunan utama adalah ''Bangsal Pagelaran'' yang dahulu dikenal dengan nama ''Tratag Rambat''.<ref>Dahulu Tratag Pagelaran merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang besar pada 1934.</ref>. Pada zamannya Pagelaran merupakan tempat para penggawa kesultanan menghadap Sultan pada upacara resmi. Sekarang sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang ''Bangsal Pemandengan'' terletak di sisi jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Dahulu tempat ini digunakan oleh Sultan untuk menyaksikan latihan perang di Alun-alun Lor.{{Butuh rujukan}}
 
Sepasang ''Bangsal Pasewakan/Pengapit'' terletak tepat di sisi luar sayap timur dan barat Pagelaran. Dahulu digunakan para panglima Kesultanan menerima perintah dari Sultan atau menunggu giliran melapor kepada dia kemudian juga digunakan sebagai tempat jaga Bupati Anom Jaba.<ref>Nama/jenis kelompok pegawai Kesultanan Yogyakarta</ref>. Sekarang digunakan untuk kepentingan pariwisata (semacam diorama yang menggambarkan prosesi adat, prajurit keraton dan lainnya). ''Bangsal Pengrawit'' yang terletak di dalam sayap timur bagian selatan Tratag Pagelaran dahulu digunakan oleh Sultan untuk melantik Pepatih Dalem. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan [[Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] dan [[Hamengkubuwono IX|Sultan HB IX]]. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh [[Universitas Gadjah Mada]] sebelum memiliki kampus di ''Bulak Sumur''.<ref>Sebagian besar bagian ini merujuk pada Murdani Hadiatmadja dan Bangunan Keraton Kasultanan Yogyakarta (Pranala luar)</ref>.
 
=== Siti Hinggil Ler ===
 
Di selatan kompleks Pagelaran terdapat Kompleks Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Di tempat ini pada [[19 Desember]] [[1949]] digunakan peresmian [[Universitas Gadjah Mada]]. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon '''Gayam''' (''Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus''; famili ''Papilionaceae'').{{Butuh rujukan}}
 
Di kanan dan kiri ujung bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua ''Bangsal Pacikeran'' yang digunakan oleh ''abdi-Dalem Mertolulut'' dan ''Singonegoro''<ref>abdi-Dalem Mertolulut dan abdi-Dalem Singonegoro adalah kelompok pegawai kerajaan yang bertugas sebagai algojo/eksekutor putusan hakim pengadilan kerajaan.</ref> sampai sekitar tahun [[1926]]. Pacikeran barasal dari kata ''ciker'' yang berarti tangan yang putus. Bangunan ''Tarub Agung'' terletak tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat ''Bangsal Kori''. Di tempat ini dahulu bertugas ''abdi-Dalem Kori'' dan ''abdi-Dalem Jaksa'' yang fungsinya untuk menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.{{Butuh rujukan}}
 
''Bangsal Manguntur Tangkil'' terletak di tengah-tengah Siti Hinggil di bawah atau di dalam sebuah hall besar terbuka yang disebut ''Tratag Sitihinggil''.<ref>Dahulu Tratag Siti Hinggil merupakan kanopi dari anyaman bambu. Sultan HB VIII membuatnya menjadi sebuah bangsal yang megah pada 1926.</ref>. Bangunan ini adalah tempat Sultan duduk di atas singgasananya pada saat acara-acara resmi kerajaan seperti pelantikan Sultan dan Pisowanan Agung. Di bangsal ini pula pada [[17 Desember]] [[1949]] [[Ir. Soekarno]] dilantik menjadi [[Presiden]] [[Republik Indonesia Serikat]]. ''Bangsal Witono'' berdiri di selatan Manguntur Tangkil. Lantai utama bangsal yang lebih besar dari Manguntur Tangkil ini dibuat lebih tinggi. Bangunan ini digunakan untuk meletakkan lambang-lambang kerajaan atau pusaka kerajaan pada saat acara resmi kerajaan.<ref>Kedua bangsal ini direnovasi oleh Sultan HB VIII pada 1925.</ref>.
 
