Kesultanan Buton: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 1 as dead.) #IABot (v2.0.8
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: gambar rusak VisualEditor
 
(45 revisi perantara oleh 19 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
{{refimprove}}
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kesultanan Buton
| common_name = Buton
|continent religion = Asia[[Islam]]
| p1 = Majapahit
|region = Asia Tenggara
|country p2 = IndonesiaKesultanan Melaka
|religion s1 = [[Islam]]Indonesia
|p1 flag_p1 = Majapahit fictitious = Majapahitflag.svg
|p2 flag_s1 = Kesultanan MelakaFlag_of_Indonesia.svg
|s1 year_start = Indonesia1332
|flag_p1 year_end = Flag of Majapahit.png1960
|flag_s1 date_start = Flag_of_Indonesia.svg
|year_start date_end = 1332
|year_end event_start = 1960Didirikan
|date_start event_end = Bergabung Dengan [[Indonesia]]
|date_end image_flag = Longa-longa Bendera Kesultanan Buton.jpg
|event_start image_coat =
|event_end symbol_type =
|image_flag image_map = Longa-longa Bendera Kesultanan = Buton Topography.jpgpng
|image_coat image_map_caption = Wilayah Kekuasaan Buton
|symbol_type capital = [[Kota Baubau|Baubau]]
| common_languages = {{bulleted list|[[Bahasa Wolio|Wolio]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Cia-cia|Cia-cia]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Kulisusu|Kulisusu]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Tukang Besi|Kaumbeda]],{{butuh rujukan}}|[[Bahasa Moronene|Moronene]],{{butuh rujukan}} dan|[[Bahasa Muna|Muna]]{{butuh rujukan}}}}
|image_map = Peta Kesultanan Buton.jpg
| government_type = [[Kesultanan]]
|image_map_caption = Wilayah Kekuasaan Buton
| title_leader = Sultan (''Yang Mulia Mahaguru'')<br>Sara Pangka (Eksekutif),<br> Sara Gau (Legislatif),<br> Sara Bitara (Yudikatif)
|capital = [[Kota Baubau|Baubau]]
| currency =
|common_languages = [[Bahasa Wolio|Wolio]], [[Bahasa Cia-cia|Cia-cia]], [[Bahasa Tukang Besi|Kaumbeda]], [[Bahasa Moronene|Moronene]] dan [[Bahasa Muna|Pancana]]
|government_type footnotes =
| p3 = Kesultanan Gowa
|title_leader = Sara Pangka (Eksekutif), Sara Gau (Legislatif), Sara Bitara (Yudikatif), Sultan
|currency flag_p3 = Flag_of_the_Sultanate_of_Gowa.svg
|footnotes =
}}
 
Baris 38 ⟶ 37:
'''[[Kesultanan]] [[Buton]]''' terletak di Kepulauan [[Buton]] (Kepulauan Sulawesi Tenggara) [[Provinsi]] [[Sulawesi tenggara]], di bagian tenggara Pulau [[Sulawesi]].<!-- dahulu Celebes --> Pada zaman dahulu memiliki [[kerajaan]] sendiri yang bernama [[kerajaan]] [[Buton]] dan berubah menjadi bentuk [[kesultanan]] yang dikenal dengan nama [[Kesultanan]] [[Buton]]. Nama Pulau [[Buton]] dikenal sejak zaman pemerintahan [[Majapahit]], Patih [[Gajah Mada]] dalam [[Sumpah Palapa]], menyebut nama Pulau [[Buton]].
 
== Sejarah Awal ==
{{main|Sejarah Buton (Wolio)}}
=== Sejarah Awal ===
Kerajaan [[Buton]] awalnya terdiri dari perkampungan kecil yang dinamakan '''Wolio''' (saat ini berada dalam wilayah [[Kota Bau-Bau]]) yang dipimpin dengan sistem pemerintahan tradisional dan berbentuk 4 ''Limbo'' (Empat Wilayah Kecil) yaitu ''Gundu-gundu, Barangkatopa, Peropa'' dan ''Baluwu'' yang masing-masing wilayah dipimpin oleh seorang ''Bonto'' sehingga lebih dikenal dengan ''Patalimbona''. Pemerintahan ini dirintis oleh kelompok [[Mia Patamiana]] (si empat orang) yaitu ''Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati'' yang oleh sumber lisan mereka berasal dari Semenanjung Tanah [[Melayu]] pada akhir abad ke – 13.<ref name="Pemkot Baubau"/>
 
Keempat orang Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan kecil seperti ''Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga'' dan ''Batauga''. Maka atas jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan [[Wa Kaa Kaa]] (seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan [[Kerajaan Majapahit]]) menjadi Raja I pada tahun [[1332]] setelah mendapat persetujuan dari keempat orang bonto/patalimbona (yang dikemudian hari menjadi lembaga legislatif). [[Mpu Prapanca]] juga menyebut nama Pulau [[Buton]] di dalam naskah [[Kakawin Nagarakretagama]], yang membuktikan adanya hubungan.<ref name="Pemkot Baubau">{{cite web | title=Pemerintah Kota Baubau | website=Selamat datang | url=https://web.baubaukota.go.id/pages_detail/sejarah-kota-baubau | language=id | access-date=2023-11-27}}</ref>
[[Mpu Prapanca]] juga menyebut nama Pulau [[Buton]] di dalam bukunya, [[Kakawin Nagarakretagama]]. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa [[Kerajaan Bone]] di [[Sulawesi]] lebih dulu menerima agama [[Islam]] yang dibawa oleh [[Datuk ri Bandang]] yang berasal dari [[Minangkabau]] sekitar tahun 1605 M.
Sebenarnya [[Sayid Jamaluddin al-Kubra]] lebih dulu sampai di Pulau [[Buton]], yaitu pada tahun 815
H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh [[Raja]] [[Mulae Sangia i-Gola]] dan baginda langsung memeluk [[agama]] [[Islam]]. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang dikatakan datang dari [[Johor]]. Ia berhasil mengislamkan [[Raja]] [[Buton]] yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
 
=== Raja Buton Masuk Islam ===
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] di [[Buton]]. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al- Fathani]], diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan [[Kerajaan]] [[Buton]], didapati semua penduduknya beragama [[Islam]].
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa [[Kerajaan Bone]] di [[Sulawesi]] lebih dulu menerima agama [[Islam]] yang dibawa oleh [[Datuk ri Bandang]] yang berasal dari [[Minangkabau]] sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya [[Sayid Jamaluddin al-Kubra]] lebih dulu sampai di Pulau [[Buton]], yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh [[Raja]] [[Mulae Sangia i-Gola]] dan baginda langsung memeluk [[agama]] [[Islam]]. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang dikatakan datang dari [[Johor]]. Ia berhasil mengislamkan [[Raja]] [[Buton]] yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
 
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] di [[Buton]]. Oleh itu dalam artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang sama dengan kedatangan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al- Fathani]], diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan [[Kerajaan]] [[Buton]], didapati semua penduduknya beragama [[Islam]].<ref>{{Cite book|last=mubarok|first=frenky|date=2023|title=fungsi, jejaring, & budaya naskah nusantara|location=depok|publisher=Manassa|isbn=9786026018267|pages=122|url-status=live}}</ref>
Selain pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Johor]], ada pula pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Ternate]]. Dipercayai orang-orang [[Melayu]] dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau [[Buton]]. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun [[Bahasa]] yang digunakan dalam [[Kerajaan]] [[Buton]] ialah [[bahasa]] [[Wolio]], namun dalam masa yang sama digunakan [[Bahasa]] [[Melayu]], terutama [[bahasa]] [[Melayu]] yang dipakai di [[Malaka]], [[Johor]] dan [[Patani]]. Orang-orang [[Melayu]] tinggal di Pulau [[Buton]], sebaliknya orang-orang [[Buton]] pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang [[Bugis]] juga.
 