''Bale Bang'' yang terletak di sebelah timur Tratag Siti Hinggil pada zaman dahulu digunakan untuk menyimpan perangkat Gamelan Sekati, ''KK<ref>KK singkatan dari Kangjeng Kyai, suatu derajat gelar bagi pusaka kerajaan. Untuk lebih jelasnya silakan lihat bagian pusaka kerajaan dibagian lain halaman ini.</ref> Guntur Madu'' dan ''KK Naga Wilaga''. ''Bale Angun-angun'' yang terletak di sebelah barat Tratag Siti Hinggil pada zamannya merupakan tempat menyimpan tombak, ''KK Suro Angun-angun''.{{Butuh rujukan}}
 
=== Kamandhungan Lor ===
 
Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang besar, ''Regol Brojonolo'', sebagai penghubung Siti Hinggil dengan ''Kamandhungan''. Di sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan pada hari-hari lain selalu dalam keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks dalam Keraton sehari-hari melalui pintu ''Gapura Keben'' di sisi timur dan barat kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu ke jalan ''Kemitbumen'' dan ''Rotowijayan''.{{Butuh rujukan}}
 
Kompleks Kamandhungan Ler sering disebut ''Keben'' karena di halamannya ditanami pohon '''Keben''' (''Barringtonia asiatica''; famili ''Lecythidaceae''). ''Bangsal Ponconiti'' yang berada di tengah-tengah halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai [[1812]]) bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati dengan Sultan sendiri yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari kendaraan mereka yang dinamakan ''Bale Antiwahana''. Selain kedua bangunan tersebut terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.<ref>Murdani Hadiatmadja, Chamamah et. al., Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media), dan on location.</ref>
Baris 133 ⟶ 158:
=== Kedhaton ===
[[Berkas:Kraton Yogyakarta 6.JPG|240px|jmpl|ka|Pintu Gerbang Donopratopo, Kraton Yogyakarta]]
[[Berkas:Kraton Yogyakarta 14.JPG|240px|jmpl|ka|Bangsal Kencono, bagunanbangunan utama dalam kompleks Keraton Yogyakarta, di belakangnya terdapat nDalem Ageng Proboyakso.]]
[[Berkas:Kraton Yogyakarta 15.JPG|240px|jmpl|ka|Ukiran kepala Kala di Bangsal Manis]]
Di sisi selatan kompleks Sri Manganti berdiri ''Regol Donopratopo'' yang menghubungkan dengan kompleks Kedhaton. Di muka gerbang terdapat sepasang arca raksasa ''Dwarapala'' yang dinamakan ''Cingkarabala'' disebelah timur dan ''Balaupata'' di sebelah barat. Di sisi timur terdapat pos penjagaan. Pada dinding penyekat sebelah selatan tergantung lambang kerajaan, '''[[Praja Cihna''']].<ref>Praja Cihna adalah Lambang Kesultanan Yogyakarta. Di bagian atas terdapat Songkok, mahkota Sultan, menggambarkan bentuk Monarki. Di bawah songkok sebelah kanan dan kiri terdapat Sumping, hiasan telinga, yang menggambarkan sifat waspada dan bijaksana. Di sebelah bawahnya terdapat sepasang sayap mengapit tulisan Ha Ba, singkatan dari Hamengku Buwono yaitu dinasti yang memerintah, dalam aksara Jawa.</ref>.
[[Berkas:Jogja.kraton.jpg|jmpl|240px|Gedhong Kaca, Museum Hamengku Buwono IX Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat]]
 
Kompleks kedhaton merupakan inti dari Keraton seluruhnya. Halamannya kebanyakan dirindangi oleh pohon '''Sawo kecik''' (''Manilkara kauki''; famili ''Sapotaceae''). Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian halaman (''quarter''). Bagian pertama adalah ''Pelataran Kedhaton'' dan merupakan bagian Sultan. Bagian selanjutnya adalah ''Keputren'' yang merupakan bagian istri (para istri) dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah ''Kesatriyan'', merupakan bagian putra-putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat.
Baris 141 ⟶ 167:
Di bagian Pelataran Kedhaton, ''Bangsal Kencono'' (''Golden Pavilion'') yang menghadap ke timur merupakan balairung utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat ''Tratag Bangsal Kencana'' yang dahulu digunakan untuk latihan menari. Di sebelah barat bangsal Kencana terdapat ''nDalem Ageng Proboyakso '' yang menghadap ke selatan. Bangunan yang berdinding kayu ini merupakan pusat dari Istana secara keseluruhan. Di dalamnya disemayamkan Pusaka Kerajaan (''Royal Heirlooms''), Takhta Sultan, dan Lambang-lambang Kerajaan (''Regalia'') lainnya.
 