Selain pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Johor]], ada pula pendapat yang menyebut bahwa [[Islam]] datang di [[Buton]] berasal dari [[Ternate]]. Dipercayai orang-orang [[Melayu]] dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau [[Buton]]. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun [[Bahasa]] yang digunakan dalam [[Kerajaan]] [[Buton]] ialah [[bahasa]] [[Wolio]], namun dalam masa yang sama digunakan [[Bahasa]] [[Melayu]], terutama [[bahasa]] [[Melayu]] yang dipakai di [[Malaka]], [[Johor]] dan [[Patani]]. Orang-orang [[Melayu]] tinggal di Pulau [[Buton]], sebaliknya orang-orang [[Buton]] pula termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang [[Bugis]] juga. Orang-orang [[Buton]] sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia [[Melayu]] dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
 
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau [[Halu Oleo]]. Bagindalah yang diislamkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang datang dari [[Johor]]. Menurut beberapa riwayat bahwa [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] sebelum sampai di [[Buton]] pernah tinggal di [[Johor]]. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke [[Adonara]]. Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau [[Batu atas]] yang termasuk dalam pemerintahan [[Buton]].
== [[Raja]] [[Buton]] Masuk [[Islam]] ==
[[Kerajaan]] [[Buton]] secara resminya menjadi sebuah [[kerajaan]] [[Islam]] pada masa pemerintahan [[Raja]] [[Buton]] ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau [[Halu Oleo]]. Bagindalah yang diislamkan oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] yang datang dari [[Johor]]. Menurut beberapa riwayat bahwa [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] sebelum sampai di [[Buton]] pernah tinggal di [[Johor]]. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara ([[Nusa Tenggara Timur]]). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau [[Batu atas]] yang termasuk dalam pemerintahan [[Buton]].
[[Berkas:Rajaterakhir4.jpg|jmpl|300px|Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama [[Soekarno]]]]
Di Pulau [[Batu atas]], [[Buton]], [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] bertemu [[Imam Pasai]] yang kembali dari [[Maluku]] menuju [[Pasai]] ([[Aceh]]). [[Imam Pasai]] menganjurkan [[Syeikh Abdul Wahid]] bin [[Syarif Sulaiman al-Fathani]] pergi ke [[Pulau Buton]], menghadap Raja [[Buton]]. [[Syeikh Abdul Wahid]] setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah [[Raja]] [[Buton]] memeluk [[Islam]], Baginda langsung ditabalkan menjadi [[Sultan Buton]] oleh [[Syeikh Abdul Wahid]] pada tahun 948 H/1538 M.
Baris 57:
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa [[Syeikh Abdul Wahid]] merantau dari Patani-Johor ke [[Buton]] pada tahun 1564 M. Sultan [[Halu Oleo]] dianggap sebagai [[Sultan]] [[Buton]] pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu [[Sultan]] [[Qaimuddin]]. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama [[Islam]].
 
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawabahwa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
 
Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan BaruPekanbaru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
# Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
# Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
# Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
 
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul [[Kabanti]] Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawabahwa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawabahwa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah.
[[Berkas:Kesultanan Buton.jpg|jmpl|300px]]
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, tampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
 
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawabahwa ``Kedatangankedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama''. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
 
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja ataupun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
 
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara [[Patani]] dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawabahwa orang Buton sembahyang JumaatJum'at di Ternate.
 
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan [[Martabat Tujuh]]. Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun ajaran syariat tidak diabaikan.
 
Semua perundanganperundang-undangan ditulis dalam bahasa[[Bahasa WalioWolio]] menggunakan [[huruf Arab]], yang dinamakan Buru[[Buri Wolio]] seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakanmenuliskan bahasa Melayu tulisanmenggunakan [[Abjad Arab-Melayu/Jawi]]. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundanganperundang-undangan, juga digunakan dalam penulisan salasilahsilsilah kesultanan, naskhahnaskah-naskhahnaskah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
[[Berkas:Bangsawan Buton.jpg|jmpl|300px|Bangsawan Buton]]
 
Baris 98:
# Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
# Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.
 