Di sebelah utara nDalem Ageng Proboyakso berdiri ''Gedhong Jene'' (''The Yellow House'') sebuah bangunan tempat tinggal resmi (''official residence'') Sultan yang bertahta. Bangunan yang didominasi warna kuning pada pintu dan tiangnya dipergunakan sampai [[Hamengkubuwono IX|Sultan HB IX]]. Oleh [[Hamengkubuwono X|Sultan HB X]] tempat yang menghadap arah timur ini dijadikan sebagai kantor pribadi. Sedangkan Sultan sendiri bertempat tinggal di ''Keraton Kilen''.<ref>Kraton Kilen bermakna Istana Barat</ref>. Di sebelah timur laut Gedhong Jene berdiri satu-satunya bangunan bertingkat di dalam keraton, ''Gedhong Purworetno''. Bangunan ini didirikan oleh [[Hamengkubuwono V|Sultan HB V]] dan menjadi kantor resmi Sultan. Gedung ini menghadap ke arah bangsal Kencana di sebelah selatannya.
 
Di selatan bangsal Kencana berdiri ''Bangsal Manis'' menghadap ke arah timur. Bangunan ini dipergunakan sebagai tempat perjamuan resmi kerajaan. Sekarang tempat ini digunakan untuk membersihkan pusaka kerajaan pada bulan ''Suro''.<ref>Suro adalah bulan pertama dalam kalender [[Jawa]]</ref>. Bangunan lain di bagian ini adalah ''Bangsal Kotak'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai tempat menunggu para penari untuk pentas di bangsal Kencana</ref>, ''Bangsal Mandalasana'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai tempat ''abdi-Dalem Musikan'' memainkan ansambel musik diatonis, misalnya Wilhelmus van Nassau, lagu kebangsaan Kerajaan Belanda</ref>, ''Gedhong Patehan'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai tempat mempersiapkan minuman teh</ref>, ''Gedhong Danartapura'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai kantor Bendahara</ref>, ''Gedhong Siliran'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan lampu/lentera</ref>, ''Gedhong Sarangbaya'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai tempat menyimpan peralatan makan dan minum</ref>, ''Gedhong Gangsa'',<ref>Bangunan yang digunakan sebagai tempat memainkan orkestra gamelan, misalnya Gendhing Monggang, suatu hymne khusus bagi Sultan</ref>, dan lain sebagainya. Di tempat ini pula sekarang berdiri bangunan baru, ''Gedhong Kaca'' sebagai museum [[Hamengkubuwono IX|Sultan HB IX]].
 
''Keputren'' merupakan tempat tinggal [[Permaisuri]] dan [[Selir]] raja. Di tempat yang memiliki tempat khusus untuk beribadat<ref>Masjid Keputren</ref> pada zamannya tinggal para puteri raja yang belum menikah. Tempat ini merupakan kawasan tertutup sejak pertama kali didirikan hingga sekarang. ''Kesatriyan'' pada zamannya digunakan sebagai tempat tinggal para putera raja yang belum menikah. Bangunan utamanya adalah ''Pendapa Kesatriyan'', ''Gedhong Pringgandani'', dan ''Gedhong Srikaton''. Bagian Kesatriyan ini sekarang dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan even pariwisata. Di antara Plataran Kedhaton dan Kesatriyan dahulu merupakan istal kuda yang dikendarai oleh Sultan.<ref name="ReferenceB"/>
 
=== Kamagangan ===
Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat ''Regol Kamagangan'' yang menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta.<ref>Tahun 1682 dalam perhitungan Kalender Jawa atau tahun 1756 menurut Kalender Gregorian</ref>. Di sisi selatannya pun terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang sama.{{Butuh rujukan}}
 
Dahulu kompleks Kemagangan digunakan untuk penerimaan calon pegawai (''abdi-Dalem Magang''), tempat berlatih dan ujian serta apel kesetiaan para abdi-Dalem magang. ''Bangsal Magangan'' yang terletak di tengah halaman besar digunakan sebagai tempat upacara ''Bedhol Songsong'', pertunjukan wayang kulit yang menandai selesainya seluruh prosesi ritual di Keraton.{{Butuh rujukan}}
 
Bangunan ''Pawon Ageng'' (dapur istana) ''Sekul Langgen'' berada di sisi timur dan ''Pawon Ageng Gebulen'' berada di sisi barat. Kedua nama tersebut mengacu pada jenis masakan nasi ''Langgi'' dan nasi ''Gebuli''. Di sudut tenggara dan barat daya terdapat ''Panti Pareden''. Kedua tempat ini digunakan untuk membuat ''Pareden/Gunungan'' pada saat menjelang ''Upacara Garebeg''. Di sisi timur dan barat terdapat gapura yang masing-masing merupakan pintu ke jalan Suryoputran dan jalan Magangan.{{Butuh rujukan}}
 