== Birokrasi Kesultanan ==
Wilayah Kesultanan Buton yang berawal dari empat negeri tersusun dalam suatu sistem tata pemerintahan dimana tiap-tiap wilayah besar dan kecil menempatkan dirinya sesuai dengan sejarah dan tradisinya masing-masing. Wilayah Kesultanan Buton tersebut terdiri atas Wilayah Inti, [[Suku Moronene|Moronene]] dan Barata. Dalam perkembangannya setelah agama Islam menjadi agama resmi bagi masyarakat Kerajaan Buton. Wilayah Kesultanan ya meliputi pulau Buton secara keseluruhan, pulau Muna bagian selatan, kepulauan Tukang Besi, pula Wawonii dan Jazirah Tenggara daratan pulau Sulawesi. Undang-undang "[[Murtabat Tujuh Kesultanan Buton]]" ditetapkan sejak tahun 1610 di masa pemerintahan Sultan Dayanu Iksanuddin (1579- 1631). Undang-undang tersebut mengenal tiga tingkatan pemerintahan.<ref name=":0" />
 
* Pertama: Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio" meliputi tiga unsur yaitu; (1) Sultan, (2) Badan Sarana Wolio yang terdiri atas Pasopitumatana, Siolimbona, Sarana Hukumu dan (3) Staf khusus kesultanan.
* Kedua: Pemerintahan Wilayah "Sarana Kadie" meliputi para Bobato, Bonto, Parabela, Akanamia, Kaosa dan Talombo.
* Keliga: Pemerintahan Barata "Sarana Barata", meliputi Lakina/ Kepala Barata, sapati, Kanepulu, Bonto Ogena, Kapatilau, dan Lakina Agama.
 
Dengan susunan dan tingkatan seperti demikian maka jabatan tertinggi adalah Sultan. Pada tingkat pemerintahan wilayah (Kadie) 27 dipimpin Babato atau Bonto dan pada tingkat pemerintahan Barata dipimpin oleh Lakina Barata.<ref name=":0" />
 
=== Pemerintahan Pusat "Sarana Wolio"<ref name=":0">{{Cite book|last=Zuhdi dkk|first=Susanto|date=1996|url=http://repositori.kemdikbud.go.id/12819/1/Kerajaan%20tradisional%20sulawesi%20tenggara%20kesultanan%20buton.pdf|title=Kerajaan tradisional sulawesi tenggara kesultanan buton|location=Jakarta|publisher=Proyek lnventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional (CV. Defit Prima Karya)|pages=26-32|url-status=live}}</ref> ===
 
# Sultan, adalah kepala Negara yang memimpin pemerintahan, pemimpin umat dan keagamaan yang memegang kebijaksanaan dan keadilan tertinggi. Dalam rangka mengemban tugas yang mengabdi kepada kepentingan dan kemaslahatan rakyat lahir dan bathin. Sultan menjalankan kekuasaan Eksekutif dan Yudikatif.
# Pasopitumatana yang berfungsi sebagai Kabinet Kesultanan yang membantu tugas-tugas Sultan. Dewan Kabinet ini terdiri dari : Sapati, Kenepulu, Kopitalao, Bontoogema, Lakina Sarawalio dan Lakina Ba'adia. Adapun tugas masing-masing pejabat (pangka) ini adalah sebagai berikut :
#* Sapati, adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan (Kaomu), sebagai Ketua Dewan Kabinet atau Perdana menteri yang mengurusi pemerintahan, berfungsi sebagai pelindung Sultan dan rakyat. Dalam melaksanakan tugas bertindak tegas terhadap pelanggar hukum adat.
#* Kanepulu, adalah jabatan yang dipegang oleh golongan bangsawan (Kaomu) dengan tugas utamanya adalah menampung aspirasi rakyat dan diteruskan kepada Dewan Sara, disamping bersama-sama Sapati membantu Sultan.
#* Kapitalao atau Kapitaraja adalah jabatan untuk golongan bangsawan (Kaomu), Kapitalao dipegang dua orang sebagai menteri pertahanan dan panglima perang.
#* Bonto Ogena, jabatan ini untuk golongan Walaka yang terdiri dari dua orang. Dalam Dewan Kabinet Pasopitumatana sebagai lembaga Eksekutif, Bonto Ogena adalah salah satu anggota kabinet. Sedang dalam Dewan Siolimbona sehagai badan Legislatif, Bonto Ogena sebagai Ketua Dewan yang anggotanya adalah manteri-manteri (Bonto Siolimbona). Tugas yang diemban oleh Bonto Ogena dalam pemerintahan kesultanan adalah mengawasi dan mamajukan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan usul serta kehendak rakyat.
#* Lakina Agama (Kadhi) adalah Jabatan untuk golongan bangsawan (Kaomu). Dalam Dewan Kabinet Pasopitumatana ia sebagai anggota, sedangkan dalam Sarana Hukumu (Lembaga Keagamaan) ia sebagai Kepala.
#* Lakina Sarawolio dan Lakina Baadia, (Kepala Wilayah/ Raja Daerah Khusus), adalah jabatan yang diberikan kepada golongan bangsawan (Kaomu), sebagai penguasa daerah khusus ibu kota (Keraton Wolio) bertugas melancarkan pelaksanaan pusat pemerintahan Kesultanan, tugas utamanya adalah mengawasi keamanan dan ketentraman umum.
# Siolimbona; Sio = Sembilan, Limbo= Kampung/kadie. Bonto Siolimbona, adalah sembilan Kepala-Kepala Wilayah pemerintahan Daerah. Siolimbona ini dapat dipandang sebagai Badan Perwakilan Rakyat (Legislatit). Jabatan ini diberikan kepada golongan "Walaka" yang dipimpin oleh Bonto Ogena (Mantri Besar). Siolimbona juga merupakan Dewan Sarana Wolio atau dewan kesultanan.
# Sarana Hukumu; adalah hadan yang bertugas mengurusi dan mengawasi masalah-masalah yang berhuhungan dengan pelaksanaan ajaran Islam dan masalah-masalah ibadah. Badan Sarana Hukumu ini dipimpin oleh Lakina Agama.
# Staf khusus kesultanan.
#* Bantoynunca atau Staf Istana
#* Bontona Lencina Kanjawari, selaku staf khusus yang berkaitan dengan tugas-tugas tertentu.
#* Staf lainnya seperti Juru Basa (juru bahasa), Sabandara, Talombo, dan Pangalasa
 
=== Pemerintahan Wilayah "Sarana Kadie" ===
Pemerintahan kadie adalah bagian wilayah yang mempunyai hukum adat dan majelis sendiri yang disebut "Sarana kadie". Kedudukannya dalam organisasi pemerintahan adalah wilayah-wilayah yang terdiri dari 72 Kadie yang mempunyai hukum adat. hak atas tanah dalam wilayahnya masing-masing, penggunaannya atas dasar hak pakai. Pemerintahan kadie juga diberi kekuasaan penuh oleh pemerintah pusat mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaannya, berkewajiban mengatur penggunaan tanah. menguasai hutan dan pengambilan hasil hutan.
 
=== Pemerintahan Barata "Sarana Barata" ===
Penjelasan mengenai Sarana Barata akan dikemukakan secara khusus dalam [[4 Barata Kesultanan Buton]] sebagai sistem pemerintahan dan pertahanan.
 