Di sisi selatan halaman besar terdapat sebuah jalan yang menghubungkan kompleks Kamagangan dengan ''Regol Gadhung Mlati''. Dahulu di bagian pertengahan terdapat jembatan gantung yang melintasi kanal ''Taman sari'' yang menghubungkan dua danau buatan di barat dan timur kompleks Taman Sari. Di sebelah barat tempat ini terdapat dermaga kecil yang digunakan oleh Sultan untuk berperahu melintasi kanal dan berkunjung ke Taman Sari.<ref>Murdani Hadiatmadja, Chamamah Soeratno et. al.</ref>
Baris 162 ⟶ 188:
=== Siti Hinggil Kidul ===
 
Arti dari Siti Hinggil yaitu tanah yang tinggi, siti: tanah dan hinggil: tinggi. Siti Hinggil Kidul atau yang sekarang dikenal dengan ''Sasana Hinggil Dwi Abad'' terletak di sebelah utara alun-alun Kidul. Luas kompleks Siti Hinggil Kidul kurang lebih 500 meter persegi. Permukaan tanah pada bangunan ini ditinggikan sekitar 150&nbsp;cm dari permukaan tanah di sekitarnya.<ref name="Tulisan awal"/>. Sisi timur-utara-barat dari kompleks ini terdapat jalan kecil yang disebut dengan ''Pamengkang'', tempat orang berlalu lalang setiap hari. Dahulu di tengah Siti Hinggil terdapat pendapa sederhana yang kemudian dipugar pada [[1956]] menjadi sebuah Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai tanda peringatan 200 tahun [[kota Yogyakarta]].
 
Siti Hinggil Kidul digunakan pada zaman dulu oleh Sultan untuk menyaksikan para prajurit keraton yang sedang melakukan gladi bersih upacara Garebeg, tempat menyaksikan adu manusia dengan macan (''rampogan'')<ref name="Tulisan awal"/> dan untuk berlatih prajurit perempuan, ''Langen Kusumo''. Tempat ini pula menjadi awal prosesi perjalanan panjang upacara pemakaman Sultan yang mangkat ke Imogiri. Sekarang, Siti Hinggil Kidul digunakan untuk mempergelarkan seni pertunjukan untuk umum khususnya wayang kulit, pameran, dan sebagainya.<ref>Murdani Hadiatmadja</ref>
Baris 170 ⟶ 196:
=== Alun-alun Kidul ===
 
Alun-alun Kidul (Selatan) ([[Hanacaraka]]: {{jav|ꦄꦭꦸꦤ꧀​ꦄꦭꦸꦤ꧀​ꦏꦶꦢꦸꦭ꧀ꦄꦭꦸꦤ꧀ꦄꦭꦸꦤ꧀ꦏꦶꦢꦸꦭ꧀}}) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai ''Pengkeran''. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari ''mburi'' (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ''ngGajahan'' sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (''Mangifera indica''; famili ''Anacardiaceae''), pakel (''Mangifera sp''; famili ''Anacardiaceae''), dan kuini (''Mangifera odoranta''; famili ''Anacardiaceae''). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan ''Supit Urang'' (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan ''Wok''(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan ''Gading'' yang menghubungkan dengan ''Plengkung Nirbaya''.<ref>Murdani Hadiatmadja dan on location.</ref>
 
=== Plengkung Nirbaya ===
 
Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama keraton. Dari tempat ini Sultan HB I masuk ke Keraton Yogyakarta pada saat perpindahan pusat pemerintahan dari ''Kedhaton Ambar Ketawang''.<ref>Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media) (?).</ref>. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.{{Butuh rujukan}}
 
== Bagian lain Keraton ==
Baris 180 ⟶ 206:
=== Pracimosono ===
 
'''Kompleks Pracimosono''' merupakanadalah bagian keraton yang diperuntukkan bagi para prajurit keraton. Sebelum bertugas dalam upacara adat para prajurit keraton tersebut mempersiapkan diri di tempat ini. Kompleks yang tertutup untuk umum ini terletak di sebelah barat Pagelaran dan Siti Hinggil Lor.<ref name="On location">On location</ref>
 
=== Roto Wijayan ===
{{Utama|Museum Wahanarata}}
[[Berkas:Museum Kereta Keraton.jpg|jmpl|300px|Museum Kareta Karaton|pra=Special:FilePath/Museum_Kereta_Keraton.jpg]]
'''Kompleks Roto Wijayan''' merupakanadalah bagian keraton untuk menyimpan dan memelihara kereta kuda. Tempat ini mungkin dapat disebut sebagai garasi istana. Sekarang kompleks Roto Wijayan menjadi ''[[Museum Wahanarata|Museum Kereta Keraton'' Wahanarata]]. Di kompleks ini masih disimpan berbagai kereta kerajaan yang dahulu digunakan sebagai kendaraan resmi. Beberapa di antaranya ialah '' KNy Jimat'', ''KK Garuda Yaksa'', dan ''Kyai Rata Pralaya''. Tempat ini dapat dikunjungi oleh wisatawan.<ref name="On location" />
 