== Politik ==
 
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan [[Majapahit]], [[Kedatuan Luwu|Luwu]], [[Kerajaan Konawe|Konaw]]<nowiki/>e, dan [[Kerajaan Muna|Muna]]. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan [[uang]] yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem [[Desentralisasi]] (otonomio[[Daerah otonom|tonomi daerah]]) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
 
== Masyarakat ==
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolahmemperoleh dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
 
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu sering kali memunculkan konflik yang berujung kepada [[perang saudara]], bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
 
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari [[Kerajaan Pagaruyung]]. Ada pula yang berasal dari [[Jawa]] yaitu Sri Batara dan [[Raden Jutubun]] yang merupakan putra dari [[Jayanagara|Jayanegara]].
 
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
 
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak [[Gajah Mada]] mengumumkan [[Sumpah Palapa|sumpah palapa]]-nya. Pada masa itu [[Sriwijaya|Kerajaan Sriwijaya]] mengalami kemunduran. Begitu juga [[Kerajaan Singasari|Kerajaan Singosari]]. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
 
== Perekonomian ==
Baris 124 ⟶ 156:
== Bahasa ==
 
Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat yakni Bahasa PancanaMuna, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa KolencusuKulisusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.
 
== Bidang Pertahanan ==
Baris 139 ⟶ 171:
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat '''Barata''' (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat '''matana sorumba''' (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
 
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah [[kesultanan]], juga mulai membangun [[benteng]] dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan [[masyarakat]] dan [[pemerintah]] dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa [[Kerajaan]]/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun [[1332]] dan berakhir tahun [[1960]]) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan [[sejarah]], [[budaya]] dan [[arkeologi]]. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu: Dengan wacana p [http://fajar.co.id/headline/2015/04/30/pemekaran-provinsi-kepulauan-buton-harga-mati.html embentukan] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150527122800/http://fajar.co.id/headline/2015/04/30/pemekaran-provinsi-kepulauan-buton-harga-mati.html |date=2015-05-27 }} '''[http://www.kepbutonraya.com/ Provinsi Kepulauan Buton] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150527185131/http://kepbutonraya.com/ |date=2015-05-27 }}''' yang terdiri dari [[Kabupaten Buton]], [[Kabupaten Wakatobi]], [[Kabupaten Buton Utara]], [[Kota Bau-Bau]], [[Kabupaten Buton Selatan]], dan [[Kabupaten Buton Tengah]]. Serta tiga daerah yang masuk dalam [[Sulawesi Tenggara|Provinsi Sulawesi Tenggara]] [[Kabupaten Konawe Kepulauan]], [[Kabupaten Bombana]], [[Kabupaten Muna]].
 
== Daftar Sultan Kesultananpenguasa Buton ==
'''3)=== Daftar sultanRaja / List of sultans<br>'''===
# Ratu ke I: [[Wa Kaa Kaa]]
# Ratu ke II: [[Bulawambona]]
# Raja ke III: [[Bataraguru]]
# Raja ke IV: [[tua rade|Tua Rade]]
# Raja ke V: [[Mulae]]
# Raja ke VI: La Kilaponto / Timbang Timbaga / Halu Oleo / [[Murhum]]
 
===Daftar sultan===
1) 1491-1537: Sultan Murhum
# 1491-1537: Sultan Murhum
# 1545-1552: Sultan La Tumparasi
# 1566-1570: Sultan La Sangaji
# 1578-1615: Sultan La Elangi
# 1617-1619: Sultan La Balawo
# 1632-1645: Sultan La Buke
# 1645-1646: Sultan La Saparagau
# 1647-1654: Sultan La Cila
# 1654-1664: Sultan La Awu
# 1664-1669: Sultan La Simbata
# 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
# 1680-1689: Sultan La Tumpamana
# 1689-1697: Sultan La Umati
# 1697-1702: Sultan La Dini
# 1702: Sultan La Rabaenga
# 1702-1709: Sultan La Sadaha
# 1709-1711: Sultan La Ibi
# 1711-1712: Sultan La Tumparasi
# 1712-1750: Sultan Langkarieri
# 1750-1752: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
# 1752-1759: Sultan Hamim
# 1759-1760: Sultan La Seha
# 1760-1763: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
# 1763-1788: Sultan La Jampi
# 1788-1791: Sultan La Masalalamu
# 1791-1799: Sultan La Kopuru
# 1799-1823: Sultan La Badaru
# 1823-1824: Sultan La Dani
# 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
# 1851-1861: Sultan Muh. Isa
# 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
# 1886-1906: Sultan Muh. Umar
# 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
# 1914: Sultan Muh. Husain
# 1918-1921: Sultan Muh. Ali
# 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
# 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
# 1937-1960: Sultan Muh. Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis
 
== Budaya ==
2) 1545-1552: Sultan La Tumparasi
Meskipun menganut agama islam, masyarakat buton memiliki kepercaan akan adanya reinkarnasi pada seorang ulama. Salah satu kisahnya adalah kisah pada masa pemerintahan raja Mulae (Akhir Abad 15), terjadi percakapan antara syekh Abdul Wahid dan gurunya, [[Ahmed bin Chais]]. Yang terakhir menyuruh Abdul Wahid pergi dari [[Kesultanan Samudera Pasai|Pasai]] ke Buton. Dia bilang "Nanti di masa cucu kalian, saya akan datang ke Buton untuk menyempurnakan adat istiadat kalian". Ketika masa cucu Abdul Wahid hidup, yang bernama [[Imam Malanga]], datanglah ulama kedua ke Buton, yakni [[Firus Muhammad]]. Pada saat bersamaan lahirlah Mardana Ali, yang akan menjadi sultan pada 1647 hingga 1654.Lantas ulama tersebut mencari bayi dan menyakini sebagai reinkarnasi dari Ahmed bin Chais.<ref>{{Cite journal|last=Schoorl|first=J. W.|date=1985|title=Belief in Reincarnation on Buton, S.e. Sulawesi, Indonesia|url=https://www.jstor.org/stable/27863639|journal=Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde|volume=141|issue=1|pages=103–134|issn=0006-2294}}</ref>
 
== Pranala luar ==
3) 1566-1570: Sultan La Sangaji
 
4) 1578-1615: Sultan La Elangi
 
5) 1617-1619: Sultan La Balawo
 
6) 1632-1645: Sultan La Buke
 
7) 1645-1646: Sultan La Saparagau
 
8) 1647-1654: Sultan La Cila
 
9) 1654-1664: Sultan La Awu
 
10) 1664-1669: Sultan La Simbata
 
11) 1669-1680: Sultan La Tangkaraja
 
12)1680-1689: Sultan La Tumpamana
 
13) 1689-1697: Sultan La Umati
 
14) 1697-1702: Sultan La Dini
 
15) 1702: Sultan La Rabaenga
 
16) 1702-1709: Sultan La Sadaha
 
17) 1709-1711: Sultan La Ibi
 
18) 1711-1712: Sultan La Tumparasi
 
19) 1712-1750: Sultan Langkarieri
 
20) 1750-1752: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
 
21) 1752-1759: Sultan Hamim
 
22) 1759-1760: Sultan La Seha
 
23) 1760-1763: [[Himayatuddin Muhammad Saidi|Sultan La Karambau]]
 