=== Kawasan tertutup ===
 
'''Kompleks Tamanan''' merupakanadalah kompleks taman yang berada di barat laut kompleks Kedhaton tempat di mana keluarga kerajaan dan tamu kerajaan berjalan-jalan. Kompleks ini tertutup untuk umum. '''Kompleks Panepen''' merupakanadalah sebuah masjid yang digunakan oleh Sultan dan keluarga kerajaan sebagai tempat melaksanakan ibadah sehari-hari dan tempat Nenepi (sejenis meditasi). Tempat ini juga dipergunakan sebagai tempat akad nikah bagi keluarga Sultan.<ref>Cerita rakyat</ref>. Lokasi ini tertutup untuk umum. '''Kompleks Kraton Kilen''' dibangun semasa [[Hamengkubuwono VII|Sultan HB VII]]. Lokasi yang berada di sebelah barat Keputren menjadi tempat kediaman resmi [[Hamengkubuwono X|Sultan HB X]] dan keluarganya. Lokasi ini tertutup untuk umum.<ref name="Chamamah Soeratno et. al">Chamamah Soeratno et. al.</ref>
 
=== Taman Sari ===
Baris 200 ⟶ 226:
=== Kadipaten ===
 
'''Kompleks nDalem Mangkubumen''' merupakanadalah Istana Putra Mahkota atau dikenal dengan nama Kadipaten (berasal dari gelar Putra Mahkota: "Pangeran Adipati Anom". Tempat ini terletak di Kampung Kadipaten sebelah barat laut Taman Sari dan Pasar Ngasem. Sekarang kompleks ini digunakan sebagai kampus '''Univ Widya Mataram'''. Sebelum menempati nDalem Mangkubumen, Istana Putra Mahkota berada di '''Sawojajar''', sebelah selatan ''Gerbang Lengkung/Plengkung Tarunasura'' (Wijilan). Sisa-sisa yang ada antara lain berupa ''Masjid Selo'' yang dulu berada di Sawojajar.<ref name="ReferenceC">Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media)</ref>
 
=== Benteng Baluwerti ===
{{Utama|Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta}}
'''Benteng Baluwerti Keraton Yogyakarta''' merupakanadalah sebuah dinding yang melingkungi kawasan Keraton Yogyakarta dan sekitarnya. Dinding ini didirikan atas prakarsa Sultan [[Hamengkubuwono II|HB II]] ketika masih menjadi putra mahkota pada tahun [[1785]]-[[1787]]. Bangunan ini kemudian diperkuat lagi sekitar [[1809]] ketika dia telah menjabat sebagai Sultan. Benteng ini memiliki ketebalan sekitar 3 meter dan tinggi sekitar 3-4 meter. Untuk masuk ke dalam area benteng tersedia lima buah pintu gerbang lengkung yang disebut dengan ''Plengkung'', dua di antaranya hingga kini masih dapat disaksikan. Sebagai pertahanan di keempat sudutnya didirikan bastion, tiga di antaranya masih dapat dilihat hingga kini.<ref>On location dan Murdani Hadiatmadja</ref>
 
== Bagian lain yang terkait ==
 
Keraton Yogyakarta juga mempunyai bangunan-bangunan yang berada di luar lingkungan Keraton itu sendiri. Bangunan-bangunan tersebut memiliki kaitan yang erat dan boleh jadi merupakan bagian yang tidak terpisahkan.[[Butuh rujukan]]
 
=== Tugu Golong Gilig ===
Baris 221 ⟶ 248:
=== Kepatihan ===
 
nDalem Kepatihan merupakan tempat kediaman resmi (''Official residence'') sekaligus kantor ''Pepatih Dalem''. Di tempat inilah pada zamannya diselenggarakan kegiatan pemerintahan sehari-hari kerajaan. Sejak tahun 1945 kantor Perdana Menteri Kesultanan Yogyakarta ini menjadi kompleks kantor Gubernur/Kepala Daerah Istimewa dan PemProvPemerintah DIY. Selain Pendopo Kepatihan, sisa bangunan lama tempat ini juga dapat dilihat pada Gedhong Wilis (kantor gubernur), Gedhong Bale Mangu (dulu digunakan sebagai gedung pengadilan Bale Mangu, sebuah badan peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam lingkungan peradilan umum), dan Masjid Kepatihan. Sekarang tempat ini memiliki pintu utama di Jalan Malioboro.<ref>Chamamah Soeratno et. al. dan sebagian kecil dari on location</ref>
 
=== Pathok Negoro ===
Baris 249 ⟶ 276:
'''Gunungan pawohan'''<ref>Pawohan berasal dari kata “uwoh” yang berarti buah.</ref> terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari daun kelapa muda (''Janur'') yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. '''Gunungan gepak''' berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar. '''Gunungan dharat''' juga berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. '''Gunungan kutug/bromo''' memiliki bentuk khas karena secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
 
Pada '''Garebeg Sawal''' Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Masjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat [[PakuPura Alaman|Puro Paku AlamanPakualaman]]. Pada '''garebeg Besar''' Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada '''garebeg Mulud/Sekaten''' Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada '''tahun Dal''', maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.<ref>Sebagian besar bagian ini diambil dari pranala luar: Gunungan Ciri Khas Upacara Garebeg, cerita rakyat, dan on location</ref>
 
=== Sekaten ===
Baris 255 ⟶ 282:
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran [[Nabi Muhammad]]. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama [[Islam]], Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, ''KK Guntur Madu'' dan ''KK Nagawilaga'', dari keraton untuk ditempatkan di ''Pagongan'' Selatan dan Utara di depan ''Masjid Gedhe''. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ''ditabuh'') secara bergantian menandai perayaan sekaten.
 
Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang dia tunjuk, melakukan '''upacara Udhik-Udhik''', tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil dia masuk ke Masjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten ''Sego Gurih'' (sejenis nasi uduk) dan ''Endhog Abang'' (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (''Michelia alba''; famili ''Magnoliaceae''). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.<ref>Cerita rakyat dan on location</ref>
 
Khusus pada tahun Dal, prosesi pada malam sekaten ditambah dengan tradisi ''njejak beteng'' atau ''njejak banon''. Dalam tradisi ini, Sultan tidak keluar melewati regol Masjid setelah acara selesai, melainkan melewati jalan lain untuk ''njejak'' atau menjebol sebuah tembok. Tradisi tersebut diilhami oleh kisah Sultan Hamengkubuwana II yang tidak bisa keluar melalui pintu gerbang utama pada peristiwa [[Geger Sepoy]], sehingga untuk meloloskan diri kemudian menuju arah selatan dengan cara menjebol beteng. Konon, peristiwa yang menimpa Sultan Hamengkubuwana II tersebut terjadi pada bulan Maulud.<ref>Cerita rakyat dan on location</ref>
 
=== Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan ===
Baris 271 ⟶ 300:
== Pusaka kerajaan ==
 
Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai ''Kagungan Dalem'' (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah.<ref name="Chamamah Soeratno et. al"/>.
 
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan ''trah'', dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri.<ref name="Chamamah Soeratno et. al"/>.
 
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah ''Kyai Permili'', sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut ''abdi-Dalem Manggung'' yang membawa ''Regalia''. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (''Sultan’s property'') dalam jabatannya diberi gelar ''Kyai'' (K) jika bersifat maskulin atau ''Nyai'' (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari [[Palembang]], yang berada di Pemakaman Raja-raja di [[Imogiri]].
 
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar ''Kangjeng'' sehingga selengkapnya bergelar ''Kangjeng Kyai'' (KK) atau ''Kangjeng Nyai'' (KNy). Sebagai contoh adalah ''Kangjeng Nyai Jimat'', sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh [[Hamengkubuwono I|Sultan HB I]] - [[Hamengkubuwono IV|Sultan HB IV]] sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran resmi [[Presiden]] [[Indonesia]]) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.<ref>Keterangan derajat kehormatan dan kepemilikan pusaka dalam paragraf ini dan dua paragraf berikutnya diterangkan sendiri oleh Sultan HB X dalam acara ''Jemparing'' yang pernah ditayangkan oleh [[TVRI Yogyakarta|TVRI Stasiun Yogyakarta]]. Contoh dan keterangan lanjut dikembangkan penyusun/editor dengan analogi nama masing-masing pusaka dan kegunaannya</ref>
 
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar ''Ageng'' sehingga selengkapnya bergelar ''Kangjeng Kyai Ageng'' (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah ''KKA Pleret'', sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh [[Danang Sutawijaya|Panembahan Senopati]] untuk membunuh '''Arya Penangsang'''. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Baris 311 ⟶ 340:
=== Gamelan ===
 
Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada [[pentatonis]] dalam sistem skala ''slendro'' dan sistem skala ''pelog''. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 di antaranya digunakan sedangkan sisanya (''KK Bremara'' dan ''KK Panji'') dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum [[Perjanjian Giyanti]] dan lima belas sisanya berasal dari zaman [[Kesultanan Yogyakarta]]. Tiga gamelan tersebut adalah '''gamelan monggang''' yang bernama ''KK Guntur Laut'', '''gamelan kodhok ngorek''' yang bernama ''KK Maeso Ganggang'', dan gamelan sekati yang bernama ''KK Guntur Madu'' dan ''KK Naga Wilaga''. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
 
Gamelan monggang ''KK Guntur Laut'' konon berasal dari zaman [[Majapahit]]. Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala ''slendro''. Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan [[Pangeran Mangkubumi|Sri Sultan Hamengkubuwono I]] pada penandatanganan Perjanjian Giyanti pada tahun [[1755]].
Baris 331 ⟶ 360:
=== Tanda jabatan ===
 
Beberapa pusaka, khususnya keris, juga digunakan sebagai penanda/simbol jabatan orang yang memakainya. Sebagai contoh adalah keris '''KKA Kopek'''. Keris utama Keraton Yogyakarta ini merupakan keris yang hanya diperkenankan untuk dipakai Sultan yang sedang bertahta yang melambangkan martabatnya sebagai pemimpin spiritual sebagaimana dia menjadi kepala kerajaan. Keris '''KK Joko Piturun''' merupakanadalah keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada ''Pangeran Adipati Anom'', Putra Mahkota Kerajaan, sebagai tanda jabatannya. Keris '''KK Toyatinaban''' merupakanadalah keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada ''Gusti Pangeran Harya Hangabehi'', putra tertua Sultan, sebagai lambang kedudukannya selaku Kepala ''Parentah Hageng Karaton'' (Lembaga Istana). Keris '''KK Purboniyat''' merupakanadalah keris yang dipinjamkan oleh Sultan kepada ''Kangjeng Pangeran (h)Adipati (h)Aryo Danurejo'', sebagai simbol jabatannya sebagai Pepatih Dalem.<ref name="Chamamah Soeratno et. al"/>
 
== Pemangku adat Yogyakarta ==
Baris 350 ⟶ 379:
{{unreferenced section|date=Oktober 2018}}
{{utama|Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat}}
Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun 1755Masehi1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebutsudahtersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam. SelamakurangSelama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, initerbuktiini terbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjatamenghadapibersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengkubuwono II hebat sekali. Namun semenjak masa PemerintahanHamengkubuwonoPemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perangKasultananperang Kasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatanganiolehditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa KesultananYogyakartaKesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Di bawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, keraton hanya boleh memilikikesatuanmemiliki kesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personel. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton.Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan- pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahanHamengkubuwonopemerintahan Hamengkubuwono VII sampai dengan masa pemerintahan HamengkubuwonoVIIIHamengkubuwono VIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kratonyang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.
Prajurit Bugis Prajurit Daeng Prajurit JogokaryoPrajuritJogokaryo Prajurit Ketanggung Prajurit MantrijeroPrajuritMantrijero Prajurit Nyutro Prajurit Patangpuluh Prajurit PrawirotomoPrajuritPrawirotomo Prajurit Surokarso Prajurit Wirobrojo
 
=== Prajurit Kraton Yogyakarta ===
Baris 360 ⟶ 389:
== Filosofi dan mitologi seputar Keraton ==
 
Keraton Yogyakarta atau dalam bahasa aslinya ''Karaton Kasultanan Ngayogyakarta'' merupakan tempat tinggal resmi para Sultan yang bertahta di Kesultanan Yogyakarta. Karaton artinya tempat di mana "Ratu" (bahasa Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja) bersemayam. Dalam kata lain Keraton/Karaton (bentuk singkat dari Ke-ratu-an/Ka-ratu-an) merupakan tempat kediaman resmi/Istana para Raja. Artinya yang sama juga ditunjukkan dengan kata ''Kedaton''. Kata Kedaton (bentuk singkat dari Ke-datu-an/Ka-datu-an) berasal dari kata "Datu" yang dalam bahasa Indonesia berarti Raja. Dalam pembelajaran tentang budaya [[Jawa]], arti ini mempunyai arti [[filosofis]] yang sangat dalam.<ref>Sebagian diambil dari Murdani Hadiatmaja.</ref>.
 
Keraton Yogyakarta tidak didirikan begitu saja. Banyak arti dan makna filosofis yang terdapat di seputar dan sekitar keraton. Selain itu istana Sultan Yogyakarta ini juga diselubungi oleh mitos dan mistik yang begitu kental. Filosofi dan mitologi tersebut tidak dapat dipisahkan dan merupakan dua sisi dari sebuah mata uang yang bernama keraton. Penataan tata ruang keraton, termasuk pula pola dasar ''landscape'' kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur dan arah hadap bangunan, benda-benda tertentu dan lain sebagainya masing-masing memiliki nilai filosofi dan/atau mitologinya sendiri-sendiri.
 