24) 1763-1788: Sultan La Jampi
 
25) 1788-1791: Sultan La Masalalamu
 
26) 1791-1799: Sultan La Kopuru
 
27) 1799-1823: Sultan La Badaru
 
28) 1823-1824: Sultan La Dani
 
29) 1824-1851: Sultan Muh. Idrus
 
30) 1851-1861: Sultan Muh. Isa
 
31) 1871-1886: Sultan Muh. Salihi
 
32) 1886-1906: Sultan Muh. Umar
 
33) 1906-1911: Sultan Muh. Asikin
 
34) 1914: Sultan Muh. Husain
 
35) 1918-1921: Sultan Muh. Ali
 
36) 1922-1924: Sultan Muh. Saifu
 
37) 1928-1937: Sultan Muh. Hamidi
 
38) 1937-1960: Sultan Muh. Falihi
 
=== Pranala luar ===
* {{id}}[http://history.melayuonline.com/?a=SlRWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= Sejarah Kerajaan Buton di MelayuOnline.com] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20160304215806/http://history.melayuonline.com/?a=SlRWL29QTS9VenVwRnRCb20%3D= |date=2016-03-04 }}
* {{id}}[http://www.butonraya.com/= ButonRaya.com]{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* https://www.butonmagz.id/2020/10/wilayah-kesultanan-buton-dan-dinamika.html {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220706093734/https://www.butonmagz.id/2020/10/wilayah-kesultanan-buton-dan-dinamika.html |date=2022-07-06 }}
{{Kerajaan di Sulawesi}}
 
{{indo-sejarah-stub}}
== Daftar Pustaka ==
 
* Aceaux, J.C., 2004, Wolio Dictionary (Wolio-English-Indonesian). Holand: Foris Publication.
* Azra, Azyumardi, 2004, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII akar Pembaruan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
* B, Burhanuddin, dkk., 1977, Sejarah Daerah Sulawesi Tenggara. Kendari: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1977.
* Berg, E.J. van den, 1939, “Adatgebruiken in verban met de sultansinstallatie in Boeton”, TBG 79:469-528.
* Bruinesen, Martin van, 1995, Kitab Kuning Pesanren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam Indonesia. Bandung: Mizan.
* Couvreur, J., 2001, Sejarah dan Kebudayaan Kerajaan Muna. Penerjemah Rene van den Berg. Kupang: Artha Wacana Press.
* Djamaris, Edwar, 1983, Khabar Akhirat Dalam Hal Kiamat. Jakarta: Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
* Hasaruddin, 2005, Kabanti Paiasa Mainawa; Sebuah Kajian Filologi. Tesis Magister PPs Unpad. Bandung.
* Ikram, Achadiati, 2001, Katalog Naskah Buton Koleksi Abdul Mulku Zahari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
* Ligtvoet, A., 1878, “Beschrijving en Geschiedenis van Buton”, BKI Vol. 26. “s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
* Munawwir, A.W., 2002, Kamus Al-Munawwir Arab – Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.
* Muthahhari, 1986, Sejarah Perkembangan Islam di Nusantara. Jakarta: Gramedia.
* Poerwadarminta, W.J.S., 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
* Sabirin, Falah, 2011, Tarekat Sammaniyah di Kesultanan Buton Kajian Naskah-Naskah Buton. Tangeran: YPM.
* Sangidu, 2003, Wahdatul Wujud: Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin as-Samatrani dengan Nuruddin ar-Arniri., Yogyakarta: Gama Media.
* Schoorl, J.W., 1985, “Power, Ideology and Change in The Early State of Buton”. Makalah. Disajikan pada saat kongres Indonesia-Belanda yang ke-5. Gravenhag. Belanda.
* Suryadi, 2005, “Surat-Surat Sultan Buton XXVI Muhyuddin Abdul Gafur Kepada Kompeni Belanda”. Makalah disajikan pada Simposium Internasional IX. Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, Indonesia.
* Tahir Al-Haddad Al-Habib Alwi bin, 1995, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh. Penerjemah Shahab S. Dhiya. Jakarta: Lentera.
* Yunus, Abdul Rahim, 1995, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Dalam Abad Ke-17. Jakarta: INIS.
* Zaenu, La Ode, 1985, Buton Dalam Sejarah Kebudayaan. Surabaya: Suradipa.
* Zahari, A.M, 1977, Sejarah dan Adat Fiy Darul Butuni. Jakarta: Balai Pustaka.
* Zuhdi, Susanto, 1999, “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVII”. Disertasi dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, Jakarta.
* Zuhri, Saifuddin, 1965, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Al Ma’arif. Bandung.
 
[[Kategori:Kesultanan Buton| ]]