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak serta diapit oleh S. Winongo di sisi barat dan S. Code di sisi timur. Jalan P. Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan Jend. A. Yani (dulu Margomulyo) merupakan sebuah ''boulevard'' lurus dari Tugu menuju Keraton. Jalan D.I. Panjaitan (dulu Ngadinegaran) merupakan sebuah jalan yang lurus keluar dari Keraton melalui ''Plengkung Nirboyo'' menuju Panggung Krapyak. Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu, Keraton, dan Panggung Krapyak berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna "sangkan paraning dumadi" yaitu asal mula manusia dan tujuan asasi terakhirnya.<ref>Sebagian diambil dari Pocung episode Wewangunan Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat (Media)</ref>.
 
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "sangkan" asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat dilihat dari kampung di sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung ''Mijen'' (berasal dari kata "wiji" yang berarti benih). Di sepanjang jalan D.I. Panjaitan ditanami pohon asam (''Tamarindus indica) ''dan tanjung (''Mimusops elengi'') yang melambangkan masa anak-anak menuju remaja. Dari Tugu menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan "paran" tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (''seven step to heaven'').<ref name="ReferenceC"/>.
 
Tugu golong gilig (tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi simbol "manunggaling kawulo gusti" bersatunya antara raja (''golong'') dan rakyat (''gilig''). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan). ''Sri Manganti'' berarti Raja sedang menanti atau menanti sang Raja.
Baris 372 ⟶ 401:
Pintu Gerbang Donopratopo berarti "seseorang yang baik selalu memberikan kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu". Dua patung raksasa ''Dwarapala'' yang terdapat di samping gerbang, yang satu, ''Balabuta'', menggambarkan kejahatan dan yang lain, ''Cinkarabala'', menggambarkan kebaikan. Hal ini berarti "Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat".
 
Beberapa pohon yang ada di halaman kompleks keraton juga mengandung makna tertentu. Pohon beringin (''Ficus benjamina''; famili ''Moraceae'') di Alun-alun utara berjumlah 64 (atau 63) yang melambangkan usia Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di tengah Alun-alun Utara menjadi lambang makrokosmos (K. Dewodaru, dewo=Tuhan) dan mikrokosmos (K. Janadaru, jana=manusia). Selain itu ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara Sultan dan Pencipta sedangkan Janadaru adalah lambang persatuan Sultan dengan rakyatnya. Pohon gayam (''Inocarpus edulis/Inocarpus fagiferus''; famili ''Papilionaceae'')bermakna "ayem" (damai,tenang,bahagia) maupun "gayuh" (cita-cita). Pohon sawo kecik (''Manilkara kauki''; famili ''Sapotaceae'') bermakna "sarwo becik" (keadaan serba baik, penuh kebaikan).<ref>Murdani Hadiatmaja</ref>.
 
Dalam upacara garebeg, sebagian masyarakat mempercayai apabila mereka mendapatkan bagian dari gunungan yang diperebutkan mereka akan mendapat tuah tertentu seperti kesuburan tanah dan panen melimpah bagi para petani. Selain itu saat upacara sekaten sebagian masyarakat mempercayai jika mengunyah sirih pinang saat gamelan sekati dimainkan/dibunyikan akan mendapat tuah awet muda. Air sisa yang digunakan untuk membersihkan pusaka pun juga dipercaya sebagian masyarakat memiliki tuah. Mereka rela berdesak-desakan sekadar untuk memperoleh air keramat tersebut.
Baris 398 ⟶ 427:
 
{{Topik Yogyakarta}}
{{Istana di Indonesia}}
{{Museum terkenal di Indonesia|state=collapsed}}
{{Situs Warisan Dunia di Indonesia}}
{{Authority control}}
 
[[Kategori:KasultananKeraton YogyakartaNgayogyakarta Hadiningrat| ]]
[[Kategori:Tempat wisata di Yogyakarta]]
[[Kategori:Budaya Jawa]]
[[Kategori:Istana]]
[[Kategori:Istana di Indonesia|Keraton Ngayogyakarta]]
[[Kategori:Arsitektur Indonesia]]
[[Kategori:Kota Yogyakarta]]
Baris 409 ⟶ 442:
[[Kategori:Arsitektur Islam di Indonesia]]
[[Kategori:Bangunan bersejarah di Yogyakarta]]
[[Kategori:Cagar budaya di Yogyakarta]]
[[Kategori:Keraton]]